PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Senin, 12 Desember 2011

Moratorium Remisi Koruptor dan Teroris

Diterbitkan November 7, 2011 Oleh Romli Atmasasmita Dua kejahatan di antara enam jenis kejahatan yang merupakan ancaman dunia abad 21 adalah korupsi dan terorisme (laporan panel PBB 2004). Dua jenis kejahatan ini dalam sistem hukum pidana Indonesia termasuk lex specialis sehingga semua tata cara yang umum berlaku dalam KUHAP dapat dikesampingkan untuk mempermudah proses pembuktian sejak penyidikan sampai persidangan. Dua undang-undang khusus untuk pemberantasan korupsi dan terorisme diterapkan sejak tahun 2002 dan telah memberi kontribusi pada keamanan, ketertiban, dan kesinambungan NKRI. Apresiasi rakyat atas keberhasilan penegakan hukum berdasarkan dua undang-undang tersebut sangat tinggi, begitu pun masyarakat internasional. Masalahnya, mengapa kedua UU tersebut kini dikoreksi kembali? Perubahan UU Antikorupsi tahun 1999/2001 merupakan konsekuensi logis ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003, dan perubahan UU Antiterorisme Tahun 2003 karena tidak dapat menjangkau niat dan perencanaan untuk melakukan terorisme atau UU ini hanya bersifat reactive law enforcement tidak proaktif apalagi preemptive law enforcement. Persepsi Publik Di tengah-tengah pemerintah menyiapkan perubahan UU Antikorupsi, muncul wacana moratorium remisi terhadap narapidana kasus korupsi dan terorisme. Alasannya, untuk menambah vitamin efek jera dan “menjauhkan” pelaku dari masyarakat selama mungkin. Hasil penelitian Imparsial menyatakan tingkat kepuasan publik dalam pemberantasan terorisme mencapai 80% dan sedikit catatan mengenai ekses penegakan hukum oleh Densus 88. Intinya, UU Tahun 2003 telah berhasil memenuhi harapan publik secara luas, sedangkan terhadap penegakan hukum UU Antikorupsi 1999/2001, tingkat kepuasan publik merosot tajam (TI), tapi survei hanya dibatasi pada kepuasan pelayanan publik, terutama terhadap para investor. Barometer keberhasilan pemberantasan korupsi seharusnya tidak hanya pada persepsi publik atau KPK seorang diri, juga pada Polri dan kejaksaan. Namun, dari dua jenis kejahatan luar biasa yang menyentuh kepentingan publik dan negara serta dipublikasi secara luas adalah pemberantasan korupsi, sehingga pemerintah lebih fokus terhadap korupsi dibandingkan terorisme. Contoh, untuk pemberantasan korupsi, secara khusus pemerintah telah menetapkan strategi nasional pemberantasan korupsi (stranas PK), tetapi belum tampak untuk terorisme. Hak-hak warga binaan (dengan latar belakang berbagai kejahatan) telah diatur dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang telah mengadopsi SMR (Standard Minimum Rules for the Treatment for the Prisoners) PBB Tahun 1955. Sampai kini belum ada penelitian menyeluruh tentang kegagalan pemasyarakatan beserta eksesnya kecuali yang terbaca di media nasional. Dengan demikian, menjadi sangat absurd jika tanpa hasil penelitian dilontarkan kebijakan pemerintah perihal moratorium. Sedangkan kebijakan pemerintah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan asas hukum pidana yang diakui universal mengharuskan hukum peralihan yang mengharamkan kerugian, kecuali yang menguntungkan bagi terdakwa/terpidana. Sebab, kebijakan hukum baru akan menjadi tidak adil bagi mereka yang terkena imbasnya setelah kebijakan baru diberlakukan dibandingkan dengan mereka yang telah menikmati haknya dengan kebijakan lama. Konvensi PBB Sisi keadilan dalam keseimbangan hak dan kewajiban warga negara termasuk terpidana merupakan tanggung jawab negara dalam memelihara dan melindungi hak setiap warga negara termasuk tersangka/terdakwa dan terpidana berdasarkan UUD 1945. Kajian hukum oleh Kemenkum HAM atas wacana moratorium remisi dan hak terpidana korupsi dan terorisme patut diapresiasi dan seyogianya mengikutsertakan para ahli kriminologi, ahli hukum, dan ahli psikologi karena masalah terpidana sangat kompleks (John Howard dan Gresham Sykes). Merujuk pada uraian di atas, di tengah-tengah gegap gempita kehidupan masyarakat karena korupsi dan terorisme, diperlukan pemikiran objektif agar tidak ada kebijakan hukum yang keliru yang akan muncul di masa depan dan tidak terpikirkan di masa kini. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 tidak menyentuh terpidana korupsi, tapi hanya meletakkan kewajiban kepada setiap negara peratifikasi untuk berusaha mengembalikan koruptor kepada masyarakat (Pasal 30 Ayat 10). Begitu pula Asean Convention on Counter Terrorism yang diadopsi negara anggota ASEAN termasuk Indonesia pada tanggal 30 Januari 2007 telah mewajibkan negara peratifikasi melaksanakan program rehabilitasi dan reintegrasi sosial untuk mencegah terorisme (Pasal XI). Inti dari kedua konvensi tersebut adalah perikemanusiaan yang adil dan beradab dan kesetaraan kebijakan hukum dengan standar regional dan internasional. (Sumber: Lampung Post, 3 Nopember 2011). Tentang penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Unpad, Bandung http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/romli-atmasasmita/page/3/

Kemerdekaan Terpidana


Oleh Romli Atmasasmita

Penulis sangat prihatin dengan tindakan negara melalui Kementerian Hukum dan HAM yang telah menunda hak terpidana untuk memperoleh remisi dan bebas bersyarat yang notabene didasarkan pada ketentuan undang-undang.

Sebuah instruksi Menteri Hukum dan HAM dapat menegasikan perintah undang-undang hanya karena aspirasi publik dan tidak jelas pula publik yang mana yang diakomodasi Menteri Hukum dan HAM.Dua orang di antaranya adalah Paskah Suzetta dan Hafiid,dua orang tokoh partai politik dan mantan pejabat negara.Bukan mustahil kebijakan lisan tersebut berlaku bagi narapidana lainnya (korupsi,terorisme dan narkotika).

Semua warga negara harus diperlakukan sama di hadapan hukum.Konsekuensi persamaan di muka hukum juga telah dialami oleh kedua mantan pejabat tersebut sejak dalam proses penyidikan sampai pada persidangan yang terbuka dan dibuka untuk umum.Namun ketika kedua orang ini telah menjadi terpidana maka prinsip persamaan di muka hukum bagi setiap narapidana tetap harus diberlakukan dan tidak diperbolehkan ada diskriminasi perlakuan kecuali mereka melakukan pelanggaran disiplin dan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan.

Kita tidak dapat menutup mata ada penyimpangan pemberian remisi dan bebas bersyarat terhadap terpidana bukan hanya korupsi dan terorisme melainkan juga pada kasus lainnya.Namun tindakan reaktif dalam bentuk penundaan pemberian hak remisi dan bebas bersyarat merupakan tindakan sewenang-wenang dari negara terhadap hak universal narapidana yang juga dijamin dalam UUD 1945 (Pasal 28 D ayat 1).

Bahkan dapat digolongkan sebagai bentuk pelanggaran HAM terpidana. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Pasal 30 ayat (10) menegaskan bawa setiap negara peratifikasi wajib(mandatory obligation) melaksanakan reintegrasi terpidana korupsi ke dalam masyarakat.

Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 sama sekali tidak memberikan mandat kepada negara peratifikasi untuk menunda atau meniadakan pemberian remisi atau bebas bersyarat kepada terpidana korupsi.

Karena masyarakat internasional memahami benar standard minimum rules (SMR) internasional tahun 1955 yang berlaku dalam pembinaan narapidana terlepas dari kejahatan yang telah dilakukannya.

Beda Ranah
Korupsi termasuk kejahatan luar biasa dan harus ditangani secara luar biasa baik dalam tingkat penyidikan maupun pada tingkat pemeriksaan di muka pengadilan.

Namun seketika putusan pengadilan telah dijatuhkan dan mengubah status terdakwa menjadi terpidana apalagi setelah memperoleh putusan pengadilan yang tetap maka tidak ada lagi perlakuan perlakuan yang luar biasa terhadap terpidana korupsi atau terorisme.

Karena keberadaan mereka di dalam lembaga pemasyarakatan bukan termasuk ranah penegakan hukum (law enforcement) lagi melainkan ranah pembinaan narapidana (treatment).

Atas dasar pembedaan tersebut maka sejak lama telah diakui perbedaan yang signifikan antara penghukuman (punishment) di satu sisi dan pembinaan narapidana (treatment of prisoners) di sisi lain.

Penerapan asas praduga tak bersalah hanya berlaku terhadap tersangka dan terdakwa, tidak berlaku untuk narapidana yang sedang menjalani hukumannya.

Kebijakan penundaan remisi dan bebas bersyarat bagi narapidana tertentu (korupsi, terorisme dan narkotika) dan tidak terhadap narapidana lain jelas bersifat diskriminatif.

Perlakuan itu hanya dibenarkan berdasarkan undang undang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 dan tidak boleh hanya didasarkan atas peraturan pemerintah apalagi peraturan menteri terlebih lagi hanya surat edaran dirjen.

Kebijakan tersebut hanya dibenarkan jika didasarkan pada UU perubahan terhadap UU pemasyarakatan tahun 1995.

Peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang menetapkan perbedaan perlakuan atas hak hak narapidana adalah cacat hukum dan karenanya batal demi hukum.

Segala konsekuensi dari akibat batal demi hukum dimaksud maka negara wajib membayar kompensasi atau ganti rugi terhadap narapidana yang telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya berdasarkan UUD 1945.

Dalam konteks kebijakan pemerintah yang keliru dan bertentangan dengan hak-hak konstitusional UUD 1945 maka Komnas HAM seharusnya turun tangan melakukan penyelidikan sesuai dengan UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Komnas HAM tidak dapat berdalih dan hanya berhenti dan tidak bertindak di balik pembedaan antara derogable rights dan nonderogable rights semata-mata melainkan seharusnya merujuk juga pada ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 yang hanya membenarkan pembatasan hak asasi dimaksud berdasarkan UU bukan bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam kasus penundaan pemberian remisi dan bebas bersyarat baru-baru ini justru terdapat keganjilan.

Ada sebagian narapidana yang telah menikmati dikeluarkannya SK Menteri Hukum dan HAM tentang Pembebasan Bersyarat terhadap mereka, dan ada yang belum menikmatinya sekalipun SK tersebut telah dieksekusi secara administratif oleh kepala rutan setempat.

Dalam konteks itu tampak bahwa di mata pemerintah narapidana bukan dipandang sebagai subjek hukum yang wajib diakui dan dihormati hak-hak asasinya.Narapidana telah dijadikan objek perlakuan oleh sebuah kekuasaan yang bersifat otoritarian atas nama kepentingan aspirasi publik semata-mata dengan menabrak dasar perundang undangan dan UUD yang berlaku.

Kita semua, termasuk penulis, tentu sepakat untuk memberantas korupsi sampai tuntas dan ke akar-akarnya. Akan tetapi semangat dan komitmen tersebut bukan semangat dan komitmen yang membabi-buta. Semangat itu harus dijalankan sesuai dengan dasar perundang undangan yang berlaku dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional berbangsa dan bernegara. (Sumber: Seputar Indonesia, 3 Nopember 2011)Tentang penulis:Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad).

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/romli-atmasasmita/page/2/