PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Sabtu, 29 Maret 2008

Pembebasan Napi Pun Dipercepat

Sumber: Republika

Pantai Karnaval Ancol, akhir 2006. Nick, mahasiswa tingkat dua salah satu perguruan swasta di Jakarta asyik berdansa bersama teman sebayanya menghabiskan malam tahun baru. Musik ajeb-ajeb ramuan disk jockey (DJ) malam itu tampaknya masih kurang menyemarakkan suasana, bagi Nick. Dikeluarkanlah beberapa butir pil inex dari kantongnya dengan tujuan menambah efek euforia pesta.

''Anda kami tangkap, atas kepemilikan narkoba,'' sergah seseorang di sebelah Nick, sambil menyematkan borgol di tangan pria berusia 19 tahun tersebut. Nick tak menduga, beberapa orang di antara kerumunan party goers ternyata reserse dari Polres Jakarta Utara. Proses hukum kemudian dilalui Nick, hingga akhirnya dia harus berlabuh di Lembaga.

Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, untuk masa empat tahun penjara. Berbincang dengan Republika, akhir Januari lalu, Nick mengatakan masa tahanannya tinggal dua tahun lagi. Nick mengaku terus menghitung hari kapan dia bebas. Bukan lantaran terisolasi dari lingkungan sosial yang menyebabkannya ingin cepat meninggalkan hotel prodeo, tapi karena kondisi penjara yang sesak.

Kurangnya waktu istirahat, ruang tahanan yang sumpek, hingga masalah berebutan fasilitas di dalam penjara menjadi pengalaman sehari-hari Nick. Karuan saja, LP Cipinang yang kapasitasnya 1.450 orang, saat ini penghuninya mencapai angka 3.700 orang. ''Namanya bukan penuh lagi, tapi berjubel,'' kata Nick.

Pengalaman mirip Nick juga terjadi di LP Bulak Kapal, Bekasi. Tingkat kelebihan kapasitas di LP Bulak Kapal bahkan lebih dahsyat lagi. Dari kapasitas huni 350 orang, jumlah warga binaan mencapai 1.800-an orang. Dengan jumlah penghuni yang mencapai empat kali lipat dari kapasitas, satu kamar diisi hingga 15 narapidana.

Salah seorang narapidana, sebut saja Teguh, menjelaskan, tiap narapidana di LP Bulak Kapal harus tidur bergantian saat malam hari. Teguh merinci, lima orang dipastikan tidur di lantai, tiga orang tidur di kasur, beberapa orang tidur dengan cara duduk. ''Ada yang jongkok, bahkan berdiri sebelum mendapat giliran tidur,'' kata Teguh, yang kini telah menghirup udara bebas.

Pada 14 Februari 2008 lalu di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Andi Mattalatta, mencanangkan bulan Februari sebagai bulan tertib pemasyarakatan. Salah satu programnya adalah tertib perikehidupan penghuni. Bagaimana mau tertib jika penghuni merasa sangat tidak nyaman tinggal di LP?

Berdasarkan statistik yang dimiliki Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham), rata-rata kelebihan kapastias hunian LP dan rutan di seluruh Indonesia dalam dua tahun terakhir mencapai 45 persen. Pada 2006, kapasitas hunian LP dan rutan se-Indonesia sebanyak 70.241, narapidana tercatat 116.688 orang. Di tahun 2007, peningkatan jumlah kapasitas menjadi 81.384 juga diiringi peningkatan jumlah narapidana sebanyak 130.832.

Kelebihan kapasitas hunian penjara tersebut diduga menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah di Lembaga Pemasyarakatan. Sebut saja berjangkitnya penyakit menular dari penyakit kulit hingga HIV/AIDS, peredaran narkoba, hingga perkelahian antarnapi. ''Kelebihan kapasitas bisa mengakibatkan seorang napi kurang istirahat dan berujung penyakit,'' tambah Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Untung Sugiono, menyebutkan salah satu akibat.

Untuk menanggulanginya, Depkumham pun putar otak. Pembangunan LP atau rutan baru di Indonesia bukannya tidak diprogramkan oleh Depkumham, namun dinilai masih kurang solutif karena tidak didukung anggaran yang memadai. Solusi strategis dan efisien menanggulangi overkapasitas saat ini adalah lewat program pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), dan cuti bersyarat (CB).

Solutif dan hemat anggaran. Dua kata optimistis inilah yang dipercaya melekat pada program PB, CMB, dan CB. Terbukti pada 2006, dengan jumlah pembebasan bersyarat sebanyak 5.346 orang, Depkumham menghemat biaya makan narapidana hingga Rp 21 miliar. Di tahun 2007, biaya yang bisa dihemat mencapai Rp 27 miliar lewat pemberian PB, CMB, dan CB kepada 13 ribu narapidana. ''Tahun 2008 ditargetkan 15 ribu naparapidana, sehingga bisa hemat anggaran sampai Rp 36 miliar,'' tambah Untung.

Menkumham Andi Mattalatta juga tengah menyusun strategi baru agar program pemberian pembebasan bersyarat dan sejenisnya semakin signifikan hasilnya. Depkumham, kata Andi, tengah berupaya merevisi SK Menkumham No M.01.PK.04.10 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Revisi rencananya akan menyentuh soal penyederhanaan syarat administratif dalam pengajuan asimilasi, PB, CMB, dan CB. Selain itu, narapidana dengan pidana di bawah satu tahun diberikan CB dengan ketentuan jika saat cuti melakukan tindak pidana lagi, maka lama cuti yang dijalani tidak dihitung sebagai masa hukuman.

Anggota Staf Program Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Lollong Manting Awi, mengingatkan, program pembebasan bersyarat dan sejenisnya tersebut harus dibarengi dengan mekanisme kontrol yang baik. Karena, menurut Awi, program tersebut sangat rawan dimanfaatkan oknum petugas LP atau rutan. ''Di beberapa LP masih banyak laporan pemberian cuti bersyarat atau pembebasan bersyarat harus disertai setoran uang ke petugas,'' kata Awi.

Menurut Awi, pemerintah juga seharusnya segera mempercepat penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang baru. Pasalnya, dalam RUU KUHP yang baru, dimungkinkan sistem kerja sosial diberlakukan untuk pidana penjara yang tidak lebih dari enam bulan. Dalam pasal 79 ayat (1) RUU KUHP disebutkan bahwa pidana penjara yang tidak lebih dari enam bulan, atau denda yang tidak lebih dari denda kategori 1, dapat diganti dengan pidana kerja sosial. Perubahan yang paling signifikan dalam RUU tersebut adalah pertimbangan memperketat syarat-syarat penahanan sehingga orang tidak mudah masuk ke LP atau rutan.

http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=MekanismeLegislasi&op=detail_politik_mekanisme_legislasi&id=2099


Sabtu, 08 Maret 2008

PEMULIHAN HAK-HAK SIPIL MANTAN NAPI

Oleh Prof.Dr. Muhammad Mustofa (Guru Besar Kriminologi FISIP UI)

Pendahuluan
Filosofi pembinaan pelanggar hukum yang dianut oleh Indonesia adalah mengintegrasikan kembali pelaku pelanggar hukum ke masyarakat, atau lebih dikenal sebagai pemasyarakatan. Akan tetapi dalam realitas, mantan narapidana secara sistematis justru dihambat untuk dapat berintegrasi kembali dalam kehidupan alamiah di masyarakat. Banyak peraturan perundangan dan kebijakan yang dibuat justru untuk menghambat terintegrasinya kembali mantan napi dengan masyarakat.

Dengan demikian maka filosofi pemasyarakatan napi hanya sekedar slogan kosong, yang dalam realitas menghasilkan pelaku pelanggar ulang, yang bolak-balik kembali ke bangunan penjara. Masyarakat dan struktur sosial (politik) telah melakukan stigmatisasi mantan napi yang sesungguhnya tidak selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi.

Makalah ini akan membahas bagaimana cara memperlakukan mantan napi yang selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi?

Pokok-pokok pikiran
Perlakuan terhadap mantan napi yang tidak adil sesungguhnya merupakan bentuk kemunafikan dari struktur sosial (politik). Sebab manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orangpun yang belum pernah melakukan perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana. Namun demikian sebagian besar dari warga masyarakat tersebut beruntung karena tindakan kesalahan atau pelanggaran hukumnya tidak pernah diketahui oleh sistem peradilan pidana. Hanya sebagian kecil saja warga masyarakat yang tidak beruntung, yang ketika melakukan pelanggaran hukum pidana diketahui oleh sistem peradilan pidana dan tidak mampu menghindari hukuman. Mereka ini terpaksa menjalani hukuman dan diberi label narapidana.

Penghukuman pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya.

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku. Dengan dasar pengertian ini tipologi pelanggar hukum meliputi:
1. Pelanggar hukum situasional.
2. Pelanggar hukum yang lalai.
3. Pelanggar hukum yang tidak sengaja melakukan pelanggaran.
4. Pelanggar hukum yang sakit.
5. Pelanggar hukum berulang atau residivis.

Tipologi pelanggar hukum tersebut seperti status penyakit yang diderita orang. Ada penyakit yang tidak perlu dirawat karena akan sembuh sendiri. Ada penyakit yang perlu perawatan cukup sekali saja. Ada penyakit yang perlu perawatan jalan. Ada penyakit yang memerlukan perawatan inap. Dan ada penyakit yang tak tersembuhkan. Dengan demikian perlakuan terhadap mantan napi, dengan analogi penyakit tersebut, tidak dapat dilakan secara sama dalam keadaan apapun. Sebagian besar dari pelaku pelanggaran hukum sesungguhnya hanyalah orang-orang yang secara situasional (dalam keadaan khusus) melakukan pelanggaran hukum, dan kemungkinan pengulangan pelanggarannya kecil.

Demikian juga banyak orang yang melakukan pelanggaran hukum secara tidak sengaja atau karena lalai. Dalam keadaan sakit (jiwa) orang tidak menyadari apa yang dilakukan ketika melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana. Orang menjadi pelaku pelanggaran berulang melalui suatu proses yang panjang, termasuk memahirkan tindakan pelanggaran ketika berada di dalam lembaga penghukuman (penjara) dan penolakan masyarakat untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat, habitat hidup manusia. Pada tahap tertentu, pelaku pelanggaran ulang akan juga menghentikan kecenderungan pelanggarannya. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada umumnya orang akan menghentikan kecenderungan melakukan pelanggaran hukum secara berulang ketika mencapai usia lanjut.

Kecenderungan memperlakukan pelanggar hukum secara represif dalam telaah Durkheim mencerminkan bahwa masyarakat yang bersangkutan lebih dekat dengan ciri masyarakat primitif. Masyarakat modern cenderung menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum secara restitutif, yaitu memulihkan hubungan. Dalam dalil evolusi penghukuman, Durkheim menumuskan:

1. Semakin dekat tipe masyarakat ke pada masyarakat primitif, dan semakin absolut kekuasaan pusat dilakukan, intensitas hukuman semakin tinggi
2. Perampasan kemerdekaan yang lamanya berbeda tergantung dari keseriusan kejahatannya, cenderung menjadi alat pengendalian sosial yang normal

Kalau mengikuti dalil evolusi penghukuman dari Durkheim tersebut, dapat dikatakan bahwa perlakuan tidak adil terhadap mantan napi menunjukkan bahwa masyarakat dan kekuasaan pusat (struktur sosial poilitik) yang cenderung absolut merupakan ciri masyarakat primitif. Padahal sesungguhnya ciri umum masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa timur, dalam menyikapi pelanggaran hukum pidana cenderung mencari solusi perdamaian atau pemulihan hubungan antara pelaku dengan korban dan masyarakat.

Pelanggaran hukum pidana dilihat tidak semata-mata sebagai konflik antar pribadi (micro cosmos), tetapi merupakan keadaan yang dapat mengganggu kestablian alam semesta (macro cosmos). Oleh karena itu ketidakseimbangan yang dihasilkan harus disikapi dengan mengembalikan kestabilan hubungan para pihak yang berkonflik. Filosofi penghukuman bangsa-bangsa timur ini telah digali olehilmuwan barat John Braithwaite menjadi konsep restorative justice.

Restorative justice adalah cara penyelesaian konflik pidana melalui cara-cara informal yang dilakukan oleh komunitas dengan tujuan memulihkan hubungan antara pelaku dengan korbannya dan yang direstui masyarakat, dengan tetap menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah tindakan yang tidak benar. Melalui mekanisme ini adaupacara untuk menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah salah, tetapi melalui proses restorasi, pelanggar hukum diterima kembali menjadi warga masyarakat.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penghilangan dan pembatasan hak-hak sipil dan politik terhadap mantan napi dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan merupakan ketidakadilan terhadap warga masyarakat yang telah melunasi hutang kesalahan. Oleh karena itu semua peraturan perundangan yang membatasi atau menghilangkan hak-hak sipil dan politik mantan napi haruslah dicabut. Selain itu perlu adanya gerakan penyadaran masyarakat terhadap realitas pelanggaran hukum seperti yang diuraikan di atas sehingga masyarakat secara sadar mampu memperlakukan mantan napi secara adil.

http://kriminologi1.wordpress.com/


Kamis, 06 Maret 2008

Napi di LP Cipinang Olah Sampah jadi Kompos

KOMPAS, Napi di LP Cipinang olah sampah jadi sesuatu yang berguna,

JAKARTA, RABU-Narapidana Lembaga Pemasyakatan Kelas I Cipinang di Jakarta Timur akan mengolah sampah menjadi kompos. Inilah yang dilakukan oleh LP Cipinang bekerja sama dengan Yayasan Pemulihan Insani Indonesia dan Dinas Kebersihan DKI Jakarta.

Kerja sama antarinstansi untuk mengolah sampah di LP Cipinang menjadi kompos itu hari Rabu (5/3) pagi diresmikan oleh Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiyono di LP Kelas I Cipinang, Jakarta Timur. Napi-napi di LP Cipinang ini akan diseleksi menjadi pekerja yang mengelola sampah.

Hasilnya dibagi tiga, yaitu untu napi bersangkutan, untuk negara dan untuk LP Cipinang itu sendiri. "Ini mungkin pertama kali di Indonesia, bahkan di dunia, bahwa ada LP yang mengelola sampah menjadi sesuatu yang berguna," kata Kepala Humas Ditjen Pemasyarakatan, Akbar Hadi.

Ketua Yayasan Pemulihan Insani Indonesia Payaman Simanjuntak mengatakan kegiatan ini bukan sekadar mengisi waktu kosong sambil menanti menghirup udara bebas tetapi terlebih menjadi bekal bagi napi jika sudah berbaur dalam masyarakat umum. Pada awal acara tampak Pollycarpus yang dihukum dalam kasus pembunuhan Munir, memimpin koreografi Pramuka yang anggotanya napi di LP Cipinang. Polly mengaktifkan Pramuka di LP itu karena terinspirasi dengan pengalamannya menjadi peserta Jambore di Sibolangit tahun 1977.(KSP)


R Adhi Kusumaputra

http://www.kompas.co.id/read.php?cnt=.xml.2008.03.05.10392816&channel=1&mn=10&idx=87

Pollycarpus Membangun LP Cipinang

JAKARTA - Ada yang menarik dari acara Peresmian Pengolahan Sampah Pupuk Organik di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang. Dia adalah Pollycarpus, terpidana 20 tahun pembunuh aktivis Munir.

Polly yang dalam acara tersebut, menjadi komandan Pramuka dengan gagah memandu rekan-rekannya sesama napi dalam membawakan lagu Mars Pramuka dan membentuk huruf dengan gerak semaphore. Saat ditanya wartawan, Polly mengaku dirinya sudah berkecimpung dengan Pramuka sejak duduk dibangku SD, SMP hingga SMA.

"Saya juga pernah ikut Jambore Nasional pada tahun 1977," ujar Polly usai acara, di lapas Cipinang Klas I, Jakarta Timur, Rabu (5/3/2008).

Dijelaskan Polly, di Lapas Cipinang diwajibkan untuk mengembangkan organisasi Pramuka. Polly yang kala itu mengenakan busana pramuka lengkap mengaku, dirinya mengajarkan Pramuka kepada seluruh anggota lapas. "Dengan pramuka menjadikan kita hidup disiplin dan mandiri," katanya.

Selain Pramuka, Polly juga saat ini mengembangkan home industry yang ditujukan untuk pengembangan diri para napi seperti, membuat jahe instan, emping melinjo, dan virgine coconut oil. "Dalam waktu dekat, saya akan kembangkan ternak belut dan ikan lele. Semuanya saya lakukan atas inisiatif saya dan biaya sendiri," ungkapnya.

Hingga kini, dia mengaku senang berada didalam lapas. "Saya disini tidak merasa sedih atau terhina. Saya senang disini, karena orang-orang disini jauh lebih baik dari yang diluar," ketusnya.(ism)


http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/03/05/1/89214/pollycarpus-membangun-lp-cipinang

Pollycarpus Pimpin Napi Berseragam Pramuka

JAKARTA - Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang terus berbenah. Setelah meresmikan wartel dan warnet di dalam lapas, kini sebuah tempat pengolahan sampah pupuk organik diresmikan.

Sedikitnya 200 napi ikut memeriahkan acara persemian itu.Para napi tersebut yang sebagian besar tampak mengenakan seragam pramuka melakukan atraksi simbol-simbol khas pramuka dan bernyanyi mars pramuka.

Para pramuka Cipinang ini dipimpin terdakwa kasus pembunuhan Munir, Pollycarpus Budiharipriyanto, Rabu (5/3/2008).

Sementara itu, acara peresmian sedianya dihadiri Menkum HAM Andi Mattalata dan Gubernur Fauzi Bowo. Andi batal hadir dan digantikan Dirjen Pemasyarakatan Depkum HAM Untung Sugiono, sedangkan Fauzi Bowo diwakili oleh Kadis Kebersihan Provinsi DKI Eko Baruna.

Selain keduanya Kepala Kanwil Depkum HAM Didin sudirman, serta Kalapas Cipinang Haviludin hadir dalam acara tersebut. (fit)

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/03/05/1/89094

Minggu, 02 Maret 2008

Malaysia Sediakan Rumah Mesra Untuk Napi

Pemerintah Malaysia tengah mempertimbangkan kebijakan baru bagi narapidana. Yaitu mengizinkan mereka menerima kunjungan khusus dari anggota keluarga, sebagai bagian dari usaha rehabilitasi sebelum kembali ke lingkungan masyarakat.

Kebijakan tersebut nantinya tidak berlaku bagi semua napi. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hanya napi yang mempunyai kelakuan baik dan tidak mempunyai penyakit menular seksual saja yang diperbolehkan dikunjungi pasangannya, seperti dilansir New Straits Times, Selasa [12/02/2008].

"Dalam pelaksanaannya, para napi bakal diizinkan menghabiskan waktu selama 72 jam dalam sebuah rumah bersama pasangan, anak-anak, serta orang tua mereka. Bagi napi yang sudah menikah, diberikan kamar khusus bila mereka ingin "menghabiskan waktu" bersama pasangannya."

"Kunjungan tersebut untuk lebih mendekatkan pertalian antara para napi dengan keluarga mereka. Hal itu bukan untuk memenuhi hak mereka, namun lebih merupakan sebuah privilege," kata sebuah sumber.

Pimpinan pusat rehabilitasi obat-obatan, Mohamad Yunus Pathi mendukung sepenuhnya pemberlakuan kebijakan itu. Menurutnya, hal itu sangat penting bagi para napi.

"Ketika mereka ditolak, malah bisa membuat mereka mengalami stres yang nantinya bisa mengakibatkan penyakit seksual," tambahnya.

Pemberlakuan kebijakan tersebut di luar negeri, dipercaya dapat membantu napi mempersiapkan dirinya sebelum kembali ke tengah masyarakat.

Selain itu, dapat pula bermanfaat menjaga keutuhan keluarga dan kehidupan perkawinan mereka. Pihak berwenang dari Departemen Penjara Malaysia belum bisa dimintai keterangan.[rm/jul].

http://rileks.com/ragam/?act=detail&artid=31102006117918

Game Theory dan Dilema Narapidana

Game theory sebenarnya adalah cabang matematika terapan yang sering dipakai dalam konteks ekonomi. Teori ini mempelajari interaksi strategis antar pemain (“agen”). Dalam permainan strategis, suatu agen memilih strategi yang dapat memaksimalkan keuntungan, berdasarkan strategi yang dipilih agen lain. Intinya, teori ini menyediakan pendekatan permodelan formal terhadap situasi sosial mengenai bagaimana pelaku keputusan berinteraksi dengan agen lain.

Game theory dapat menjelaskan suatu paradoks yang cukup terkenal, yakni bagaimana orang bisa bekerjasama dalam masyarakat apabila masing-masing dari mereka cenderung berusaha untuk menjadi pemenang. Asal tahu saja, paradoks ini sempat menyusahkan Charles Darwin saat menyusun teori evolusinya itu. (Dan dengan demikian mematahkan satu lagi argumen bahwa teori evolusi tidak dapat dibuktikan secara matematis).

Para ekonom dibikin kagum dengan game theory karena teori ini dapat menjelaskan secara matematis mengapa tangan yang tak terlihat (invisible hand) yang diajukan oleh pelopor pasar bebas Adam Smith, bisa gagal memberikan kemaslahatan umum. John Nash, matematikawan yang juga dikenal sebagai salah seorang pelopor game theory menunjukkan perbedaan antara permainan kooperatif, dimana masing-masing pemain saling bekerjasama secara terikat, dan permainan non-kooperatif, dimana tidak ada kekuatan dari luar permainan yang dapat memaksakan berlakunya sekumpulan peraturan yang sudah ditentukan sebelumnya.

Dalam permainan non-kooperatif, Nash menemukan bahwa jika harapan semua pemain terpenuhi, mereka tidak akan mau mengubah strategi karena mereka akan rugi sendiri. Hasilnya adalah suatu kesetimbangan (equilibrium), yang sekarang disebut sebagai Kesetimbangan Nash. Walaupun pernah frustrasi sampai sakit jiwa akibat gagal memperoleh medali Field (penghargaan prestisius untuk bidang Matematika), tapi Nash akhirnya berhasil meraih Nobel Ekonomi berkat teorinya ini.

Karya ini bisa menerangi keputusan-keputusan bisnis dalam pasar yang penuh persaingan, teori makroekonomi untuk kebijakan ekonomi, ekonomi lingkungan dan sumberdaya, teori perdagangan luar negeri, ekonomi informasi, dan seterusnya. Para politisi juga pasti menyukai teori ini karena bisa menunjukkan bagaimana kepentingan pribadi yang “rasional” bisa merugikan semua orang. Pada 1970-an, game theory diperluas hingga mencakup bidang biologi. Sekarang kita lihat, bagaimana game theory berperan dalam teori evolusi.

Untuk itu, kita perlu berkenalan dulu dengan yang namanya dilema narapidana (prisoner’s dilemma). Ini adalah istilah untuk menggambarkan interaksi, entah antara individu-individu atau kelompok-kelompok dalam bentuk suatu permainan sederhana. Gagasan permainannya adalah untuk menirukan konflik-konflik yang ada dalam dunia nyata, antara pandangan pemenang memperoleh segalanya, dan perlunya kerjasama dan kompromi untuk memperoleh semuanya itu.

Berikut adalah skenario dasar dari dilema narapidana. Dua narapidana (napi) diketahui telah melakukan jenis kejahatan X. Tetapi, polisi menduga mereka telah melakukan suatu jenis kejahatan Y yang lebih serius. Kedua napi lantas ditempatkan dalam sel terpisah dan masing-masing diberikan tawaran:

Napi yang bersaksi melawan napi yang lainnya terkait dengan kejahatan Y akan dibebaskan, sementara napi lainnya akan dipenjara selama 3 tahun. Ini disebut ”sucker’s payoff” (entah apa terjemahannya dalam bahasa Indonesia).
Apabila keduanya menyangkal, atau saling bersaksi terhadap yang lainnya, maka keduanya akan mendapat hukuman 2 tahun penjara.
Apabila keduanya bungkam, maka masing-masing akan menjalani hukuman 1 tahun penjara.
Disini, kedua napi pada dasarnya mendapat dua pilihan: untuk bekerjasama (dalam skenario ini, tetap diam) atau untuk berkhianat. Bekerjasama artinya bahwa napi bersangkutan bisa jadi mendekam di penjara selama 1 atau 3 tahun. Tapi apabila berkhianat, maka ia dapat menjalani hukuman 0 atau 2 tahun, tergantung pengakuan napi lainnya.

Karena masing-masing napi tidak tahu pilihan apa yang diambil napi lainnya (keduanya berada dalam sel terpisah dan tidak dapat berkomunikasi satu sama lain), pilihan yang rasional, menurut aturan bertahan hidup ala Darwin adalah pilihan yang paling menguntungkan (ingat kaidah survival of the fittest). Dalam hal ini adalah memaksimalkan kemungkinan terbaik (nol tahun di penjara) dan meminimalisir kemungkinan terburuk (2 atau 3 tahun di penjara).

Tahun 1980-an, sebuah kompetisi pemrograman komputer diadakan untuk mencari solusi terbaik untuk dilema narapidana. Hasilnya, sebuah program simulasi yang dinamai Tit-for-tat keluar sebagai pemenang. Seperti yang ditunjukkan oleh namanya (yang secara harafiah berarti satu pukulan dibalas satu pukulan), program ini memilih bekerjasama pada putaran pertama, dan kemudian menirukan apapun yang dilakukan lawan pada putaran-putaran selanjutnya.

Dalam kasus ini, saling bekerjasama membawa hasil positif, sementara si pengkhianat kelak akan memperoleh balasannya (apabila Anda mengkhianati saya, pada putaran berikut Anda juga akan saya khianati). Sebaliknya, kalau kita bekerjasama, tidak perduli apapun yang dilakukan orang lain, akibatnya adalah “suckers payoff.” Orang lain tidak punya insentif untuk bekerjasama dengan kita, dan akibatnya kita akan selalu menjadi pecundang.

Tapi, itu kan dalam simulasi. Dalam dunia nyata, si baik bisa saja merugi, dan si pengkhiat bisa beruntung, dan kadang-kadang memang demikian yang terjadi. Kemunculan kerjasama dapat dipicu manakala salahsatu diantara kondisi-kondisi berikut ini ada: para ‘pemain’ berkali-kali saling bertemu; mereka saling mengenal; mereka mengingat hasil pertemuan terdahulu. Tapi ada juga faktor-faktor lain yang juga perlu diperhitungkan, mulai dari peluang terjadinya pertemuan antar pemain, kesalahan-kesalahan (ketika ajakan untukk bekerjasama justeru dianggap sebagai pengkhianatan), hingga kemungkinan adanya faktor genetis pembentuk perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, tit-for tat mungkin terlalu ideal sehingga sulit diterapkan di dunia nyata.

Solusinya adalah dengan menambahkan unsur kesalahan, yang mungkin hanya disebabkan kecenderungan manusiawi untuk berbuat kesalahan. Tit-for-tat bukanlah strategi paling hebat, karena tidak punya sifat pemaaf: sekali dua pemain tit-for-tat mulai saling berkhianat, mereka akan terus melakukan itu. Dengan menambahkan sedikit unsur ketidakpastian, masing-masing pemain dapat mengembangkan strategi baru. Penambahan sedikit unsur keacakan pada perilaku program memungkinkan munculnya “sifat pemaaf”, dan kesempatan untuk menguji perilaku pemain lain.

Satu strategi yang menggunakan sifat pemaaf adalah “tit-for-tat baik hati” (generous tit-for-tat), dimana ditambahkan unsur keacakan untuk memutuskan lingkaran setan saling mengkhianati. Strategi lain yang yang lebih sukses, diberi nama Pavlov, dapat digambarkan dengan ungkapan “Kalau tidak rusak, tak usah diperbaiki (dan jika Anda kalah, ganti strategi).” Bagaimanapun juga, ketidak pastian ternyata memungkinkan kerjasama, dan pesan optimistik dalam model tit-for-tat tetap berlaku.

Pendeknya, apa yang ditunjukkan oleh dilema narapidana juga dapat terjadi dalam tataran pribadi maupun evolusioner: Kalau saya bekerjasama dengan Anda, maka Anda kemungkinan besar juga akan bekerjasama dengan saya (strategi tit-for-tat) dan kita akan memperoleh skor yang sama dalam “permainan kehidupan”. Sebaliknya, apabila kita saling mengkhianati, maka kita berdua sama-sama kalah dan akhirnya “game over”.

http://blog.dhani.org/2007/09/game-theory-dan-dilema-narapidana/