PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Jumat, 24 Juli 2009

Perlakuan Khusus bagi Koruptor

14 August 2008, 03:15 pm | No Comments
Oleh Houtland Napitupulu

pini publik untuk menciptakan efek jera bagi tersangka koruptor semakin menggelora. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagaimana dikatakan Wakil Ketua Bidang Pencegahan M Jasin, berencana memborgol dan memberikan baju khusus bertuliskan koruptor untuk tersangka koruptor yang sedang menjalani proses hukum. Data koruptor yang telah berkekuatan hukum tetap juga direncanakan dibeberkan di situs internet.

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ridha Saleh berpendapat, rencana KPK itu tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya, tindakan para koruptor melanggar hak orang lain karena rakyat jadi miskin dan negara bangkrut.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana menilai rencana KPK itu tidak melanggar asas praduga tidak bersalah, jika baju yang dikenakan sesuai dengan status hukum, yakni baju untuk tersangka bertuliskan Tersangka Koruptor, baju untuk terdakwa bertuliskan Terdakwa Koruptor dan baju terpidana bertuliskan Terpidana Koruptor.

Menurut Denny, upaya KPK tersebut perlu ditindaklanjuti dengan langkah lain, seperti pemberlakuan moratorium keringanan atau pengampunan hukuman, seperti grasi, amnesti, atau remisi untuk terpidana korupsi. Presiden tidak dapat dituduh melanggar hukum jika menerapkan moratorium ini. Sebab, kebijakan itu merupakan hak prerogatif Presiden. Bahkan, penerapan moratorium ini dapat menguatkan citra pemerintah dalam memberantas korupsi, kata Denny.

Moratorium ini juga dibutuhkan karena hukuman untuk para koruptor belum maksimal. Pukat UGM mencatat, dari 12 perkara yang diputus Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi pada 2008, rata-rata lama hukuman hanya 4,32 tahun.

Indonesia Corruption Watch mencatat, dari 59 perkara yang diputus pengadilan yang sama pada 2005-2007, rata-rata hukumannya adalah 4,4 tahun. Jadi, ada gejala penurunan lama hukuman untuk para terpidana koruptor. Dengan rata-rata lama hukuman 4,4 tahun penjara jika terpidana korupsi masih mendapat remisi dan lainnya mereka mungkin hanya tiga tahun berada di penjara, bahkan kurang. Ini tidak baik untuk menumbuhkan efek jera, kata Denny.

Menhukham Andi Matalata kemudian mengatakan, pemberian remisi kepada pelaku koruptor sudah ditunda hingga sepertiga masa hukuman, sebagaimana diatur dalam PP No 28 Tahun 2008. Daripada berwacana soal seragam, lebih baik menegakkan hukum dengan baik tanpa pilih kasih, katanya.

UU Pemasyarakatan

Jika KPK mengumumkan nama dan perbuatan terpidana koruptor serta moratorium keringanan bagi para terpidana koruptor, sebagai negara hukum kita tetap layak bertanya, apakah perlakuan khusus ini sesuai undang-undang atau tidak? Pasal 28 UUD 1945 menjamin perlakuan hukum yang sama. Kita tidak bisa lari dari itu.

Menyangkut sistem pembinaan bagi narapidana, Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, berbunyi demikian: Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: a. pengayoman; b. persamaan perlakuan dan pelayanan; c. pendidikan; d. pembimbingan; e. penghormatan harkat dan martabat manusia; f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu- satunya penderitaan; dan g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Jika polemik pemberian perlakuan khusus terhadap narapidana koruptor dikaitkan dengan Pasal 5 UU 12/1995, jelas bertentangan. Dengan menganut asas perlakuan yang sama bagi semua narapidana, maka jika KPK mengumumkan nama-nama terpidana koruptor, maka KPK juga (atau lembaga lain) harus mengumumkan nama dan perbuatan seluruh terpidana yang kini sekitar 120.000 orang.

Jika ayat b menjamin perlakuan persamaan, ayat f menegaskan bahwa hukuman berupa kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya hukuman. Artinya, tidak ada hukuman lain, di luar pidana yang diputuskan majelis hakim. Hal itu juga berarti, tidak diperbolehkan ada hukuman lain, seperti yang direncanakan KPK.

Maka kalau rencana memberikan perlakuan khusus (memperberat hukuman dalam bentuk lain) bagi terpidana korupsi benar-benar direalisasikan, akan bertentangan dengan UU 12/1995. Selain melanggar UU, juga akan melukai hak asasi manusia (HAM) narapidana.

Pasal 14

Moratorium remisi (keringanan hukuman) juga diusulkan Denny Indrayana. Tanpa perlu banyak silat lidah dan opini segala macam, pemberian remisi bagi narapidana diatur dalam Pasal 14 UU 12/1995, yang berisi demikian: (1) Narapidana berhak : a.melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Memperoleh remisi diatur dalam ayat i. Lagi-lagi, jika diadakan moratorium pemberian remisi, juga akan bertentangan dengan UU 12/1995. Maka bisa kita simpulkan, pernyataan Denny Indrayana mengatakan, moratorium remisi merupakan wewenang presiden.

Selain UU, ketentuan mengenai remisi juga diatur dalam beberapa Peraturan Pemerintah (PP). Pertanyaan kita, bagaimana mungkin presiden berhak membuat kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan UU dan PP?

Sekarang ini, pelaku tindak pidana hanya boleh memperoleh remisi jika sudah menjalani sepertiga hukuman. Ini diatur dalam PP 28/2006 (yang merupakan perubahan atas PP 32/1999, khususnya Pasal 34). Pasal 34 PP 28/2006 sebagai berikut: (1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.

(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berkelakuan baik; dan b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. (3) Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berkelakuan baik; dan b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana. (4) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS.

Dalam Pasal 5 PP 32/1999, syarat remisi, terpidana hanya menjalani masa pidana enam bulan. Pasal 5 ini diubah dalam PP 28/2006, khusus untuk pidana tertentu seperti yang disebut dalam Ayat 3, menjadi setelah sepertiga masa pidana. Ini pun sebetulnya bertentangan dengan Pasal 5 UU 12/1995, sehingga tinggal menunggu waktu saja untuk uji materi ke Mahkamah Agung.

Hal paling mendesak sebetulnya adalah pembuktian terbalik dalam penanganan kasus korupsi. Dengan pembuktian terbalik, niscaya tak ada yang bisa lolos.

Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Jakarta

http://www.koranindonesia.com/2008/08/14/perlakuan-khusus-bagi-koruptor/