PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Kamis, 16 September 2010

Banyak Hak-hak Napi yang Dirampas

Jumat, 20 Agustus 2010 17:04 | E-mail

Oleh : Wahyudi

Jakarta, MediaProfesi.com -Tidak sedikit hak-hak daripada narapidana yang tidak didapatkannya ketika berada di jeruji besi. Guna mengembalikan haknya tersebut Paguyuban Narapidana dan Mantan Narapidana (NAPI) mengumpulkan satu kekuatan dari narapidana untuk memperjuangkan hak-haknya yang tidak didapatkan.

Menurut Ketua Paguyuban NAPI yang berdiri sejak Agustus 2006 dan Akte Notaris baru keluar 2007 Rahardi Ramelan mengatakan, banyak sekali hak-hak narapidana yang tidak didapatkan. Saya sendiri sudah merasakan sebagai narapidana kehilangan hak kita yang seharusnya di dapatkan, pada waktu berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP).

“Salah satunya kehilangan kebebasan, yang seharusnya dijamin negara. Tapi malah kita diperas,” katanya usai menerima bantuan dana sebesar Rp 17 juta dari Yayasan Kado Anak Muslim di Jakarta (16/8).

Lebih lanjut Dia mengatakan banyak peraturan yang bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), bahkan banyak peraturan di LP yang bertentangan dengan konsep kemasyarakatan itu sendiri.

Ini menjadi tugas kita dari Paguyuban NAPI untuk mendorong dalam merubah berbagai macam peraturan yang ada saat ini. “Kita sudah berhasil memperbaiki peraturan-peraturan yang ada, sehingga banyak sekali akhirnya orang yang mendapat kebebasan bersyarat bisa dipercepat, dan lain-lain. Karena cara penghitungannya mereka keliru,” imbuhnya.

Dia mengakui memang masih banyak perjuangan yang harus dilaksanakan. Banyak peraturan yang sekarang tiba-tiba muncul mengenai hak-hak narapidana yang dipotong lagi, misalkan mereka tidak bisa membayar denda. Sehingga belum diperbolehkan di asimilasi dan tidak bisa mendapat remisi.

“Denda itu sebagai uang pengganti, jikalau dendanya belum dibayar belum boleh di asilimilasi, mereka juga tidak mendapat remisi. Itu yang sampai saat ini masih kita perjuangkan,” tambah mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Presiden Habibie.

Masalahnya bagaimana jika napi tersebut tidak mempunyai uang? Sebab banyak sekali napi yang tidak punya apa-apa. Dan hidup di dalam penjara itu sebetulnya lebih mahal dari pada hidup di luar. Ini yang sedang Paguyuban perjuangkan sekarang, supaya Undang-undang (UU) kita itu jangan hanya memperhatikan nara pidana, tapi juga terhadap keluarganya.

Keluarganya hidup lebih sengsara daripada mereka yang dipenjara. Kalau mereka di penjara, saya bisa ketemu tiap hari dengan orang yang sama. Tapi yang di luar penjara, seperti ibunya pergi ke pasar, bapaknya mana? Mau jawab apa, bapaknya di penjara malu. Ini tidak ada yang memperjuangkan. Hidupnya lebih susah dan sengsara, karena membiayai suami yang dalam penjara, yang hidupnya lebih mahal.

Selain memperjuangkan hak-hak yang hilang dan memperbaiki UU yang berlaku selama ini yang kurang manusiawi, dan bertentangan dengan dengan situasi di LP. Paguyuban memfokuskan untuk memberikan ketrampilan atau pelatihan di dalam penjara. Sehingga kalau mereka keluar tidak mengulangi kejahatan kembali.

Kegiatan yang sudah kita laksanakan pada saat ini menyelenggarakan pelatihan. Dimana kami sudah menginisiasi pendirian Fakultas Hukum di dalam LP.

Ada 4 LP sekarang yang sudah melaksanakan yakni di LP Cipinang, LP Salemba, dan 2 LP di daerah Tangerang. “Rencananya pada Januari 2011 dilakukan wisuda pertama S1. Dalam hal ini kami bekerjasama dengan Universitas Bung Karno. Lumayanlah, karena akreditasinya B, kan bagus akreditasi B itu,” ujar Rahardi.

Dalam pelatihan ini dosennya kita datangkan ke LP. Sedangkan biaya tetap sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa yang belajar itu sendiri. Sementara bagi mahasiswa yang tidak bisa membayar tapi mau kuliah, maka biayanya dibiayai oleh mereka yang mempunyai uang, atau disini terjadi subsidi silang.

Paguyuban tentunya tidak akan tinggal diam dalam mencari dana. “Kalau masih kurang, kami dari Paguyuban mencari dana untuk membiayai. Jadi bagi mereka yang tidak sanggup membayar, kita yang memberikan bea siswa,” terangnya.

Mahasiswa tidak hanya napi yang berada di LP saja saat ini yang kuliah. Tapi ada juga petugas LP yang menjadi mahasiswa, sedangkan biayanya dari bea siswa Paguyuban.

Paguyuban tidak membedakan terhadap mereka yang ingin kuliah. “Artinya diantara napi yang kuliah itu, ada yang sedang menjalani hukuman seumur hidup. Tujuan kami memberikan pelatihan kepada mereka untuk dapat memahami masalah hukum,” kata Rahardi.

Jumlah mahasiswa sampai saat ini sekitar 100 orang. Di LP Cipinang ada 42 mahasiswa, di LP Salemba 20 dan sisanya di 2 LP Tangerang.

Sekarang sedang dijajaki akan menyelenggarakan pelatihan di LP Riau untuk Fakultas Kriminologi yang akan bekerjasama dengan Universitas Islam Riau. * (Wah/Syam)

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:8Wq8lMOx9JYJ:mediaprofesi.com/hukum/198-banyak-hak-hak-napi-yang-dirampas.html+napi,+narapidana&cd=138&hl=id&ct=clnk&gl=id


Semua Napi Berhak Mendapatkan Remisi


Remisi Koruptor


JAKARTA - Hari Ulang Tahun Republik Indonesia mungkin merupakan hari yang istimewa bagi para tahanan yang mendekam di balik jeruji besi. Pasalnya jika mereka beruntung mereka bisa segera menghirup udara bebas dan berkumpul kembali bersama keluarga. Sebab di hari kemerdekaan itu para tahanan diberikan remisi (pengurangan hukuman).

Tanpa terkecuali keluarga para napi. Mereka harap-harap cemas, apakah nama sanak saudara mereka masuk daftar penerima remisi, yang artinya akan memperpendek masa mendekam di hotel prodeo tersebut, atau malah sebaliknya, tidak mendapat remisi sama sekali.

Itu artinya, mereka mesti menunggu pada tahun mendatang lagi, dengan harapan yang serupa. Remisi merupakan hak setiap napi yang dijamin undang-undang dan peraturan pemerintah.

Bicara tentang remisi, publik di Indonesia barangkali masih ingat dengan remisi yang diberikan terhadap Tommy Suharto. Konon, selama menjalani masa pemidanaan di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pangeran Cendana ini total mendapat remisi lebih dari 2,5 tahun ditambah pembebasan bersyaratnya.

Remisi kilat beberapa waktu lalu juga diberikan kepada Rahadi Ramelan. Ketika itu, hanya berselang beberapa hari setelah dirinya ditahan di Rutan Cipinang, Rahadi pun mendapatkan remisi pada 17 Agustus tahun itu. Kini remisi kilat tersebut juga diberikan kepada koruptor Syaukani mantan Bupati Kutai Kertanegara yang divonis 6 tahun penjara. Tanggal 17 Agustus kemarin Syaukani dinyatakan bebas dan hanya menjalani setengah dari vonis yang dijatuhkannya.

Di tahun 2010 ini, 58.234 narapidana akan mendapat pengurangan masa hukuman. Di antara para penerima remisi tersebut, 4.780 di antaranya akan langsung menghirup udara bebas.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiono mengatakan narapidana yang mendapatkan remisi umum pada 17 Agustus tahun ini berjumlah 53.454 narapidana. Selain itu, masih ada 506 narapidana yang mendapatkan remisi tambahan.

Jumlah itu masih ditambah 4.780 narapidana yang akan mendapatkan bebas langsung karena masa hukumannya telah selesai karena mendapat remisi. ”Total jumlahnya narapidana yang mendapat remisi 58.234 orang,” kata Untung kepada pers.

Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat pertama penerima remisi dengan 7.432 narapidana, dilanjutkan dengan Sumatra Utara 6.446 narapidana, dan berikutnya Jawa Timur dengan 4.833 narapidana.

Menurut Untung, jumlah tersebut masih akan bertambah karena data penerima remisi pada Kantor Wilayah Pemasyarakatan Sulawesi Barat belum masuk.

Pemberian remisi secara simbolis diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang, tepat pada saat perayaan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2010.

Ketentuan mengenai pemberian remisi diatur dalam PP No 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas PP No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Untung menyebut semua narapidana berhak mendapat remisi. Syarat napi menerima remisi adalah bila narapidana telah menjalani hukuman lebih dari enam bulan.

Sementara untuk narapidana kasus tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi bila telah menjalani sepertiga masa hukuman.

“Contohnya ada narapidana kasus lain, misalnya pencurian, dihukum tiga tahun, ia sudah berhak dapat remisi pada masa hukuman enam bulan. Sementara narapidana kasus terorisme yang hukumannya tiga tahun baru memperoleh remisi bila sudah menjalani hukuman satu tahun,” ujarnya.

Mengenai besarnya remisi, lanjutnya, narapidana yang telah menjalani hukuman enam hingga 12 bulan mendapat remisi satu bulan. Narapidana yang telah menjalani hukuman dua tahun akan mendapat remisi dua bulan, tahun ketiga mendapat remisi tiga bulan, dan seterusnya hingga maksimal mendapat remisi enam bulan per tahunnya.

“Jadi bila ada koruptor yang dibebaskan karena dia telah memenuhi ketentuan yang diatas. Tidak benar jika ada permainan suap atau karena dia mempunyai uang dan membeli remisi,” katanya.

Di samping itu, bagi narapidana yang berjasa bagi negara, tambahnya, akan mendapat tambahan remisi, yaitu setengah dari masa remisi. Hal itu juga berlaku bagi narapidana yang berperan positif selama di lapas.

“Misalnya mereka yang menjadi mubaligh, mengajari keterampilan bagi narapidana lain. Mereka akan mendapat tambahan sepertiga dari masa remisi,” ungkapnya. Untung mengatakan negara tidak berhak membuat orang lebih buruk daripada keadaan sebelum orang tersebut masuk lapas, baik secara mental maupun fisik.

Karena itu, remisi merupakan bagian dari proses mereka menjadi lebih baik karena memberi harapan lebih cepat membaur dengan masyarakat. Konsep lembaga pemasyarakatan di Indonesia adalah memberi program agar para napi siap kembali ke masyarakat, bukan konsep lama yang menitikberatkan pada banyak pembatasan seperti konsep penjara.

Konsep di lapas adalah reintegrasi ke masyarakat. “Artinya, satusatunya derita yang dialaminya adalah kehilangan kemerdekaan gerak, tapi hak lain masih melekat pada mereka dan wajib dilindungi negara.

Mereka masih bisa berkomunikasi dengan keluarga, dan mereka bukan objek,” ujarnya. Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan konsep penjara sudah lama ditinggalkan di Indonesia.

Penjara memiliki konotasi serba mengekang dan identik dengan kekerasan, serta tidak mempersiapkan orang kembali ke masyarakat. Sekarang ini, konsep yang dianut adalah lembaga pemasyarakatan.

Dengan konsep ini, hanya kebebasan fisik yang tidak diperoleh para napi ini, yaitu tidak boleh keluar dari lingkungan lembaga pemasyarakatan. Kegiatan lain, seperti mengembangkan bakat, bekerja, berolah raga, dan rekreasi, diperkenankan.

“Dengan masuk penjara, bagi orang yang pertama kali mengalaminya, tentu akan membuat dia jera karena kebebasannya dirampas. Itu sudah cukup. Hal ini tentu berbeda dengan orang yang sudah keluar-masuk penjara,” tuturnya.

Dengan adanya remisi ini, menurutnya, proses reintegrasi dengan masyarakat akan dipercepat. Pasalnya, semakin lama mereka berpisah dari masyarakat, akan semakin buruk mental dan psikologisnya.

Namun remisi juga harus memiliki syarat, yaitu narapidana harus berkelakuan baik selama berada di lapas sehingga nantinya di masyarakat tidak akan membuat hal yang meresahkan lingkungannya. Lebih jauh Adrianus menambahkan sebelum memberikan pengecualian remisi bagi narapidana teroris, narkoba dan korupsi, yang perlu dilakukan adalah mengubah dulu undang-undang tentang permasyarakatan.

Saat disinggung adanya perbedaan pelayanan yang diberikan di lapas terhadap napi khususnya koruptor, Adrianus menyebutkan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham tidak berwenang memberi perlakuan beda sebab akan melanggar undang-undang yang membolehkan narapidana korupsi dan terorisme mendapat remisi.

Terpidana kasus terorisme harus mendapatkan tambahan pembinaan sebelum mendapat kebebasan kembali ke masyarakat. Ia mencontohkan di Singapura dan Arab Saudi, para narapidana terorisme mendapat pembinaan agama untuk mencuci otak mereka kembali dengan ajaran yang benar tentang agama.

Hal senada juga disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Rudi Satrio Mukantardjo, mengatakan remisi merupakan hak setiap narapidana, termasuk yang melakukan pidana terorisme, narkoba, dan korupsi.

Ia tidak setuju bila mereka mendapat pengecualian melihat syarat remisi yang berbeda bagi mereka dibandingkan narapidana yang lain. Ia mengatakan bila para koruptor dan narapidana terorisme mendapat perlakuan berbeda dengan narapidana kasus lainnya, malah akan mempersulit pembinaan.

“Mereka itu juga manusia, dan berhak mendapatkan kebebasan. Jika ditahan terus tentu akan mempersulit pembinaan,” ujarnya.

Remisi bagi warga binaan di lapas merupakan hal sangat penting yang mereka dambakan. Demikian juga dengan sel khusus bagi koruptor dan narapidana korupsi, Rudi menyatakan tidak setuju karena hal itu menunjukkan adanya diskriminasi di dalam lapas.

http://klikp21.com/laporan-khususnews/10890-semua-napi-berhak-mendapatkan-remisi

Lembaga Pemasyarakatan/Penjara Di Indonesia Kurang Mendidik Napi (Narapidana)

Mon, 12/07/2010 - 12:56am — Arkhan

Kalau kita dengar pengakuan jujur dari para mantan napi dan napi aktif tentang pengalaman mereka selama berada di bui (lp / penjara) mungkin akan membuat kita yang hidup serba berkecukupan dan hidup bebas tidak akan pernah mau tinggal di balik jeruji besi. Tetapi mungkin berbeda jika yang kita tanya adalah napi kelas kakap yang punya banyak uang. Kenapa bisa begitu? Saya yakin ada yang salah di penjara.

Seharusnya penjara adalah tempat yang nyaman untuk belajar dan mengubah diri menjadi lebih baik. Penjara seharusnya bukan tempat untuk menyiksa para penjahat atas kesalahan yang mereka perbuat. Kalau untuk penjahat sejati yang doyan / langganan keluar masuk penjara wajarlah penjara tipe siksaan fisik dan mental (tembok derita) yang mereka terima. tetapi untuk yang masuk penjara karena faktor ketidaksengajaan, khilaf, kesalahan sepele, lapar, difitnah dan sebagainya diberi hukuman yang ringan dan dapat tipe penjara yang nyaman.

Selama di dalam penjara, para napi yang baik dan masih bisa dibina jadi orang baik serta tidak akan mengulangi perbuatannya sebaiknya diperlakukan secara baik dan sama tanpa kekerasan dan pemerasan. Tidak boleh ada premanisme di dalam sel penjara. Mereka semua belajar lagi tentang moral, budi pekerti, sosial, agama, dan sebagainya.

Bagi yang terkena kasus kerena tidak tahu cara mencari uang halal sebaiknya diajarkan wirausaha atau disekolahkan hingga perguruan tinggi dengan beasiswa penuh pemerintah sesuai UUD 1945. Kasihan jika orang yang baik mendekam dalam penjara dalam waktu lama dan penuh penderitaan. Bisa-bisa mereka jadi benci sama negara dan merencanakan balas dendam menghancurkan bangsa kita ini.

Untuk penjahat sejati yang otaknya memang tidak bisa menjadi baik sebaiknya dibuang ke suatu daerah atau pulau yang jauh dari peradaban orang baik-baik. Biarkan mereka berinteraksi dan dibina antar sesamanya. Untuk apa mereka kembali ke masyarakat kalau kelakuannya tidak akan bisa berubah. Kembali bebas pun ia akan berbuat jahat lagi pada orang lain. Yang tidak bisa dibina sebaiknya dibinasakan saja!

http://organisasi.org/lembaga-pemasyarakatan-penjara-di-indonesia-kurang-mendidik-napi-narapidana


Rabu, 19 Mei 2010

Memahami Kejahatan dan Efektivitas Penjara

Pemasyarakatan adalah perlakuan terhadap pelanggar hukum yang tidak lagi semata-mata menekankan pada aspek penjeraan belaka, namun lebih merupakan suatu upaya mewujudkan reintegrasi sosial, yaitu pulihnya kesatuan hubungan hidup, penghidupan dan narapidana (warga binaan) pemasyarakatan baik sebagai pribadi, anggota masyarakat maupun sebagai insan Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber : Suara Pembaruan

Pemasyarakatan adalah perlakuan terhadap pelanggar hukum yang tidak lagi semata-mata menekankan pada aspek penjeraan belaka, namun lebih merupakan suatu upaya mewujudkan reintegrasi sosial, yaitu pulihnya kesatuan hubungan hidup, penghidupan dan narapidana (warga binaan) pemasyarakatan baik sebagai pribadi, anggota masyarakat maupun sebagai insan Tuhan Yang Maha Esa.

Kesan masyarakat terhadap Lembaga Pemasyarakatan saat ini tak ubahnya sebagai "penjara" dengan jumlah penghuni yang melebihi kapasitas, penyebaran penyakit (HIV/AID), "pungutan liar", diskriminasi perlakuan terhadap narapidana golongan bawah dibandingkan dengan napi golongan atas, dan lain-lain. Dari hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2008, Pemasyarakatan termasuk dalam ranking teratas dalam pelayanan publik terburuk.

Karakteristik Penjara

Sykes dan Messinger (1967) menjelaskan, persoalan utama di dalam lingkungan sosial penghuni penjara adalah bertemunya narapidana dengan penjahat-penjahat yang lain. Para pembunuh, pemerkosa, pencuri, orang-orang kepercayaan (confidence men), dan penyimpangan seksual. Mereka adalah rekan-rekan tetap para penghuni penjara, yang diakrabi dan kemungkinan untuk menjadi residivis menjadi mantap.

The worst thing about prison is you have to live with other prisoners (Hal yang paling buruk dari penjara adalah Anda hidup di antara penjahat-penjahat).

Sykes juga menjelaskan, bahwa pemenjaraan menimbulkan sejumlah "derita" (the pains of imprisonment) bagi narapidana, yaitu kehilangan kemerdekaan (loss of liberty), kehilangan atas pemilikan barang dan pelayanan (loss of goods and seni-ces), kehilangan hubungan heteroseksual (loss of heterosexual relationship), kehilangan otonomi (loss of autonomy), kehilangan rasa aman (loss of security).

Selanjutnya, Sykes menjelaskan, di satu sisi, gerak populasi narapidana justru membuat persoalan di dalam penjara menjadi akut. Di sisi lain, karakteristik penjara didominasi oleh suatu sistem nilai yang berupa kode pergaulan (inmate code) yang tercipta secara khusus, sebagai jalan keluar untuk mengurangi "derita-derita" pemenjaraan di antara para narapidana dan dalam berhadapan dengan petugas.

Kehidupan di dalam penjara adalah kehidupan yang antagonis. Cressey menjelaskan, bahwa organisasi sosial di dalam penjara pada dasarnya terdiri dari susunan tindakan ratusan orang yang disinkronisasikan. Mereka adalah sejumlah pegawai dan narapidana yang saling membenci, saling hormat dan menyayangi, saling berjuang secara fisik dan psikologis, dan saling bersaing untuk diperlakukan baik, mengejar prestise, kekuasaan dan uang. "Organisasi sosial" penjara merupakan fenomena kompleks dengan aspek-aspek yang hampir tidak kelihatan dan sangat halus. Rencana-renca-na organisasi yang menunjukkan sederetan wewenang dan hubungan di antara jabatan petugas, tetapi kadang-kadang tidak menunjukkan organisasi kelembagaan yang nyata, khususnya tentang siapa sebenarnya yang mempunyai wewenang nyata, atau siapa mempengaruhi siapa.

Altematif Solusi

Salah satu dari Sepuluh Prinsip pemasyarakatan menegaskan bahwa, "Negara tidak berhak membuat orang menjadi lebih buruk/jahat daripada sebelum ia dipenjarakan/masuk lembaga", maka penggunaan bangunan untuk memenjarakan orang hams dibatasi penggunaan nya kepada mereka yang, kalau tidak dipenjarakan, akan merupakan bahaya besar bagi masyarakat. Hal ini dapat terjadi bila hukum pidana baik yang substantif maupun prosedural, diorientasikan dalam orbit yang societal (berbasis masyarakat) dan tidak kaslodial (bersifat menahan).

Perbedaan antara kehidupan "dalam penjara" dankehidupan "luar penjara" harus diminimalkan. Penurunan perbedaan ini sangatlah penting jika menginginkan para tahanan/narapidana yang dibebaskan dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam masyarakat. Kondisi ini hanya dapat dicapai bila manajemen pemasyarakatan keluar dari ketertutupannya.

Sejalan dengan berkembangnya wacana tentang paradigma tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), selayaknya kebijakan pemasyarakatan tidak lagi hanya menjadi domain pemerintah (melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan), namun memberi peluang bagi dibukanya keterlibatan swasta dalam proses pembinaan dalam bentuk penciptaan aktivitas ekonomi bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Untuk itu, diperlukan res-ponsivitas dari semua stakeholder atas kebijakan pemasyarakatan untuk mendukung kesinambungan kemanfaatan kebijakan pemasyarakatan bagi kemaslahatan hidup warga negara dalam mewujudkan tujuan-tujuan pemasyarakatan melalui kegiatan dengan partisipasi masyarakat yang lebih tinggi.

Dengan proses penyelarasan tersebut, identifikasi kondisi yang ada dalam manajemen pemasyarakatan merupakan titik awal yang harus dilakukan secara menyeluruh. Di samping itu, tuntutan akan peran lapas dalam mengantisipasi kecenderungan perubahan kondisi lingkungan di luar lapas perlu didorong secara saksama.

Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas juga dituntut Ipengertiannya bahwa kejahatan bukanlah fenomena pelanggaran hukum saja, agar kecenderungan memidanakan (memenjarakan) dapat diminimalisasi.

Kejahatan adalah suatu ketentuan mengenai perilaku manusia yang diciptakan oleh golongan berkuasa dalam masyarakat yang secara politis terorganisasi. Dalam pengertian ini pembuat undang-undang, polisi, jaksa, dan hakim yang mewakili segmen-segmen masyarakat bertanggung jawab menentukan dan menegakkan hukum (pidana).

Dari sudut pandang ini dapat dihindari "perspektif klinis" yang melihat pada kualitas tindakan dan menganggap kejahatan sebagai patologi individual. Crime is created, dalam arti kejahatan pada hakikatnya bersumber pada struktur masyarakat yang bersangkutan, demikian kata Richard Quenney.

Oleh karena itu, kegagal-an-kegagalan dan malafungsi sosial dalam masyarakat seperti pengangguran, diskriminasi, ketidakseimbangan di bidang ekonomi, kehidupan kota yang berdesak-desakan, dan sebagainya, mempengaruhi kehidupan anggota masyarakat banyak dan menciptakan status sosial dan menimbulkan kejahatan. Inilah yang lebih penting untuk diperhatikan daripada tetap menganggap penahanan dan pemenjaraan adalah cara yang paling efektif dalam memerangi kejahatan.

Penulis adalah Kriminolog Ul, Dewan Ahli Persatuan Narapidana dan Mantan Narapidana Indonesia.

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&view=article&id=2401:memahami-kejahatan-dan-efektivitas-penjara&catid=17:suarapembaca


Senin, 10 Mei 2010

Dewan Kesenian SUrabaya Ajak Napi Medaeng Main Teater

SURABAYA | SURYA Online - Dewan Kesenian Surabaya (DKS), mengajak tujuh narapidana (napi) dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Medaeng, Sidoarjo, untuk bermain teater dengan lakon “Rasanya Baru Kemarin.”

“Lakon yang dimainkan penghuni Rutan Medaeng yang tergabung dalam Kelompok Teater Layar itu, diangkat berdasarkan pengalaman para pemainnya itu sendiri,” kata Bendahara Umum DKS Hanif Nashrullah di Surabaya, Selasa (4/5/2010).

Aktor teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) itu mengemukakan, napi yang tergabung dalam kelompok teater itu berasal dari beragam kasus dan ada yang baru sekali masuk sel tahanan dan ada yang berkali-kali, bahkan ada yang lebih dari lima kali.

“Lakon itu akan dipentaskan pada 6 Mei 2010 pukul 13.00 WIB dalam durasi 30 menit, namun acaranya tertutup untuk umum karena pihak keamanan Rutan belum siap mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk,” paparnya.

Sementara itu, sutradara “Rasanya Baru Kemarin” Zainuri mengatakan, lakon yang dimainkan itu melibatkan tujuh napi, yakni empat napi perempuan dan tiga napi laki-laki.

“Lakon yang dimainkan juga menggali dari pengalaman selama di tahanan yang merupakan tempat yang susah bagi mereka dan sehari-hari sering digunakan untuk main judi tanpa kreativitas lain,” tuturnya.

Di tahanan, kata Zainuri yang juga aktor BMS itu, mereka sering tidak stabil dan hanya memamerkan kelebihan dalam kriminalitas, seperti ada yang pernah berbuat jahat dua kali dan bahkan lima kali.

“Mereka memamerkan kejahatannya yang dilakukan dengan memotong tangan orang yang dijambret, tapi ada yang mengawali kejahatan dengan berkelahi. Di Medaeng, mereka merasa susah, kesepian, dan seperti tidak ada gunanya,” ujarnya mengungkapkan.

Tentang cerita dalam lakon “Rasanya Baru Kemarin” itu, ia mengatakan, cerita bermula dari tiga napi laki-laki yang tidak tidur karena kalah dalam berjudi.

“Akhirnya, mereka capek dan tertidur. Dalam tidurnya, ketiganya bermimpi tentang perempuan yang diidolakan dan perempuan yang diimpikan, juga perempuan sesama tahanan,” paparnya.

Namun, mereka akhirnya terbangun dan mimpi yang dirasakan bukan kenyataan. “Di Medaeng memang nggak ada malam, siang, atau sore, bahkan mimpi dan kenyataan juga hampir sama,” katanya.

Mengenai target dari latihan teater untuk napi, aktor yang pernah melatih napi di LP Blitar itu mengemukakan, dirinya ingin menetralisasikan kebekuan pemikiran para napi supaya tidak menyimpan kekerasan dan mampu menata hati.

“Dengan bermain teater, kami mengajak mereka untuk mengungkapkan uneg-uneg yang di dalam diri mereka, sehingga mereka akan bisa berhati-hati di masa datang. Mereka akan mampu melihat kesusahan sebagai sesuatu yang indah dan tidak disikapi dengan narkoba dan sejenisnya,” tutur Zainuri.


Disesalkan Ego Penegak Hukum masih Tinggi


Kamis, 06 Mei 2010 19:31 WIB

JAKARTA--MI: Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyesalkan tingginya ego penegak hukum dalam menetapkan keadilan bagi rakyat. Masing-masing penegak hukum seakan merasa berhak memvonis tanpa mempertimbangkan kondisi terpidana secara utuh.

"Ada persoalan pengabaian ham di lembaga pemasyarakatan karena kurang terintergrasinya kinerja para penegak hukum. Ternyata masing-masing penegak hukum bersikukuh pada ego sentralnya, yang jadi korban malah rakyat kecil," kata Patrialis.


Hal tersebut diungkapkannya seusai mehadiri rapat dengar pendapat umum pansus RUU tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (6/5).

Penegak hukum tersebut lanjutnya, merasa tak bisa disalahkan atas putusan yang ditetapkan terhadap narapidana kelas teri. Masing merasa memiliki diskresi yang tinggi atau hak untuk mengecualikan aturan hukum.

"Seorang hakim misalnya, merasa dapat menghambat pemberian ekstra vonis kepada seorang narapidana. Padahal dengan tidak adanya ekstravonis, hak-hak narapidana tersebut akan hilang," sesalnya.

Menurut mantan anggota DPR tersebut, salah satu oenyelesaiannya ada pada kemauan antar penegak hukum untuk mengomunikasikan berbagai kewenangan yang dimilikinya. Ide forum antar penegak hukum mahkumjakpol, imbuhnya, merupakan salah satu upaya menekan tingginya ego penegak hukum.

"Kami ingin antisipasi, jangan lagi terjadi ada diskresi yang besar terhadap oknum tertentu karena kewenangan yang dimiliki," tegasnya

Komunikasi tersebut diingatkan Patrialis bukan sebagai langkah intervensi. Para penegak hukum tak akan diganggu kewenangannya. "Misalnya, dengan tidak diserahkannya ekstravonis oleh hakim napi jadi tak dapat remisi, asimilasi, pembebasan bersayarat, cuti hingga eksekusi keluar penjara. Ini salah. Memang sebelum memutus perkara itu independensi hakim untuk buat putusan, tapi Setelah memutus perkara, kami (kemenkumham) berhak minta ekstravonis," jelasnya. (*/OL-03)

http://m.mediaindonesia.com/

Jumat, 07 Mei 2010

Sakit Diabaikan Napi LP Cipinang Meninggal

JAKARTA--MI: Adrian Pandelaki menghembuskan nafas di depan selnya di LP Cipinang, Jakarta, Jumat (5/3), pukul 23.30 WIB. Narapidana yang tersangkut kasus LC Bank BNI 46, Kebayoran Baru, pada 2003 ini sakit dan sudah mengajukan haknya untuk mempertahankan hidup tetapi diabaikan pejabat LP Cipinang.

"Kami sudah berteriak meminta pertolongan. Tidak ada alat-alat medis untuk menolong nyawa teman kami. Tandu saja tidak ada. Kami terpaksa mengangkat bersama-sama," ungkap kawan almarhum yang juga menghuni sel 131 LP Cipinang ini kepada Media Indonesia (MI), Minggu (7/3).

Curahan kawan almarhum disampaikan saat MI membesuk rekan yang ditahan di LP Cipinang. Kawan almarhum, yang minta namanya dirahasiakan ini menuturkan, Adrian Pandelaki sudah lama menderita sakit jantung. Minggu-minggu belakangan ini, Adrian selalu sesak nafas karena udara yang pengap dan sumpek akibat AC (air conditioner/penyejuk ruangan) dicabut.

"Dia meninggal karena haknya untuk mempertahankan hidup sesuai dengan UU tidak diberikan oleh sang pejabat. Takut dipersalahkan oleh Satgas Mafia Hukum. Jabatan lebih penting daripada nyawa. Semua dipukul rata. Hati nurani pun sirna. Yang penting tidak diperiksa. Inilah gambaran umum pejabat di negeri kita. Saya ingin bertanya apakah dasar negara kita masih Pancasila?" keluhnya kepada MI.

Kawan satu sel Adrian ini menambahkan, dirinya sudah menandatangani petisi bersama 21 orang narapidana lain, antara lain adalah Syahril Sabirin (mantan gubernur Bank Indonesia) dan Nelu (mantan dirut bank Mandiri). Petisi tersebut isinya meminta hak asasi narapidana tetap dipenuhi, termasuk almarhum Adrian Pandelaki juga menandatangani petisi.

"Tiga minggu lalu sudah kami kirim ke Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Dijanjikan boleh memakai AC, asal ada surat dokter. Kami sudah memenuhi permintaan itu dan syarat-syarat lain yang diminta. Tapi tidak ada follow up, hingga Adrian Pandelaki mati di sini. Ini tidak manusiawi," kesalnya.

Bukan hanya permintaan pemasangan AC diabaikan, ungkapnya, sejak tiga minggu lalu, Adrian sudah mengalami sesak nafas. Ia telah mengajukan permintaan agar dapat berobat ke luar LP Cipinang, namun selalu ditolak kepala lembaga pemasyarakaran (kalapas) Cipinang.

Padahal dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan sudah jelas mengatur hak dan kewajiban narapidana. Satu-satunya hak yang hilang dari narapidana itu hanya kemerdekaan fisik. Mereka tetap memiliki hak untuk mendapat informasi, makanan bergizi, beribadah, dan mendapat kesehatan layak.

Sementara itu, Kalapas Cipinang Haviluddin hingga berita ini diturunkan belum menjawab. Pesan singkat (SMS) yang dikirim MI tidak dijawab. Handphone-nya hanya menjawab 'Rekam pesan anda setelah nada berikut'. (Faw/OL-04)

Sent from my BlackBerry® powered by

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/03/127830/37/5/Sakit-Diabaikan-Napi-LP-Cipinang-Meninggal

Kamis, 29 April 2010

Lapas Distandarkan

Jumat, 29 Januari 2010

Sumber: Republika

Yulianingsih,

Hak kesehatan dari pendidikan para napi harus tetap dipenuhi.

YOGYAKARTA- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Patrialis Akbar menyatakan,tahun 2010 ini akan dilakukan standardisasi pelayanan di seluruh lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Standardisasi itu dilakukan untuk penegakan hak asasi para narapidana di seluruh lapas dan peningkatan kesejahteraan pegawai lapas.

"Saya ingin pelayanan lapas terstandar. Lapas menjadi lebih nyaman karena penegakan HAM untuk napi akan terus kita lakukan dan kesejahteraan pegawai lapas juga kita tingkatkan," ungkapnya kepada wartawan seusai mengunjungi ruang pamer karya para napi dari seluruh lapas se-Indonesia di Kompleks Lapas Wirogunan Yogyakarta, Kamis (28/1).

Menurut Patrialis, menjadikan lapas sebagai lembaga yang nyaman berarti meniadakan kekerasan di dalam lembaga tersebut, meniadakan pungutan liar, dan memberikan hak-hak para napi secara utuh. Diakuinya, HAM para napi, seperti kesehatan, pendidikan, dan penghasilan atau pendapatan harus tetap dipenuhi. Hak dasar tersebut wajib dipenuhi meskipun menjadi seorang napi.

"Hak-hak perdata mereka telah diambil, tetapi hak asasi mereka tetap tidak kita langgar. Penegakan HAM bagi mereka tetap harus dilakukan, kalau ada napi yang harus pasang AC (air conditioner) karena faktor kesehatan dan menurut rekomendasi dokter, ya kita pasang," katanya menegaskan.

Karena itu, melalui standardisasi tersebut diharapkan hak asasi para napi di Indonesia semakin ditegak-
kan. Selain menjadikan pelayanan di lapas menjadi lebih nyaman, pihaknya juga akan mengusahakan adanya penghasilan tetap bagi para napi meskipun berada di dalam lapas. "Setelah 100 hari ini, saya akan panggil seluruh pengusaha besar. Kita akan membahas itu."

Menurutnya, bersama para pengusaha, pihaknya akan membuat sebuah lapangan kerja di dalam lapas untuk para napi. Melalui lapangan kerja tersebut, para napi akan memperoleh penghasilan tetap yang seluruh penghasilannya menjadi hak napi itu sendiri.

Saat ditanya, apakah hal tersebut justru tidak membuat jera para napi masuk lapas? Patrialis mengatakan, membuat jera para napi akibat perbuatan hingga memasukkannya ke lapas bukan dengan cara kekerasan. "Mereka sudah tidak boleh menghirup udara bebas selama masa tahanan, itu saja sudah membuat jera. Untuk membuat jera koruptor juga bukan dengan cara

kekerasan, tetapi dengan cara pemiskinan. Semua kekayaannya kita sita dan tidak boleh digunakan. Itu sudah cukup membikin jera," katanya. Sementara itu, terkait peningkatan kesejahteraan pegawai lapas, pihaknya tahun 2010 ini baru menyusun sistem remunerasi bagi para pegawai lapas. Sebelum mengunjungi gedung pamer karya penghuni lapas se-Indonesia, Menkumham juga meresmikan pembukaan website konsultasi hukum di setiap kecamatan dan 10 perguruan tinggi di DI Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Menkumham juga meresmikan pusat bantuan hukum anak bekerja sama dengan LBH Yogyakarta.

Sementara itu, menurut pengelola gedung pamer. Mardiyanto, gedung itu adalah tempat memajang karya para napi dari seluruh lapas di Indonesia. "Ini adalah karya para napi yang dikirim dari lapas di Medan, Aceh, Lampung, dan DIY," terangnya. ed maghfiroh


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=4009&Itemid=99999999


Prodeo Bagi Penjahat Tipikor Resmi Beroperasi

Politikindonesia - Mulai Selasa (27/04) ini, rumah tahanan khusus bagi para penjahat korupsi resmi beroperasi. Peresmiannya dilakukan oleh Menter Hukum dan HAM Patrialis Akbar.

Rutan berlantai tiga ini berada dalam komplek lembaga pemasyarakatan (Lapas) Cipinang. Rutan yang luasnya 5,7 hektare tersebut terdiri dari 64 sel dengan kapasitas 256 tahanan. Untuk lantai bawah, diberikan khusus untuk tahanan lansia dan tahanan yang sakit-sakitan. Ruangan selnya berukuran 3 x 6 meter.

Sedangkan untuk lantai dua dan tiga, tiap sel berukuran 7 x 5 meter dan satu sel ditempati oleh lima tahanan.

Pada masing-masing sel terdapat satu toilet duduk dan fentilasi langsung udara. Tiap tahanan juga mendapat jatah satu kasur lipat dari karet. Ada juga CCTV di tiap selasar dan tiap lantai. Rutan ini juga menyediakan fasilitas pembinaan.

Meski dirancang untuk memberikan rasa nyaman, namun rutan khusus Tipikor ini juga tetap memprioritaskan pengamanan dan pengawasan. Pengadaan CCTV untuk mencegah orang keluar masuk tanpa izin dan mencegah terjadinya suap menyuap dengan petugas.

Jauh Dari Angker

Dalam sambutannya saat peresmian Rutan Klas I Khusus Tipikor itu, Patrialis menegaskan pihaknya berupaya mengubah paradigma masyarakat terhadap rumah tahanan yang selama ini terkesan angker dan mengerikan.

“Kebangkitan lapas dimaknai oleh sebuah transformasi paradigma bahwa penjara itu tidak lagi berdasarkan kesan pembalasan atau kesan angker, tapi lebih ke upaya manusiawi untuk lakukan pembinaan terhadap para narapidana agar dapat berintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat."

Patrialis menerangkan, reintegrasi sosial merupakan model pembinaan yang dianut dalam pelaksanaan pemasyarakatan. Dasarnya, adalah pandangan bahwa pelanggaran hukum terjadi karena adanya disharmoni kehidupan dalam bermasyarakat. “Karena itu, pemasyarakatan merupakan sebuah proses untuk memulihkan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan pelanggar hukum.”

Gandeng Ombudsman

Diceritakan Patrialis, untuk meningkatkan reformasi birokrasi di dalam Lapas, Kemenhuk HAM melakukan kerja sama dengan Komisi Ombudsman, terutama dalam hal pelayanan kepada penghuni Lapas.

“Kita melakukan penandatanganan dengan Komisi Ombudsman untuk meningkatkan pelayanan kepada warga binaan maupun masyarakat menyangkut masalah manajemen maupun pelaksananaan pemidanaan."

Dikatakan Patrialis, program lembaga pemidanaan kini memasuki tahap kedua. Tahapan pertama, mengubah penjara menjadi lembaga pemasyarakatan. Kini Kemenhukham berupaya mengubah image Lapas melalui reformasi birokrasi. “Di Hari Bakti Pemasyarakatan ke-46 ini, kita akan wujudkan kebangkitan pemasyarakatan kedua tahun 2010 melalui reformasi birokrasi.”

Tak hanya dengan Komisi Ombudsman, Kemenhukham juga melakukan kerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk menyediakan program kesehatan gratis. Sedangkan untuk meningkatkan kreatifitas dan produksi warga binaan, Kemenhukham menggandeng Kadin.

“Kita juga akan bekerja sama dengan Kadin dalam upaya untuk mengembangkan kegiatan produksi di Lapas,” tandasnya.
(nit/yk)

http://www.politikindonesia.com/index.php?k=hukum&i=6758




Memahami Penjara


Oleh : Iqrak Sulhin

Kriminolog UI, Direktur Center for Detention Studies


Temuan adanya kamar mewah untuk Ayin dan narapidana lainnya di Rumah Tahanan Pondok Bambu tidak terlalu mengejutkan. Cerita tentang perlakuan istimewa bagi narapidana yang memiliki uang sudah menjadi rahasia umum. Sebuah buku terbit di Australia pada 2009 bahkan menggambarkan dengan sangat rinci kehidupan sebuah penjara di Indonesia yang mengerikan sekaligus memilukan. Jual beli kamar, narkoba, pekerja seks, menggunakan telepon seluler, laptop, hingga perlakuan istimewa untuk keluar penjara.

Pertanyaannya, mengapa terjadi? Jawaban untuk itu mungkin dimulai dengan sedikit respons terhadap kerja Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang 'mengungkap' itu ke permukaan. Berbeda dengan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dalam konteks sistem peradilan pidana, posisi sistem pemasyarakatan (seperti rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan) relatif 'lemah'.

Bila polisi, jaksa, dan hakim hanya mengelola fungsi sebagai penegak hukum, rutan dan LP, selain mengelola fungsi pembinaan, juga sekaligus mengelola fisik, yaitu fisik tahanan maupun narapidana dan tempat penahanan atau penjara itu sendiri. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa Satgas Mafia Hukum memulai kerjanya yang terkesan seperti reality show tersebut di Rutan Pondok Bambu karena memang paling mudah dilihat dan sulit untuk dielakkan. Itu berbeda dengan karakteristik mafia hukum di kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan yang sulit diidentifikasi.

Tulisan ini tidak bertendensi mengatakan satgas tersebut tidak perlu melakukan tindakan seperti itu. Toh sistem pemasyarakatan perlu mengakui masalah itu jamak ditemukan dan telah berlangsung sangat lama, hampir di setiap rutan atau LP di Indonesia. Bahkan ada indikasi pembiaran karena sangat mungkin oknum-oknum tertentu menikmati hasil dari pelanggaran tersebut. Termasuk pembiaran oleh kantor wilayah dan kewenangan pengawasan di inspektorat departemen. Jadi, kerja satgas bersifat instrumental dalam memberikan terapi kejut kepada pihak-pihak lain yang tentu saja sekarang ini tidak sesial Kepala Rutan Pondok Bambu yang dicopot.

Namun, terkait dengan masalah di rutan dan LP ini, satgas perlu memahami bahwa melakukan sidak tidak mampu menyelesaikan masalah yang mendasar. Meski terkesan klise, semua pihak perlu mengetahui bahwa dalam perspektif organisasi penjara selalu berhadapan dengan setidaknya tiga hal. Pertama, masalah otonomi yang terkait dengan terbatasnya pilihan dalam perencanaan dan penganggaran. Seperti masalah anggaran dan sumber daya manusia, rutan dan LP tidak berada dalam posisi yang memiliki kewenangan untuk menambah atau mengurangi.

Demikian pula halnya dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sebagai direktorat teknis yang hanya memiliki kewenangan dalam memberikan usulan. Kewenangan perencanaan dan penganggaran dalam struktur Departemen Hukum dan HAM ada pada jalur kantor wilayah dan fungsi sekretariat jenderal. Jadi, buruknya kualitas makanan dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya juga merupakan tanggung jawab dari kantor wilayah dan departemen umumnya. Meskipun, dalam banyak kasus, itu juga disebabkan oleh penyimpangan yang dilakukan pada tingkat teknis. Kesenjangan antara kebutuhan fungsional dan dukungan fasilitatif ini merupakan salah satu faktor makro yang perlu diperhatikan dalam upaya perubahan di pemasyarakatan.

Mungkin perlu didiskusikan kembali apakah pola hubungan struktural di Departemen Hukum dan HAM sekarang ini sudah akomodatif terhadap kebutuhan di tingkat teknis. Perlu diketahui bahwa, pola hubungan terintegrasi (integrated), sebagaimana yang sekarang diterapkan oleh Kemenkum dan HAM, adalah pola yang efektif apabila fungsi-fungsi pada tingkat direktorat teknis saling terkait, dengan fungsi satu berpengaruh pada fungsi yang lain.

Padahal bila diambil contoh dua direktorat teknis terbesar di Kemenkum dan HAM, yaitu Direktorat Pemasyarakatan dan Imigrasi, di antara keduanya jelas memiliki fungsi yang berbeda dan tidak saling terkait meski masih berada dalam kerangka penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pola hubungan struktural yang lebih otonom mungkin patut dikaji kembali, sambil memikirkan bagaimana pengawasan bisa dilakukan secara efektif bila pola hubungan struktur yang otonom tersebut dipilih.

Kedua, adalah masalah teknologi, yaitu kemampuan pelaksanaan fungsi teknis khususnya pola, bentuk, substansi dan kapasitas pendukung proses pembinaan. Banyak penelitian memperlihatkan tidak efektifnya perawatan dan pembinaan yang dilakukan oleh rutan dan LP. Pembinaan pun cenderung seragam, tidak variatif, yang seharusnya menyesuaikan dengan karakteristik tahanan atau narapidana. Hal ini memang sangat terkait dengan masalah otonomi yang telah dijelaskan sebelumnya. Banyak pembinaan yang tidak berjalan karena minimnya dukungan fasilitatif, karena sumber daya yang terbatas lebih banyak dialokasikan untuk pengamanan rutan atau LP.

Ketiga, masalah kontrol, terhadap tahanan atau narapidana dan terhadap petugas serta otoritas rutan dan LP. Perlu dipahami bahwa rumah tahanan dan penjara adalah sebuah masyarakat yang memiliki kultur khusus. Corak ragam perilaku di dalam penjara adalah representasi kehidupan masyarakat umumnya. Termasuk model manajemen kekuasaan yang diterapkan oleh otoritas penjara. Jadi, tidak perlu heran bila seorang koruptor atau seorang makelar kasus kakap, ketika tidak lagi sebagai manusia bebas, akan melakukan hal yang sama di dalam penjara.

Demikian pula petugas penjara, yang merupakan bagian dari manajemen kekuasaan dan kultur birokrasi Indonesia yang masih adaptif terhadap penyimpangan. Perpaduan antara kebutuhan akan keamanan serta upaya mengurangi penderitaan pemenjaraan dan kecenderungan birokrasi yang korup inilah yang menghasilkan kemewahan seperti yang terakhir dinikmati Ayin di Pondok Bambu.

Bagaimana pengawasan dapat dilakukan secara efektif bila kultur masyarakat penjara bersifat adaptif terhadap penyimpangan? Meskipun klise, tulisan ini melihat bahwa tidak logisnya proporsi antara petugas dan total tahanan dan narapidana adalah salah satu penyumbang utama lemahnya kontrol terhadap kehidupan penjara. Kondisi itu memang dilematis, baik bagi petugas maupun otoritas rutan atau LP. Bila manajemen pengendalian yang diterapkan bersifat ketat, disiplin tinggi dan keras, sementara jumlah petugas tidak proporsional, rutan atau LP akan potensial rusuh karena resistensi dari tahanan atau narapidana.

Jadi, dapat dipahami mengapa petugas dan otoritas penjara lebih mengambil pilihan-pilihan yang membiarkan tahanan atau narapidana berjudi, memasak, atau melakukan sesuatu yang melanggar aturan, asal tidak melakukan kerusuhan atau melarikan diri. Berdasarkan data akhir 2009, total tahanan dan narapidana di Indonesia hampir mencapai 140.000 orang. Sementara itu, total petugas pemasyarakatan, termasuk pejabat struktural, sekitar 28.000 orang. Jumlah total tahanan dan narapidana ini bila dibandingkan dengan kemampuan/kapasitas rutan atau LP juga tidak bisa dianggap proporsional.

Kontrol atau pengawasan terhadap petugas atau otoritas rutan dan LP juga perlu mendapatkan evaluasi terkait dengan hal ini. Sebagai organisasi di dalam lingkup Kemenkum dan HAM, inspektorat perlu konsisten dalam menjalankan pengawasan, yang diperlihatkan dengan konsistensi penindakan terhadap pelanggaran. Selain itu, pada tingkat teknis, mekanisme pengawasan langsung oleh atasan juga perlu diperkuat. Jamaknya penyalahgunaan kewenangan salah satunya disebabkan oleh hal ini.

Pertanyaan mengapa pengawasan internal cenderung tidak efektif sangat terkait dengan kultur birokrasi, dengan ada keengganan untuk menindak pihak yang sama-sama pegawai pemerintah, atau karena pengawas adalah pihak yang juga diuntungkan oleh pelanggaran yang terjadi. Salah satu jalan keluar bagi lemahnya pengawasan ini adalah dengan mulai membuka diri terhadap pengawasan eksternal dari unsur masyarakat. Ide monitoring eksternal yang coba didorong oleh Protokol Opsional Konvensi Antipenyiksaan, bila dicermati dengan baik mekanismenya, cukup memberikan peluang untuk perbaikan rutan atau LP. Hal yang dipentingkan dalam monitoring ini tidak berada pada subjek dan penyimpangannya, tetapi pada upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah penyimpangan. Resistensi terhadap instrumen ini perlu dipikirkan kembali.

Terakhir, upaya reformasi terhadap sistem pemasyarakatan tidak dapat dipandang secara parsial. Banyak aspek yang terkait sehingga reformasi birokrasi pemasyarakatan dan Kemenkum dan HAM umumnya perlu disegerakan karena memang telah diprioritaskan. Subsistem peradilan pidana yang lain (polisi, jaksa, hakim) juga memiliki peran penting dalam upaya mengurangi masalah overcrowded di rutan atau LP. Tidak semua pelaku pelanggaran hukum perlu ditahan atau dipenjarakan. Tentu saja pada aspek politik, pemerintah dan kekuasaan legislatif memberikan payung hukum untuk langkah-langkah nonpemidanaan dan nonpemenjaraan bagi subjek-subjek khusus, seperti anak, first offender, pelaku kejahatan ringan, murni pengguna narkoba, atau perempuan dengan tanggungan anak***


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=3938&Itemid=99999999


Kamis, 22 April 2010

Patrialis Akan Undang Pengusaha ke Penjara. "Kami akan membuat lapangan kerja di sana."


Sumber: Koran Tempo

YOGYAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengatakan akan mengundang seluruh pengusaha besar ke lembaga pemasyarakatan pasca-100 hari program pemerintah. "Bersama para pengusaha, kami akan membuat lapangan kerja di dalam lapas untuk para napi," ujar Patrialis saat membuka pameran kerajinan karya para narapidana se-Indonesia di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Wirogunan,Yogyakarta kemarin.

Menurut dia, melalui lapangan kerja tersebut, para napi akan memperoleh penghasilan tetap, yang seluruh penghasilannya menjadi hak napi.Untuk mewujudkannya, Patrialis akan menggandeng para pengusaha besar untuk memasarkan produk mereka. "Keuntungannya 100 persen untuk para napi," kata Patrialis.

Kemarin, hasil kerajinan karya para narapidana seluruh Indonesia dipamerkan di gedung Pamer Karya Napi, Yogyakarta, yang berada di seberang Lapas Wirogunan di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Patrialis membeli sepatu karya narapidana.

Sepatu yang dipamerkan adalah berbahan kulit, seperti sepatu lars untuk polisi, tentara, dan sipir. Harga sepatu itu bervariatif, mulai Rp 75 ribu hingga Rp 150 ribu.Patrialis juga memerintahkan para petugas lapas membeli produk
karya narapidana itu. "Jangan hanya orang lain yang membeli produk mereka, tetapi para petugas lapas juga harus membeli di sini,"ujar Patrialis.

Selain sepatu, produk lainnya berupa tempat lilin, tisu, kap lampu, tas, asbak, lilin hias, tempat telepon seluler, lukisan, dan lain-lain. Harga termurah dipatok Rp 7.500 untuk tempat tisu.Menurut Patrialis, meskipun secara fisik para napi itu terpenjara alias tidak bebas, hak-hak dasar mereka harus diberikan. Hak-hak dasar itu meliputi bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, penghasilan, dan hak untuk hidup dengan nyaman meski berada di penjara. "Warga binaan harus diperlakukan secara manusiawi," katanya.

Sebab, Patrialis melanjutkan, jika mereka bisa berkarya dan mendapatkan penghasilan, para napi "di-manusiakan" dan tidak akan terjadi saling"palak"antarnapi.Lapas, kata dia, harus dibersihkan dari tindak kekerasan, pungutan liar, dan memberi hak-hak para napi secara utuh, termasuk kesehatan, pendidikan, dan penghasilan. "Jadi, kalau ada napi yang membutuhkan AC {air conditioner) karena faktor kesehatan dan dokter mere-komendasikannya, ya kita pasang," ujar Patrialis.

Selain itu, kata Patrialis, pada 2010, pihaknya akan melakukan standardisasi pelayanan di seluruh lapas di Indonesia. Standardisasi itu meliputi penegakan hak asasi para narapidana di seluruh lapas dan peningkatan kesejahteraan pegawai papas.

Marjiyanto, petugas Lapas Wonosari yang mengkoordinasi pameran karya para narapidana, mengatakan bahwa pameran karya para narapidana itu untuk meningkatkan kreativitas penghuni lapas. "Juga untuk penghasilan mereka. Meski di dalam penjara, tidak 100 persen mereka kehilangan mata pencarian," katanya.

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=3992&Itemid=99999999


Selasa, 20 April 2010

Menkum dan HAM Kagumi Lapas Narkotika Yogyakarta

Senin, 01 Februari 2010

Sumber: Suara Karya

SLEMAN (Suara Kaiya) Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan dirinya mengagumi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika kelas IIA Yogyakarta di Pakem, Kabupaten Sleman, karena kondisinya sangat bagus dan sangat manusiawi bagi para warga binaan (narapidana).

"Ini sangat luar biasa. Setelah saya berkunjung ke sejumlah provinsi, baru ini saya menemukan lapas yang sangat bagus dan manusiawi, sehingga tidak melanggar hak-hak narapidana (napi)," katanya saat mengunjungi Lapas Narkotika Yogyakarta, pekan lalu.Menurut dia, selain lingkungannya bersih, para napi dapat merasakan kenyamanan, karena satu ruangan maksimal hanya dihuni tiga orang, dan mereka tidur beralaskan kasur yang bagus.

"Beberapa kali saya menemui lapas di provinsi lain yang kondisinya sangat tidak manusiawi, seperti tanpa alas untuk tidur, bahkan untuk tidur pun harus bergantian, dan para penghuninya sampai tidak bisa mengenakan baju, hanya memakai celana dalam karena ruangannya panas dan penuh sesak," katanya.Ia mengatakan, Lapas Narkotika Yogyakarta yang memiliki kapasitas 474 napi itu, saat ini hanya dihuni 195 orang, sehingga bisa dijadikan percontohan bagi lapas di daerah lain.

"Lapas yang hanya dihuni sekitar 30 persen dari kapasitas yang ada itu, juga menunjukkan bahwa di Yogyakarta tidak terlalu banyak warga yang terkena masalah hukum. Bahkan ini juga terlihat di Lapas Wirogunan maupun Rutan Yogyakarta yang tidak terlalu sesak penghuninya," katanya.Patrialis mengatakan, Kementerian Hukum dan HAM akan berupaya meningkatkan hak-hak napi terutama dari sisi kemanusiaannya, dengan memberikan pelayanan yang baik. "Bahkan jika ada napi yang atas rekomendasi dokter harus tidur di ruangan ber-AC, itu akan dipenuhi, dan jika lapas tidak memiliki anggaran, dipersilakan pihak keluarga memasang AC di ruang tahanan, karena ini memang hak kemanusiaan napi," katanya (Ant)

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=4009&Itemid=99999999


Senin, 29 Maret 2010

Menkum HAM Minta Utamakan HAM Napi

Jumat, 29 Januari 2010

Sumber: Suara Karya

YOGYAKARTA (Suara Karya) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Patrialis Akbar menyatakan, penegakan HAM kepada warga binaan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) harus tetap diutamakan meski mereka tidak memiliki kebebasan secara fisik.

"Warga binaan di lapas harus tetap diperlakukan secara manusiawi, terhormat dan hak-hak dasar mereka tetap dipenuhi," kata Patrialis usai mengunjungi Gedung Pamer Karya Narapidana di Yogyakarta, Kamis.Menurut dia, hak-hak dasar yang harus tetap dipenuhi adalah di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, tetap mendapat penghasilan dan juga hak untuk hidup dengan nyaman meski berada di penjara.

Ia menegaskan, kenyamanan di dalam penjara tersebut juga termasuk tidak lagi ada kekerasan baik dari aparat atau sesama warga binaan, dan tidak ada pungutan liar. Menkum dan HAM bahkan akan berusaha bekerja sama dengan para pengusaha agar warga binaan dapat membuka unit usaha di dalam lapas, misalnya usaha garmen.

"Nanti upah yang diperoleh, 100 persen menjadi hak napi, tidak boleh dipotong sepeserpun sehingga mereka masih bisa memperoleh penghasilan meski di penjara," ujarnya Ia yakin, meskipun penjara dibuat nyaman, tidak akan mengurangi efek jera bagi penghuninya karena dengan dipenjara, maka narapidana sudah kehilangan kebebasannya dan juga mengalami pemiskinan karena disita hartanya, khususnya untuk narapidana kasus korupsi.

Ia juga menegaskan tiga hal yang akan difokuskan dalam masa kerjanya, yaitu penjaga penjara harus menegakkan HAM dengan tidak berlaku sadis, memperlakukan semua warga binaan dengan sama, dan berjuang untuk remunerasi terhadap gaji penjaga penjara.

Sementara itu, saat melakukan kunjungan ke Gedung Pamer Narapidana Yogyakarta, Patrilis menuliskan pesannya agar program tersebut dapat menjadi pelopor untuk pembangunan museum kerajinan warga binaan, sebab prestasi yang ada sangat baik dan positif.

Di dalam gedung pameran tersebut berlangsung pameran bertema "Selalu ada Jalan Keluar untuk Bebas" hasil karya napi dari LP di seluruh Indonesia, seperti dari LP di Medan, Padang, Sidika-lang, Surabaya, LP Narkotika Yogyakarta dan juga dari Nanggroe Aceh Darussalam. Karya yang ditampilkan dalam pamerandi antaranya adalah foto, lukisan, karikatur dan juga akan diputar film karya remaja di lapas. (B Sugiharto/Ant)

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=3994&Itemid=99999999


Mantan Narapidana Bertemu dengan Menkumham

Jumat, 26 Maret 2010

Jakarta, Hukumham.info, -- Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar menerima sejumlah mantan narapidana (napi) yang tergabung dalam Paguyuban Narapidana. Rahardi Ramelan yang merupakan Ketua Umum Paguyuban tersebut, menyampaikan pengalaman dan temuan selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan beberapa konsep untuk mengembangkan Lapas kedepan.

Rahardi Ramelan memaparkan tentang konsep Lapas swasta di depan Menteri Hukum dan HAM dan jajarannya. Konsep Lapas swasta tersebut akan membandingkan antara napi yang memiliki uang lebih dengan napi yang kurang mampu secara finansial. Napi yang memiliki uang lebih akan mendapatkan fasilitas yang lebih pula, dan bagi napi yang kurang mampu akan mendapatkan fasilitas standar yang diberikan oleh pemerintah.
Dalam pertemuan tersebut, Roy Marten menambahkan agar Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memperhatikan fasilitas kesehatan. Dan untuk Kepala Lapas (Kalapas) yang sedang bertugas, agar dapat membedakan antara napi yang benar-benar sakit dengan napi yang berpura-pura sakit. Agar tidak terjadi kedua kalinya napi meninggal di Lapas.

Sementara itu, Mulyana W Kusuma yang menjabat sebagai Sekjen Paguyuban Narapidana ini juga memberikan masukan kepada Patrialis Akbar, menurutnya, Lapas yang sudah produktif dan yang sedang dikelola oleh Kemenkumham agar bisa mengembangkan produktifitasnya.

Mulyana juga menambahkan tentang masalah pengkajian khusus untuk hak-hak napi yang masih menjalankan sisa masa hukuman. Menurutnya, Kemenkumham harus mengecek keputusan yang sudah diberikan, agar seorang napi mendapatkan surat keputusan pembebasan tepat waktu.

Pemaparan konsep dan pengalaman Paguyuban Narapidana tersebut, ditanggapi positif oleh Menkumham. ”Saya seperti mendapatkan segunung emas pemikiran yang berkualitas untuk membangun bangsa ini,” ungkap Patrialis.

Beberapa paparan konsep yang diberikan oleh Paguyuban, akan menjadi program di Kementerian Hukum dan HAM. ”Program tersebut sedang dijalankan oleh Kemenkumham dengan nama ’justice for all’,” kata patrialis.

Sebelum menutup pertemuan tersebut, Arswendo Atmowiloto yang merupakan anggota Paguyuban mengatakan kepada Menkumham dan jajarannya bahwa, hari ini adalah catatan sejarah yang baik yang dijalankan oleh Kemenkumham. ”Ini merupakan hari baik yang bersejarah bagi Kemenkumham, karena Kemenkumham mau menerima pemikiran, dan masukan pengalaman dari peserta Paguyuban Narapidana,” kata Arswendo.


Hadir pula dalam pertemuan tersebut tokoh-tokoh besar lain, seperti AM Fatwa, Frully S., Sihol Manullang, DL Sitorus, A. Djunaidi dan Ishak.*


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=4027&Itemid=43


Jumat, 26 Maret 2010

Roy Marten Berharap Napi Bisa Produktif di Penjara


Jakarta, Aktor Roy Marten sudah dua kali masuk penjara. Sebagai mantan napi, Roy punya keprihatinan soal kondisi penjara di Indonesia.

Roy yang juga Wakil Ketua Napi Center, sebuah LSM yang peduli terhadap nasib para mantan narapidana, berharap pemerintah bisa menjadikan Lembaga Pemasyarakatan (LP) menjadi lebih baik. Salah satunya dengan cara merancang program-program yang membuat para napi bisa lebih produktif.

"Kita memberikan saran dan masukan agar menerapkan Lapas yang produktif untuk menghasilkan produk dan hasilnya bisa untuk menghidupi napi itu sendiri dan keluarganya," ujar Roy ketika ditemui usai berdialog dengan Menkum HAM, Patrialis Akbar, di kantor Depkum HAM, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (25/3/2010) malam.

Roy bersama sejumlah mantan napi yang juga pengurus Napi Center, bertemu dengan Menkum HAM untuk membahas mengenai kondisi LP di Indonesia yang semakin memprihatinkan. Jumlah Napi dengan kapasitas LP tidak sebanding.

Selain itu para napi yang mendekam di penjara tidak diberikan aktivitas yang produktif. Sehingga banyak residivis yang kembali terjerumus ke dunia kriminal setelah keluar penjara.

http://www.detikhot.com/read/2010/03/25/205952/1325636/230/roy-marten-berharap-napi-bisa-produktif-di-penjara-

Roy Marten Perhatikan Nasib Napi


Kamis, 25 Maret 2010 - 23:31 WIB

JAKARTA (Pos Kota) – Ketua Napi Centre, Roy Marten minta Dephukham memperhatikan nasib 130 ribu narapidana yang saat ini masih menjalani hukuman, baik pelaksanaan pembebasan bersyarat (PB), asimilasi maupun pemberian remisi.

“Saya baru saja menemukan kasus. Ada narapidana sakit akhirnya meninggal di sel, karena permohonan untuk berobat tidak diberikan. Ke depan, saya nggak mau menemukan kasus semacam itu lagi,” kata Roy saat bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, kemarin.

Sedangkan Rahardi Ramelan selaku ketua umum mantan narapidana (Napi Centre), mengungkapkan keinginannya bermitra dengan Dephukham, agar lebih memperdayakan lembaga pemasyaratan (LP) produktif. Keinginan itupun disambut positif Menhukham Patrialis Akbar.

Ikut hadir dalam acara pertemuan tersebut, sejumlah mantan narapidana dari tokoh-tokoh ternama. Mereka adalah Arswendo Atmowiloto, Abdullah Puteh, DL Sitorus, AM Fatwa dan lainnya.(santosa/rf/aw)


Roy Marten Perhatikan Nasib Napi | Poskota

Rabu, 10 Maret 2010

Sidak Menkumham dan Pemberian Grasi

Rabu, 03 Maret 2010

Jakarta, Hukumham.Info, -- Dalam kunjungannya di Rutan Salemba, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, memberikan usulan Grasi atau pengampunan total untuk napi lansia dan Anak. "Kami sedang mengkaji usulan pemberian grasi kepada para napi lanjut usia," kata Patrialis Akbar di Rutan Kelas I Salemba, Jakarta Pusat (2/3).

Dalam pidatonya Patrialis juga meminta semua pimpinan perwakilan Kemenkumham di daerah segera menyusun konsep dan laporan. “Hari ini kami telah menyerahkan nama 45 anak-anak kepada Bapak Presiden maupun juga kepada Ketua Mahkamah Agung untuk mendapatkan grasi atau pengampunan total, Insya Allah ini merupakan gerakan awal untuk target kami menyisir secara terus menerus kira-kira anak-anak yang mana siapa lagi yang bisa berikan pengampunan melalui Presiden data sementara memang tercatat 500 orang tetapi pemberian itu dilakukan secara selektif dan dilakukan pengkajian, " kata Patrialis.

Kemenkumham juga sedang menyusun konsep pemberian grasi bagi napi perempuan juga para napi yang lanjut usia, yang akan mendapatkan pengurangan masa tahanan , pemberian grasi atau pengampunan. Hal itu dilakukan mengingat kondisi fisik yang sudah senja dan atas pertimbangan kemanusiaan.***sn, aru



http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=4024&Itemid=43