Pantai Karnaval Ancol, akhir 2006. Nick, mahasiswa tingkat dua salah satu perguruan swasta di Jakarta asyik berdansa bersama teman sebayanya menghabiskan malam tahun baru. Musik ajeb-ajeb ramuan disk jockey (DJ) malam itu tampaknya masih kurang menyemarakkan suasana, bagi Nick. Dikeluarkanlah beberapa butir pil inex dari kantongnya dengan tujuan menambah efek euforia pesta.
''Anda kami tangkap, atas kepemilikan narkoba,'' sergah seseorang di sebelah Nick, sambil menyematkan borgol di tangan pria berusia 19 tahun tersebut. Nick tak menduga, beberapa orang di antara kerumunan party goers ternyata reserse dari Polres Jakarta Utara. Proses hukum kemudian dilalui Nick, hingga akhirnya dia harus berlabuh di Lembaga.
Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, untuk masa empat tahun penjara. Berbincang dengan Republika, akhir Januari lalu, Nick mengatakan masa tahanannya tinggal dua tahun lagi. Nick mengaku terus menghitung hari kapan dia bebas. Bukan lantaran terisolasi dari lingkungan sosial yang menyebabkannya ingin cepat meninggalkan hotel prodeo, tapi karena kondisi penjara yang sesak.
Kurangnya waktu istirahat, ruang tahanan yang sumpek, hingga masalah berebutan fasilitas di dalam penjara menjadi pengalaman sehari-hari Nick. Karuan saja, LP Cipinang yang kapasitasnya 1.450 orang, saat ini penghuninya mencapai angka 3.700 orang. ''Namanya bukan penuh lagi, tapi berjubel,'' kata Nick.
Pengalaman mirip Nick juga terjadi di LP Bulak Kapal, Bekasi. Tingkat kelebihan kapasitas di LP Bulak Kapal bahkan lebih dahsyat lagi. Dari kapasitas huni 350 orang, jumlah warga binaan mencapai 1.800-an orang. Dengan jumlah penghuni yang mencapai empat kali lipat dari kapasitas, satu kamar diisi hingga 15 narapidana.
Salah seorang narapidana, sebut saja Teguh, menjelaskan, tiap narapidana di LP Bulak Kapal harus tidur bergantian saat malam hari. Teguh merinci, lima orang dipastikan tidur di lantai, tiga orang tidur di kasur, beberapa orang tidur dengan cara duduk. ''Ada yang jongkok, bahkan berdiri sebelum mendapat giliran tidur,'' kata Teguh, yang kini telah menghirup udara bebas.
Pada 14 Februari 2008 lalu di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Andi Mattalatta, mencanangkan bulan Februari sebagai bulan tertib pemasyarakatan. Salah satu programnya adalah tertib perikehidupan penghuni. Bagaimana mau tertib jika penghuni merasa sangat tidak nyaman tinggal di LP?
Berdasarkan statistik yang dimiliki Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham), rata-rata kelebihan kapastias hunian LP dan rutan di seluruh Indonesia dalam dua tahun terakhir mencapai 45 persen. Pada 2006, kapasitas hunian LP dan rutan se-Indonesia sebanyak 70.241, narapidana tercatat 116.688 orang. Di tahun 2007, peningkatan jumlah kapasitas menjadi 81.384 juga diiringi peningkatan jumlah narapidana sebanyak 130.832.
Kelebihan kapasitas hunian penjara tersebut diduga menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah di Lembaga Pemasyarakatan. Sebut saja berjangkitnya penyakit menular dari penyakit kulit hingga HIV/AIDS, peredaran narkoba, hingga perkelahian antarnapi. ''Kelebihan kapasitas bisa mengakibatkan seorang napi kurang istirahat dan berujung penyakit,'' tambah Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Untung Sugiono, menyebutkan salah satu akibat.
Untuk menanggulanginya, Depkumham pun putar otak. Pembangunan LP atau rutan baru di Indonesia bukannya tidak diprogramkan oleh Depkumham, namun dinilai masih kurang solutif karena tidak didukung anggaran yang memadai. Solusi strategis dan efisien menanggulangi overkapasitas saat ini adalah lewat program pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), dan cuti bersyarat (CB).
Solutif dan hemat anggaran. Dua kata optimistis inilah yang dipercaya melekat pada program PB, CMB, dan CB. Terbukti pada 2006, dengan jumlah pembebasan bersyarat sebanyak 5.346 orang, Depkumham menghemat biaya makan narapidana hingga Rp 21 miliar. Di tahun 2007, biaya yang bisa dihemat mencapai Rp 27 miliar lewat pemberian PB, CMB, dan CB kepada 13 ribu narapidana. ''Tahun 2008 ditargetkan 15 ribu naparapidana, sehingga bisa hemat anggaran sampai Rp 36 miliar,'' tambah Untung.
Menkumham Andi Mattalatta juga tengah menyusun strategi baru agar program pemberian pembebasan bersyarat dan sejenisnya semakin signifikan hasilnya. Depkumham, kata Andi, tengah berupaya merevisi SK Menkumham No M.01.PK.04.10 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Revisi rencananya akan menyentuh soal penyederhanaan syarat administratif dalam pengajuan asimilasi, PB, CMB, dan CB. Selain itu, narapidana dengan pidana di bawah satu tahun diberikan CB dengan ketentuan jika saat cuti melakukan tindak pidana lagi, maka lama cuti yang dijalani tidak dihitung sebagai masa hukuman.
Anggota Staf Program Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Lollong Manting Awi, mengingatkan, program pembebasan bersyarat dan sejenisnya tersebut harus dibarengi dengan mekanisme kontrol yang baik. Karena, menurut Awi, program tersebut sangat rawan dimanfaatkan oknum petugas LP atau rutan. ''Di beberapa LP masih banyak laporan pemberian cuti bersyarat atau pembebasan bersyarat harus disertai setoran uang ke petugas,'' kata Awi.
Menurut Awi, pemerintah juga seharusnya segera mempercepat penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang baru. Pasalnya, dalam RUU KUHP yang baru, dimungkinkan sistem kerja sosial diberlakukan untuk pidana penjara yang tidak lebih dari enam bulan. Dalam pasal 79 ayat (1) RUU KUHP disebutkan bahwa pidana penjara yang tidak lebih dari enam bulan, atau denda yang tidak lebih dari denda kategori 1, dapat diganti dengan pidana kerja sosial. Perubahan yang paling signifikan dalam RUU tersebut adalah pertimbangan memperketat syarat-syarat penahanan sehingga orang tidak mudah masuk ke LP atau rutan.
http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=MekanismeLegislasi&op=detail_politik_mekanisme_legislasi&id=2099