HUKUM ONLINE
Hak narapidana memang sengaja tidak dipenuhi. Karena itu bisa menjadi ‘sumber pemasukan’ bagi sejumlah oknum di Lapas.
Konon, untuk memberantas kejahatan maka pelaku tindak pidana dimasukan ke dalam penjara. Harapannya, pelaku akan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak kejahatan melalui sistem pembinaan.
Tapi di sisi lain, faktanya tingkat kejahatan tidak kunjung menurun. Kejahatan justru semakin merajalela dan makin canggih modusnya. Kalau sudah begini, sistem pembinaan harus dipertanyakan. Terlepas dari itu, nyatanya kini terjadi peningkatan kapasitas penghuni alias over capacity pada Lembaga Pemasyaratan (Lapas).
Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI) menengarai kelebihan kapasitas lapas tidak hanya disebabkan oleh buruknya sistem pemenjaraan, tetapi juga dipengaruhi pandangan untuk memelihara napi selama mungkin dipenjara. Caranya, dengan mengabaikan hak-hak narapidana, seperti hak asimilasi dan pembebasan bersyarat (PB). “Hak itu sering diabaikan tanpa alasan yang jelas,” ujar Susongko Suhardjo, juru bicara NAPI.
Mantan Sekjen KPU itu bersama didampingi Roy Marten –mewakili para napi-- mengadukan pelanggaran hak narapidana tersebut ke Komnas HAM, Rabu, (13/6). Susongko berharap Komnas HAM dapat memperjuangkan hak narapidana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Susongko, yang tersandung kasus korupsi di KPU, mencontohkan pengalamannya saat ditahan. Ia menuturkan selama menjalani hukuman ia tidak pernah mendapatkan asimilasi. “Padahal SK Asimilasi saya sudah turun dari Kanwil,” jelasnya. Tidak hanya itu, proses pemberian pembebasan bersyarat pun terlambat.
Menanggapi hal itu, Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Dephukham, Harkristuti Harkrisnowo menyatakan pelanggaran hak narapidana disebabkan karena buruknya sistem koordinasi antara aparat penegak hukum. Ia mencontohkan saat masa tahanan narapidana habis, pihak lapas sudah memberitahukan kepada Kejaksaan pada H-10 atau H-3. Tetapi jaksa tidak melakukan eksekusi. “Masalahnya Lapas tidak mungkin membebaskan orang tanpa eksekusi dari jaksa,” tuturnya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis, (14/6).
Begitu juga dengan konsep Hakim Wasmat (pengawas dan pengamat) yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Harkristuti seharusnya hakim tersebut melakukan pengecekan terhadap pelaksanaan dari hukuman seorang narapidana. Itu sebagai bentuk akuntabilitas hakim. “Hakim yang memasukan orang ke penjara. Jadi dia bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukumannya,” terangnya.
Sumber anonim hukumonline di lingkungan Lapas bercerita pengabaian hak narapidana adakalanya sengaja dilakukan oleh oknum Lapas. Sebab pemenuhan hak napi harus melalui proses birokrasi yang panjang. Inilah yang dijadikan ‘permainan’ oleh oknum Lapas yang akhirnya melahirkan pungutan liar.
Pengawasan dan pembinaan
NAPI berharap agar dilakukan pengawasan yang baik terhadap Lapas. “Seharusnya penataan dan pengawasan Lapas lebih mudah dilaksanakan mengingat masalah HAM dan Lapas berada dalam departemen yang sama,” ujar Susongko.
Ironisnya, Dirjen HAM sebagai insitusi yang memperjuangkan HAM ternyata tidak dapat melakukan pengawasan, apalagi mengambil tindakan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Lapas. “Kami memang tidak diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan,” jelasnya. Menurut Harkristuti pengawasan Lapas sepenuhnya berada di Dirjen Pemasyarakatan.
Harkristuti menambahkan bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban penegakan HAM, ia tengah memberi pemahaman tentang pelaksanaan HAM di Lapas kepada para petugas Lapas. “Karena negara bertanggung jawab terhadap HAM, maka yang perlu ditatar adalah penyelenggaranya,” tuturnya.
Menteri Hukum dan HAM Andi Matalata menyatakan bahwa saat ini Dephukham tengah membuat Juklak Sistem Pembinaan untuk mengurangi kelebihan kapasitas di Lapas. Namun hingga pekan ini, belum diketahui pasti bentuk juklak yang akan dibuat dan apa saja yang akan diatur di dalamnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Asfinawati berpesan agar juklak itu implementatif. “Dan harus ada support untuk melaksanakan juklak itu,” tambahnya. Menurutnya, selama ini permasalahan tidak terletak pada tataran peraturan, melainkan pelaksanaan dari aturan.
Asfin menambahkan jika Lapas dianggap tempat pembinaan maka pembinaan itu harus mencakup pembinaan mental, ekonomi, pendidikan. “Itu dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan departemen lain,” tuturnya. Ia mencontohkan, untuk pembinaan pendidikan dan pelatihan, Lapas bisa bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Departemen Perdagangan dan Perindustrian. “Tidak betul kalau anggaran menjadi kambing hitam,” tegasnya.
(CRM)
http://hukumonline.com/default.asp
0 komentar:
Posting Komentar