PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Kamis, 28 Juni 2007

MENKUMHAM : TAHANAN TAK PERLU MASUK PENJARA

Kondisi Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) saat ini di sebagian besar di tanah air telah melampaui batas kapasitas daya tampung alias over kapasity. Hal ini menjadi salah satu sumber masalah dalam pelayanan akan hak-hak narapidana (orang yang menjalani hukuman atas putusan perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap) dan tahanan (orang yang menjalani hukuman atas putusan perkara yang belum memiliki kekuatan hukum tetap), berbagai ekses negatif demikian pula dalam pembinaannya.

Untuk memberi solusi pada kondisi dimaksud, bisa dilakukan melalui pembangunan Lapas dan Rutan baru. Jika kebijakan ini menjadi pilihan, maka solusi tersebut bukan pilihan yang cerdas, demikian menurut Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta dalam wawancara Rabu, 27 Juni 2007 di kantor Departemen Hukum dan HAM. Karena orang biasa pun paham akan solusi itu.

Jika hal inipun dilakukan, ada kendala waktu dan keterbatasan anggaran yang tersedia dari pemerintah. Solusi lain dan lebih cerdas yakni melakukan keseimbangan antara daya tampung dan jumlah penghuni. Kongkritnya bagaimana menyeimbangkan antara orang yang masuk dengan kapasitas ruang yang tersedia. Untuk mengurangi jumlah penghuni yang berlebihan, maka pemberian kemudahan segala hak-hak napi seperti berbagai jenis remisi, cuti, asimilasi, pembebasan bersayarat dan lain-lain harus dipermudah dan dilakukan secara transparan.

Menurut Andi Mattalatta, ibarat sekolah, makin cepat siswa lulus maka sekolah itu makin bagus tetapi dengan syarat mereka yang pergi bukan karena drop out melainkan lulus dan mempunyai bekal yang baik. Oleh karena itu pembinaan dalam Lapas harus transparan, sehingga bila ada napi yang bebas tidak banyak menimbulkan kritik. Kebanyakan publik saat ini menilai, hanya orang-orang tertentu dan berduit yang dapat memperoleh berbagai hak di Lapas.

Pembinaan yang baik dan transparan menyebabkan publik tidak memberi penilaian negatif terhadap Lapas dan Rutan. Tetapi jauh lebih penting menurut Andi Mattalatta untuk mengurangi penghuni yang tiap hari bertambah jumlahnya, aparat Polisi dan Jaksa sebaiknya tidak perlu memasukkan para tersangka pelanggar hukum ke tahanan. Jika seseorang melakukan tindakan kriminal atau pelanggaran hukum yang tidak terlalu membahayakan orang banyak, menghilangkan barang bukti dan melarikan diri cukup dilakukan tahanan rumah atau kota.

Hal ini layak menjadi pertimbangan karena hampir 40 % jumlah penghuni Rumah Tahanan adalah mereka yang yang belum mendapat keputusan tetap dari pengadilan. Sehingga dengan langkah ini, orang yang mendekam dalam penjara jumlahnya tidak semakin besar. Disisi lain, anggaran negara yang harus dikeluarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Daftar Isian Proyek Anggakaran Departemen Hukum dan HAM dalam membiayai kehidupan seseorang di penjara juga dapat dikurangi dan dialihkan untuk sektor-sektor yang lebih prioritas seperti pengembangan SDM, kesehatan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Sekedar gambaran kuantitatif, hak makan bagi seorang napi atau tahanan per orang sebesar Rp 8.000 per hari. Total Napi dan Tahanan di seluruh Indonesia yang tercatat pada akhir tahun 2006 adalah 112.744 orang, dengan demikian total biaya untuk menyiapkan makan toh mencapai Rp. 901,952,000.00 perhari . Jadi dalam 1 tahun negara harus menyediakan uang makan bagi narapidana dan tahanan sebesar Rp 329,2 Milyar suatu jumlah yang tidak sedikit.

Ini belum mencakup sarana dan prasarananya termasuk anggaran untuk aparatnya, sesuatu ide yang layak mendapat perhatian bersama ditengah keterbatasan anggaran negara saat ini. (Hasbullah)

http://www.depkumham.go.id/xDepkumhamWeb/xBerita/xUmum/over+kapasitas.htm

Jumat, 22 Juni 2007

244 Napi Kakap Dipindah

Jum'at, 22/06/2007

CILACAP (SINDO) - Sebanyak 244 narapidana (napi) kasus narkoba dipindahkan ke Nusakambangan, Cilacap, kemarin. Mereka di tempatkan di LP Pasir Putih yang merupakan LP baru dengan kategori Super Maximum Security (SMS).

LP Pasir Putih merupakan LP terjauh di Pulau Penjara tersebut. Para napi itu berasal dari berbagai LP di Jabar, Jatim,Banten dan DKI Jakarta. Dari LP Cipinang Jakarta, sedikitnya 46 napi narkoba kelas kakap dipindahkan ke LP Pasir Putih. Dari jumlah itu, sembilan di antaranya terpidana mati berkewarganegaraan asing.Mereka antara lain Til Bahadari, Bil Bahadir, Nar Baharur Tamang, Budher Tamang, dan Bala Tamang dari Nepal, Black Look James, dan Adosa Gahu Ghue (Nigeria),serta Yanto Wijaya alias Ahong dan Yudi Avabian alias Acong (China).

Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Bambang Kuncoko kemarin mengatakan, pemindahan narapidana narkoba ini dalam rangka Operasi Nusa. Yakni membantu Departemen Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, untuk melakukan pengamanan pemindahan napi dari Banten, DKI, Jabar dan Jatim.

Dia menjelaskan,jumlah seluruhnya 244,terklasifikasi terpidana berat 20 tahun, seumur hidup dan mati. Napi ini dipindahkan dari beberapa LP melalui beberapa tahap. “Pada 20 kemarin,dimulai dengan tahap penertiban napi yang ada di tingkat lokal sebanyak 72 napi. Tanggal 21 ini, 52 orang.

Besok 22, 60, dan terakhir tanggal 23, sebanyak 60 orang. Untuk hari ini ada 52 napi yang terbagi dalam tiga kelompok yang langsung menempati LP Pasir Putih,” katanya. Bambang menambahkan, polisi dilibatkan penuh untuk mengamankan jalannya pemindahan para napi tersebut. “Pemindahan ini dimaksudkan sebagai shock therapy terhadap para bandar narkoba yang telah menjadi napi, karena sebelumnya mereka masih dapat mengendalikan bisnis narkoba dan memutus jaringan peredaran gelap narkoba di lingkungan LP,” katanya.

Pemindahan napi itu diangkut dengan menggunakan pesawat Polri Foker-50. Mereka diberangkatkan dari Lanud Polri, Pondok Cabe, Jakarta, dan Bandara Adi Sumarmo, Solo, menuju Bandara Tunggul Wulung, Cilacap. Pengawalan dilakukan dengan sangat ketat oleh pasukan Brimob bersenjata lengkap.Para napi yang turun dari pesawat diborgol tangannya.

Wajahnya ditutup dengan menggunakan kain hitam. Setelah masuk ke truk polisi, mereka diberangkatkan menuju Dermaga Wijayapura yang merupakan pintu masuk ke Pulau Nusakambangan.

Truk-truk yang membawa para napi itu masuk ke Kapal Pengayoman II dari Dermaga Wijayapura menuju Dermana Sodong, Nusakambangan.Lalu dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju LP Pasir Putih. Pemindahan para napi itu melibatkan ratusan personel keamanan mulai dari Bandara Tunggul Wulung, jalan dari bandara ke Dermaga Wijayapura, hingga di dalam lingkungan LP Nusakambangan. (ridwan anshori)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/home-page/index.php

Kamis, 21 Juni 2007

Mengkaji Ulang Status Ganja dalam Hukum

[13/6/07]

Apakah status ganja akan diturunkan, atau sampai pada pemikiran melegalkan ganja di Indonesia?

Pertanyaan itu mencuat sehubungan dengan kajian yang sedang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) Indonesia National Institute on Drug Abuse (INIDA), dan Monash University Asutralia. Kajian ini terfokus pada manfaat dan kerugian ganja dari berbagai perspektif. “Perlu diadakan penelitian untuk menempatkan ganja secara proporsional, belum sampai menurunkan status atau melegalkan “ ujar Tomi Harjatno, Konsultan Ahli BNN yang juga Direktur Pengembangan INIDA.

Didasari bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 memasukkan ganja dalam kategori narkotika golongan I. Penggunanya terancam maksimal 10 tahun penjara. BNN sedang melakukan kajian ulang terhadap ganja.

Pemerintah juga sudah pernah mengatur secara khusus pertanian ganja lewat Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1980 tentang Ketentuan Penanaman Papaver, Koka, dan Ganja. Berdasarkan PP ini lembaga pendidikan atau lembaga pengetahuan bisa menanam ganja setelah memperoleh izin. Lembaga ini harus membuat laporan setiap enam bulan sekali mengenai lokasi, luas tanaman, dan hasil. Kalau ada kehilangan, lembaga dimaksud harus melapor ke polisi.

Selama ini, sesuai dengan kriminalisasi penggunanya, ganja berkonotasi buruk. Menurut Tomi, ganja harus dilihat secara proporsional, jangan langsung dibasmi. Harus kita lihat apakah ganja seburuk yang digambarkan. Secara umum ganja tidak menimbulkan ketagihan (withdrawal) seperti halnya morfin. Bila seorang pecandu morfin memutuskan untuk berhenti, dia akan merasakan rasa sakit di tubuh, lazim disebut sakaw. Dari studi literatur, jelas Tomi, ganja hampir sama dengan rokok. Ganja tidak pernah menimbulkan overdosis dan tidak menimbulkan sifat agresif. “Tetapi semua itu harus dibuktikan lewat penelitian” pungkasnya.

Selain efek negatif, ganja memiliki keunggulan seperti tumbuhan yang ramah lingkungan, anti hama, mudah ditanam, dan punya manfaat banyak. Tasmania adalah salah satu negara yang memanfaatkan ganja. Negara ini menurunkan kadar THC (Tetrahydrocannabinol) ganja dan memanfaatkannya untuk membuat bahan tekstil, kertas, bahan pembuat makanan. Sementara kadar THC ganja yang tumbuh di Indonesia belum terukur.

Efek ganja
Sosiolog Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta, Irwanto menyatakan THC merupakan salah satu zat yang dapat menghilangkan rasa sakit, misalnya pada penderita glukoma. THC memiliki efek analgesic, yang dalam dosis rendahnya saja bisa bikin “tinggi”. Bila kadar THC diperkaya, bisa menjadi lebih potensial untuk tujuan pengobatan. Selain itu dimasyarakat tradisonal opium, cocaina, dan ganja, dipakai sebagai herbal medicine. Dan kalau digunakan sebagai penyedap masakan seperti di Aceh, THC benar-benar tinggal sedikit. Lebih lanjut Irwan mengatakan, akan menjadi masalah bila THC diperkaya untuk tujuan lainnya.

Menurut Tomi, karena sifatnya sebagai halusinogen dan dapat menimbulkan euforia, efek negatif ganja adalah membuat orang menjadi malas. Efek paling buruk dari ganja karena menjadikan reaksi pemakai lebih lambat, dan peganja cenderung kurang waspada.

Irwanto berpesan agar penanganan kejahatan terhadap ganja tidak terlalu brutal dan agak ‘tebang pilih’. “Banyak anak muda yang hidupnya jadi hancur di penjara, karena kedapatan membawa ganja selinting dua linting saja, buat apa?” tandasnya.

Soal kemungkinan dilegalkannya ganja, Irwanto cenderung memilih bila tanaman ini diturunkan golongannya, dengan penggunaan yang diawasi dan dibatasi bagi pengobatan Pengguna ganja demi kepentingan penyembuhan atau obat seperti di beberapa negara tak perlu dikriminalisasi. Sebaliknya, jangan pula langsung dilegalkan begitu saja sehingga orang bebas memakai ganja di jalanan. “Jadi tidak legal total,” ujarnya.

Apabila hendak dilegalkan, Irwanto meragukan kemampuan kontrol pemerintah dan petugas. “Kalau pemerintah tidak mampu mengendalikan, sebaiknya jangan dilegalkan” ujar Irwan. Di Belanda, menurut Irwanto, pengendaliannya lebih mudah karena daerahnya kecil.

Tomi sendiri menegaskan bahwa pihaknya baru sebatas penelitian. Rekomendasinya nanti akan disampaikan kepada para pemangku kepentingan. Yang disebut terakhir inilah yang akan memutuskan apakah ganja akan diturunkan statusnya atau dilegalkan pemakaiannya secara terbatas.

Pengalaman Belanda
Selama ini ada pandangan bahwa Belanda termasuk negara yang melegalkan ganja. Berdasarkan penelusuran hukumonline, tidak ada aturan yang menyatakan ganja legal. Bahkan revisi tahun 1976 terhadap UU Opium Belanda menempatkan ganja ke dalam status illegal dan ada ancaman hukuman bagi produsen, penjual, serta penggunanya.

Meski begitu, Belanda mengambil langkah pragmatis untuk mengontrol ganja dan “hashish”. Sebagaimana yang tertuang dalam buku Introduction to Dutch Law terbitan Kluwer International (1999), ada toleransi bagi pemakai dan penjual eceran ganja yang masuk kategori soft drugs. Melalui Guidelines of the Dutch Prosecutors General 1976 Belanda menetapkan standar pelanggaran yang tidak akan didakwa sebanyak tiga puluh gram. Pemilikan oleh konsumen kembali dibatasi hingga menjadi lima gram pada 1996. Meski begitu, bukan berarti pemerintah benar-benar membebaskan penggunaan ganja, pengedaran yang sistematis serta ekspor-impor. Pelakunya tetap dapat dipenjara.

Menurut buku ini, kebijakan Belanda yang demikian antara lain dimaksudkan untuk mencegah penghamburan biaya kriminalisasi penggunaan ganja. Pengaturan terhadap coffeshop (toko penjual soft drugs) dan suppliernya cukup ketat, contohnya hanya menyalurkan soft drugs, dan dalam jumlah tertentu. Meski begitu, mengontrol hubungan supplier dan coffeshop tidak mudah. Dalam praktek penentuan batas toleransi oleh aparat menjadi masalah tersendiri.

(KML)

http://hukumonline.com/default.asp

RUU KUHP Masih Berlakukan Hukuman Mati

21/6/07]
Kalau produsen narkotika itu membahayakan karena menyebabkan kematian pemakai, apa bedanya dengan pabrik rokok?

Sejumlah ahli yang dihadirkan pada sidang pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (20/6), terlibat adu pendapat yang hampir sama-sama kuat dan logis. MK menganggap perlu mendengarkan tim perumus Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) supaya nampak jelas arah pemidanaan mati di Indonesia.[

Mardjono Reksodiputro yang juga anggota tim perumus RUU KUHP menjadi perhatian serius hakim konstitusi MK. Sejumlah pertanyaan hakim tertuju pada ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia itu. Mardjono mengemukakan bahwa perdebatan mengenai pidana mati sudah berlangsung sebelum tahun 1993, saat penyerahan RUU KUHP kepada Menteri Kehakiman waktu itu, Ismael Saleh.

Mardjono mengatakan, RUU KUHP masih mengadopsi hukuman mati. Menurut dia, hukuman mati masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif, dikhususkan pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majelis hakim,” ujar Mardjono.

RUU KUHP juga menerapkan apa yang dikenal dengan pidana mati percobaan atau acap disebut alternatif. Pidana jenis ini diancamkan secara alternatif, mula-mula dijatuhi penjara sepuluh tahun. Kalau dalam sepuluh tahun si terpidana menunjukkan perbuatan terpuji, maka pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. “Jadi ini semacam pemberlakuan daluarsa sepuluh tahun,” ujar Mardjono.

Selama ini hukuman mati dalam KUHP tidak ada batas daluarsanya. Sehingga ada kemungkinan seorang terpidana mati tak kunjung dieksekusi hingga sepuluh tahun lebih. “Kecenderungan dalam eksekusi, Pemerintah ragu-ragu mengeksekusi seorang terpidana mati, hingga nasib terpidana terkatung-katung,” katanya. Namun Mardjono mengaku dilematis ketika harus menjawab apakah dirinya setuju atau tidak dengan pemberlakuan hukuman mati.

Seorang ahli dari Universitas Gadjah Mada Bambang Purnomo menggelitik sidang dengan mengatakan kejahatan narkotika bukan tergolong kejahatan serius atau membahayakan lantaran ia merupakan kejahatan tanpa korban (a crime without victim). Menurut Bambang, kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang tidak memiliki korban, karena pelaku tidak membunuh si korban. Dalam pandangannya, korban punya kebebasan sendiri untuk memilih apakah ia mau jadi korban atau tidak. Bahkan ia berpendapat yang terpenting dalam pencegahan narkotika adalah program anti narkoba dilakukan secara intensif, bukan sekedar peradilan pidana yang banyak memutus pidana mati pada bandar narkotik. ”Walau nanti akan menimbulkan banyak kritik, tetapi hal tersebut harus dilakukan demi masa depan indonesia,” ujarnya.

Bambang menganggap selama ini putusan peradilan baik pemidanaan penjara maupun pidana mati lebih banyak tidakefisien daripada tujuan yang ingin dicapai, yakni timbulnya efek jera. Padahal menurut teori, pidana mati didasarkan pada teori pembalasan (retribution) dan penciptaan efek jera (deterrence). Ia lebih setuju jika sistem hukumannya menganut teori treatment yang bersifat membina dibanding teori efek jera. Anggapan Bambang itu cukup membuat pihak pemerintah yang mendukung hukuman mati penjahat narkotik kepanasan kuping.

Konsultan Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Jeane Mandagi lalu membeberkan sejumlah korban yang diragukan Bambang. “Apakah 15 ribu orang mati akibat narkotika bukan merupakan ancaman serius dan membahayakan negara?” ujarnya. Sayang ketika mengatakan itu, Bambang sudah tidak ada di tempat sidang karena harus melanjutkan acara di tempat lain.

Jeane juga mengemukakan fakta bahwa keseriusan kejahatan Narkotika bisa dilihat dari jumlah pecandu narkotik di Indonesia yang dalam catatan BNN kini mencapai 3,5 juta. “Mereka hidupnya sengsara, rugi semua-muanya, mulai dari kesehatan, materiil juga mengancam nyawa,” ujarnya.

Hal ini juga diamini Kepala bagian Litigasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham) Mualimin Abdi. Menurut Mualimin, perdebatan teoritis yang berujung menafikkan kenyataan bahwa narkotika bukan merupakan kejahatan serius merupakan pelecehan bagi para keluarga korban yang selama ini merasakan betapa menderitanya terkena akibat narkotika. Untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, ujar Mualimin, “Hukuman mati tetap harus dijatuhkan pada bandar-bandar narkotika kelas kakap”.

Menanggapi hal ini, ahli dari Universitas Sumatera Utara Mahmud Mulyadi menganggap teori yang dibangun Bambang adalah teori abolisi yang cenderung menghapuskan pemidanaan dalam bentuk apapun. Teori ini timbul lantaran gerakan social reform radical di Eropa yang menganggap pemidanaan tidak menurunkan terjadinya kejahatan. “Teori ini kemudian berkembang menjadi teori treatment yang memperlakukan pelaku kejahatan sebagai korban lingkungan,” ujarnya.

Untuk kondisi Indonesia, kata Mahmud, masih diperlukan hukuman mati. Hal itu mengingat gerakan abolisi pun menemui titik nadir dan kembali lagi pada gerakan retribusi dan detterence yang merupakan akar timbulnya gerakan abolisi itu sendiri. Terlebih, untuk menerapkan teori treatment membutuhkan biaya sangat tinggi. Ia sepakat dengan Mardjono bahwa, “Kejahatannya harus selektif dan benar-benar membahayakan masyarakat”.

Mahmud mengatakan, Indonesia sendiri hingga saat ini belum punya tujuan pemidanaan yang jelas, apakah untuk efek jera, balas dendam atau pemulihan (restorative justice). Nah, ia memandang KUHP mulai mengakomodir tujuan pemidanaan yang cenderung menganut tujuan pemulihan. Artinya, ujar mahmud, “Hukum adat di Indonesia banyak yang berusaha memaafkan si pelaku, mempertemukan antara pelaku dan korban, hingga tercapai pemaafan”. Namun ia memberi catatan, “Restorasi justice tidak bisa diterapkan pada semua jenis tindak pidana”. Termasuk tidak bisa diterapkan adalah, kejahatan yang dianggap membahayakan masyarakat.

Sementara ahli dari Universitas Pattimura Ronald Z Tihatelu berpendapat, jika penjahat narkotika dipidana karena menimbulkan korban demoralisasi masyarakat yang berujung kematian, ia menganalogikan bandar narkotik dengan pabrik rokok. “Kalau bandar narkoba dijatuhi pidana mati karena merusak orang, mengakibatkan mati, pabrik rokok juga mestinya begitu,” ujarnya.

Dalam pemikirannya, peredaran narkoba itu sama seperti pasar rokok. Si Korban menyadari bahwa dirinya menjadi korban, pengedar atau distributor juga menyadari kalau barang dagangannya itu membahayakan orang lain. “Pabrik rokok bahkan mencantumkan bahaya merokok di bungkusnya,” ujarnya. Jadi, menurut Ronald, “Yang berlaku dalam perdagangan narkotika 'kan mekanisme pasar”.
(CRP)


Senin, 18 Juni 2007

JANGAN BIARKAN RAKYAT MEMBUAT DOSA

Bandung 17 Juni 2007, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta didampingi
Kepala Kanwil Jawa Barat Sugeng Hendriyo saat meninjau Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin

Tidak transparannya mekanisme dan pemberian berbagai hak yang dimiliki oleh para narapidana (Remisi, Pembebasan Bersyarat, Asimiliasi dan lain-lain) menyebabkan rakyat memberi berbagai interpretasi dan penilaian yang negatif terhadap keberadaan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Sipir).

Rakyat memberi syak wasangka negatife terhadap petugas Lapas . Melihat kondisi tersebut Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta meminta kepada jajaran Departemen Hukum dan HAM untuk tidak membiarkan rakyat membuat dosa dengan pikiran negatifnya terhadap para petugas Sipir.

Demikian disampaikan Andi Mattalatta ketika melakukan tatap muka dan dialog dengan Jajaran Departemen Hukum dan HAM Provinsi Jawa Barat di Bandung, Minggu 17 Juni 2007. Andi Mattalatta menuturkan betapa spektrum pekerjaan Departemen Hukum dan HAM dibandingkan dengan departemen lain sangatlah luas. Departemen ini bekerja mulai dari sektor hulu sampai dengan hilir.

Menurut Andi Mattalatta terdapat tiga kategori tugas utama Departemen Hukum dan HAM dalam hubungannya dengan tugas pemerintahan yang ada saat ini.

Pertama, membuat atau merancang lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan. Segala peraturan perundangan yang dibuat, maka terlebih dahulu harus melalui harmonisasi di departemen Hukum dan HAM.

Kedua, memberi Pelayanan Hukum. Berbagai aspek yang dibutuhkan dalam legalitas hukum harus dilayani oleh departemen ini. Mulai dari pengesahan perusahaan, pembuatan akte, pengesahan partai politik sampai pada pembuatan dokumen keimigrasian dan kewarganegaraan menjadi tanggung jawab Departemen Hukum dan HAM.

Ketiga, memelihara para pelanggar hukum. Implikasi dari adanya pelanggaran atas hukum tertulis dari suatu undang-undang menyebabkan ditegakkannya pemberian sanksi berupa tahanan kepada para pelanggar hukum. Ketika keputusan hukum tetap sudah dijatuhkan maka status pelanggar akan ditempatkan di Rumah Tahanan Negara atau Lembaga Pemasyarakatan dibawah pembinaan Departemen Hukum dan HAM.

Berbagai kondisi kekuarangan dari Lapas saat ini, senantiasa menjadi tudingan berbagai kalangan akan tidak manusiawinya perlakuan yang diterima oleh para narapidana. Tudingan berbagai pihak akan prilaku para sipir dan pelanggaran hak-hak napi yang tidak diberikan menjadi perbincangan yang tiada henti dari media massa.

Untuk itu Andi mengajak kepada segenap jajaran departemen untuk mencari solusi yang lebih cerdas atas berbagai permasalahan diberbagai Lapas dan Rutan dengan mengoptimalkan sinergi dengan berbagai kalangan dan sektor untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Tugas para sipir sesungguhnya lebih mulia daripada para guru dan dosen, karena objek yang harus dibina adalah orang-orang yang secara nyata mempunyai kekurangan dalam prilaku serta tidak mempunyai keinginan secara tulus untuk dibina. (Biro Humas dan HLN/ Hasbullah

http://www.depkumham.go.id/xDepkumhamWeb/xBerita/xFoto/lapas+sukamiskin.htm

Minggu, 17 Juni 2007

Eurico Guterres Terguncang Dengar Kabar Abilio Meninggal

17/06/07 17:34

Kupang (ANTARA News) - Kabar duka tentang meninggalnya mantan Gubernur Timor Timur(Timtim), Abilio Jose Osorio Soares di RSUD Prof WZ Johannes Kupang, Minggu, membuat batin terpidana pelanggaran HAM berat Timtim, Eurico Guterres terguncang di penjara Cipinang Jakarta."Batinnya sangat terguncang ketika itu...Sambil mengepalkan tangan dan menengadah ke langit-langit penjara, ia mengatakan..Hukman, Abilio telah pergi," demikian kata Guterres seperti dilukiskan oleh juru bicaranya, Hukman Reny, SH.

Ketika dihubungi ANTARA News dari Kupang, Minggu, Hukman mengatakan, "Saya melihat Eurico (Guterres) benar-benar berduka ketika mendengar kabar meninggalnya mantan Gubernur Timtim, Abilio Jose Osorio Soares."Dia seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga...Kelopak matanya tampak sembab dan menerawang jauh sambil tak hentinya menghela nafas panjang kemudian berucap...Kenapa..kenapa... harus Abilio?," tutur Hukman melukiskan keadaan jiwa Guterres yang juga mantan Wakil Panglima Pejuang Integrasi (PPI) pada saat itu.

Bagi Eurico Guterres, kata dia, kepergian Abilio ini merupakan sebuah kehilangan ganda yang sangat menyakitkan, karena dimata Eurico, Abilio adalah seorang pejuang dan tokoh masyarakat Timor Timur yang amat disegani dan dicintai masyarakatnya.

Eurico Guterres juga menganggap Abilio adalah seorang tokoh sekaligus orangtua yang memiliki sikap tegas dalam mempertahankan prinsip ke-Indonesia-annya."Saya menyesal mengapa seorang Abilio yang masih kita butuhkan sebagai obor perjuangan, begitu cepat pergi", kata Eurico seperti dikutip juru bicaranya."Jujur saya katakan bahwa beliau adalah salah satu cermin perjuangan saya dalam mempertahankan Merah Putih di Timor Timur.

Saya banyak belajar dari Abilio mengenai prinsip dan kesetiaan perjuangan," tambahnya.Eurico Guterres mengatakan, dengan kepergian Abilio, praktis tinggal Joao Tavares (mantan Panglima Pejuang Integrasi Timtim) yang menjadi "bapak" perjuangan masyarakat Timor Timur pro Indonesia.Hukman mengatakan saat ini Eurico Guterres sedang berusaha meminta izin dari pihak berwenang di Cipinang agar dirinya diperkenankan menghadiri pemakaman Abilio di Kupang.

Pengamat masalah Timor Leste, Florencio Mario Vieira mengatakan, Bangsa Indonesia telah kehilangan seorang tokoh yang tetap konsisten dengan pilihan politiknya sampai akhir hayatnya."Konsistensi politik yang ditunjukkan Abilio telah menjadi sebuah pembelajaran bagi para `pelacur politik` bahwa konsistensi terhadap pilihan politik merupakan sebuah kehormatan yang bermartabat," kata Mario yang dihubungi secara terpisah.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2007/6/17/guterres-terguncang-dengar-kabar-abilio-meninggal/



Sabtu, 16 Juni 2007

Narapidana Mengeluh, Hak Mereka Sering Diabaikan

HUKUM ONLINE

Hak narapidana memang sengaja tidak dipenuhi. Karena itu bisa menjadi ‘sumber pemasukan’ bagi sejumlah oknum di Lapas.
Konon, untuk memberantas kejahatan maka pelaku tindak pidana dimasukan ke dalam penjara. Harapannya, pelaku akan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak kejahatan melalui sistem pembinaan.

Tapi di sisi lain, faktanya tingkat kejahatan tidak kunjung menurun. Kejahatan justru semakin merajalela dan makin canggih modusnya. Kalau sudah begini, sistem pembinaan harus dipertanyakan. Terlepas dari itu, nyatanya kini terjadi peningkatan kapasitas penghuni alias over capacity pada Lembaga Pemasyaratan (Lapas).

Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI) menengarai kelebihan kapasitas lapas tidak hanya disebabkan oleh buruknya sistem pemenjaraan, tetapi juga dipengaruhi pandangan untuk memelihara napi selama mungkin dipenjara. Caranya, dengan mengabaikan hak-hak narapidana, seperti hak asimilasi dan pembebasan bersyarat (PB). “Hak itu sering diabaikan tanpa alasan yang jelas,” ujar Susongko Suhardjo, juru bicara NAPI.

Mantan Sekjen KPU itu bersama didampingi Roy Marten –mewakili para napi-- mengadukan pelanggaran hak narapidana tersebut ke Komnas HAM, Rabu, (13/6). Susongko berharap Komnas HAM dapat memperjuangkan hak narapidana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Susongko, yang tersandung kasus korupsi di KPU, mencontohkan pengalamannya saat ditahan. Ia menuturkan selama menjalani hukuman ia tidak pernah mendapatkan asimilasi. “Padahal SK Asimilasi saya sudah turun dari Kanwil,” jelasnya. Tidak hanya itu, proses pemberian pembebasan bersyarat pun terlambat.

Menanggapi hal itu, Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Dephukham, Harkristuti Harkrisnowo menyatakan pelanggaran hak narapidana disebabkan karena buruknya sistem koordinasi antara aparat penegak hukum. Ia mencontohkan saat masa tahanan narapidana habis, pihak lapas sudah memberitahukan kepada Kejaksaan pada H-10 atau H-3. Tetapi jaksa tidak melakukan eksekusi. “Masalahnya Lapas tidak mungkin membebaskan orang tanpa eksekusi dari jaksa,” tuturnya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis, (14/6).

Begitu juga dengan konsep Hakim Wasmat (pengawas dan pengamat) yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Harkristuti seharusnya hakim tersebut melakukan pengecekan terhadap pelaksanaan dari hukuman seorang narapidana. Itu sebagai bentuk akuntabilitas hakim. “Hakim yang memasukan orang ke penjara. Jadi dia bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukumannya,” terangnya.

Sumber anonim hukumonline di lingkungan Lapas bercerita pengabaian hak narapidana adakalanya sengaja dilakukan oleh oknum Lapas. Sebab pemenuhan hak napi harus melalui proses birokrasi yang panjang. Inilah yang dijadikan ‘permainan’ oleh oknum Lapas yang akhirnya melahirkan pungutan liar.

Pengawasan dan pembinaan
NAPI berharap agar dilakukan pengawasan yang baik terhadap Lapas. “Seharusnya penataan dan pengawasan Lapas lebih mudah dilaksanakan mengingat masalah HAM dan Lapas berada dalam departemen yang sama,” ujar Susongko.

Ironisnya, Dirjen HAM sebagai insitusi yang memperjuangkan HAM ternyata tidak dapat melakukan pengawasan, apalagi mengambil tindakan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Lapas. “Kami memang tidak diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan,” jelasnya. Menurut Harkristuti pengawasan Lapas sepenuhnya berada di Dirjen Pemasyarakatan.

Harkristuti menambahkan bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban penegakan HAM, ia tengah memberi pemahaman tentang pelaksanaan HAM di Lapas kepada para petugas Lapas. “Karena negara bertanggung jawab terhadap HAM, maka yang perlu ditatar adalah penyelenggaranya,” tuturnya.

Menteri Hukum dan HAM Andi Matalata menyatakan bahwa saat ini Dephukham tengah membuat Juklak Sistem Pembinaan untuk mengurangi kelebihan kapasitas di Lapas. Namun hingga pekan ini, belum diketahui pasti bentuk juklak yang akan dibuat dan apa saja yang akan diatur di dalamnya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Asfinawati berpesan agar juklak itu implementatif. “Dan harus ada support untuk melaksanakan juklak itu,” tambahnya. Menurutnya, selama ini permasalahan tidak terletak pada tataran peraturan, melainkan pelaksanaan dari aturan.

Asfin menambahkan jika Lapas dianggap tempat pembinaan maka pembinaan itu harus mencakup pembinaan mental, ekonomi, pendidikan. “Itu dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan departemen lain,” tuturnya. Ia mencontohkan, untuk pembinaan pendidikan dan pelatihan, Lapas bisa bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Departemen Perdagangan dan Perindustrian. “Tidak betul kalau anggaran menjadi kambing hitam,” tegasnya.

(CRM)
http://hukumonline.com/default.asp


Jumat, 15 Juni 2007

Lapas Terbuka Cinere : PENJARA TANPA JERUJI BESI



Tak seperti penjara pada umumnya, Lapas Terbuka Gandul daerah di Cinere justru tampak seperti sebuah vila. Pemandangan di sekitarnya terasa sejuk dan asri. Bahkan, penghuni lapas boleh memegang kunci tahanan sendiri.

Selamat Datang di Kampung Asimilasi Gandul, Lapas Terbuka Jakarta" Begitu kalimat yang tertulis di sebuah batu besar di pintu gerbang lapas. Memasuki lapas ini, rasanya tak seperti rumah tahanan pada umumnya. Taman-taman tertata rapi dan apik. Pot-pot berisi pohon jeruk nipis menghiasi bibir sungai kecil yang mengelilingi bangunan.

Lapas Terbuka ini memiliki tiga buah bangunan utama. Bagian terdepan merupakan bangunan dengan dua lantai yang berdiri di atas sebuah kolam ikan. Lantai atas digunakan sebagai ruang administrasi dan kantor Kepala Lapas. Sementara lantai bawah dimanfaatkan sebagai ruang serbaguna.

Di belakang bangunan pertama, tampak sebuah lapangan olah raga. Di sinilah tempat para napi melakukan kegiatan senam pagi tiap Jumat pagi. Sedangkan di bagian belakang lapangan, tampak berjejer kamar-kamar para tahanan. Bangunan fisik lapas yang menempati areal perbukitan, sekilas tampak seperti sebuah rumah peristirahatan. Tak terlihat pagar tinggi maupun jeruji besi yang mengelilingi bangunan lapas.

Lapas yang tak biasa ini diresmikan oleh Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin pada 14 Mei lalu. Selain di Jakarta, Lapas Terbuka juga terdapat di wilayah Kendal, Pasaman, Lombok dan Waikabubak (NTT).



SELEKSI KETAT
Lapas Terbuka ini merupakan sebuah institusi baru dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM. Tempat ini memiliki peran dalam rangka pembinaan tahap lanjut bagi para narapidana. "Pembinaan narapidana biasanya melalui tiga tahap. Tahap awal merupakan masa bagi para narapidana menjalani setengah dari masa hukumannya," ujar Drs. Tholib Bc.IP.SH.MH selaku Kepala Lapas Terbuka Jakarta.

Pembinaan tahap lanjut, biasanya berlangsung setelah napi melewati separuh masa hukuman. Pada tahap ini pembinaan napi juga turut melibatkan unsur masyarakat. Konsep inilah yang dicoba diterapkan di Lapas Terbuka. "Tahap ini disebut tahap asimilasi. Sebelum seorang napi bebas, ia akan diperkenalkan dulu dengan kehidupan masyarakat luar. Tujuannya supaya dia enggak kaget saat ia keluar nanti," tutur Tholib.

Menurut Tholib, para penghuni lapas yang daya tampungnya mencapai 50 orang ini telah melalui seleksi awal yang cukup ketat. Ada banyak kriteria untuk bisa masuk ke LP ini. "Harus berkelakuan baik, lolos seleksi tim Penelitian Kemasyarakatan. Ia juga harus menjalani setengah masa hukumannya," papar Tholib.

Pihak Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) akan melakukan survei terhadap napi yang akan direkomendasikan. Selain itu, perlu juga dipastikan apakah keluarga korban atau keluarga napi merasa keberatan dengan kepindahan mereka di Lapas Terbuka.

"Jadi, napi yang ditampung di sini adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Syarat lain, di sini tidak ada tempat bagi mereka yang tersangkut kasus narkoba, penipuan, dan terorisme. Alasannya, karena ketiga kasus tersebut dianggap sangat meresahkan masyarakat," papar Tholib.

BAWA KUNCI SENDIRI

Sistem Pengamanan yang diterapkan di Lapas Terbuka juga berbeda dengan lapas-lapas lain pada umumnya. "Kami memakai sistem pengamanan minimum. Maksudnya, di sini enggak ada petugas yang memakai senjata api. Kami selalu menekankan sikap kekeluargaan. Ini membuat hubungan antara petugas dan penghuni lapas lebih dekat," papar Agus Heryanto, SH. MA selaku Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Terbuka (KPLP).

Para penghuni napi dibebaskan untuk keluar masuk kamar tanpa aturan dan pengawasan ketat. Mereka pun melakukan aktivitas masing-masing secara rutin setiap hari. Bila waktu istirahat tiba, beberapa di antaranya lebih suka menghabiskan waktu di depan pesawat televisi yang terletak di salah satu sudut.

Kendati demikian, para napi tetap diharuskan masuk kamar masing-masing pada waktu yang telah ditentukan. Namun, kamar-kamar itu tak terkunci dari luar seperti halnya gembok penjara. Kunci dipegang sendiri oleh penghuni.

Untuk mengatur ketertiban kehidupan di lapas, Agus menetapkan adanya Kepala Kampung bagi para penghuni. Fungsinya sebagai penghubung antara para napi dan petugas. "Jadi, kalau ada masalah di antara mereka, kepala kampung-lah yang melapor pada petugas," ujar Agus yang tak pernah menjumpai masalah berarti selama menangani keamanan Lapas Terbuka.

DAPAR ORDER MELUKIS
Beragam fasilitas yang tersedia di lapas memang memberikan "kenyamanan" tersendiri bagi para penghuninya. "Di sini mereka diperlakukan secara lebih manusiawi," ujar Tholib.
Ucapan Tholib ini terlihat dari serangkaian aktivitas yang dijalani para napi di lingkungan lapas. Para napi tergabung dalam beberapa Kelompok Kerja (Pokja) perikanan, pertanian, dan ternak unggas. Kegiatan beribadah pun bebas dilakukan. Para napi dapat melakukan ibadah salat Jumat atau pergi ke gereja yang terletak tak jauh dari lapas tanpa pengawasan ketat.

Segi kenyamanan juga terlihat dari penataan kamar para napi. Lapas Gandul memiliki sepuluh buah kamar berdinding batako seluas 4 x 4 meter. Tiap kamar rata-rata dihuni oleh 3-4 orang. Mereka memiliki kebebasan untuk menata kamar masing-masing. Hal ini dapat terlihat di kamar salah satu warga. Ia membawa sejumlah barang elektronik milik pribadi di kamar yang ditempati bersama tiga orang napi lain.

Ia mengaku hidupnya lebih tenang saat dipindah di lapas ini sejak delapan bulan lalu. "Di sini udaranya lebih lega. Enggak membuat tertekan. Penjagaannya juga enggak terlalu ketat seperti di tempat yang dulu," ujarnya.

Hal serupa juga dirasakan oleh Hanafi (40), yang sudah bebas minggu lalu. Selama di lapas ia merasa lebih tenang hingga hobinya melukis bisa tersalurkan dengan baik. Siang itu, Hanafi tampak menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Rupanya ia sedang menyelesaikan pesanan lukisan dari salah satu petugas Lapas.

Hanafi berusaha memberikan sentuhan akhir pada lukisannya. "Saya memang hobi melukis. Biasanya dapat order dari petugas yang minta supaya pacar atau keluarganya saya lukis. Hasilnya lumayan juga! Bisa untuk nambah uang buat beli rokok atau jajan," papar Hanafi seraya mengisap batang rokoknya dalam-dalam.

Kendati nyaman, tentu saja mereka tak ingin masuk lapas ini lagi setelah bebas nanti.

http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=9478

Senin, 11 Juni 2007

DISKON HUKUMAN

SUARA PEMBARUAN DAILY
Oleh Rahardi Ramelan

Sebagian dari kita mungkin membaca, mulai Selasa (5/6), pewaris bisnis jaringan hotel, Paris Hilton menjalani hukuman penjara selama 23 hari. Vonis hakim di Los Angeles, Jumat (4/5), Paris Hilton dihukum 45 hari. Tetapi, kenapa hukuman penjara yang dijalani Paris hanya 23 hari?

Memang begitulah sistem pemidanaan di Amerika Serikat. Masa penjara cukup setengah saja dari hukuman yang diketuk hakim. Paris Hilton hanya memperoleh diskon 50 persen, karena hukumannya tergolong rendah. Secara rata-rata, diskon hukuman di penjara Amerika sekarang ini adalah 55 persen.

Pada awal sejarah Amerika, pelanggar hukum dipenjara untuk jangka waktu yang tetap (sama sekali tidak memperoleh pengurangan). Mereka hanya dibebaskan setelah menjalani seluruh masa pidana, tidak memperoleh insentif atas perubahan perilaku narapidana (napi).

Perubahan drastis terjadi setelah diberlakukan UU Kelakuan Baik (1837), mengatur pengurangan hukuman bagi napi yang berkelakuan baik. New York merupakan negara bagian pertama yang mengadopsi UU ini.

Dengan dasar UU tersebut, New York mengizinkan administrator koreksi (di Indonesia setara lembaga pemasyarakatan) untuk mengurangi seperempat hukuman napi dengan hukuman di atas lima tahun. Pengurangan diberikan, setelah mendapat keterangan dari pihak lapas dan bukti-bukti lain, bahwa napi bersangkutan berkelakuan baik, dan telah mampu menghasilkan uang minimum $15 per tahun.

Tahun 1916, semua negara bagian sudah mempunyai UU sejenis. Komisi Pembebasan Bersyarat (PB) AS, juga memberikan pemotongan yang lebih besar bagi napi yang telah menyelesaikan program rehabilitasi. Sejak tahun 1988, Negara Bagian California memberikan potongan dengan rasio 1 banding 2. Artinya, satu hari pengurangan hukuman untuk setiap dua hari kelakuan baik.

Di AS, ada tiga tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh fasilitas PB. Pertama, waktu yang dijalani di rumah tahanan (rutan), sebelum dipindahkan ke lapas. Kedua, berkelakuan baik, dan ketiga, berpartisipasi dalam program lapas. Masa dalam rutan menjadi kredit, apabila selama dalam rutan tidak melakukan pelanggaran. Program lapas, antara lain mengikuti sekolah dalam lapas, misalnya saja persamaan SLA, kursus memasak, kursus perawatan korban narkoba.

Dewasa ini, maksimum hukuman yang dijalani napi di lapas, hanya setengah dari total hukuman yang divonis hakim. Secara rata-rata, hukuman yang dijalani di lapas hanya 45 persen dari vonis, jadi diskon hukuman 55 persen.

Di Indonesia, PB diberikan apabila sudah menjadi 2/3 hukuman. Jadi dengan fasilitas PB, napi memperoleh diskon 1/3 atau 33,33 persen.

Pembebasan
Mayoritas pelanggar pidana di penjara AS, pada akhirnya kembali ke masyarakat. Kecuali napi meninggal di penjara (karena sebab alamiah atau sebab lain), hampir semua bebas - suatu hari. Hukuman jangka panjang yang kejam pada abad 19, membuat hanya sedikit napi yang bisa keluar dari penjara. Itu pun dalam keadaan pahit, hancur - atau keduanya.

Kini sebagian besar pelanggar meninggalkan lapas dengan fasilitas PB, biasanya jauh sebelum berakhirnya masa hukuman. Dalam beberapa tahun terakhir, persentase napi yang dilepaskan secara PB terus meningkat. Pada 1966, napi yang bebas dengan PB adalah 61 persen dari total pembebasan, dan angka ini naik menjadi 74 persen pada 1985. Kini, di beberapa negara bagian napi yang bebas dengan PB mencapai 100 persen dari total pembebasan.

Populasi PB di Amerika Serikat telah bertumbuh lebih dari 16 persen sejak 1983. Tahun 1988, populasi ini mencapai 300.203 orang. PB sangat penting, apalagi kalau kita cermati bahwa alternatif lain untuk bebas hanyalah pengampunan, menjalani masa hukuman penuh, atau kematian.

Tahun 1980, napi di Amerika sebanyak 1.842.100 orang. Hukuman percobaan (probation) sebanyak 1.118.097 orang (60,7 persen), yang masuk ke tahanan atau rutan (jail) sebanyak 183.988 orang, yang dimasukkan ke penjara (prison) sebanyak 319.598 orang (17,3 persen). Artinya, dari 100 vonis hakim, hanya 17,3 yang dijalani ke penjara. Lalu dari antara yang masuk penjara, 220.438 (69 persen) orang pulang dengan fasilitas PB.

Tahun 2005, dari 7.056.000 napi, sebanyak 4.162.536 (59 persen) orang dengan hukuman percobaan, 747.529 (10,6 persen) masuk tahanan, dan 1.446.269 (20,5 persen) yang masuk penjara.

Ketika hukuman mati dan hukuman seumur hidup masih sering dijatuhkan, kematian di lapas sangat mungkin terjadi. Napi bisa saja meninggal karena sebab alamiah, kecelakaan, atau dibunuh di dalam lapas. Cara lain untuk keluar -yang tidak lebih baik, memaksa menjalankan seluruh masa hukuman sebelum dibebaskan.

Selain PB, yang bisa membuat napi pulang lebih cepat adalah pemberian grasi, dalam bentuk pengampunan atau sejenisnya. Pengampunan menyeluruh biasanya membebaskan semua pelanggaran dan menghilangkan stigma rasa bersalah napi.

Yang membedakan prosedur PB di AS dengan negara-negara lain, adalah tingkat pengawasan. Dengan semakin berkembangnya PB di Amerika, ketergantungan pada peraturan dan pengawasan menjadi elemen penting. Kini, semua negara bagian sudah melaksanakan PB, bahkan 19 negara bagian dalam proses menghilangkan pengawasan PB. Artinya, setelah napi dibebaskan secara PB, napi bersangkutan tidak diawasi lagi.

"Overcrowding" di Indonesia
Dari pemberitaan media massa akhir-akhir ini, penjara di Indonesia sudah mengalami overcrowding (over kapasitas). Banyak napi meninggal di penjara, yang bersumber dari kualitas hunian yang sangat buruk. Masalah lain, hampir 60 persen napi di kota-kota besar, merupakan pelanggar pidana narkoba.

Jumlah pelanggar pidana di penjara Indonesia, akhir tahun lalu sekitar 116.000 orang, atau hanya 1,64 persen jumlah napi di Amerika (padahal jumlah penduduknya tidak berbeda jauh). Ini mengindikasikan, penegakan hukum di AS jauh lebih baik daripada Indonesia, terbukti dari jumlah pelanggaran pidana yang dibawa ke pengadilan.

Kemudian, jika AS memberi diskon hukum 55 persen, Indonesia memberi berapa persen? Untuk hukuman dua tahun, bisa terjadi, diskon hukuman yang diperoleh hanya 12,5 persen. Mengapa disebut "bisa terjadi," karena pemberian remisi (potongan hukuman) di Indonesia hanya terpusat pada 17 Agustus dan hari raya keagamaan (Lebaran, Natal, Nyepi, Waisak).

Apa kaitan sistem remisi (diskon hukuman) dan overcrowding penjara di Indonesia? Kaitannya terletak pada daya tampung penjara. Dari perkiraan kasar, supaya daya tampung penjara bisa mengimbangi perkembangan tindak kriminal, Indonesia harus membangun penjara baru (seluas penjara lama) setiap 4,21 tahun.

Mampukah membangun bui baru setiap 4,21 tahun? Layak dipertanyakan, sebab kapasitas Lapas Cipinang saja, yang dibangun Belanda tahun 1918, sampai sekarang belum berhasil ditambah agar menjadi dua kali lipat dibanding kapasitas 1918. Padahal hampir 100 tahun. Kalau setiap 4,21 tahun, akan bagaimana jadinya?

Maka solusi overcrowding haruslah dengan memperbaiki peraturan. Pengebirian hak-hak napi yang malah bertentangan dengan UU, harus segera diakhiri. Paradigma "memelihara napi selama mungkin di penjara" harus segera ditinggalkan, karena tak sesuai dengan kemampuan keuangan negara, dan tak sesuai dengan perkembangan zaman.

Seperti pernah dikemukakan Prof Dr Andi Hamzah di Mahkamah Konstitusi, negara-negara Eropa sudah sangat meragukan kemampuan penjara untuk memperbaiki perilaku napi. Bahkan Afrika Selatan berkali-kali memberi remisi khusus dalam jumlah besar, agar jumlah napi "seimbang" dengan daya tampung penjara.

Kalau AS yang mempunyai kemampuan keuangan sangat kuat memberi diskon hukuman 55 persen, Indonesia yang ekonominya jauh di bawah Amerika, mestinya memberi diskon berapa persen?

Penulis adalah mantan Menperindag dan Kabulog, kini Juru Bicara Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI)
Last modified: 11/6/07

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/06/11/Editor/edit01.htm/


Rabu, 06 Juni 2007

PENGARAHAN MENKUMHAM KEPADA ESELON I DAN II

Sudah empat minggu Menteri Hukum dan HAM mendalami segala persoalan yang melingkupi di Departemen Hukum dan HAM, saatnya sekarang untuk mengenal lebih dekat dengan seluruh pejabat eselon I dan II di Departemen Hukum dan HAM yang ada di Jakarta. Demikian menjadi pembuka awal pengarahan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta ketika memberikan pengarahan di jajaran Eselon I dan II di Ruang Soepomo lantai VII Departemen Hukum dan HAM Senin, 4 Juni 2007.

Nampak hadir dalam pengarahan tersebut, seluruh pejabat eselon I dan II Departemen Hukum dan HAM kecuali yang berhalangan karena ada tugas Dinas. Perkenalan nama dan jabatan Eselon II oleh Pejabat Eselon I masing-masing, diawali dari Jenderal Imigrasi, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal Perlindungan dan diikuti dengan unit-unit yang lain. Perkenalan terakhir disampaikan Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal Basir Ahmad Barmawi dengan Kepala-kepala Biro di lingkungan Sekretariat Jenderal.

Beberapa catatan penting dan menjadi agenda yang utama disampaikan Menteri Hukum dan HAM untuk diselesaikan dalam 2 (dua) tahun mendatang mencakup beberapa hal, antara lain di lingkungan pemasyarakatan perlu segera dibuat Petunjuk Teknis Pembinaan Narapidana. Hal ini sangat mendesak karena pertimbangan over kapsitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan tidak bisa diselesaikan hanya dengan membangun dan menambah ruang tahanan. Harus dicari management yang tepat dalam kondisi over kapasitas

Disisi lain beberapa Lembaga Pemasyarakatan yang melakukan kerjasama dengan pihak ketiga yang sudah berlangsung lama perlu dilakukan Audit. Hal ini ditujukan utnuk mengevaluasi apakah kerjasama itu menguntungkan atau tidak. Kalau memang menguntungkan akan terus dipertahankan bahkan mungkin dikembangkan sedangkan bila tidak menguntungkan akan direvisi lebih lanjut.

Untuk memberdayakan para narpidana di seluruh Indonesia, perlu dilakukan sinergi dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Banyaknya jumlah narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan seluruh Indonesia saat ini kurang lebih 118.000 orang, bukanlah jumlah sedikit dan kebanyakan masih tergolong usia produktif. Kan kasihan kalau mereka di lembaga pemasyarakatan dengan status idle, kata Menkumham
.

Sehingga perlu dipikirkan sinergi dengan pihak lain terutama Depnakertrans untuk menempatkan para warga binaan sehingga mereka merasa berguna. Karena bagaimanapun hal yang paling membahagiakan adalah kalau seseorang itu merasa berguna baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat.

Sementara penekanan bagi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), mendesaknya dilakukan kajian yang relevan mengenai Peraturan Pemerintah dalam kaitannya dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) termasuk instansi atau departemen yang bertanggung jawab terhadap Undang-undang tersebut. Pengalaman ketika rapat dengan DPR maka yang selalu disalahkan ketika ada masalah dengan Undang-undang adalah Menteri Hukum dan HAM.

BPHN juga diharapkan untuk mengkaji beberapa Undang-undang yang dibatalkan karena keputusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini diperlukan untuk menindaklanjuti berbagai keputusan tersebut agar tidak terjadi kevakuman hukum, sekaligus pembelajaran bagi pengusul dan pembuat undang-undang agar sebelum diundangkan produk itu harus dikaji secara konprehensif.

Jadi antara Ditjen PP dengan BPHN harus terjadi kerjasama katakanlah misalnya PP memprogramkan sesuai prolegnas melaksanakan UU tentang A pada tahun 2008, kajian sudah disiapkan setahun sebelumnya oleh BPHN untuk mengantar itu. Sehingga ada sinergitas antara apa yang dilakukan BPHN dengan PP.

Disisi Keimigrasian, Menteri berharap agar pembuatan dan pelayanan paspor dapat dilakukan lebih murah dan aman. Kewajiban seseorang untuk mengurus paspor sebagai dokumen keimigrasian harus dilakukan ketika akan bepergian ke luar negeri, kewajiban itu tanpa ada pilihan lain. Sehingga pelayanan yang diberikan oleh pemerintah harus tepat waktu dan sementara semua pemasukan uang yang diperoleh karena penggunaan layanan harus disetor ke Negara. Banyaknya pemalsuan paspor juga perlu mendapat perhatian dari jajaran Imigrasi. Untuk itu jaminan keamanan paspor menjadi prioritas dalam sisa waktu 2 tahun masa jabatan kabinet bersatu. .

Keberadaan dan Pembenahan koperasi pengayoman saat ini juga harus menjadi agenda penting. Sebagaimana dipahami bahwa kehadiran suatu koperasi harus memberi kemanfaatan kepada seluruh anggotanya. Manakala hal tersebut diabaikan maka lebih baik koperasi tersebut ditinjau ulang keberadaannya.

Menyangkut implikasi dari beberapa persoalan hukum akibat pembuatan akte badan usaha dan partai politik harus dilakukan kajian yang mendalam sebelum mengeluarkan suatu keputusan. Demikian juga halnya dengan berbagai permohonan untuk memperoleh hak paten, hak hak merek, hak cipta harus mendapatkan perhatian serius .

Saya kira hal yang sama seperti di HKI, masalah pendaftaran pemilik paten, pemilik merek, kalau ini memerlukan keahlian khusus untuk meneliti apakah ini paten memang hasil karya asli, begitu juga dengan paten, merek, cipta. Begitu juga mereka bertugas untuk law enforcement untuk HKI, apakah perlu bekerjasama dengan polisi, ini harus segera diselesaikan karena banyak rakyat kecil yang terlibat. Tolong difokuskan, bisa tidak ditelusuri industrinya, kasihan kan yang kena razia terus para pedagang di Glodok sana tapi yang mengedarkan malah tidak ditindak.

Sementara menyangkut pengawasan tentang pemberian sangksi kepada staf atau pejabat yang melakukan pelanggaran harus dibuat aturan yang transparan. Sehingga komplain terhadap beberapa pejabat yang baru dilantik karena pernah mendapatkan sanksi tidak terulang lagi. Pengawasan yang ada selama ini belum berjalan secara efektif. Pengisian jabatan yang lowong pada beberapa Unit di lingkungan Departemen Hukum dan HAM pertengahan Juni 2007 .

Keberadaan Perlindungan dan Penelitian HAM terutama dalam implementasi Undang-undang HAM termasuk kerjasama dengan berbagai lembaga yang berhubungan dengan HAM seperti Komnas HAM, Komnas Anak dan lain sebagainya. (Biro Humas dan HLN / Hasbull

http://www.depkumham.go.id/