Kondisi Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) saat ini di sebagian besar di tanah air telah melampaui batas kapasitas daya tampung alias over kapasity. Hal ini menjadi salah satu sumber masalah dalam pelayanan akan hak-hak narapidana (orang yang menjalani hukuman atas putusan perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap) dan tahanan (orang yang menjalani hukuman atas putusan perkara yang belum memiliki kekuatan hukum tetap), berbagai ekses negatif demikian pula dalam pembinaannya.
Untuk memberi solusi pada kondisi dimaksud, bisa dilakukan melalui pembangunan Lapas dan Rutan baru. Jika kebijakan ini menjadi pilihan, maka solusi tersebut bukan pilihan yang cerdas, demikian menurut Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta dalam wawancara Rabu, 27 Juni 2007 di kantor Departemen Hukum dan HAM. Karena orang biasa pun paham akan solusi itu.
Jika hal inipun dilakukan, ada kendala waktu dan keterbatasan anggaran yang tersedia dari pemerintah. Solusi lain dan lebih cerdas yakni melakukan keseimbangan antara daya tampung dan jumlah penghuni. Kongkritnya bagaimana menyeimbangkan antara orang yang masuk dengan kapasitas ruang yang tersedia. Untuk mengurangi jumlah penghuni yang berlebihan, maka pemberian kemudahan segala hak-hak napi seperti berbagai jenis remisi, cuti, asimilasi, pembebasan bersayarat dan lain-lain harus dipermudah dan dilakukan secara transparan.
Menurut Andi Mattalatta, ibarat sekolah, makin cepat siswa lulus maka sekolah itu makin bagus tetapi dengan syarat mereka yang pergi bukan karena drop out melainkan lulus dan mempunyai bekal yang baik. Oleh karena itu pembinaan dalam Lapas harus transparan, sehingga bila ada napi yang bebas tidak banyak menimbulkan kritik. Kebanyakan publik saat ini menilai, hanya orang-orang tertentu dan berduit yang dapat memperoleh berbagai hak di Lapas.
Pembinaan yang baik dan transparan menyebabkan publik tidak memberi penilaian negatif terhadap Lapas dan Rutan. Tetapi jauh lebih penting menurut Andi Mattalatta untuk mengurangi penghuni yang tiap hari bertambah jumlahnya, aparat Polisi dan Jaksa sebaiknya tidak perlu memasukkan para tersangka pelanggar hukum ke tahanan. Jika seseorang melakukan tindakan kriminal atau pelanggaran hukum yang tidak terlalu membahayakan orang banyak, menghilangkan barang bukti dan melarikan diri cukup dilakukan tahanan rumah atau kota.
Hal ini layak menjadi pertimbangan karena hampir 40 % jumlah penghuni Rumah Tahanan adalah mereka yang yang belum mendapat keputusan tetap dari pengadilan. Sehingga dengan langkah ini, orang yang mendekam dalam penjara jumlahnya tidak semakin besar. Disisi lain, anggaran negara yang harus dikeluarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Daftar Isian Proyek Anggakaran Departemen Hukum dan HAM dalam membiayai kehidupan seseorang di penjara juga dapat dikurangi dan dialihkan untuk sektor-sektor yang lebih prioritas seperti pengembangan SDM, kesehatan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Sekedar gambaran kuantitatif, hak makan bagi seorang napi atau tahanan per orang sebesar Rp 8.000 per hari. Total Napi dan Tahanan di seluruh Indonesia yang tercatat pada akhir tahun 2006 adalah 112.744 orang, dengan demikian total biaya untuk menyiapkan makan toh mencapai Rp. 901,952,000.00 perhari . Jadi dalam 1 tahun negara harus menyediakan uang makan bagi narapidana dan tahanan sebesar Rp 329,2 Milyar suatu jumlah yang tidak sedikit.
Ini belum mencakup sarana dan prasarananya termasuk anggaran untuk aparatnya, sesuatu ide yang layak mendapat perhatian bersama ditengah keterbatasan anggaran negara saat ini. (Hasbullah)
http://www.depkumham.go.id/xDepkumhamWeb/xBerita/xUmum/over+kapasitas.htm
0 komentar:
Posting Komentar