PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Rabu, 19 Desember 2007

Narapidana di Lapas Cipinang Kini Bisa Kuliah

Jakarta, hukumham.info--Narapidana (napi) dan tahanan penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) Cipinang, Jakarta, kini bisa kuliah di dalam lapas. Hari ini Lapas kelas 1 Cipinang bekerjasama dengan Universitas Bung Karno membuka Fakultas Hukum di Lapas Cipinang.

Peresmian Fakultas Hukum Universitas Bung Karno di Lapas Cipinang di Ruang Serba Guna Gd.2 lt.2 Lapas Klas 1 Cipinang pada Jumat siang dibuka oleh Kakanwil Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) DKI Jakarta. Turut memberikan sambutan pada peresmian adalah Kepala Lapas Cipinang Havilludin dan Rektor Universitas Bung Karno.

Usai peresmian, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W. Kusuma memberikan kuliah umum kepada para napi dan petugas lapas. Mulyana, yang pernah merasakan tinggal di penjara berbagi cerita sekaligus memberikan motivasi kepada narapidana.

Kepala Lapas Cipinang Havilludin menjelaskan, Fakultas Hukum Universitas Bung Karno dibuat untuk memberikan pembinaan kepada napi guna meningkatkan keterampilan dan pengetahuan agar mendapatkan kesempatan yang sama dengan yang lain.

Menurut Havilludin, proses pembelajaran ini dimulai ketika para napi dalam waktu longgar. “Siang hari adalah waktu yang pas untuk para napi belajar. Tidak ada syarat khusus untuk bisa belajar di sini karena siapa pun orangnya berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Para napi akan mendapatkan pengajaran dari pengajar Universitas Bung Karno,” kata Havilludin.

Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan (Ditjen Lapas) Akbar Hadi Prabowo mengemukakan bahwa hampir di seluruh lapas telah memiliki sekolah pembinaan untuk para napi. Sekolah yang telah berlangsung cukup lama ini terselenggara hasil kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Depkumham dengan Direktorat Jenderal Pendidikan luar Sekolah Depdiknas, kegiatan ini disebut program kegiatan belajar mengajar (PKBM) bagi napi.

PKBM memiliki paket A untuk yang tidak lulus SD, paket B untuk yang tidak lulus SMP, dan paket C untuk yang tidak lulus SMA. “Para napi bebas memilih program yang sesuai dengan background pendidikannya guna mendapatkan kesetaraan pendidikan,” ujar Akbar. Sementara program kuliah di Lapas Bekasi dan Lapas Yogya sudah meluluskan alumni Diploma III dan Strata I.

Melalui program ini, lapas mengupayakan agar para napi dan tahanan dapat dibina dengan lebih baik dari sebelumnya. Lapas juga menyediakan tempat serta berbagai fasilitas untuk para napi, seperti ruang pembinaan, ruang olahraga, dan ruang kursus keterampilan dan sebagainya.

Dengan adanya Fakultas Hukum ini, Akbar berharap agar rekan-rekan alumni napi yang mempunyai kapasitas atau kemampuan di bidang tertentu dapat memberikan sumbangsih berupa hasil karya yang selama ini telah dipelajari. “Kami juga berharap agar masyarakat bisa menerima dengan baik para alumni lapas,” kata Akbar.

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=439&Itemid=43


Jumat, 14 Desember 2007

Kuliah Hukum di Lapas Cipinang

Jakarta, hukumham.info-- Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas-1 Cipinang membuka kelas kuliah program ilmu hukum bagi narapidana dan petugas Lapas. Program yang bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) ini akan menjadi wadah bagi para narapidana untuk dapat terus melanjutkan pendidikan, walaupun berada di balik tembok lapas.

Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi DKI Jakara Didin Sudirman mengatakan, program ini adalah salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang patut dihargai dan dicontoh.

Didin menambahkan bahwa kalau ingin menciptakan Lapas yang ideal harus bertumpu kepada partisipasi, peran serta, dukungan dan kontrol masyarakat terhadap lapas. “Keberhasilan lapas bertumpu pada partisipasi masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu Kelapa Lapas Cipinang, Havilludin, menjelaskan prakarsa dibukanya program ini salah satunya berasal dari wargabinaan (narapidana) Lapas Cipinang. Secara fisik, mental, dan pikiran narapidana mempunyai hak untuk menambah pengetahuan. “Lapas itu juga adalah lembaga pendidikan. Inilah yang sedang kami lakukan,” ujar Havilludin.

Menurut Havilludin, para mahasiswa nantinya akan diajar oleh dosen-dosen di Fakultas Hukum UBK. Salah satu mata kuliah juga akan diasuh oleh Rektor UBK. ”Saat ini sudah 57 orang yang mendaftar dan 35 di antaranya sudah menyelesaikan syarat administratif,” jelas Havilludin.

Pada acara pembukaan kelas hukum ini, hadir juga Ketua Asosiasi Narapidana Rahadi Ramelan, para pengajar UBK, dan calon mahasiswa program ilmu hukum di Lapas Cipinang. Salah satu mahasiswa adalah Eurico Gueteres (tokoh pejuang pro integrasi). Pada acara ini juga digelar seminar hukum yang menghadirkan narasumber Mulyana W. Kusumah dan Dekan Fakultas Hukum UBK Houtlan Napitupulu.

Walaupun berada di balik tembok lapas dan kehilangan kebebasannya, para narapidana di Lapas Cipinang tetap bisa memperoleh haknya yang lain, yaitu pendidikan dan hak memperoleh ilmu pengetahuan. Didin mengharapkan program seperti ini juga diikuti oleh lapas-lapas yang lain.


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=440&Itemid=43


Kamis, 13 Desember 2007

Partisipasi Masyarakat untuk Mengurangi Beban Lapas

Selasa, 11 Desember 2007

Jakarta, hukumham.info--Partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan dan mengurangi beban lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan (lapas/rutan). Masalah ini harus menjadi perhatian nasional, antara lain melalui pembentukan lembaga yang berperan sebagai pemantau keadaan lapas/rutan.

Dirjen HAM Departemen Hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo mengemukakan pentingnya partisipasi masyarakat pada seminar peringatan hari HAM internasional. Peringatan yang mengambil tema ”Perlindungan Narapidana dalam Perspektif HAM” ini berlangsung di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta (10/11).

Menurut Harkristuti, saat ini sedang dilakukan pengkajian tentang RUU Pemasyarakatan. ”Saat ini sedang dikaji, ada update (RUU ini sudah ada sejak 2005) yang berkaitan dengan bagaimana peran pemantauan, dan apakah prinsip-prinsip HAM sudah masuk seluruhnya dalam rancangan.”

Di ranah publik dan legislatif, masalah lapas/rutan selalu menjadi perbincangan, tetapi tindak lanjutnya belum ada. ”Mungkin nanti dibangun satu lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memonitor keadaan dari lapas/rutan,” kata Harkristuti, anggota tim yang memberi catatan terhadap RUU Pemasyarakatan. Selain itu, anggaran buat lapas/rutan yang kecil juga harus menjadi perhatian.

RUU Hukum Acara Pidana (HAP) juga akan dicoba diatur bagaimana persyaratan untuk penahanan, yang nantinya harus melalui hakim komisaris. Selain untuk orang yang tertangkap tangan, semua penahanan harus mendapat surat penahanan dari pengadilan.

Harkristuti mengatakan, nantinya dalam RUU HAP juga akan ada alternatif-alternatif hukum pidana. ”Jadi bukan hanya penjara. Hukumannya bisa kerja sosial, bisa ganti rugi,” katanya. Ide ini, menurutnya, untuk mengurangi beban lapas/rutan. ”Kaitannya bukan hanya kepada Direktorat Pemasyarakatan (Ditjen PAS), melainkan juga dengan kepolisian dan hakim.”

Seminar menghadirkan narasumber Harkristuti Harkrisnowo (Dirjen HAM), Moh. Sueb (Direktur Bina Registrasi dan Statistik Ditjen Pemasyarakatan), Rahadi Ramelan (Asosiasi Narapidana), dan Baby Jim Aditya (LSM HIV/AIDS). Pada peringatan hari HAM sedunia yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal HAM, Depkumham juga menggelar pemutaran film dan pameran hasil karya para narapidana.


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=419&Itemid=43


Hak yang Hilang dari Narapidana Hanya Kebebasannya

Senin, 10 Desember 2007

Jakarta, hukumham.info--Hak yang hilang dari seorang narapidana hanyalah kebebasannya, sedangkan hak-hak yang lain tidak. Tindakan penghukuman pada esensinya adalah suatu upaya agar terpidana dapat kembali ke masyarakat.

Demikian diungkapkan Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta pada peringatan hari HAM sedunia yang berlangsung di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta (10/11). Andi mengatakan, sudah selayaknya hak narapidana sama dengan hak perorangan pada umumnya. “Yang hilang cuma kebebasan dia (narapidana) yang lain tidak,” ujar Andi.

Selain itu, aturan standar minimum harus dijadikan sebagai berometer dalam akses pemenuhan hak asasi narapidana dan juga sebagai panduan umum bagi petugas lapas dalam memberikan pelayanan terhadap narapidana.

Andi mengatakan, "Perlindungan Narapidana dalam Perspektif HAM" yang menjadi tema hari HAM bertujuan untuk menanamkan kesadaran yang tinggi pada pemangku kepentingan akan makna penting dari pemenuhan hak narapidanan yang terabaikan dalam penjara.

Yang menjadi kendala, menurut Andi, adalah masalah over kapasitas yang banyak terjadi di lapas/rutan di Indonesia yang membuat bukan hanya kebebasan narapidana yang hilang tetapi hak-hak lain. Dengan kondisi ini, narapidana mungkin saja mendapat perlakuan kasar antar sesama narapidana, maupun petugas lapas, rentannya penyebaran HIV/AIDS dan faktor kesehatan lainnya.

Program utama lapas adalah bagaimana membangun sistem manajemen lapas yang baik dengan keterbatasan yang ada di lapas. Salah satunya daya tampung lapas/rutan yang tidak berimbang dengan penghuni lapas/rutan dan juga rasio jumlah petugas lapas dengan narapidana yang sangat tidak berimbang. “Namun, kita (Depkumham) tidak boleh mengeluh dengan kondisi ini. Yang penting, bagaimana membangun sebuah sistem manajemen dengan keterbatasan seperti ini,” kata Andi.

Data dari Direktorat Pemasyarakatan jumlah narapidana/tahanan sampai Juli 2007 sebanyak 130.832 sedangkan kapasitas lapas/rutan hanya sanggup menampung sebanyak 81.384 narapidana/tahanan atau mengalami over kapasitas hampir 45 persen dengan jumlah petugas pemasyarakatan hanya 24.130 orang.

Selain seminar yang menghadirkan narasumber Harkristuti Harkrisnowo (Dirjen HAM), Moh.Sueb (Direktur Bina Registrasi dan Statistik Ditjen Pemasyarakatan), Rahadi Ramelan (Asosiasi Narapidana) dan Baby Jim Aditya (LSM HIV/AIDS), pada peringatan hari HAM sedunia yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal HAM, Depkumham juga menggelar pemutaran film dan pameran hasil karya para narapidana.

Seusai membuka seminar, Menkumham melihat hasil karya wargabinaan (narapidana) seperti tas, pajangan, baju, furnitur dan hasil industri rumah lainnya. Menkumham juga membeli beberapa hasil karya para narapidana dan berbincang dengan para narapidana yang ikut hadir memamerkan hasil karyanya.


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=413&Itemid=43

Hak Narapidana Kelas ‘Kakap’ Dibatasi

Surat Edaran Dirjen Permasyarakatan mempersempit ruang bagi napi tertentu untuk mendapatkan remisi. PP No. 28/2006 sudah mengatur pembatasan hak narapidana kelas ‘kakap’. Bahkan cuti mengunjungi keluarga dihapuskan.

Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalata menegaskan bahwa pembatasan remisi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2006 hanya berlaku bagi narapida yang belum pernah mendapat remisi. “Kalau sudah pernah mendapat remisi terus distop, melanggar HAM orang,” terangnya beberapa waktu lalu.

PP tersebut menggantikan PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Merujuk pada PP tersebut, pembatasan remisi atau pengurangan hukuman itu tidak berlaku terdahap terpidana korupsi, teroris, bandar atau produsen narkotika dan obat-obatan terlarang, pelaku makar, pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan orang, pembalakan liar, penjualan orang, kejahatan dunia maya, dan pencucian uang, dilakukan dengan lebih ketat.

Khusus bagi narapidana korupsi pembatasan itu hanya berlaku jika pelakunya adalah penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum dan penyelenggara negara. Selain itu, kasusnya juga mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat, serta menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar rupiah.

Hal itu kemudian dikuatkan melalui Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Untung Sugiyono yang dikeluarkan dan berlaku sejak Oktober 2007.

Namun demikian, hak terpidana untuk mendapat remisi tidak hilang sama sekali. “Mereka baru mendapat remisi kalau sudah menjalani sepertiga dan berkelakuan baik,” terang Andi. Ia melanjutkan sebelumnya, walaupun belum sepertiga, sudah menjalani sembilan bulan sudah bisa mendapat remisi.

Dalam penjelasan PP tersebut dipaparkan bahwa kejahatan tersebut dinilai mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat. Oleh karena itu pemberian remisi perlu disesuaikan dengan dinamika dan rasa keadilan masyarakat. Begitu pula dengan pemberian hak asimilasi, cuti menjelang bebas (CMB) dan pembebasan bersyarat.

Pasal 42A PP ayat (3) PP No. 28/2006 menyebutkan bahwa terhadap narapidana ‘kakap’ tersebut diatas, CMB bisa diberikan jika narapidana tersebut telah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidana. Asal masa pidana tersebut tidak kurang dari sembiilan bulan. Artinya setelah menjalani sembilan bulan penjara, masa duapertiganya baru dihitung.

Tidak hanya itu, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana juga menjadi persyaratan. CMB itu hanya diberikan paling lama tiga bulan jika mendapat pertimbangan dari Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM. Bagi narapidana biasa mendapat bonus CMB hingga enam bulan.

Hal yang sama juga berlaku bagi pemberian pembebasan bersyarat yang diatur dalam Pasal 43 ayat (4) PP ayat (3) PP No. 28/2006. Sementara menurut Pasal 38 ayat (4) PP No. 28/2006 asimilasi bisa diberikan kepada narapidana tersebut jika sudah menjalani masa duapertiga masa pidana. Padahal untun narapidana biasa dan anak pidana, asmiliasi diberikan jika sudah menjalani setengah masa pidana.

Selain mengatur tentang pembatasan hak narapidana ‘khusus’ itu, PP tersebut juga menghilangkan hak yang biasa diberikan kepada narapidana lain. Dalam Pasal 41 ayat (3) disebutkan bahwa cuti mengunjungi keluarga tidak diberikan kepada narapidana tersebut.

http://hukumonline.com/detail.asp?id=17860&cl=Berita



Rabu, 14 November 2007

Tolak Hukuman Mati

Suara Pembaruan

Oleh : George Junus Aditjondro

Kontras, organisasi penegak HAM yang didirikan oleh almarhum Munir, sedang berduka. Dua tahun lalu, organisasi non-pemerintah ini sangat berharap bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review terhadap semua UU yang memuat aturan hukuman mati, dalam Laporan HAM Tahun 2005.

Ternyata, dalam sidang MK yang membahas permohonan Edith Yunita Sianturi dan empat orang terpidana hukuman mati, untuk membatalkan pasal-pasal hukuman mati dalam UU 22/1997 tentang Narkotika, MK memutuskan untuk menolak permohonan Sianturi dkk. Dalam putusan setebal 469 halaman itu, MK memutuskan bahwa hukuman mati tetap berlaku untuk kasus narkotika


Ketukan palu Ketua MK, Jimly Asshiddique seolah- olah ketukan palu pencabut nyawa Sianturi dkk. Sebab dengan keputusan MK itu, hukuman mati bagi pelanggar UU 22/1997 semakin mendapat kekuatan hukum. Satu-satunya celah penyelamat nyawa Sianturi dkk, tinggal permintaan grasi kepada Presiden RI, berdasarkan UU 22/2002 tentang Grasi.



Lalu, apa yang mendorong MK mengambil keputusan yang memutar jarum jam ke belakang itu? Tampaknya, keputusan itu didorong sikap ultra-nasionalis para hakim, untuk menentang imbauan Menlu Australia, Alexander Downer, agar ancaman hukuman mati terhadap enam warga Australia yang terancam hukuman mati dalam kasus penyelundupan narkotika di Bali, "dipertimbangkan secara hati-hati" (Republika, 30 Oktober 2007).



Kalau anggapan itu betul, maka tampaklah bahwa riwayat pelaksanaan hukuman mati serta prosedur pelaksanaannya di Indonesia, bersifat sangat taktis, dan bukan konsepsional. Misalnya, Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, ditandatangani oleh Kepala Bareskrim Polri, Komjen Suyitno Landung, di bulan Juli 2004. Tujuannya, melengkapi Penpres (Penetapan Presiden) 2/1964 dengan suatu Protap (prosedur tetap) yang mengikat Polri.



Soalnya, saat itu Polri merasa tidak punya pegangan hukum yang kuat untuk melakukan eksekusi terhadap Ayodya Prasad Chaubey, warganegara India berusia 65 tahun yang sudah dijatuhi keputusan hukuman mati karena kasus narkoba. Sebab Pasal 271 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak dilaksanakan di muka umum, dan "menurut ketentuan undang-undang". Padahal, sampai sekarang, kita juga tidak punya Undang-Undang yang mengatur pelaksanaan hukuman mati. Yang ada hanyalah Penpres 2/1964, yang ditandatangani Presiden Soekarno, tanggal 27 April 1964.


Protap itu, yang belum disosialisasikan kepada publik, juga diterapkan dalam eksekusi Fabianus Tibo dkk pada tanggal 20 September tahun lalu di Palu. Sebelumnya, pengetahuan umum hanyalah bahwa eksekusi dilakukan oleh empat orang anggota regu tembak, di mana hanya seorang di antara mereka memegang senapan yang terisi amunisi. Tahu-tahu, setelah jenazah Fabianus Tibo (60 tahun) dan sesama terpidananya, Marinus Riwu (48 tahun), setelah diotopsi kembali oleh Kepala Puskesmas Beteleme, dokter IM Pujawan, kedua jenazah itu tampak "dihiasi" banyak luka yang sudah dijahit kembali.



Kesan sadis segera muncul dalam perdebatan tentang eksekusi Tibo, dll. Sehingga pelaksanaan hukuman mati dirasakan lebih sebagai pembalasan dendam dari komunitas yang konon dicederai oleh Tibo dkk.



Eksekusi Tibo dkk juga mencerminkan sifat adhoc dari wacana dan kebijakan politik di seputar penggunaan hukuman mati, yang lebih bersifat instrumental, bukan konsepsional. Menurut sumber-sumber penulis di lingkungan penegak hukum, eksekusi Tibo waktu itu sudah merupakan keputusan politis, bukan keputusan hukum. Sehingga permintaan terpidana untuk mendapatkan grasi ke-2, sesuai dengan UU No 22/2002, diabaikan dan eksekusi mereka segera dijalankan, didorong oleh politik keseimbangan rezim SBY-JK waktu itu.



Keputusan untuk segera mengeksekusi Tibo dkk, tanpa mengindahkan hak para terpidana untuk mendapatkan grasi kedua, didorong oleh Menkopolhukam, Kapolri dan Jaksa Agung waktu itu. Yudhoyono sendiri tidak memberikan pendapat, tapi JK membuat pernyataan-pernyataan yang mendorong supaya Tibo dkk segera diekskusi. Penambahan pasukan di Poso, setelah eksekusi Tibo dkk memicu keresahan dan tindak kekerasan terhadap pedagang ikan dari Sulawesi Selatan, tentunya sudah dapat diperkirakan oleh para pengambil keputusan di Jakarta. Tapi penambahan pasukan polisi dan tentara yang dikerahkan untuk mencegah berulangnya konflik antar komunitas, tidak terlepas dari kepentingan pribadi keluarga Wakil Presiden di daerah Poso. Sebab penambahan pasukan di daerah Poso, dengan sendirinya ikut mengamankan PLTA berkapasitas 600an MW yang sedang dibangun oleh kelompok Bukaka, perusahaan keluarga Jusuf Kalla, di Sungai Poso.



Sayangnya, para penentang hukuman mati Tibo dkk, yang waktu itu dengan begitu gegap gempita mau menggugat pemerintah ke Komisi HAM PBB di Jenewa, tampaknya hanya marah sesaat. Padahal, buat organisasi-organisasi penentang hukuman mati, seperti Kontras, tidak peduli siapa yang dihukum, tidak peduli apa agamanya, tidak peduli apa kesalahannya, hukuman mati tidak dapat dibenarkan, berdasarkan tiga alasan.



Pertama, hukuman mati tidak dapat dipertahankan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip agama-agama dunia, bahwa nyawa berasal dari Tuhan, dan hanya dapat dicabut oleh Tuhan.




Kedua, seperti yang sudah disinggung di depan, dipertahankannya hukuman mati dalam sebelas Undang-Undang di negara kita, bertentangan 180 derajat dengan amanat bangsa untuk menegakkah hak-hak asasi manusia. Termasuk Kovenan PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia tanggal 28 Oktober 2005, yang menegaskan bahwa hak atas kehidupan merupakan suatu hak asasi yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun, termasuk negara.



Ketiga, hukuman mati tidak punya efek jera, yang dijadikan alasan oleh para pendukungnya. Tidak bagi para pengedar narkoba, tidak juga bagi mereka yang merampas kehidupan orang lain, dengan dalih keyakinan agamanya, dan tidak menghormati pengadilan buatan manusia. Makanya, untuk apa hukuman mati masih dipertahankan oleh negara kita?



Kita menolak hukuman mati, semata-mata untuk tidak merasa setinggi Tuhan, karena hanya Tuhanlah, sang pemberi nyawa, yang berhak mencabut nyawa manusia.



Penulis adalah pengamat hukum yang aktif menentang eksekusi terhadap Fabianus Tibo dkk


Minggu, 11 November 2007

Konsisten Melaksanakan Hukuman Mati

Suara Pembaruan

Oleh : Binsar Gultom

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945) maka pemberlakuan vonis pidana mati di Indonesia telah bersifat mengikat dan final.

Namun, sekalipun undang-undang menentukan adanya pidana mati bukan berarti hakim seenaknya menjatuhkan ancaman maksimal pidana mati kepada terdakwa. Hakim harus melihat secara cermat dan hati-hati fakta hukum yang terungkap di persidangan, siapa otak intelektualnya, apakah ia hanya turut membantu atau yang disuruh melakukan kejahatan tersebut.

Jika putusan hakim tingkat pertama masih dirasa kurang adil masih bisa diperbaiki oleh hakim tingkat banding, hakim kasasi, dan hakim peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Ingat, sekali hakim salah menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang terdakwa, yang sebenarnya vonis itu tidak pantas dijatuhkan kepadanya, dosa hakim yang memvonis hukuman mati tersebut tidak akan terampuni oleh Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Adil, sebab putusan hakim di sini menyangkut pencabutan "nyawa manusia" ciptaan Tuhan.

Yang menarik untuk dikaji dalam putusan MK tersebut adalah pertimbangan hukumnya menyatakan: "Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun, apabila terpidana tersebut berkelakuan baik dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup". Pertanyaannya, siapa yang berwenang mengubahnya, pengadilan atau pemerintah? Apa saja kriteria berkelakuan baik (perbuatan terpuji) itu? Apakah justru hal ini tidak memunculkan adanya aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada instansi terkait?

Manfaat ditangguhkannya pelaksanaan eksekusi pidana mati hingga 10 tahun dapat saja diterima, jika ternyata terungkap fakta baru atau novum, bahwa bukan terdakwa tersebut yang menjadi otak kejahatan dimaksud. Justru hal ini dapat dijadikan alasan pengajuan grasi kedua kepada presiden sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Soal apakah akan terjadi perubahan hukuman terhadap terpidana mati menjadi hukuman seumur hidup bergantung pada hasil proses persidangan di pengadilan, bukan berdasarkan kriteria berkelakuan baik. Sebab yang berwenang mengeluarkan surat keterangan berkelakuan baik adalah Kepolisian RI. Terpidana mati rasanya sulit dikualifikasi mempunyai kelakuan baik, karena apabila dia berkelakuan baik tidak mungkin divonis pidana mati.

Persoalannya lagi, jika pemerintah yang mengubah pidana mati menjadi seumur hidup, apakah justru hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Sebab menurut ketentuan tersebut, yang berwenang mengubah vonis pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap hanyalah presiden lewat permohonan grasi, yaitu pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana. Juga apakah hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi yang secara eksplisit mengatur waktu "pelaksanaan eksekusi vonis pidana mati, yaitu 30 hari terhitung sejak penolakan grasi presiden".

Yang jelas, menurut Pasal 2 ayat 3 huruf a UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi: terpidana yang pernah ditolak grasinya dan telah lewat dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut dapat mengajukan grasi kembali. Artinya, terhadap terpidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap masih dapat ditangguhkan eksekusinya, dengan syarat: permohonan grasi terpidana mati baru sekali diajukan dan ditolak oleh presiden. Kemudian, permohonan grasi kedua harus diajukan setelah lewat dua tahun.

Sedangkan jika permohonan grasi yang kedua telah diajukan terpidana mati dan ditolak oleh presiden maka eksekusi tidak dapat lagi ditangguhkan, artinya dia harus segera di eksekusi. Kata segera di sini sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi, yaitu 30 hari terhitung sejak penolakan grasi presiden".

Tak Konsekuen

Persoalannya, dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati pemerintah tak konsekuen. Dalam praktik selama ini, pemerintah masih tetap menggunakan UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi, sekalipun Pasal 16 UU No. 22 Tahun 2002 telah menyatakan secara eksplisit bahwa "pada saat UU Grasi No. 22 Tahun 2002 berlaku maka UU No. 3 Tahun 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Mengapa masih diberlakukan UU No. 3 Tahun 1950 tersebut? Karena Pasal 2 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1950 secara eksplisit masih mengatur waktu "pelaksanaan eksekusi vonis pidana mati, yaitu 30 hari terhitung sejak penolakan grasi presiden". Sedangkan UU No. 22 Tahun 2002 tidak mengatur sama sekali tenggang waktu pelaksanaan eksekusi mati. Di sini kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusi mati menjadi tidak tegas, yang berakibat memberikan ruang gerak kepada terpidana mati/keluarga/kuasa hukumnya untuk mengajukan grasi beberapa kali, yang sebenarnya tak perlu terjadi lagi.

Jika ada yang masih berupaya mengulur-ulur waktu pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana yang tidak mungkin lagi diajukan grasi kedua, artinya putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht van gewijsde), hingga membuat terpidana mati tersiksa, teraniaya sampai akhirnya meninggal dunia sebelum eksekusi dijalankan, maka sikap seperti itu dapat dikualifikasi melakukan pelanggaran HAM berat.

Penjelasan Pasal 9 huruf f UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan: "dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental terhadap seorang tahanan atau yang berada di bawah pengawasan, dipidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun.

Penulis adalah Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Hakim HAM pada Pengadilan HAM Adhoc Jakarta, serta mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan.

http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=1090


Jumat, 09 November 2007

Hukuman Mati dan Efek Jera

Suara Pembaruan

Oleh Oksidelfa Yanto

Tidak ada yang tahu sejak kapan hukuman mati diberlakukan. Menurut sejarah, hukuman mati sudah berlaku pada 399 SM, sewaktu Socrates divonis mati oleh pengadilan Athena karena dinilai telah meracuni pikiran generasi muda dengan ajaran-ajarannya serta sikap atheismenya.

Indonesia adalah negara yang sampai saat ini masih menerapkan hukuman mati. Penerapan hukuman mati tersebut berawal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (WvS) pada masa kolonial Belanda. Undang-undang itu disahkan 1 Januari 1918 setelah dilakukannya unifikasi terhadap seluruh hukum pidana bagi golongan penduduk Hindia Belanda.

Kejahatan yang diancam hukuman mati, misalnya, perbuatan makar (Pasal 104 KUHP) dan tindak pidana pembunuhan berencana (Pasal 340). Kemudian beberapa UU juga mengatur tentang penerapan hukuman mati. Misalnya, UU Tentang Tindak Pidana Terorisme (UU No 15 Tahun 2003), UU Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU No 26 Tahun 2000), dan UU Tentang Psikotropika (UU No 5 Tahun 1997).

Tujuan pemberlakuan hukuman mati untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Dari aspek kemanusiaan, hukuman mati diperlukan guna melindungi masyarakat dari perbuatan orang jahat. Hal ini kemudian menjadi pijakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menilai bahwa UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, negara harus melindungi masyarakat dari perbuatan jahat para bandar dan produsen narkoba.

Namun, sampai sekarang tidak pernah bisa dibuktikan bahwa hukuman mati merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan kejahatan. Sebagai contoh, dalam UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jelas-jelas ditegaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati. Tapi, apa yang terjadi, kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus saja meningkat.

Kemudian UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika juga mengatur tentang hukuman mati. Meskipun sudah ada pelaku yang dijatuhi hukuman mati, tapi jual beli narkotika masih terus terjadi.

Alasan Penolakan

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta pernah menyatakan penolakannya terhadap hukuman mati. Dalam sejarah peradaban dunia, penolakan dan penentangan terhadap hukuman mati pertama kali muncul pada 1764. Kemudian sederet tokoh hukum muncul menjadi pendukung usaha penghapusan hukuman mati, seperti, Leo Polak dan Rolling. Beberapa negarawan, seperti, "Raja Lois" dari Portugal atau Raja Oscar dari Swedia juga mendukungnya. Akibatnya, beberapa negara menghapuskan hukuman mati, seperti, Italia (1890) dan Selandia baru (1941). Sampai saat ini sudah 118 negara menghapus hukuman mati.

Di Indonesia, alasan sejumlah LSM menolak hukuman mati, karena dinilai melanggar konstitusi. Hak hidup seseorang tidak bisa dibatasi, dikurangi ataupun dirampas dalam kondisi apa pun. Ini sesuai dengan Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan: Hak untuk hidup tiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Di samping itu, hukuman mati melangkahi wewenang Yang Maha Kuasa dan jelas bertolak belakang dengan sila pertama dan kedua Pancasila. Hukuman mati juga bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM PBB 1948. Sebab jika dilihat dari perspektif HAM, hukuman mati sangat bertentangan secara substansial dengan prinsip-prinsip HAM.

Pasal 3 Deklarasi Universal HAM PBB 1948 menyebutkan, tiap orang berhak hidup, berhak atas kebebasan dan keamanan diri pribadi. Sedangkan Pasal 5 menjelaskan, tidak seorang pun boleh dikenai perlakuan atau pidana yang menganiaya atau kejam, yang tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat.

Hukuman mati juga tidak sesuai dengan Pasal 6 Kovenan PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966, yang telah diratifikasi menjadi undang-undang oleh pemerintah dan DPR September 2005. Pasal tersebut, antara lain, menyebutkan setiap orang mempunyai hak alami untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Siapa pun tidak boleh dengan sewenang-wenang dicabut nyawanya. Perlu diingat, tidak seorang pun yang luput dari kesalahan. Kepada setiap orang yang berbuat kesalahan perlu diberikan kesempatan untuk bertobat. Mungkin caranya dengan tidak menghukum mati, tapi dengan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.

Kalau terjadi kesalahan dalam putusan pengadilan tidak tertutup kemungkinan dikoreksi. Si terhukum tidak dihukum mati, namun dipenjara seumur hidup. Tapi, kalau sudah dihukum mati dan ternyata terdapat kesalahan pada putusan pengadilan maka koreksi dan rehabilitasi akan menjadi sia-sia. Kita hendaknya mencabut hak untuk menghukum mati manusia. Untuk menghilangkan tindakan yang tidak manusiawi tersebut maka hukuman mati hendaknya diganti menjadi hukuman penjara seumur hidup.

Penulis adalah staf di Center for Strategic and International Studies

Jakarta
6 Nopember 2007,HAM, Suara Pembaruan

http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=1088


Kamis, 08 November 2007

Hukuman Mati dan HAM

Oleh Frans Liemena, SH, MH
Hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra sejak dahulu hingga kini. Hari Senin 30 Oktober 2007 Mahkamah Konstitusi memutuskan, hukuman mati bagi pengedar narkoba idak bertentangan dengan UUD 1945. Berbagai kasus yang dijatuhi hukuman mati dan telah dilaksanakan seperti kasus Tibo cs dan lain-lain telah mengusik lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) internasional - Amnesty International - di London yang pada prinsipnya menolak hukuman mati dan meminta pemerintah Indonesia untuk membatalkan hukuman mati yang grasinya ditolak Presiden.

Bagi yang kontra didasarkan pada alasan atau menyangkut HAM, salah satunya ialah hak manusia untuk hidup. Selain alasan tersebut juga dirasakan oleh pendapat umum, bahwa hukuman mati tidak dapat diperbaiki lagi apabila dikemudian hari terbukti bahwa putusan hakim keliru atau terjadi peradilan yang sesat. Sebaliknya bagi yang pro hukuman mati dengan argumen, bahwa patutlah terpidana dieksekusi mati karena perbuatannya.

HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia karena martabatnya, dan bukan karena pemberian dari negara atau masyarakat. Dalam hak-hak tersebut terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu ciri dari negara hukum.

HAM juga merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis, kultural dan ideologis yang akan melindasnya kalau tidak dibendung.

Hukuman mati dilakukan terhadap pelanggaran norma hukum yang mengancam suatu perbuatan sehingga harus dihukum demikian. Secara normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain. Sehingga menurut penguasa adalah pantas orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman mati dengan ini, maka kita berbicara tentang filsafat negara oleh karena orang yang bersangkutan melakukan perbuatan di luar batas atau pun bertentangan dengan kebijaksanaan negara sebagai penguasa.

Indonesia masih diterapkan dan diberlakukan hukuman mati, padahal konstitusi mengakui, bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan (maachtstaat) belaka. Secara umum tujuan pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia adalah bukan sebagai sarana balas dendam melainkan untuk memberi pelajaran bagi terpidana agar apabila terpidana selesai menjalani hukuman, diharapkan menjadi anggota masyarakat yang baik, bahkan bisa menjadi pola anutan bagi masyarakat sekitarnya (general deterrence - general preventie).

Pro dan Kontra
Jauh sebelum adanya pendapat-pendapat sekarang yang pro hukuman mati, maka C Lombroso dan Garofalo adalah dua figur pendukung hukuman mati. Keduanya berpendapat, bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki, lagi (Andi Hamzah dan Sumangelipu : 27).

Sekalipun ada yang tidak sependapat tentang diberlakukan hukuman mati dengan alasan, bahwa hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Perlu dipertanyakan juga tentang apakah hak asasi manusia itu? Secara normatif sebagaimana tersurat dalam pasal 1 UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa: "Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia". "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara".

Dengan demikian, maka tidak ditemukan ketentuan, bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM karena terpidana mati juga harus mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar HAM orang lain dalam tertib kehidupan ber-masyarakat, berbangsa dan bernegara apabila tidak demikian mana mungkin hak asasi manusia dapat ditegakkan. Dengan perbuatan-perbuatan seperti tersebut diatas (terorisme dan kejahatan narkoba) justeru pelakunya telah melanggar HAM orang lain.

Ada pendapat bahwa hukuman mati tidak layak dilaksanakan dengan alasan, bahwa tujuan pemidanaan tidak tercapai, dan sifatnya mutlak artinya tidak dapat ditarik kembali (Beccaria:1864). Itulah sebabnya Jaksa Agung (Abdurahman Saleh, waktu itu) berposisi dilematis sebelum mengeksekusi Tibo cs. Pendapat yang menolak hukuman mati juga beralasan untuk menghindari terjadinya peradilan yang sesat (vide Hermann Mostar). Alasan yang umum dari penentang hukuman mati ialah hukuman mati bertentangan dengan Pancasila, HAM, etika dan moral.

Kesimpulan
Hukuman mati secara subtansial bertentangan dengan hak asasi manusia, sebaliknya terpidana mati juga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Berdasarkan kejadian akhir-akhir ini, maka hukuman mati masih dapat dan harus diberlakukan di Indonesia tetapi khusus diterapkan pada kejahatan-kejahatan yang berhubungan dengan terorisme dan pengedaran narkoba secara terorganisasi serta korupsi. Sedangkan kejahatan-kejahatan lainnya cukup diterapkan hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara.

Kalaupun ada yang menentang hukuman mati, maka jalan tengahnya ialah pidana berupa tindakan yang dapat membuat terpidana tidak berdaya secara permanen (poena proxima morti) yaitu pidana yang berada paling dekat dengan pidana mati, tetapi apakah ini tidak bertentangan dengan HAM?

Penulis adalah Hakim di Pengadilan Negeri Manado


Senin, 05 November 2007

Hukuman Mati Tetap Berlaku, MK Meminta Eksekusi Bisa Segera Dilaksanakan

Jakarta, Kompas - Hukuman mati masih tetap berlaku di Indonesia. Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan, hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pencantuman pidana mati dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat.

Putusan itu dibacakan pada sidang MK, Selasa (30/10) di Jakarta. Sidang pembacaan putusan itu berlangsung 4,5 jam.

Permohonan pengujian pasal hukuman mati dalam UU Narkotika diajukan dua warga negara Indonesia, Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia, serta tiga warga negara Australia, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Anthony Rush. Warga Australia itu, yang termasuk kelompok Bali Nine, tertangkap dan dihukum mati karena menyelundupkan heroin.

Sidang dihadiri kuasa hukum pemohon, antara lain Denny Kailimang dan Todung Mulya Lubis, sejumlah pejabat, serta Ketua Badan Narkotika Nasional I Made Mangku Pastika.

Putusan MK dalam perkara ini terbelah dua. Enam hakim konstitusi menilai hukuman mati tetap berlaku, sedangkan tiga hakim lainnya, yakni Laica Marzuki, Achmad Roestandi, dan Maruarar Siahaan, mengabulkan permohonan agar pasal hukuman mati itu dicabut.

Dalam putusannya, MK mempersoalkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon sebagai warga negara asing dan substansi hukuman mati. Mayoritas hakim konstitusi menilai warga negara asing tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian atas UU terhadap UUD.

Namun, tiga hakim konstitusi, yakni Harjono, Maruarar, dan Laica, berpendapat warga negara asing berhak mengajukan pengujian UU di Indonesia. Ini berlandaskan pada frasa "setiap orang berhak..." yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945. Seharusnya tak ada pembedaan antara hak asasi warga negara Indonesia dan warga negara asing.

Maruarar juga mencantumkan praktik di negara lain yang memperbolehkan warga negara asing memperoleh perlindungan hak asasi yang dilanggar UU negara yang menerimanya. Misalnya, gugatan Asakura (warga negara Jepang pemilik rumah gadai di Seattle, Amerika Serikat). Ia menguji peraturan kota Seattle, yang melarang orang asing berusaha di bidang pegadaian. Kasus lainnya adalah Cabell versus Chavez-Salido, Salim Ahmed Hamdan versus Donald H Rumsfeld (Sekretaris Pertahanan), dan Konstitusi Dominika tahun 1978.

Tentang pokok perkara, enam hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Jimly Asshiddiqie selaku ketua majelis hakim, menyatakan, penjatuhan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, hakim tidak boleh sewenang-wenang menjatuhkan hukuman mati karena harus sesuai dengan ketentuan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Jimly pun menjelaskan, pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan, perumusan, penerapan, dan pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus benar-benar memerhatikan bahwa hukuman mati bukan merupakan pidana pokok. Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh.

MK meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah Bambang Winahyo menyambut baik putusan MK yang melegalkan hukuman mati. Hal itu diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan eksekusi terpidana mati.
Di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kini terdapat 54 terpidana mati, termasuk terpidana kasus peledakan bom di Bali tahun 2003. (VIN/HAN/MDN)


Sabtu, 20 Oktober 2007

440 Napi dan Tahanan Meninggal di Penjara

Narapidana

Jakarta, Kompas - Sebanyak 440 narapidana atau napi dan tahanan selama tahun 2007 meninggal di penjara karena sakit. Penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian adalah penyakit pernapasan yang menewaskan 92 orang; HIV/AIDS 88 orang; penyakit tuberkulosis atau TBC sebanyak 75 orang; dan penyakit pencernaan 74 orang.

Berdasarkan data Direktorat Bina Perawatan Ditjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), selama Januari hingga Agustus 2007, dari 132.000 napi/tahanan di Indonesia, 312 napi dan 128 tahanan meninggal akibat sakit. Sejumlah napi/tahanan juga meninggal akibat penyakit ginjal dan saluran kemih (13 orang), penyakit saraf (23 orang), jantung dan pembuluh darah (41 orang), diabetes melitus (5 orang), dan hepatitis sebanyak 29 orang.

Menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono di Jakarta, Jumat (19/10), untuk mengurangi kematian napi/ tahanan, Ditjen Pemasyarakatan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menaruh perhatian atas kondisi kesehatan napi/tahanan.

Angka kematian napi/tahanan tahun 2006 jauh lebih tinggi, yakni sebanyak 813 orang. Penyakit penyebab kematian mereka hampir sama dari tahun ke tahun. Menurut Untung, angka kematian napi/tahanan di penjara yang tinggi itu akibat kondisi penjara yang penuh dan terbatas.

Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR menyebutkan, 1.102 napi/tahanan tahun ini berobat ke luar penjara. (vin)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/20/Politikhukum/3932217.htm

Jumat, 05 Oktober 2007

Puluhan Ribu Napi Peroleh Remisi Idul Fitri

JAKARTA -- Puluhan ribu narapidana (napi) di seluruh Indonesia akan memperoleh remisi khusus Idul Fitri 1427 H. Rencananya, remisi khusus tersebut akan diberikan secara simbolis oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Andi Matalatta, di LP Wanita Tangerang, usai shalat Idul Fitri. ''Mereka yang mendapat remisi khusus Idul Fitri akan diumumkan usai shalat Idul Fitri,'' ujar Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM, Untung Sugiono, Kamis (4/10).

Selain remisi khusus Idul Fitri, sebagian napi juga mendapat keringanan hukuman seperti cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat. Pada 2006, sebanyak 47.173 napi mendapatkan remisi khusus dan dari jumlah tersebut 2.402 napi langsung bebas setelah memperoleh pengurangan pidana.

Untuk 2007, penghitungan napi yang memperoleh jatah remisi masih terus dihitung. Namun, hingga kemarin (4/10), Ditjen Pemasyarakatan mencatat, 36.258 napi dari 55.436 jumlah napi keseluruhan, mendapat remisi khusus. Dari jumlah tersebut, 1.695 napi langsung bebas. ''Perhitungan ini masih bersifat fluktuatif, karena hingga H-1 Lebaran kami masih menghitung jumlah remisi khusus,'' tambah Kasubdit Registrasi dan Statistik Ditjen Pemasyarakatan, Agus Toyib.

Di Indonesia sendiri, terdapat 33 Kantor Wilayah (Kanwil) Depkumham. Untuk tahun ini, Kanwil Sumatra Utara adalah kanwil dengan napi terbanyak memperoleh remisi khusus dengan jumlah 5.955 napi. Sementara untuk Kanwil DKI Jakarta, dari jumlah napi 6.750 sebanyak 3.550 memperoleh remisi khusus.

Agus enggan menyebutkan nama-nama tokoh atau mantan pejabat yang mendapat giliran remisi khusus hari ini. Atas syarat minimal masa pidana enam bulan, tambah Agus, terpidana kasus korupsi pengadaan minyak goreng di Koperasi Distribusi Indonesia (KDI), Nurdin Halid, tidak memperoleh remisi. dri

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=309470&kat_id=6


Sabtu, 29 September 2007

Mantan Napi Bisa Jadi Senator

Jakarta - Surya

Gagasan dibukanya peluang mantan narapidana (napi) untuk dicalonkan sebagai senator atau anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai membingungkan.
Di satu sisi, pemberian peluang kepada napi itu merupakan penghormatan terhadap HAM. Namun, di sisi lain justru dinilai sebagai upaya parpol melindungi para kader yang pernah terjerat proses hukum.

Perdebatan itu terungkap dalam diskusi interaktif di DPD Senayan, Jakarta, Jum'at (28/9). Wacana napi jadi senator itu pertama kali muncul ketika Partai Golkar mengajukan DIM dalam pembahasan RUU Pemilu oleh Pansus RUU di DPR.
Golkar mengajukan syarat agar calon DPD adalah orang yang tidak sedang menjalani hukuman pidana 5-10 tahun. PDIP juga mengajukan hal yang sama, namun menegaskan syarat bahwa orang itu tidak sedang terancam pidana.

Partai Demokrat mensyaratkan agar orang yang dicalonkan itu tidak sedang menjalani tahanan selama 2 tahun. Wacana ini sebenarnya ada dalam UU 12/2003 tentang Pemilu.
Sementara partai lain cenderung mempertahankan persyaratan calon sesuai dengan konsep pemerintah, yaitu calon tidak pernah diancam dan dipidana. Ketentuan itu ada dalam UU 32/2004 tentang Pemerinthan Daerah dan UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Anggota Pansus RUU Pemilu dari FPKB DPR Saifullah Ma'soem menyatakan mendukung penghormatan hak politik seseorang. "Bila mantan napi itu sudah berperilaku baik, kenapa masih distigmatisasi,” ujarnya.
Dikatakan, Konstitusi UUD 1945 tidak menafikan hak seseorang dalam berpolitik. Dia sepakat bahwa pejabat itu harus bersih. Namun, seorang mantan napi pun bisa kemudian berperilaku bersih.

Sedangkan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti menilai gagasan itu membingungkan. Sebuah UU, katanya, merupakan produk hukum positif yang tidak bisa didasaran pada faktor pertimbangan moralitas. Menurutnya, UU seharusnya memberikan penegasan apa yang dibutukan oleh masyarakat.

"Kalau melihat HAM dan Konstitusi, tetapkan saja kalau konsisten, ya liberakan saja. Buka saja semuanya. Jadi, di sini, penyaring utamanya adalah partai politik dan masyarakat pemlih. Namun, di sini, ambigunya adalah sepertinya ada jalan tengah atau kompromi di dalamnya," kata Bivit.

Hanya saja, dalam wacana ini yang ditekankan adalah persyaratan calon bagi DPD. Bila wacana ini diterapkan, maka tidak ada saringan awal bagi calon DPD dari eks napi. Itu jelas berbeda bila pengajuan calon itu dari parpol. "Ini yang menyulitkan," tegasnya. JBP/yat

http://www.surya.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=21939&Itemid=30

Jumat, 28 September 2007

ICW Tolak Pencalonan Mantan Narapidana

Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak adanya rencana narapidana (napi) dapat mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada pemilu 2009 nanti.

JAKARTA (SINDO) –Koordinator Bidang Korupsi Politik ICW Ibrahim Fahmi Badoh menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pencalonan mantan napi jadi wakil rakyat. Menurut dia, politikus di negara yang sedang menuju transisi ke demokrasi yang dewasa, membutuhkan orangorang yang tidak mempunyai cacat hukum.

Politikus yang cacat hukum akan membuat kepentingan umum akan makin terpinggirkan dalam pembuatan kebijakan.“Bukan berarti setelah menjalani hukuman kemudian persoalan cacat hukum itu selesai. Tindak pidana, itu berarti ada pelanggaran hukum yang menyangkut kejahatan publik. Jadi kalau mereka telah melakukan hal itu,sangat mungkin mereka tidak akan mengindahkan kepentingan- kepentingan publik.Ini berbahaya bagi publik jika ada politikus seperti ini lolos ke Senayan,” jelasnya.

Fahmi menambahkan,penolakan terhadap wacana tersebut juga didasarkan pada masih belum bersihnya sistem peradilan kita. Dalam pandangan ICW, sistem peradilan di Tanah Air masih mudah diintervensi oleh kekuasaan dan uang.

“Dua hal ini kan dekat dengan para politikus. Kalau mereka sebelumnya cacat hukum, akan makin runyam persoalan,”sebutnya.

Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala berpendapat, usulan DPR yang memperbolehkan seorang mantan napi menduduki jabatan anggota DPD dinilai tidak realistis dan perlu dipertanyakan dasar argumennya. Menurut Adrianus, melonggarkan sebuah aturan seharusnya diikuti dasar-dasar yang kuat.

“Ini sebuah usulan yang tidak masuk akal. Seakan-akan di negeri ini sudah tidak ada SDM yang layak sampai-sampai memberi kelonggaran seorang mantan napi menduduki jabatan publik,” katanya kepada SINDO,tadi pagi.

Dari sisi psikis, seseorang yang pernah mengenyam sel penjara apalagi dalam waktu yang cukup lama, akan banyak mendapat kesulitan jika harus duduk di jabatan publik.Selain kurang percaya diri, penolakan juga akan datang dari masyarakat. “Memang kesalahan mereka sudah ditebus dengan hukuman di penjara. Tapi pengaruh penjara akan membekas di ingatan seseorang. Belum lagi nantinya akan mendapat penolakan dari masyarakat,” katanya.

Dia berasumsi, untuk dapat menduduki jabatan publik, seseorang harusnya memenuhi beberapa unsur. Selain tidak bertentangan dengan aturan legal formal juga tidak mendapat penolakan dari masyarakat. “ Tentu sebuah kemunduran jika DPR kembali berpikir persoalan itu,”katanya.

Sementara itu, anggota komisi II DPR Chozin Chumaidy mengatakan, hak politik mantan narapidana tidak perlu dikekang karena melanggar hak asasi manusia. Sebab, setiap warga negara yang telah selesai menjalani masa hukuman,dia berhak dipilih sebagai anggota DPD.

“Orang yang sudah selesai menjalani hukumannya, maka dia sudah mempunyai hak berpolitik yang sama dengan warga negara lain.” Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menilai, mantan napi punya hak untuk dipilih sebagai anggota DPD.

Chozin menyebutkan, tidak adil jika seseorang yang sudah selesai menjalani hukuman tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPD . Lebih lanjut, jelas Chozin, seharusnya masyarakat yang berhak memberikan penilaian apakah mantan napi berhak menjadi anggota DPD atau tidak.

”Terpilihnya mantan napi sebagai anggota DPD tergantung dari pemilihan umum.Dan rakyatlah yang berhak menentukannya,”katanya.

Pakar Psikologi dari Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY),Khaeruddin Bashori menilai, usulan diperbolehkannya mantan napi menjadi calon DPD sebaiknya dipertimbangkan. Karena berhubungan langsung dengan kematangan kompetensi dan kejiwaan seseorang.

’’Masyarakat harus lebih berhati- hati dengan track record apakah dia sudah insaf atau belum. Karena itu,syarat menjadi anggota DPD harus benar-benar diperketat apakah dia memiliki kompetensi tertentu,”kata Khaeruddin.

Menurut Khaeruddin,permasalahan utama dari mantan napi kejiwaan. Artinya, apakah mereka bisa lolos dalam kualifikasi pencalonan. Hal itu yang menjadi persoalan untuk bahas terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh.Namun, ujar Khaeruddin,semuanya dikembalikan pada wakil rakyat.’’Merekalah yang akan menentukan diperketat atau tidaknya syarat pencalonan tersebut,’’ paparnya.

Namun, jelas Khaeruddin, hal tersebut sangat tergantung pada pribadi yang bersangkutan, apakah para mantan napi tersebut benarbenar berubah atau masih ada persoalan kejiwaan menyangkut pribadinya. (purwadi/ekobudiono/ arifbudianto/helmi firdaus)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/nasional-sore/icw-tolak-pencalonan-mantan-narapidana.html


Praktik Pungli Marak di LP Cipinang - koranindonesia.com

Kamis, 27 September 2007

Mantan Narapidana Berhak Memilih dan Dipilih

Jakarta- Mantan narapidana yang telah selesai menjalani hukuman, mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya baik untuk memilih maupun dipilih dalam pemilu. Pembatasan atau bahkan pengabaian hak mereka, sama saja merampas hak-hak politik mereka.

“Jadi, hak konstitusi warga negara untuk dicalonkan tidak boleh dicegah UU, karena hukum yang lebih tinggi, yakni UUD’45 sangat menghormati hak politik warganegara,” ujar anggota Pansus RUU Pemilu dari FPDIP, Irmadi Lubis, Rabu (26/9).
Masalah hak politik mantan narapidana ini menghangat dibahas dalam rapat Pansus RUU Pemilu yang dihadiri Mendagri Mardiyanto dan Mensesneg Hatta Radjasa. Pemerintah berpatokan pada UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang menyebutkan syarat bagi calob legislatif antara lain tidak pernah dijatuhi hukuman berkuatan hukum tetap dengan ancaman minimal 5 tahun.

Namun, Irmadi menjelaskan, dalam pembuatan UU harus merujuk UUD’45. Pasal 27 (1) UUD’45 disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

“Kalau seseorang sudah bebas menjalani hukumannya, dia kembali menjadi warga negara biasa. Jangan berfikir dia tetap selamanya menjadi orang hukuman. Jadi, jangan dihambat,” katanya.

FPDIP katanya, akan memperjuangkan agar mereka yang pernah menjalani hukuman bsia dicalonkan. Untuk itu pun ada penyaringannya lagi, yaitu pemeriksaan kesehatan/psikologi, apakah yang bersangkutan akan mengulangi perbuatannya dan juga ada jerat hukum jika mengulang lagi perbuatannya. (suradi)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0709/27/nas04.html

DPD Nilai DPR Jalan Mundur, Usulkan Mantan Napi Jadi Anggota DPD

JAKARTA – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai usulan DPR mengenai mantan nara pidana (napi) boleh menjadi anggota DPD merupakan langkah mundur. Ketua Pansus RUU Politik DPD Muspani mengaku heran dengan usulan dari DPR.

Menurut dia, seharusnya syarat keikutsertaan dalam pemilu diperketat bukan sebaliknya. Sebab, kata dia, dengan sistem yang lebih ketat peluang untuk menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas semakin besar.

“DPD tidak suka yang gitu-gituan (melonggarkan persyaratan). Kalau DPR mempunyai usulan seperti itu berarti langkah mundur,” kata Muspani Kamis (27/9/2007).

Diberitakan sebelumnya, Fraksi Partai Golkar (F-PG) mengusulkan agar mantan narapidana yang dipenjara di bawah lima tahun bisa mencalonkan sebagai anggota DPD pada pemilu mendatang.

Usulan tersebut tertuang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) nomor 108 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Pendapat serupa dilontarkan oleh Fraksi PDIP (F-PDIP). Bedanya, F-PG menitikberatkan pada besaran vonis yang diterima seseorang.

Bagi yang mendapat vonis di bawah lima tahun diusulkan bisa mencalonkan. Sedangkan F-PDIP menitikberatkan pada ancaman vonis yang akan dijatuhkan. Bagi seseorang yang sedang menjalankan vonis tetap dengan ancaman di atas lima tahun tidak berhak mencalonkan.

Muspani menjelaskan, perilaku wakil rakyat harus benar-benar bersih. Untuk itu, diperlukan syarat-syarat yang ketat sebab mereka dipilih secara langsung. Menurut dia, Undang-Undang (UU) nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu masih layak digunakan. “Jadi kalau sudah terancam di atas lima tahun seharusnya tidak bisa mencalonkan,” tegas dia.

Anggota DPD asal Bengkulu ini menambahkan, seseorang yang belum teruji secara hukum seharusnya tidak menjadi figur publik. Dia menilai sistem demokrasi di Indonesia belum terlalu mapan untuk memperlonggar persyaratan. “Demokrasi di Indonesia masih membutuhkan aturan yang ketat,” terangnya.

Pendapat serupa disampaikan analis politik dan kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Andrinof A. Chaniago. Menurut dia, usulan fraksi-fraksi besar di DPR itu justru tidak progresif. Seharusnya, kata Andrinof, parpol mengambil momentum pembahasan RUU Pemilu untuk memajukan demokrasi, bukan sebaliknya.

“Salah satu upaya untuk memajukan demokrasi dengan memperketat syarat pencalonan,” kata dia.

Dia berpendapat, sikap fraksi-fraksi dalam pembahasan RUU Pemilu tersebut akan dinilai oleh publik. Karena itu, parpol harus pandai memanfaatkan situasi dengan tidak melakukan blunder. Andrinof menambahkan, reputasi seseorang yang pernah dijatuhi hukuman pidana akan jatuh.

“Hal itu sudah menjadi budaya di negara ini. Setiap orang yang pernah mendapat hukuman, pasti mendapat penilaian buruk dari masyarakat,” terang Andrinof.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono mengatakan, usulan F-PG

tersebut bukan muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui pengkajian lebih mendalam. Agung menjelaskan, larangan pencalonan bagi mantan napi bisa dikategorikan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

“Dengan adanya larangan itu, mantan napi tidak punya kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat,” terang Agung.

Ketua DPR RI ini menambahkan, seharusnya seseorang yang telah menjalani masa hukuman mendapatkan kembali hak-hak publik. Terlebih lagi, kata Agung, larangan pencalonan tersebut didasarkan pada besaran ancaman hukuman. Padahal, tidak sedikit mantan napi sudah berperilaku baik, bahkan melebihi orang yang tidak pernah dipenjara.

Dia membantah, usulan tersebut hanya untuk kepentingan Golkar. Menurut dia, hal itu untuk kepentingan masyarakat secara luas. “Sama sekali tidak benar. Ini bukan hanya untuk kepentingan Golkar,” kata dia kepada wartawan. (ahmad baidowi/sindo/fit)


http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=50108&Itemid=67


UU PARPOL DAN UU PEMILU HARUS BERPIHAK KEPADA RAKYAT

Jakarta--RRI-Online, Undang-Undang Partai Politik dan UU Pemilu, yang Rancangan Undang-undang (RUU)-nya kini sedang dibahas di DPR, harus betul-betul demokratis dan berpihak kepada rakyat.

"Kedua UU itu nantinya tidak boleh memihak kepada siapapun, kecuali berpihak kepada rakyat dan menjamin hak-hak demokratis setiap orang," kata Ketua Umum DPP Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) Brigjen TNI (Purn) Tarida Sinambela S.IP kepada pers di Jakarta, Sabtu (29/9).

Dengan demikian, katanya, kedua UU itu diharapkan tidak dimaksudkan melalimi partai-partai politik baru, tetapi justru menciptakan persaingan sehat, yang semua diarahkan untuk kepentingan rakyat.

Sinambela menandaskan, partainya telah berkomitmen bahwa selama apa yang dirumuskan dalam UU Parpol maupun UU Pemilu betul-betul demokratis, tidak memihak, tidak bermaksud melalimi, berpihak kepada rakyat, dan menjamin hak-hak demokratis rakyat akan didukung.

"Kami sudah berkomitmen untuk mendukung hasil terbaik yang diputuskan DPR dalam UU itu nanti, sepanjang tidak bertentangan dengan kriteria-kriteria yang kami sebutkan tadi," katanya setelah memberikan santunan berupa bingkisan Lebaran dan sejumlah uang kepada sekitar 500 warga Pondok Bambu, di mana kantor pusat partai tersebut berada.

"Kami berusaha loyal kepada UU yang diputuskan DPR. Sebelum memimpin, kami siap untuk dipimpin," kata Sinambela berkelakar.

Selain memberikan santunan berupa bingkisan, para pengurus DPP PPRN juga mengadakan acara buka puasa bersama anak-anak yatim, para duafa, dan orang-orang lanjut usia di kantor pusat partai itu.

Seorang pemuka masyarakat setempat pada kesempatan itu menyatakan terimakasih atas kepedulian PPRN selama ini, antara lain memberikan bantuan dan pengobatan gratis saat daerah sekitarnya dilanda banjir beberapa waktu lalu.

PPRN saat ini sudah membentuk Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di 33 provinsi dan 420 DPD tingkat kabupaten/kota. "Saat ini kader dan anggota PPRN sudah sampai ke desa-desa dan kecamatan," katanya.

Ditanya mengenai perdebatan calon legislatif (caleg) bekas napi di DPR, Sinambela mengatakan, hal itu harus dilihat dulu konteksnya.

"Kalau mantan napi korban politik tak boleh ikut sebagai caleg pemilu itu jelas tidak adil, tapi jika mantan napi koruptor, pemerkosa, sebaiknya kita tolak, karena mereka akan menjadi pemimpin dan panutan bangsa. Karena itu, pemimpin masa depan harus didasari moral yang bersih dan kuat," ujarnya.

Sinambela menegaskan, seorang napi pada dasarnya tak pernah kehilangan hak demokrasinya untuk memilih dan dipilih, namun semua itu harus mengacu pada moralitas, karena caleg adalah calon pemimpin bangsa. (WD)

http://www.rri-online.com/modules.php?name=Artikel&sid=33186

Senin, 17 September 2007

Konflik Laten di Lembaga Pemasyarakatan

SUARA PEMBARUAN DAILY
Oleh Didin Sudirman

Ketika kehidupan masyarakat masih sederhana, setiap pelanggaran hukum dapat diselesaikan pada saat itu juga. Pemimpin formal yang juga biasa bertindak sebagai hakim, menyelesaikan konflik segera setelah perbuatan dilakukan, sehingga tidak diperlukan tempat untuk menahan para pelanggar hukum.

Seiring makin kompleksnya kehidupan masyarakat, fungsi tempat penahanan bagi pelanggar hukum menjadi kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Hakim membutuhkan waktu untuk memutuskan suatu perkara, sehingga sambil menunggu putusan, pelanggar hukum ditempatkan dalam suatu bangunan.

Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, fungsi bangunan penjara dipandang sebagai bangunan yang keefektifannya sering diperdebatkan. Karena menurut pengalaman para cendekiawan, yang kebetulan merasakan pahit getirnya penjara, kehidupan di penjara cenderung dapat menimbulkan dehumanisasi. Seperti dikemukakan dalam The Implementation Standard Minimum Rules for The Treatment Of Prisoners, secara sosiologis, kehidupan dalam penjara sering kali memperlihatkan ciri-ciri yang sama dengan kondisi masyarakat yang memudahkan timbulnya suatu perilaku menyimpang (kejahatan).

Secara psikologis penempatan orang dalam penjara, pada hakikatnya adalah merupakan upaya pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Karena itulah penghuni mengalami kesakitan yang diakibatkan kehilangan-kehilangan. Baik kehilangan akan rasa aman, kehilangan relasi seksual, kehilangan otonomi, maupun kehilangan kekuasaan atas barang-barang yang dimilikinya. Berdasarkan teori supplay and demand, kondisi itu dapat meningkatkan permintaan.

Ketika permintaan meningkat, penawaran akan meningkat. Ketika penawaran meningkat harga (nilai) pun akan tinggi.
Smelser, dalam Sosiologi Ekonomi, menyatakan, supplay and demand dalam hubungannya dengan faktor lain, selalu menjadi variabel berpengaruh (dependent variables). Berarti, pengekangan kebebasan dalam suatu pemenjaraan, akan berdampak kepada hubungan sosiologis antara petugas (yang powerful) dan penghuni penjara (yang powerless).

Hubungan kekuasaan yang tidak seimbang itu akan menumbuhkan konflik laten dan terus-menerus dalam sebuah sistem sosial masyarakat penjara.
Sebagaimana layaknya sebuah konflik, demi eksistensi sistem, sistem akan menciptakan mekanisme untuk meredam konflik tersebut sehingga tidak destruktif terhadap sistem.
Mekanisme tersebut, dalam sosiologi, disebut dengan proses akomodasi. Akomodasi adalah suatu upaya meredam konflik melalui tukar-menukar kepentingan di antara dua kubu yang mengalami konflik. Dengan demikian diharapkan konflik dapat diredam, dan sistem akan mengalami keseimbangan.

Pertukaran Kepentingan
Secara ideal, proses akomodasi harus berlangsung melalui sistem formal. Pada intinya, tukar-menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku. Hak-hak penghuni, yang pada hakikatnya merupakan berbagai keringanan untuk mengatasi kesakitan-kesakitan yang dialami narapidana, dipertukarkan dengan kelakuan baik.
Hak-hak penghuni yang dijamin undang-undang, dijadikan modus/sarana terciptanya kondisi dan perilaku yang diinginkan (conditioning operant). Dalam kondisi itulah, fungsi penjara (lembaga pemasyarakatan) dapat diharapkan sebagai tempat untuk mengubah tingkah laku penghuninya dari yang tidak baik menjadi perilaku yang terpuji.

Namun secara faktual, kondisi ideal tersebut sering kali sulit dicapai, diakibatkan berbagai kondisi. Antara lain masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan petugas, dan di sisi lain adanya kecenderungan status sosial ekonomi narapidana makin tinggi.
Keadaan itu, pada gilirannya menimbulkan hubungan yang tidak seimbang secara ekonomi, antara beberapa golongan penghuni dengan oknum petugas. Akibatnya, proses akomodasi berlangsung pada tataran informal. Hal itu berarti, pertukaran kepentingan terjadi antara penghuni dan oknum petugas secara perorangan. Kalau demikian halnya, tidak dapat dielakkan, terjadi KKN antara petugas dan penghuni. Berbagai kejadian dan peristiwa yang selalu disiarkan media massa adalah cerminan proses itu.

Dalam The Implementation Standard Minimum Rules for The Treatment Of Prisoners dinyatakan, syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan adalah integritas moral, profesional, memiliki rasa kemanusiaan dan pekerjaan itu cocok dengan hati nuraninya. Maka upaya yang harus ditempuh manajemen pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi terbentuknya petugas yang memenuhi persyaratan tersebut, melalui proses perekrutan, pendidikan dan latihan, pembinaan karier dan lain sebagainya.

Menghadapi Preman
Sebagai praktisi, baik sadar atau tidak sadar, penulis pernah memperlakukan narapidana yang memiliki kualitas khusus, didasarkan reputasinya sebagai "preman" karena di berbagai lapas selalu membuat kekacauan. Ia mulai ditahan di Rutan Salemba. Karena membuat keributan ia dipindahkan ke Lapas Cipinang, kemudian ke lapas di Semarang.

Dari Semarang, dipindahkan lagi ke Lapas Kelas I Tangerang karena alasan yang sama. Baru dua hari di Lapas Kelas I Tangerang, dipindahkan lagi ke Lapas Pemuda Tangerang, karena ribut lagi dengan bekas lawannya (pindahan dari Rutan Salemba).
Menganalisis karakternya, ia memiliki sifat-sifat: pemberani, kaya secara finansial sehingga apa pun (termasuk kekuasaan/aturan) bisa ia peroleh dengan jalan "dibeli", punya backing, bahkan pernah sesumbar bisa memindahkan pejabat lapas (LP) karena kenal dekat dengan pejabat tinggi. Setiap kejadian yang menyangkut dirinya, selalu diiringi aroma KKN disertai "korban" petugas yang mendapat hukuman disiplin.

Selaku Kepala Lapas Pemuda Tangerang saat itu, penulis sangat menyadari sedang berhadapan dengan narapidana istimewa. Kalau salah menyikapinya, akan terjadi keributan dan tak mustahil menelan "korban" pegawai yang dapat dipengaruhi kekuasaan finansialnya, seperti dialami petugas di lapas lain sebelumnya.

Atas dasar itu, pilihannya adalah memanggilnya dan mengajaknya berbincang dari hati ke hati. Dari komunikasi tersebut penulis ingin menyatakan,:

pertama, penulis mengakui ia mempunyai kekuasaan (baik secara finansial maupun koneksi).

Kedua, menunjukkan penulis juga punya kekuasaan (walaupun perlu mendapat dukungan dari pimpinan).

Ketiga, mengetahui salah satu yang paling ditakuti setiap narapidana adalah dipindahkan ke Nusakambangan.

Keempat, menyatakan penulis tidak dapat dibeli dengan harga seberapa pun. Kelima, sikap istiqomah adalah segala-galanya -hal yang biasanya paling disegani narapidana, apalagi di mata sekaliber preman, karena mereka tahu bahwa di balik sikap demikian terdapat sikap berani menanggung risiko.

Pada awal-awal menjalankan pidananya di Lapas Pemuda Tangerang, ia sering kali mengetes pegawai untuk menyimpang dari aturan, namun selalu gagal, karena petugas sudah dikondisikan untuk tidak "main api" dengan penghuni tersebut. Mungkin menyadari kondisi di lapas itu agak berbeda dari lapas lainnya, dengan terpaksa ia harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.

Sejak itu, ia menjadi penghuni yang baik dan bahkan mendapat program Pembebasan Bersyarat. Istimewanya lagi, istrinya pun berterima kasih, bahkan mengakui setelah menjalani pidana di Lapas Pemuda, perangai suaminya berubah. Jika sebelumnya sangat pemarah dan emosional, menjadi lebih tenang dan lebih dewasa.

Resep
Tidak ada "resep" yang sama untuk menghadapi/membina narapidana yang berbeda, karena setiap orang adalah unik, karena itu satu sama lain harus diperlakukan berbeda. Maka tak heran, dalam sistem pemidanaan mutakhir dikenal istilah "individualisasi pemidanaan" (Muladi). Artinya, tak semua pen-curi ayam dipidana dengan hukuman yang sama. Hal itu sangat tergantung dari berbagai aspek, termasuk motivasi dan latar belakang mengapa ia melakukan pelanggaran hukum. Analog dengan model hukum yang demikian, perlakuan terhadap narapidana pun dapat dibedakan satu sama lain, tergantung pada kebutuhan pembinaannya.

Dari ceritera di atas dapat diambil kesimpulan,"karakter" dan pengetahuan yang dimiliki seorang petugas, apalagi dilakukan secara konsisten antara sikap dan tindakan, pada gilirannya dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas di lapas.

Penulis adalah praktisi pemasyarakatan dan kini Kepala Kanwil Dephukham DKI Jakarta
________________________________________
Last modified: 13/9/07

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/09/14/index.html

Minggu, 16 September 2007

Mengendalikan Pabrik Ekstasi dari Lapas


Inilah dampak kemajuan zaman. Sebuah pabrik ekstasi bisa beroperasi berkat kerja sinergi dari manusia-manusia yang terpisah tembok penjara.

Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Jawa Timur baru-baru ini membongkar pabrik ekstasi—sejenis narkoba yang populer di kalangan para pencandu di kota-kota besar—di Jalan Manyar Sabrangan, Surabaya. Hebatnya lagi, pabrik obat terlarang ini didirikan oleh sejumlah narapidana (napi) dari tiga lembaga pemasyarakatan (lapas) lewat telepon genggam (handphone/HP).

"Modusnya tergolong baru karena produksi di luar penjara, tetapi cara meracik dikendalikan para napi dari tiga lapas melalui handphone. Mereka semua pemain lama," kata Direktur Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) Komisaris Besar Coki Manurung di Surabaya, Kamis pekan lalu.

Pengendali pabrik ekstasi di Jalan Manyar Sabrangan, Surabaya, adalah Kurniawan Jeri (30) dari Lapas Sidoarjo dengan dibantu Rizal (28), yang mengelola "pabrik" Manyar Sabrangan.

"Kurniawan Jeri mengajari Rizal lewat HP. Sedangkan racikan ekstasi diperoleh Kurniawan Jeri dari Gunawan Sukyatno yang menjalani hukuman tujuh tahun di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Surabaya di Medaeng," katanya.

Bahan bakunya? Ternyata berasal dari dokter Welly (44) yang mendekam di Lapas Pamekasan, Madura. Welly merupakan residivis yang pernah sekali ditangkap Polwiltabes Surabaya dan dua kali ditangkap Polda Jatim.

"Jadi, Rizal merupakan kurir yang mengelola pabrik ekstasi di Manyar Sabrangan dengan pengendali napi di Lapas Sidoarjo serta mengambil bahan baku milik napi di Lapas Pamekasan," kata Manurung.

Tiga tersangka lainnya adalah Johanes (54) dan Joko (40) yang berasal dari Rutan Medaeng, tetapi keduanya pernah satu blok di Rutan Medaeng dengan Kurniawan Jeri yang sekarang berada di Lapas Sidoarjo.

"Ada juga tersangka Amir yang berada di Lapas Sidoarjo, tetapi perannya masih kami kembangkan karena masih ada dua buron lagi yang hingga kini belum tertangkap. Yang jelas, kami dibantu Kepala Lapas Sidoarjo, Kepala Lapas Pamekasan, dan Kepala Rutan Medaeng dalam pembongkaran jaringan itu," kata Coki Manurung menegaskan.

Ditanya tentang waktu pabrik ekstasi Manyar Sabrangan beroperasi, ia menyatakan, tujuh tersangka itu sudah melakukan bisnis ekstasi sejak Desember 2006.

"Dalam sepekan, mereka bisa dua kali panen dengan setiap kali panen bisa memproduksi 150 gram ekstasi sehingga hasilnya dapat mencapai Rp 1 miliar dalam sebulan," katanya.

Tentang barang bukti yang disita dari pabrik ekstasi di Jalan Manyar Sabrangan, Surabaya, ia menuturkan, 1.028 butir ekstasi dan 62,3 gram sabu.

"Kami menemukan bahan-bahan itu dari ruang tamu kontrakan Rizal di Jalan Manyar Sabrangan, Surabaya, termasuk buku tabungan, kartu ATM, dan seperangkat alat produksi," katanya.

Namun, lanjutnya, pihaknya juga menemukan sejumlah barang bukti dari dalam tiga lapas, yakni di dalam Rutan Medaeng, Lapas Sidoarjo, dan Lapas Pamekasan.

"Dengan bantuan Kepala Lapas Sidoarjo, kami menemukan barang bukti berupa tiga bungkus ekstasi seberat 2,5 gram, lima butir pil ekstasi HF, dua alat bong, enam HP, dan seperangkat alat isap," katanya.

Di Lapas Pamekasan, katanya, pihaknya menemukan serbuk bahan ekstasi dalam tiga tempat yang beratnya 2,3 gram, 0,7 gram, dan 0,3 gram. Adapun dari Rutan Medaeng ditemukan 0,3 gram serbuk ekstasi, 3 butir ekstasi, 12 butir ekstasi HF, bong, alat isap, dan empat telepon genggam. Waduh...! (Antara)

http://www.kompas.com/


Sabtu, 15 September 2007

Revitalisasi Peran Rutan atau Penjara

Pendekatan penanganan rutan pasca terbongkarnya pemakaian, peredaran, produksi dan pengendalian di berbagai rutan di Jatim, tidak boleh bersifat ad hoc melainkan harus bersifat strategis, komprehensif dan berkelanjutan.

Baru-baru ini Direktorat Narkoba Polda Jawa Timur berhasil membongkar jaringan narkoba yang ternyata dikendalikan dari tiga rumah tahanan (rutan) dan lembaga permasyarakatan (lapas) yakni Rutan Kelas 1 Surabaya Medaeng, Lapas Sidoarjo dan Lapas Pamekasan (Surya, 14/09).

Dari penggrebekan ini, polisi berhasil menyita 1.300 pil ekstasi dan 63,7 gram sabu-sabu dari lokasi pabrik milik Rizal, kaki tangannya Kurniawan Jerry, seorang narapidana (napi) Lapas Sidoarjo. Penemuan polisi ini mengindikasikan terjadinya ragam pergeseranparadigma rutan/lapas.

Pertama, paradigma bahwa rutan menjadi tempat pembentukan warga binaan agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana sesuai Undang-Undang No. 12/1995 Pasal 2, kini telah berubah menjadi tempat
pembinaan/pembentukan menjadi penjahat ulung yang semakin kreatif.

Roh dari UU No. 12/1995 menuntut adanya pembinaan secara vertikal dari petugas ke napi tetapi realitas empirik membuktikan bahwa sub-kultur horisontal yakni pembinaan antarnapi justru menjadi kultur yang lebih kuat ketimbang kultur utama tadi. Dengan kata lain, terjadi gap antara what is (deskripsi) dan what ought (preskripsi). Publik kerap terjebak kepada pemahaman preskriptif dan lupa kepada realitas deskriptif.

Kedua, dalam realitas kejahatan di rutan, terjadi pergeseran paradigma, sebagai contoh, dalam kasus narkoba, dari pemakai, pengedar, produsen hingga kepada otak pengendali. Bahwa narkoba dikonsumsi dan beredar luas di dalam rutansudah bukan rahasia lagi. Rutan/ malah berkembang menjadi tempat produksi narkoba.

Pada akhir Mei 2007lalu, aparat gabungan dari Polwiltabes Surabaya, Polres Sidoarjo dan sipirRutan Medaeng, berhasil menemukan 1,4 kilogram sabu-sabu, 6,1 kilogram
ganja kering, 168 butir ekstasi dan uang Rp 3,2 juta. Kini, justru polisi menemukan lagi bahwa rutan bukan hanya menjadi tempat produksi tetapi pengendali peredaran narkoba di luar. Heran, yang "tidak bebas" kok bisa mengendalikan yang "bebas". Bisa saja, praktek seperti ini sebenarnya telah lama subur di berbagai rutan tetapi baru ketahuan sekarang.

Ketiga, dengan memparadigma rutan sebagai sistem tertutup terbukti dari sistem pengamanan yang demikian ketat agar terhindar dari kaburnya napi, justru berefek samping menjadikan hotel prodeo tersebut tempat legitimasi dan reproduksi kejahatan.

Karena bersifat tertutup
maka persekongkolan kolutif antarnapi dan sipir menjadi sulit terdeteksi. Hal inilah yang menyebabkan bertumbuh suburnya kejahatan dan pergeseran serta peningkatan paradigma kejahatan sebagai mana diurai di atas.

Merevitalisasi Peran
Dengan fakta pergeseran paradigma tersebut maka perlu upaya strategis-teknis merevitalisasi kembali peran rutan.

Pertama, perlunya kontrol sosial publik terhadap rutan dengan membuka akses
masuk bagi kepolisian serta media massa agar kehidupan rutan tidak menjadi sarang mafia. Semakin terbukanya akses bukan tanpa resiko karena dengan demikian maka jalur distribusi kejahatan juga akan semakin terbuka lebar.

Hal ini dapat disolusi dengan kerjasama sinergis periodik antar rutan dengan pihak kepolisian/media massa sehingga fungsi kontrol yuridis dan publik tetap bisa berjalan tentunya disertai dengan pengaturan mekanisme yang ketat.

Jangan sampai rutan menjadi tempat
yang imun dari jangkaun hukum sehingga justru lebih mengerikan ketimbang istana dikator yang tidak bisa tersentuh hukum dalam negara totaliter karena diktator bersifat tirani mengatur tetapi rutan bersifat anarkis dan merusak.

Kedua, stigmatisasi masyarakat terhadap narapidana sebagai orang
bermasalah dan sampah masyarakat justru akan menimbulkan efek legitimasi rutan sebagai komunitas dengan sense of togetherness dan counter sub-culture yang baru dan kuat.

Dengan kata lain, di luar rutan
dicaci maki tetapi di dalam rutan diterima baik. Hal ini menyebabkan, nilai alternatif dianut dan berkembang di dalam rutan. Jika penggunaan narkoba dilarang dan dikutuk di luar rutan tetapi karena stigmatisasi maka rutan bukan saja menjadi tempat paling baik menggunakan narkoba
tetapi juga untuk mengedarkan dan memproduksi. Selain itu, stigmatisasi juga berdampak keengganan publik untuk melakukan kontrol sosial terhadap rutan.

Perbedaan stigmatisasi ini menyebabkan misalnya, publik amat mengontrol kehidupan kampus IPDN tetapi membiarkan kehidupan internal rutan berjalan tanpa kontrol sosial. Oleh sebab itu, perlunya perubahan pemahaman publik dengan mengedepankan peran lembaga-lembaga:
keluarga, pendidikan, keagamaan dan media massa, agar stigmatisasi terhadap narapidana dapat dielimir secara gradual.

Ketiga, pendekatan penanganan rutan pascaterbongkarnya pemakaian, peredaran, produksi dan pengendalian di berbagai rutan di Jatim, tidak boleh bersifat ad hoc melainkan harus bersifat strategis, komprehensif dan berkelanjutan. Pengalaman penanganan kasus kekerasan di IPDN yang pada 2003 menimbulkan korban dan pada 2007 kembali jatuh korban,
disebabkan penanganannya bersifat reaktif dan bukan komprehensif.

Karena itu, bagi pihak terkait dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaan, Kepolisian dan lainnya, agar benar-benar memikirkan suatu pendekatan penanganan rutan secara serius, transparan dan berakuntabilitas agar di kemudian hari, kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi.

Penanganan ini melibatkan setidaknya lima variabel penting yakni sistem, personel, kultur, sarana prasarana dan anggaran. Sistem merupakan keseluruhan substansi dan model pengawasan dan pembinaan yang diadakan dalam rutan perlu mendapatkan kajian dari para akademisi dan pihak berkompeten, apakah masih efektif dan efisien atau jangan-jangan sebenarnya tidak lagi tepat guna dan tepat nalar tetapi masih dipertahankan.

Sedangkan personel merupakan persoalan yang tidak mudah dicarikan solusinya karena harus memenuhi tuntutan rasio. Mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin pernah mengatakan, rasio antara petugas dan narapidana di Indonesia adalah sekitar 1:60 (satu petugas menangani 60 narapidana) bahkan di rutan tertentu mencapai 1:150 (hukumonline.com, 4/3/2005). Padahal idealnya satu petugas mengawasi maksimum 20 narapidana. Penambahan personel perlu mendapatkan agenda prioritas.

Masalah kultur penyelenggaraan pemasyarakatan merupakan masalah terutama. Upaya pembentukan kultur melalui keteladanan dan pendidikan berkelanjutan untuk membentuk petugas profesional merupakan pekerjaan rumah yang harus terus diupayakan penyelesaiannya. Selain itu, permasalahan sarana prasarana dan anggaran adalah permasalah riil di lapangan.

Sebagai contoh,
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Timur menyatakan bahwa dari 32 rutan/lapas yang tersebar di Jatim, 22 di antaranya telah mengalami kelebihan kapasitas. DIPA tahun 2006 tidak mengalokasikan biaya pemindahan narapidana dari rutan ke lapas dan narapidana narkotika ke lapas narkotika ( http://www.depkumham.go.id/). Tidak bisa tidak, penambahan sarana prasarana dan anggaran harus diupayakan jika menginginkan perbaikan pola kehidupan dalam rutan.

Antonius Steven Un
Ketua Sekolah Teologi Reformed Injili Malang



http://www.surya.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=20586&Itemid=40



Minggu, 02 September 2007

10 Tips Menghindari Pemerkosaan

  1. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda penderita AIDS ato positif HIV.
  2. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda tengah datang bulan.
  3. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda tengah hamil.
  4. Tawarkan pada si pemerkosa metode lain, misalnya oral. Jika ia mengiyakan, lakukan dan gigit Mr P nya sekeras mungkin. Lalu kabur lah sejauh mungkin.
  5. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda kebelet pipis.
  6. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda baru saja melakukan operasi ganti kelamin dan Katakan bahwa anda adalah homo.
  7. Jika si pemerkosa telah membuka bajunya dan anda tak punya cara lain untuk mengalihkan perhatiannya adalah dengan menarik bulu dadanya ato bulu keteknya sekeras mungkin.
  8. Berpura-puralah menjadi orang gila, teruslah tertawalah dan jangan terlihat panik, dengan demikian ia akan mengira bahwa anda sakit jiwa dan lalu meninggalkan anda.
  9. Jika si pemerkosa mencoba mencium anda, gigitlah lidahnya sekeras mungkin, jika bisa hingga ia berdarah.
  10. Jika semua cara tidak berhasil dan anda semakin dekat dengan pemerkosaan, tanyakan pada si pemerkosa, apakah ia mau memakai alat pengaman

    http://humorterbaik.blogspot.com/2007/08/10-tips-menghindari-pemerkosaan.html

Sabtu, 01 September 2007

REMISI DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN INDONESIA

Menurut Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.174 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Merujuk pada Keppres tersebut, remisi dihitung pada saat menjalani masa pidana dan tidak dihitung dengan mengakumulasi masa penahanan.


DASAR HUKUM PEMBERIAN REMISI

  1. Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (pasal 14).
  2. Keputusan Presiden RI No.174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
  3. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No.M.09.HN.02-01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keppres No.174 Tahun 1999 tentang Remisi.
  4. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Didik.
  5. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.03-PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
  6. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.01-HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusu Bersyarat serta Remisi Tambahan.

Ada beberapa jenis remisi pada Sistem Pemasyarakatan Indonesia :

Remisi Umum : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.

Remisi Khusus : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada Hari Besar Keagamaan yang dianut oleh yang bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak-banyaknya I (satu) kali dalam setahun bagi masing-masing agama.

Remisi Tambahan : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukanperbuatan yang membantu kegiatan lembaga pemasyarakatan.

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai Pasal ayat 7 UU.No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.


Hak-hak tersebut adalah :

  1. Hak untuk melakukan ibadah
  2. Hak untuk mendapat perawatan rohani dan jasmani
  3. Hak pendidikan
  4. Hak Pelayanan Kesehatan dan makanan yang layak
  5. Hak menyampaikan keluhan
  6. Hak memperoleh informasi
  7. Hak mendapatkan upah atas pekerjaannya
  8. Hak menerima kunjungan
  9. Hak mendapatkan remisi
  10. Hak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk mengunjungi keluarga
  11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat
  12. Hak mendapatkan cuti menjelang bebas,
  13. serta hak-hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku

Perlu diingat bahwa hak-hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis tetapi dengan syarat atau kriteria tertentu. Sama halnya dengan pemberian remisi.


Proses Pembinaan Narapidana
Ada 4 tahap dalam proses pembinaan narapidana Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Remisi sudah dapat dihitung semenjak yang bersangkutan yang telah berstatus narapidana menjalani masa pidana atau dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia disebut dengan menjalani proses pembinaan.

Dalam tahap pertama menjalankan proses pembinaan terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal ikhwal narapidana; sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Pada tahap ini, pembinaan dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum.

Pada
tahap kedua proses pembinaan, setelah yang bersangkutan telah menjalani 1/3 masa pidana yang sebenarnya, serta narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Yang dimaksud dengan narapidana telah menunjukkan kemajuan disini adalah dengan terlihatnya keinsyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku di Lembaga.

Setelah menjalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2 bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dengan sistem pengawasan menengah (medium security). Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum.

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan
tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.

Besarnya Remisi Yang Diberikan Kepada Narapidana dan Anak Pidana

A. Remisi Umum (17 Agustus)

a. Tahun Pertama apabila telah menjalani 6 bulan s/d 12 bulan, besarnya remisi 1 bulan.
b. Tahun Pertama apabila telah menjalani lebih dari 12 bulan, besarnya remisi 2 bulan.
c. Tahun Kedua, besarnya remisi 3 bulan.
d. Tahun Ketiga, besarnya remisi 4 bulan.
e. Tahun keempat, besarnya remisi 5 bulan.
f. Tahun kelima, besarnya remisi 5 bulan.
g. Tahun keenam, besarnya remisi 6 bulan.
h. Tahun ketujuh dan seterusnya, besarnya remisi 6 bulan
.
B. Remisi Khusus (Idul Fitri, Natal, Nyepi dan Waisak)

Tahun Pertama apabila telah menjalani pidana 6 bulan sampai dengan 12 bulan, diberikan remisi sebesar 15 hari.
Apabila telah menjalani 12 bulan atau lebih, diberikan remisi sebesar 1 bulan.
Tahun kedua dan ketiga, diberikan masing-masing 1 bulan.
Tahun keempat dan kelima , diberikan masing-masing 1 bulan 15 hari.
Tahun keenam dan seterusnya, diberikan remisi 2 bulan.

C. Remisi Tambahan
a. Berbuat jasa pada negara :

  • Membela negara secara moral, material dan fisik dari serangan musuh.
  • Membela negara secara moral, material dan fisik terhadap pemberontakan yang berupaya memecah belah atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI.
    Besarnya remisi : 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan
    .

b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan.

  • Menemukan inovasi yang berguna untuk pembangunan bangsa dan negara RI.
  • Turut serta mengamankan Lapas atau Rutan apabila terjadi keributan atau huru hara.
  • Turut serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan bencana alam di lingkungan Lapas, Rutan atau wilayah sekitarnya.
  • Menjadi donor darah 4 (empat) kali atau salah satu organ tubuh bagi orang lain.
    Besarnya remisi yang diberikan sebesar 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan.

c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas atau Rutan.

Pemuka kerja.
Melakukan pendidikan dan pengajaran kepada sesama narapidana dan anak didik.
Besarnya remisi yang diberikan 1/3 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan

Dengan mengetahui cara menghitung pemberian remisi maka masyarakat dapat membuat estimasi angka remisi. Angka remisi yang didapat tentunya akan mengurangi jumlah masa hukuman seorang narapidana, serta membuat seorang narapidana dapat lebih cepat kembali kepada keluarga dan masyarakatnya sebagai warga negara yang baik, menyongsong masa depan yang lebih baik.

------------------------
Oleh. Fatma Puspita Sari
Penulis adalah Staf pada Biro Humas dan HLN


http://www.depkumham.go.id/templates/NewsComment.aspx?pm3nc=1&params=Z3VpZD0lN2JCNTVEN0Y1Ny1BMDAwLTREQUQtQjg1RS0wQzRDQURCNkUwMEIlN2Q%3D