PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Selasa, 28 April 2009

Pro Kontra Conjugal Visit terhadap Narapidana

Senin, 20 April 2009

Jakarta, Hukumham.info, -- Tuntutan kebutuhan biologis narapidana merupakan suatu masalah yang perlu ditangani oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), terutama berkenaan dengan kekerasan seksual yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Conjugal Visit atau kunjungan pasangan (suami/istri yang sah) dipandang sebagai pilihan dalam mengatasi kekerasan seksual di LP.

Demikian antara lain pembicaraan dalam Seminar mengenai Tuntutan Kebutuhan Biologis Narapidana yang dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Hukum dan HAM Depkumham. Tampil sebagai pembicara Dirjen HAM Harkristuti Harkrisnowo, Sekretaris Ditjen PAS Didid Sudirman, Ketua Dep. Kriminologi UI Adrianus Meliala dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Muhamad Amin Suma.

Menurut Didin Sudirman, secara kelembagaan tidak ada aturan khusus mengenai pemenuhan kebutuhan biologis narapidana. Narapidana dapat mengajukan cuti mengunjungi keluarga (CMK) sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhannya. “Tentu dengan syarat sudah menjalani setengah dari masa pidana”, ujar Didin.

Dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Tidak semua Negara memberikan CV. Australia, Brazil, Prancis, Thailand, Saudi Arabia dan enam negara bagian di Amerika termasuk yang memberikan CV. “Perlu penelitian lebih lanjut apakah Conjugal Visit (CV) dapat mengatasi kekerasan seksual di LP ”, lanjut Harkristuti.

Adrianus Meliala mengatakan bahwa CV cenderung tidak dapat mengatasi kekerasan seksual di LP. Ada beberapa hal dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku seksual narapidana. Pertama, peningkatan aktivitas fisik seeperti bekerja dan berolahraga. Kedua, peningkatan intensitas kehidupan ibadah . Ketiga, intensitas kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga tidak selalu berorientasi keperluan pemenuhan kebutuhan seksual. “Kunjungan tidak dengan istri saja tapi anak-anak juga diikutsertakan”, jelas Adrianus.

Berbeda dengan hukum lain, hukum Islam membagi kebutuhan ke dalam tiga bagian. Pertama kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan pelengkap. Kebutuhan biologis masuk dalam kebutuhan primer yang merupakan kebutuhan mendasar. Dalam konteks hukum Islam, penjatuhan hukuman pada dasarnya tidak boleh mengurangi, apalagi menghilangkan atau menghapus hak-hak terpidana, kecuali ada ketentuan lain yang berlaku. “CV itu penting artinya dan pemerintah dalam hal ini Depkumham harus memberikan hak tersebut kepada narapidana”, kata Amin Suma. Mengenai cara maupun tempat pemenuhan kebutuhan seksual narapidana tersebut diperlukan pengkajian secara matang.

Lebih jauh Didin mengatakan bahwa, CV baru merupakan sebuah wacana dalam mengurangi masalah kekerasan seksual di LP. “Ada proses panjang lebih lanjut yang akan mengikuti seperti harus ada uji publik dan uji coba dibeberapa LP serta penyusunan standar operasinya,” jelasnya.

Dari seminar tersebut didapat kesimpulan bahwa pemberian CV bukanlah pokok masalah terpenting yang dihadapi saat ini. Overcapacity, tingkat dan keparahan infeksi, kelangkaan fasilitas dan program rehabilitasi masih tetap menjadi masalah terbesar Ditjen PAS.

Seminar tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Kejaksaan, Kepolisian, Departemen Sosial dan segenap jajaran Ditjen PAS seperti Kepala maupun perwakilan LP Paledang, LP Tangerang dan LP Terbuka.***


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=2640&Itemid=43

Selasa, 14 April 2009

PEMULIHAN HAK-HAK SIPIL MANTAN NAPI

Pendahuluan

Filosofi pembinaan pelanggar hukum yang dianut oleh Indonesia adalah mengintegrasikan kembali pelaku pelanggar hukum ke masyarakat, atau lebih dikenal sebagai pemasyarakatan. Akan tetapi dalam realitas, mantan narapidana secara sistematis justru dihambat untuk dapat berintegrasi kembali dalam kehidupan alamiah di masyarakat. Banyak peraturan perundangan dan kebijakan yang dibuat justru untuk menghambat terintegrasinya kembali mantan napi dengan masyarakat.

Dengan demikian maka filosofi pemasyarakatan napi hanya sekedar slogan kosong, yang dalam realitas menghasilkan pelaku pelanggar ulang, yang bolak-balik kembali ke bangunan penjara. Masyarakat dan struktur sosial (politik) telah melakukan stigmatisasi mantan napi yang sesungguhnya tidak selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi.

Makalah ini akan membahas bagaimana cara memperlakukan mantan napi yang selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi?

Pokok-pokok pikiran
Perlakuan terhadap mantan napi yang tidak adil sesungguhnya merupakan bentuk kemunafikan dari struktur sosial (politik). Sebab manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orangpun yang belum pernah melakukan perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana.

Namun demikian sebagian besar dari warga masyarakat tersebut beruntung karena tindakan kesalahan atau pelanggaran hukumnya tidak pernah diketahui oleh sistem peradilan pidana. Hanya sebagian kecil saja warga masyarakat yang tidak beruntung, yang ketika melakukan pelanggaran hukum pidana diketahui oleh sistem peradilan pidana dan tidak mampu menghindari hukuman. Mereka ini terpaksa menjalani hukuman dan diberi label narapidana.

Penghukuman pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya.

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku. Dengan dasar pengertian ini tipologi pelanggar hukum meliputi:

1. Pelanggar hukum situasional.
2. Pelanggar hukum yang lalai.
3. Pelanggar hukum yang tidak sengaja melakukan pelanggaran.
4. Pelanggar hukum yang sakit.
5. Pelanggar hukum berulang atau residivis.

Tipologi pelanggar hukum tersebut seperti status penyakit yang diderita orang. Ada penyakit yang tidak perlu dirawat karena akan sembuh sendiri. Ada penyakit yang perlu perawatan cukup sekali saja. Ada penyakit yang perlu perawatan jalan. Ada penyakit yang memerlukan perawatan inap. Dan ada penyakit yang tak tersembuhkan.

Dengan demikian perlakuan terhadap mantan napi, dengan analogi penyakit tersebut, tidak dapat dilakan secara sama dalam keadaan apapun. Sebagian besar dari pelaku pelanggaran hukum sesungguhnya hanyalah orang-orang yang secara situasional (dalam keadaan khusus) melakukan pelanggaran hukum, dan kemungkinan pengulangan pelanggarannya kecil. Demikian juga banyak orang yang melakukan pelanggaran hukum secara tidak sengaja atau karena lalai. Dalam keadaan sakit (jiwa) orang tidak menyadari apa yang dilakukan ketika melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana.

Orang menjadi pelaku pelanggaran berulang melalui suatu proses yang panjang, termasuk memahirkan tindakan pelanggaran ketika berada di dalam lembaga penghukuman (penjara) dan penolakan masyarakat untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat, habitat hidup manusia. Pada tahap tertentu, pelaku pelanggaran ulang akan juga menghentikan kecenderungan pelanggarannya. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada umumnya orang akan menghentikan kecenderungan melakukan pelanggaran hukum secara berulang ketika mencapai usia lanjut.

Kecenderungan memperlakukan pelanggar hukum secara represif dalam telaah Durkheim mencerminkan bahwa masyarakat yang bersangkutan lebih dekat dengan ciri masyarakat primitif. Masyarakat modern cenderung menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum secara restitutif, yaitu memulihkan hubungan. Dalam dalil evolusi penghukuman, Durkheim menumuskan:

1. Semakin dekat tipe masyarakat ke pada masyarakat primitif, dan semakin absolut kekuasaan pusat dilakukan, intensitas hukuman semakin tinggi
2. Perampasan kemerdekaan yang lamanya berbeda tergantung dari keseriusan kejahatannya, cenderung menjadi alat pengendalian sosial yang normal

Kalau mengikuti dalil evolusi penghukuman dari Durkheim tersebut, dapat dikatakan bahwa perlakuan tidak adil terhadap mantan napi menunjukkan bahwa masyarakat dan kekuasaan pusat (struktur sosial poilitik) yang cenderung absolut merupakan ciri masyarakat primitif.

Padahal sesungguhnya ciri umum masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa timur, dalam menyikapi pelanggaran hukum pidana cenderung mencari solusi perdamaian atau pemulihan hubungan antara pelaku dengan korban dan masyarakat. Pelanggaran hukum pidana dilihat tidak semata-mata sebagai konflik antar pribadi (micro cosmos), tetapi merupakan keadaan yang dapat mengganggu kestablian alam semesta (macro cosmos).

Oleh karena itu ketidakseimbangan yang dihasilkan harus disikapi dengan mengembalikan kestabilan hubungan para pihak yang berkonflik. Filosofi penghukuman bangsa-bangsa timur ini telah digali olehilmuwan barat John Braithwaite menjadi konsep restorative justice.

Restorative justice adalah cara penyelesaian konflik pidana melalui cara-cara informal yang dilakukan oleh komunitas dengan tujuan memulihkan hubungan antara pelaku dengan korbannya dan yang direstui masyarakat, dengan tetap menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah tindakan yang tidak benar. Melalui mekanisme ini ada upayq untuk menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah salah, tetapi melalui proses restorasi, pelanggar hukum diterima kembali menjadi warga masyarakat.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penghilangan dan pembatasan hak-hak sipil dan politik terhadap mantan napi dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan merupakan ketidakadilan terhadap warga masyarakat yang telah melunasi hutang kesalahan. Oleh karena itu semua peraturan perundangan yang membatasi atau menghilangkan hak-hak sipil dan politik mantan napi haruslah dicabut. Selain itu perlu adanya gerakan penyadaran masyarakat terhadap realitas pelanggaran hukum seperti yang diuraikan di atas sehingga masyarakat secara sadar mampu memperlakukan mantan napi secara adil.

http://www.criminology.fisip.ui.edu/press-room,op,artikel,subop,detail,id,3

Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kebermaknaan Hidup Narapidana

Ditulis WangMuba pada 15 Mar. 2009, Kategori ARTIKEL, Psikologi Sosial, Psikologi Umum

Setiap peristiwa, terutama yang sifatnya ekstrim yang dialami oleh manusia sedikit banyak akan membawa perubahan dalam kehidupan selanjutnya. Salah satu peristiwa yang kurang menguntungkan yang mungkin pernah dialami oleh sebagian orang adalah menjadi narapidana.

Dr. Thomas Holmes dan Dr. Richard Rahe (Olson, 2005), psikiater dari Universitas Washington dalam skala terhadap perubahan yang sering mempengaruhi manusia, menempatkan periode waktu dalam penjara sebagai salah satu peristiwa ekstrim dalam hidup manusia yang membawa perubahan dalam kehidupan mereka selanjutnya. Hal ini terutama terkait dengan kehadiran mereka kembali ke dalam masyarakat selepas menghabiskan masa hukumannya dalam penjara.

Salah satu tujuan didirikannya lembaga pemasyarakatan adalah untuk mempersiapkan para narapidana untuk dapat hidup kembali secara wajar di tengah-tengah masyarakat tanpa menimbulkan kesenjangan antara masyarakat dengan si narapidana, begitupula sebaliknya. Mengapa, karena status narapidana ataupun mantan narapidana seringkali disikapi secara ekstrim atau berlebihan oleh masyarakat, termasuk cara mereka memperlakukannya. Kondisi ini lambat laun akan mempengaruhi cara pandang (konsep diri) si narapidana sendiri terhadap dirinya.

Salah satu bentuk kesalahan dari sekian banyak kesalahan yang dapat menyebabkan seseorang dijebloskan ke dalam sel tahanan adalah karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang, sebagai salah satu bentuk pemujaan terhadap gaya hidup hedonis. Realitas sosial paling dekat dengan kehidupan, terutama masyarakat Indonesia, adalah tidak sedikitnya individu (remaja dan orang dewasa) yang dipenjarakan karena keterlibatan mereka dengan narkoba. Hampir setiap orang menganggap bahwa gaya hidup hedonis sangat kental dengan hura-hura, senang-senang, mabuk-mabukan (minuman keras maupun narkoba) dan pesta-pesta ekstravaganza.

Hasil penelitian Alaina (2002) menemukan bahwa konsep diri yang negatif atau rendah berbanding terbalik dengan gaya hidup hedonisme, di mana tingginya gaya hidup hedonisme salah satunya disumbang oleh konsep diri negatif. Gaya hidup hedonisme yang banyak dianut oleh kawula muda dan bahkan orang dewasa saat ini, sangat mengagung-agungkan segala bentuk kesenangan, foya-foya dan hura-hura, meski tak jarang pesta-pesta atau hura-hura yang digelar oleh mereka berseberangan dengan pranata sosial dan norma-norma agama.

Hedonisme yang ditandai dengan budaya konsumtif cenderung menabukan hal-hal yang bersifat normatif, anti kemapanan, dan beberapa lainnya lebih merupakan ekspresi pemberontakan terhadap dominansi lembaga yang dianggap sakral, seperti orang tua serta norma yang mengusung jargon moral dan akhlak. Perilaku seperti penggunaan obat-obatan terlarang, mabuk-mabukan dengan minuman beralkohol, sampai kepada perilaku seks bebas merupakan beberapa contoh perilaku yang mewarnai gaya hidup hedonisme.

Meski tidak selalu seperti itu, namun tak urung gaya hidup hedonisme yang dianut oleh sebagian kalangan telanjur diasosiasikan sebagai gaya hidup yang pada gilirannya akan menggiring seseorang pada kekaburan identitas diri, labilitas emosi, kehampaan akan tujuan hidup, dan pada akhirnya bermuara pada ketidakbermaknaan hidup (Wong, tanpa tahun). Wong (tanpa tahun) menganggap bahwa gaya hidup hedonisme merupakan refleksi pesimistik individu terhadap kehidupan. Bagi para pemujanya, secara keseluruhan hidup ini terlalu singkat, sehingga setiap orang seharusnya berusaha untuk memaksimalkan kesenangan dalam kehidupannya. Bagi mereka, hidup itu identik dengan berbagai kesenangan.

Sebagaimana Kita diketahui bahwa, salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang adalah umpan balik atau penilaian orang lain mengenai diri individu (Bee, 1981). Setelah individu mengobservasi fungsi dirinya sendiri sebagaimana mereka melihat tingkah laku orang lain, ia mulai menyematkan sifat-sifat tertentu pada dirinya, misalkan mudah marah, pemberani, ramah, supel. Selanjutnya, individu menerima umpan balik (feed back) tentang siapa dirinya dari orang lain. Individu juga dapat melihat siapa dirinya dengan melakukan perbandingan dengan orang lain (Mappiare, tanpa tahun).

Sebagai seorang narapidana sudah barang tentu individu memiliki konsep sendiri tentang diri mereka secara keseluruhan termasuk apa yang membuat mereka akhirnya harus mendekam dalam penjara. Di samping itu, masyarakat telah memiliki asosiasi sendiri tentang sosok seorang narapidana, meski tidak selalu benar namun secara umum masyarakat telah membuat label sendiri bagi para pesakitan tersebut sebagai orang hukuman.

Dalam perkembangannya, persepsi masyarakat tentang narapidana terkadang agak berlebihan, sehingga dapat mempengaruhi persepsi para narapidana tentang diri mereka. Masih adanya sebagian kalangan dalam masyarakat yang secara terang-terangan menolak kehadiran mereka untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat (terutama terkait dengan kasus kejahatan yang melibatkan si napi), menyebabkan narapidana tak jarang menjadi kehilangan kepercayaan dirinya, dan jika dibiarkan berlarut-larut dapat menyebabkan munculnya gangguan-gangguan psikologis hingga bisa berujung pada tindakan nekat, seperti bunuh diri .

Dalam pandangan Pudjijogjanti (1993) konsep diri seseorang terbentuk melalui dua komponen, yaitu komponen kognitif (cognitive component) dan komponen afektif (affective component). Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya. Misalnya, “saya anak bodoh”, “saya anak manja”, atau “saya anak nakal”. Jadi komponen kognitif merupakan penjelasan tentang “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri (self picture) tersebut kemudian akan membentuk citra diri (self image) seseorang. Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta penghargaan pada diri (self esteem) individu.

Penjelasan di atas memberi pemahaman lebih jelas bahwa secara kognitif dan afektif seseorang telah memiliki gambaran sekaligus penilaian tentang diri mereka. Namun tetap saja apresiasi serta persepsi orang lain terhadap keberadaan narapidana memberi dampak besar terhadap bagaimana napi memandang diri mereka. Jika narapidana terpengaruh oleh penilaian masyarakat yang menstigmatisasi secara negatif eksistensi mereka, maka besar kemungkinan mereka akan memandang diri mereka secara negatif pula. Itu berarti pula bahwa akan semakin besar kemungkinan narapidana untuk gagal dalam memaknai keberadaan mereka sebagai narapidana. Mereka akan kehilangan kemampuan untuk berpikir secara jernih bahwa sesungguhnya mereka masih memiliki tanggung jawab sosial sebagai manusia, sebagai seorang ayah, suami, ibu, istri, anak, atau anggota masyarakat secara umum.

Ketidakmampuan mereka untuk berpikir demikian pada gilirannya akan membentuk mereka menjadi pribadi yang neurosis yang akan berujung pada hadirnya kecemasan yang berlebihan, hingga dapat melumpuhkan kemampuan mereka untuk bertindak sewajarnya, dan membuat kepribadiannya menjadi panik (May, 1997).

Kecemasan berlebihan yang dirasakan oleh narapidana akan menumpulkan keberanian serta rasa percaya dirinya. Jika sudah demikian, orang-orang neurosis akan terjebak dalam lingkaran setan yang akan berakhir pada kegoncangan jiwa. Alam atau lingkungan sekitar yang sejatinya bersifat netral dalam hal nilai-nilai, dianggap kejam dan bermusuhan sehingga orang-orang neurosis membentuk berbagai gambaran kompensatif tentang surga dan kehidupan setelah kematian (May, 1997).

Itu sebabnya mengapa narapidana dianggap sebagai komunitas yang rentan terhadap kondisi keputusasaan. Ketika keputusasaan mendera maka seseorang cenderung akan kehilangan keyakinannya terhadap makna kehidupan. Padahal jika seseorang dapat meyakini adanya makna dalam kehidupan, dapat meyakini nilai pokok diri sendiri dan orang lain, dapat meyakini bahwa alam (lingkungan) memiliki makna yang dapat membantunya dalam meretas jalan untuk mengatasi rasa ketidakamanan, maka ia akan kembali memiliki rasa percaya diri sekaligus keberanian yang dibutuhkan untuk menghadapi kehidupan.

Jung (dalam May, 1997) menjelaskan bahwa apa yang dibutuhkan oleh seseorang dalam hidup, adalah keimanan, harapan, cinta, dan pencerahan. Keimanan atau kepercayaan kepada kekuatan di luar diri manusia (Tuhan YME) akan memberi manusia keberanian dalam menghadapi kerasnya kehidupan, karena ia percaya bahwa ia tidak sendiri dalam menjalani kehidupan. Ia meyakini bahwa setiap saat Tuhan YME akan selalu membantunya jika menemui kesulitan, sekaligus menuntunnya untuk segera keluar dari kesulitan tersebut.

Harapan merupakan sumber kekuatan internal yang harus dimiliki oleh setiap manusia dalam membangun format kehidupan yang lebih baik. Harapan akan memberi peta bagi manusia untuk mencapai bentuk kehidupan yang diidam-idamkannya. Tanpa sebuah harapan mustahil manusia akan menggapai banyak kemenangan dalam hidupnya.

Harapan sekaligus berfungsi untuk memompakan semangat dan motivasi ke dalam diri seseorang untuk tetap memperjuangkan kehidupannya, meskipun ia pernah berlaku salah dalam suatu fase kehidupannya. Hanya harapan yang akan memberi kekuatan pada diri manusia untuk segera beranjak keluar dari kegagalan dan keterpurukannya, dan harapan pulalah yang pada akhirnya membantu manusia untuk secara sistematik merencanakan kehidupannya di masa depan.

http://wangmuba.com/2009/03/15/hubungan-antara-konsep-diri-dengan-kebermaknaan-hidup-narapidana

Jumat, 10 April 2009

Robertus Adji yang Membuat Para Mantan Napi Bisa Maju Jadi Caleg

Merasa Sudah Lunas, UU Perlakukan Tak Adil

Ketika undang-undang tak membolehkan mantan napi maju menjadi caleg atau kepala daerah, Robertus Adji tidak rela. Pria 53 tahun mantan napi di Lembaga Pemasyarakan (Lapas) Cipinang itu pun menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan, upayanya berhasil. Robertus puas, meskipun dirinya bukan caleg.

Ketika didatangi Sumatera Ekspres (Jawa Pos Group) di rumahnya, Dusun VIII, Tanjung Cermin, Kelurahan Nendagung, Kecamatan Pagaralam Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan (Sumsel), Robertus menyambut ramah. ’’Inilah rumah saya,’’ kata Robertus Adji.

Nama pria berperawakan tinggi besar yang akrab disapa Robi Bara itu sempat mencuat ketika upayanya menggugat UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 dikabulkan MK.

Robi mengajukan pengujian untuk pasal 12 huruf g tentang syarat calon anggota DPR/DPD, pasal 50 ayat 1 huruf g tentang syarat calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dan pasal 58 tentang syarat calon kepala wakil kepala daerah.

Dalam putusannya Selasa pekan lalu (24/3), MK mencabut larangan menjadi calon anggota legislatif bagi mantan narapidana. Namun, putusan itu tidak bisa diterapkan untuk Pemilu 2009.

Ketua MK Mahfud M.D. dalam putusannya mengatakan, mantan narapidana yang sudah bebas selama lima tahun boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPD, DPR, dan DPRD.

Dalam konklusi putusan, aturan dalam pasal-pasal tersebut mempunyai kekuatan hukum tidak mengikat manakala untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); berlaku terbatas jangka waktunya hanya 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman; dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; dan kejahatan yang dilakukan tidak berulang-ulang.

Robi adalah pahlawan bagi eks napi lain? Ditanya seperti itu, Robi hanya tersenyum.

Suami Iin Lestari, 25, itu mengatakan, dirinya menggugat UU tersebut karena merasa diperlakukan tak adil. ’’Sejak keluar penjara, seabrek kegiatan sosial dan politik saya ikuti. Tetapi, ketika akan mencalonkan diri, saya selalu terganjal UU,’’ tandasnya.

Padahal, ungkap pria berkumis lebat itu, sebagai terhukum, dirinya dan rekan-rekan yang senasib sudah menjalani hukuman sesuai vonis yang dijatuhkan majelis hakim. ’’Seharusnya ini sudah lunas dan kami boleh atau berhak ikut maju dalam pemilu sebagai warga negara Indonesia. Dari sinilah awalnya saya mengajukan ke MK. Dan, alhamdulillah, akhirnya dikabulkan dan menang,’’ paparnya.

Apakah berencana akan menjadi caleg? ’’Sampai sekarang belum ada niat mau maju. Tapi, kita lihat saja nanti,’’ ujarnya.

Robi mengakui, ketika awal-awal mengajukan gugatan, dirinya sempat tidak yakin bisa menang di MK. Tapi, dukungan dari teman-teman, khususnya teman-teman satu partai di DPD PDIP Sumsel yang selalu mendampingi selama persidangan, membuat dia makin percaya diri. Dan, akhirnya langkahnya direspons positif oleh majelis hakim MK.

’’Saya akui, saya memiliki masa lalu kelam. Saya pernah dihukum di Lapas Cipinang akibat merampok. Tapi, tidak ada manusia yang mau berbuat salah untuk yang kedua. Saya sudah kapok dan ingin berbuat lebih banyak untuk bangsa dan masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kota Pagaralam,’’ paparnya.

Pria dengan empat anak itu mengungkapkan, dia keluar dari Lapas Cipinang, Jakarta, pada pertengahan 1981 setelah menjalani masa hukuman 4,5 tahun dari vonis majelis hakim PN Palembang selama 9 tahun 4 bulan karena bebas bersyarat. Sejak itu, Robi aktif di berbagai kegiatan sosial dan politik. Misalnya, ikut di Barisan Muda Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Kota Pagaralam. Selain itu, dia pernah menjabat ketua Orari Kota Pagaralam. Dan, kini dia masih menjadi anggota Dewan Penasihat (Wanhat) Pemuda Panca Marga (PPM) Kota Pagaralam, sekaligus duduk sebagai salah seorang pimpinan DPC PDIP Kota Pagaralam.

’’Sejak 1999, pilihan politik saya mantap ke PDIP dan selalu mengikuti serta memperjuangkan partai ini di Kota Pagaralam,’’ tegasnya. Kini setelah 20 tahun aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan politik, Robi berusaha sekuat tenaga menjauhi dunia kriminalitas. Bahkan, sekarang dia sering membantu teman-temannya yang berurusan dengan hukum.

Pria yang memiliki kebun kopi-karet yang cukup luas dan hotel itu sekarang disibukkan kegiatan di PDIP. Apalagi menjelang pemilu legislatif 9 April dan pemilihan presiden, kesibukannya meningkat. ’’Saya masuk sebagai tim pemenangan PDIP Sumsel dan setiap hari keliling Sumsel melakukan sosialisasi,’’ tuturnya. (almi diansyah/jpnn/kum)

http://www.radarjogja.co.id/berita/utama/2801-robertus-adji-yang-membuat-para-mantan-napi-bisa-maju-jadi-caleg-.html