PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Kamis, 31 Mei 2007

Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai WADAH PEMBINAAN NARAPIDANA

(Sebuah Tinjauan berdasarkan Konsep Pemasyarakatan menurut Rahardjo, S.H.)
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pelaksanaan Pidana
Disusun Oleh:

ANDRE DICKY PRAYUDHA E0005087
ANNA MARIA AYU E0005095

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H. yang menjabat Menteri Kehakiman RI saat itu.

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.

Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.

Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam LP.

Tentu saja hal ini sangat kontradiktif apabila dibandingkan dengan visi dan misi pemasyaratan sebagai tempat pembinaan narapidana, agar keberadaannya dapat diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas. Perlu bagi kita untuk sejenak melihat kembali tujuan pengadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk membina dan menyiapkan seorang narapidana menjadi “lurus” dan siap terjun kembali ke masyarakatnya kelak. Apakah selama ini pola dan cara pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah sampai pada tujuannya?

Apakah bukannya pola pembinaan di LP itu malah membekali si narapidana akan kelak lebih profesional? Butuh pemikiran bersama dalam mengurai benang kusut di balik jeruji besi selama ini.


B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, mengerucut beberapa pertanyaan yang menjadi kerangka pemikiran penulis untuk menyusun makalah ini :
1. Unsur apa saja yang dapat mempengaruhi pembinaan narapidana?
2. Bagaimanakah dukungan terhadap proses pembinaan narapidana dalam pemasyarakatan, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan konsep pemasyarakatan itu sendiri?
3. Jika tidak sesuai, apa faktor penghambatnya dan bagaimanakah solusi yang dapat dilakukan?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.

B. Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan

Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :

1. Sarana Gedung Pemasyarakatan

Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya.

2. Pembinaan Narapidana

Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).

3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.

C. Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana

Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku.

Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.

Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses restorative justice. Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat. Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.

D. Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial

Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi :

1. Asimilasi
Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana.

2. Reintegrasi Sosial
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
a). Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan.
b). Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat memperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Apabila ditinjau melalui tujuan didirikan Lembaga Pemasyarakatan, proses pembinaan yang seharusnya diberikan kepada narapidana belum dapat berjalan. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana Lembaga Pemasyarakatan yang belum dapat mengakomodir konsep Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana. Selain itu beberapa faktor non-teknis seperti : paradigma tentang narapidana dan wujud pembinaan yang belum sempurna turut memperburuk kondisi pembinaan di pemasyarakatan.

B. Saran

Melihat fenomena pemasyarakatan yang ada cukup memprihatinkan, beberapa hal yang ingin penulis sampaikan adalah :
1. Adanya koordinasi terkait antara pihak kepolisian, kejaksaan, pegawai pemasyarakatan, serta masyarakat dalam membina pelaku kejahatan.
2. Pengadaan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembinaan narapidana dalam pemasyarakatan, selain itu diperlukan sistem yang berorientasi pada nasib narapidana ketika bebas dan kembali lagi dalam masyarakat.
3. Pemerintah melalui kekuasaannya diharapkan dapat mengubah paradigma tentang pelaku kejahatan.


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika

Petrus, Irwan Panjaitan, 1995, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan


http://hmibecak.wordpress.com/2007/05/29/esensi-lembaga-pemasyarakatan-sebagai-wadah-pembinaan-narapidana/

Selasa, 29 Mei 2007

Janazah Istri "Jenguk" Suami di Rutan Palembang

SUARA PEMBARUAN DAILY

[PALEMBANG] Sabtu (26/5) pagi, Rumah Tahanan Negara (Rutan) Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), di Jl Merdeka kedatangan jenazah Hj Siti Aisyah (59 tahun) yang telah terbungkus kain kafan. Kedatangan jenazah warga Jalan Talang Keramat Kenten itu diantar puluhan anggota keluarga dan pelayat.

Jenazah yang dibawa dengan menggunakan mobil Isuzu Panther warna putih dengan nomor polisi BG 2758 MW tiba di depan gerbang Rutan Palembang pukul 10.00 WIB. Jenazah tersebut sengaja dibawa untuk memberikan kesempatan terakhir kepada H Muhammad Yassin (65 tahun), suami almarhumah Siti Aisyah yang tengah mendekam dalam tahanan.
Di tengah kerumunan pelayat, terdengar isak tangis pilu dari anggota keluarga, Muhammad Yassin dengan menggunakan kemeja putih lengan pendek dan celana jeans warna biru tua serta peci berwana hijau melangkah keluar dari pintu gerbang dengan dikawal belasan petugas Rutan Palembang.

Pria itu langsung melangkah mendekati jenazah istri yang terbujur di dalam keranda yang diletakkan di teras rutan.
Terdengar isak tangis, Muhammad Yassin melihat wajah istrinya yang terbungkus kain kafan dengan bagian wajah yang masih dibiarkan terbuka. Tidak ada kata yang sedikit pun terucap dari mulut ayah sembilan orang anak ini saat melihat wajah istrinya untuk terakhir kalinya.

Selama melihat istrinya yang terbujur kaku, Muhammad Yasin hanya menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Dalam peristiwa yang hanya berlangsung sekitar 10 menit, jerit tangis terus terdengar.

Dalam waktu yang hampir ber samaan, Nurkomariah (21 tahun) putri bungsu Muhammad Yasin, dan Wati (24 tahun) menantu almarhumah tiba-tiba jatuh pingsan. Setelah pertemuan terakhir yang singkat itu Muhammad Yassin digiring kembali masuk ke dalam tahanannya.

Muhammad Yassin harus melepas kepergian istrinya untuk selamanya di halaman Rutan Merdeka Palembang karena majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang yang mengadili perkaranya tidak memberi izin untuk dirinya pulang sejenak ke rumah duka.
Meminta Izin

Menurut Titis Rachmawati SH MH dan Emily Fauza Ritonga SH pengacara Muhammad Yassin, pada Jumat (25/5), sudah berusaha meminta izin kepada Lief Sofijullah SH, ketua majelis hakim yang mengadili perkara Muhammad Yassin. "Tetapi hakim Lief Sofijullah sedang berada di luar kota," ujar Titis.

Tim pengacara Muhammad Yassin juga berusaha menghubungi anggota majelis hakim lainnya, namun izin yang diharapkan tak kunjung diperoleh karena harus berkoordinasi dengan anggota majelis hakim.

Menurut Titis pihaknya juga berusaha meminta izin pada Kepala Rutan Merdeka Palembang Alfi Zahrin, tetapi tidak diberi izin karena kewenangan selama proses sidang dikembalikan pada majelis hakim.

"Karena izin tidak kunjung di peroleh, atas permintaan keluarga almarhumah dan keluarga Bapak Muhammad Yassin, jenazah almarhumah Siti Aisyah dibawa ke Rutan Palembang untuk memberi kesempatan kepada klien kami melihat istrinya terakhir kali," tambah Emily Fauza Ritonga.

Menurut Titis Rachmawati, istri kliennya meninggal dunia pada Jumat sore sekitar pukul 14.30 WIB karena stroke. "Almarhumah memang menderita penyakit darah tinggi," ujarnya.

Sementara itu, Muhammad Yassin sendiri kini tengah diadili di PN Palembang. Muhammad Yassin oleh jaksa penuntut umum didakwa telah melakukan penipuan jual-beli tanah.
"Kini status klien kami ditahan di Rutan Palembang atas perintah majelis hakim," tambah Titis Rachmawati.

[SP/Bangun Lubis]
Last modified: 28/5/07



JANGAN BIARKAN NAPI KELAMAAN DI LAPAS

Menteri Hukum dan Ham, Andi Mattalata,

Jangan biarkan narapidana kelamaan menghuni Lembaga Pemasyarakatan (lapas) atau Rumah Tahanan Negara (rutan). Berikan segala hak yang dimiliki kepada Napi dengan mekanisme yang ada dilengkapi dengan laporan perubahan sikap serta aturan yang transparan sehingga para napi dapat menjadi lebih cepat keluar dan diterima oleh masyarakat. Salah satu tugas departemen ini adalah merawat orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum melalui lapas atau rutan.

Demikian dikemukakan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta dalam “Tatap Muka” dengan jajaran Pejabat Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sulawesi Selatan, Sabtu, 18 Mei 2007 di Makassar.

Beberapa tugas penting Depkumham yang menjadi prioritas antara lain membangun Sistem Hukum, segala produk perundang-undangan yang lahir dari lembaga negara baik itu Undang-undang, Peraturan Pemerintah seluruhnya harus melalui departemen ini. Produk hukum itu terlebih dahulu harus disinkronisasi dan harmonisasi sehingga tidak lagi bertentangan dengan produk hukum lainnya. Proses pembangunan sistem hukum merupakan cerminan dalam 2 (dua) hal: pertama cermin jati diri bangsa. Sebagai sistem hukum yang baik akan memberi cerminan seberapa baik sistem hukum negara ini.

Kedua koridor hukum itu diibaratkan sebagai jalan menuju suatu tujuan, jika jalan itu licin maka perjalanan menuju tujuan akan lebih lancar. Sebaliknya jika jalan itu berlubang maka perjalanannya juga akan tersendat-sendat sehingga untuk mencapai tujuan kita perlu waktu yang lama. Departemen ini harus membuat koridor atau jalan hukum itu dengan baik.

Tugas ketiga adalah memberi pelayanan hukum dalam artian administrasi hukum. Berbagai produk hukum yang berhubungan dengan pelayanan hukum seperti pembuatan surat akte, pengesahan Perseroan Terbatas dan lain-lain. Menjadi tugas dari Departemen Hukum dan HAM. (Biro Humas dan HLN/ hasbullah)


http://www.depkumham.go.id/






Sabtu, 19 Mei 2007

HIDUP DI BUI

Salut untuk Pak Amien Rais yang mengaku menerima dana nonbudgeter dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ketika jadi capres 2004. Pak Amien siap jadi tersangka dan dihukum.

Pak Amien mengimbau capres-cawapres lain jangan berkelit karena dana nonbudgeter itu juga mereka terima. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengungkapkan, tim sukses semua capres-cawapres kecipratan juga.

Wajar ada yang skeptis terhadap pengakuan Pak Amien ini. Telah keburu berkembang pesimisme terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pesimisme meluas juga karena penyidikan penembakan mahasiswa Universitas Trisakti ataupun kerusuhan Mei—yang pas sembilan tahun pada bulan ini—makin melempem. Sikap pemerintah, seperti kata orang Hawaii, "pau hana" alias "emangnya gua pikirin".

Manusia Indonesia jago berteriak demokrasi, tetapi di dalam rumah belum tentu mau demokratis terhadap PRT. Mereka mungkin dilarang nonton "Empat Mata" atau disuruh beli rokok jam 10 malam.
Manusia Indonesia pandai berkhotbah soal aturan, tetapi terbiasa hidup curang, mulai dari melanggar marka jalan, menyogok perpanjangan SIM, atau membawa kabur dana BLBI ke luar negeri.
Manusia Indonesia pintar mengkritik pejabat yang gemar "membeli" jaksa atau polisi. Namun, mereka pun berani mengeluarkan dana pelicin kalau teman atau keluarganya diciduk polisi.
Manusia Indonesia ahli membuat UU, hukum, atau peraturan, tetapi tiap hari membangun portal, membuat polisi tidur, atau enggak mau bayar karcis masuk ke stadion sepak bola.
Manusia Indonesia dikenal ramah dan cinta gotong-royong. Siapa bilang?

Makin sulit mencari manusia Indonesia yang patuh hukum. Mungkin 99 persen bersikap above the law alias kebal hukum.
Aturan di sini lebih banyak daripada petatah-petitih para filsuf sejak zaman Babilonia sampai Abad Pencerahan. Hantu Aristoteles, Thomas Hobbes, atau Immanuel Kant akan menangisi kesia-siaan karya mereka yang usang di negeri ini.

Belum lama ini, Menneg PAN Taufiq Effendi mengungkapkan ada 1.850 peraturan yang tumpang tindih. Aturan larangan kencing saja tumpang tindih: di kali lima, di tempat sampah, atau di bawah pohon. Aturan pemberantasan korupsi dibuat rumit karena diurus secara multikompartemental melalui irjen departemen, BPK, KPK, atau Tim Tastipikor. Hasilnya wallahualam bisawab.

Namun, pengakuan Pak Amien dapat digunakan untuk menunjukkan tekad zero tolerance dalam pemberantasan korupsi. Ini peluang emas, jangan disia-siakan seperti penyerang timnas PSSI yang tak mampu mencetak gol meski gawang lawan tak ada kipernya lagi.
Mea culpa Pak Amien wajib ditindaklanjuti. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali dan yang penting lagunya—bukan penyanyinya.

Caranya mudah: tanya ke KPU. Masih ada anggota KPU yang di balik jeruji, yang jadi kutu loncat, dan yang masih harus diperiksa dugaan korupsinya.
Jika data sudah lengkap, periksa anggota tim sukses capres-cawapres. Ini seperti membalikkan telapak tangan karena identitas mereka, dalam istilah SBY, telah terang benderang.
Habis itu, panggil setiap capres-cawapresnya sekalian, kalau perlu dengan ancaman "atas nama hukum!" Ini perkara gampang karena yang supersibuk toh bisa didatangi, apalagi yang pura-pura sibuk.

Mungkin pemeriksaan mereka mengundang reaksi pendukung masing-masing. Mungkin ada yang bersenjatakan katebelece, mengerahkan demonstran, atau seperti kura-kura dalam perahu bocor.
Setiap capres-cawapres sing duité akéh itu pasti menyewa pengacara lihai. Di Amerika Serikat ada guyon, kalau ada ular lepas dari kebun binatang, segera panggil pengacara ulung karena mereka mengerti bahasa reptil.

Anda jangan kaget melihat capres-cawapres dan pengacara mengeluarkan kalimat azimat "hargailah asas praduga tak bersalah", "saya dizalimi", atau "saya siap disumpah pocong". Ingat Bung dan Nona sekalian, di negara demokrasi ada juga yang berhak mempertunjukkan "democrazy".

Lalu bagaimana kalau ada capres-cawapres yang terbukti melanggar aturan dana kampanye? Ya ikuti saja langkah Pak Amien yang siap masuk bui.
Toh republik jalan terus dengan atau tanpa mereka. Kekuasaan eksekutif bisa dialihkan kepada MPR atau lembaga konstitusional seperti presidium, pemerintahan sementara, atau model PDRI di zaman dulu.

Kalau MPR (DPR plus DPD) terseret skandal dana nonbudgeter DKP? Ya enggak apa-apa, rakyat oke-oke saja, meski mereka sering kumpul di hotel atau studi banding ke luar negeri.
Tak perlu takut kepada presidium atau pemerintahan sementara/darurat selama mereka menyatakan mengadakan pilpres lebih awal dari jadwal 2009. Tak perlu khawatir penyalahgunaan wewenang selama kita sama-sama menjaga mereka.

Mungkinkah capres-cawapres melancarkan perlawanan dari balik jeruji? Itu takkan terjadi kalau mereka dipaksa makan nasi aking tiap hari dan dibui di Rutan Cipinang—jangan di Rutan Mabes Polri—yang para penghuninya tak kenal ampun.

Saya janji deh akan membesuk mereka. Saya bawa gitar dan menyanyikan Hidup di Bui karya D'Lloyd untuk mereka.
"Hidup di bui bagaikan burung/Bangun pagi makan nasi jagung".
"Mau merokok rokoknya puntung/Mau mandi tidak ada sabun".
"Hidup di bui menyiksa diri/ Badan hidup terasa mati".
"Apalagi penjara Cipinang/ Masuk gemuk pulang tinggal tulang".

ditulis dalam media KOMPAS, 19 Mei 2007


Kamis, 17 Mei 2007

PENDERITAAN NARAPIDANA & SISTIM PEMASYARAKATAN

Oleh
Petrus Irwan Pandjaitan

Bila Sahardjo masih hidup, betapa ia akan berlinang air mata mendengar bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, ada 38 narapidana yang meninggal pada tiga bulan pertama 2007 dan 153 lainnya sepanjang 2006. Apa yang dirintisnya pada tahun 1963 menjadi sia-sia.

Sebagai pembaharu terhadap perlakuan orang-orang hukuman, Sahardjo tegas mengatakan bahwa terpidana adalah orang-orang tersesat serta perlu dilindungi, dibina, dan dijadikan orang berguna bahkan menjadi aktif dan produktif di masyarakat. Falsafah pemasyarakatan dari Sahardjo menghendaki agar negara benar-benar melindungi orang hukuman selama menjalani pidana.

Jauh sebelum Sahardjo mengemukakan idenya, Badan Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1957 telah mengeluarkan Standard minimum Rules For the Treatment of Prisoners, dimana dikatakan setiap narapidana saat menjalani hukuman harus dipenuhi syarat-syarat seperti: buku register, pemisahan narapidana pria dan wanita; dewasa dan anak-anak, fasilitas akomodasi yang memadai; mendapatkan air serta perlengkapan toilet; pakaian dan tempat tidur, makanan yang sehat, hak untuk berolah raga di udara terbuka, hak untuk mendapatkan pelayanan dokter umum dan dokter gigi, tidak diperkenankan pengurungan sel gelap, borgol dan jaket penjara tidak boleh dipergunakan narapidana.

Bilamana Standard Minimum Rules For the Treatment of Prisoner, 31 Juli 1957 dipatuhi seharusnya tidak perlu ada narapidana dan tahanan mati. Keberadaan penjara di Indonesia merupakan peninggalan kolonial.

Namun, bangunan penjara, cara narapidana dan tahanan diperlakukan bukan untuk tujuan pembinaan, melainkan sebagai bentuk balas dendam atas kejahatan pelaku. Pemerintah kolonial Belanda hendak dikatakan kejam terhadap orang hukuman adalah wajar, karena penjajah “Pemerintah Kolonial Belanda” sesuka hatinya memperlakukan orang hukuman, tidak peduli terhadap penyakit atau banyak narapidana kurang makan.
Penjara-penjara peninggalan kolonial sudah memiliki rumah sakit, bengkel kerja, serta aturan penjara dan membagi narapidana dalam beberapa golongan. Namun semua itu untuk tujuan memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial dengan cara mempekerjakan narapidana di perkebunan, membuat jalan, maupun persawahan seperti yang pernah ada di Tangerang.

Untuk ini, narapidana hanya diberi gaji sedikit. Eksploitasi tenaga kerja orang hukuman sangat kental. Dalam hal ini, mungkin saja saat itu, penjara tidak penuh sesak seperti sekarang ini. Satu hal harus diingat, bahwa pendekatan keamanan menjadi pilihan utama dengan sipil penjara berwatak keras, kasar, dan bengis.

Penderitaan Narapidana
Sahardjo sebelum mencetuskan ide pemasyarakatan telah banyak mengunjungi penjara-penjara, khususnya di pulau Djawa. Begitu juga R.A Koesnoen sangat peduli terhadap orang-orang hukuman, lewat tulisannya menghendaki agar ada perbaikan. Dalam bukunya Politik Penjara Nasional, nyata – nyata menentang keberadaan penjara peninggalan kolonial. Pengalaman R.A Koesnoen di dunia kepenjaraan sangat mungkin menginspirasi Sahardjo.

Sebagai Menteri Kehakiman, Sahardjo memahami betapa warisan perlakuan kolonial saatnya diputus mengingat apa yang dirasakan orang hukuman telah sampai pada tahap penyiksaan bukan lagi pembinaan. Bila ada lagu dengan potongan syair “masuk gemuk pulang tinggal tulang karena kerja secara paksa” menjadi bukti, bahwa keberadaan penjara sudah tidak manusiawi.

Mengganti falsafah perlakuan merupakan pilihan di samping perbaikan infrastruktur, hal itu tercermin dari sepuluh prinsip pemasyarakatan yang oleh kalangan pemasyarakatan telah diimplementasikan ke dalam empat tahap pemasyarakatan, proses ini menggambarkan pembinaan mental, keterampilan serta mengintegrasikan narapidana dengan masyarakat. Pada tahapan inilah, narapidana diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dan tidak diasingkan dari masyarakat. Terbatasnya infrastruktur serta paradigma petugas yang belum berubah bisa jadi penyebab penderitaan narapidana.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa persyaratan Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisoner belum dipahami petugas, di samping itu dibutuhkan biaya tidak sedikit, mungkin hanya untuk biaya makan dan perawatan kesehatan serta perbaikan sarana fisik belum lagi kesejahteraan petugas, dana yang disediakan negara sudah tidak mencukupi.

Dalam hal itu juga, mungkin Pemerintah belum bisa menerima kenyataan, harus menanggung biaya “orang-orang hukuman”. Bila pandangan demikian masih dianut, maka wajar saja nasib tahanan dan narapidana selamanya akan menjadi “sampah”.
Mengurus tahanan dan narapidana yang tersangkut kejahatan mungkin “belum menjadi prioritas” bagi pemerintah, kenyataan demikian tentunya berbeda dengan pandangan Sahardjo, dan pandangan ini telah dicetuskan oleh Cessare Beccaria pada abad tujuh belas, dimana dikatakannya, bahwa peradaban suatu bangsa itu dapat dilihat dari cara negara memperlakukan orang-orang hukuman.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana seorang narapidana yang menderita sakit atau ketergantungan pada narkotika dan psikotropika harus mendekam bersama-sama narapidana yang sehat. Pemerintah seharusnya tidak menempatkan tersangka pengguna narkotika ditahan dipenjara, namun sepatutnya ditempatkan di rumah sakit.

Hakim Pelindung
Sebagai penengak hukum yang menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana, tidak berhenti tugasnya. Tugas Hakim sebagai pengawas dan pengamat, sebagaimana diatur dalam Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menghendaki adanya tanggung jawab moral Hakim yang mewajibkannya mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana di dalam penjara.

Dalam hal ini, Hakim Pengawas dan Pengamat menitik beratkan pengawasannya, antara lain apakah narapidana memperoleh remisi, assimilasi, cuti, lepas bersyarat, integrasi, perawatan kesehatan, jika Hakim pengamat berpendapat pembinaan dan perlakuan yang diberikan kepada narapidana kurang baik, ia dapat menyarankan kepada kepala Lembaga Pemasyarakatan usul-usul perbaikan.

Di samping itu, tugas lain yang tidak kalah pentingnya adalah menghindari terjadinya pelanggaran atas hak-hak terpidana. Oleh karena itu, Surat Edaran MA No. 7 Tahun 1985 menggariskan perlunya diadakan Chekking on the Spot paling sedikit tiga bulan sekali.

Bagi masyarakat, Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar tempat pembinaan, tetapi wujud dari kekejaman manusia. Sisi buram dari Lembaga Pemasyarakatan mengharuskan dia berjalan bagaikan kapal tua yang sarat penumpang, yang sewaktu-waktu dapat tenggelam.

Untuk menyelamatkannya, mau tidak mau Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur penjara, seperti mengganti bangunan lama, menyediakan fasilitas kesehatan, kamar tidur, serta penyediaan tenaga medis, meningkatkan kualitas petugas, dan yang utama lagi adalah peningkatan peran Hakim Pengawas dan Pengamat .

Penulis adalah dosen tetap Fakultas Hukum UKI Jakarta.
Copyright © Sinar Harapan 2003





Selasa, 15 Mei 2007

Lapas Masih Terjebak Masalah Klasik

15/5/07]
HUKUMONLINE

Pungli dan kelebihan kapasitas masih menjadi masalah klasik Lembaga Pemasyarakatan. Untuk siasati kapasitas minim, diperlukan sistem penghukuman alternatif selain hukuman penjara.

Hingga saat ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) masih tidak bisa terlepas dari masalah pungutan liar alias pungli. Gejala klasik ini sering dijumpai ketika kunjungan keluarga terhadap penghuni Lapas. Meski banyak semangat untuk memperbaiki, belum ada metode yang bisa menghentikan masalah ini. Apa ada masalah mendasar dibaliknya?

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Asfinawati berpandangan pungli merupakan masalah sistemik. Penyelesaiannya tidak bisa dilakukan hanya dengan mencopot petugas LP yang menarik pungli. Pemecatan Kepala Pengamanan, Kepala Pembinaan serta Kepala Keamanan dan Ketertiban Lapas Cipinang oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan Marjaman dinilainya sebagai langkah tepat untuk menimbulkan efek jera.

“Tapi itu cara pandang yang terlokalisir di tingkat sebuah unit Lapas. Padahal harus dilihat secara sistemik. Karena jika sistemnya tidak dirubah siapapun yang ada dalam sistem itu, pungli tetap berjalan. Harus ada mata rantai yang diputus,” terangnya. Ia menambahkan pemberian sanksi administratif terkadang hanya melenakan pelaku. “Tidak menjadi hukuman tapi penutupan fakta,” cetusnya.

Menurut perempuan berkaca mata ini, letak permasalahan pungli terkait pula dengan pengawasan bertingkat di Lapas. “Jika pengawasan berjalan dengan baik, seharusnya permasalahan yang terjadi dilevel bawah bisa terdeteksi lebih cepat,” tandasnya.

Lebih jauh, Asfin menuding jangan-jangan pungli menjadi ‘setoran’, layaknya pengumpulan dana non budgeter yang marak terjadi. “Intinya harus jelas aliran dananya, dan untuk apa dana itu digunakan. Kalau dana itu ternyata digunakan untuk biaya operasional, timbul pertanyaan, kenapa dana operasional kurang,” tambah Asfin.

Mohammad Mustafa, kriminolog Universitas Indonesia, justru menilai sangat naif jika permasalahan pungli dikaitkan sebagai pengumpulan dana non budgeter. “Itu terlalu naif, karena toh jumlah pungli yang ditarik tidak terlalu banyak,” jelasnya.

Mustafa hanya menilai pungli sebagai masalah kesejahteraan pegawai Lapas. “Selama ini meskipun ada peningkatan kesejahteraan, namun jumlahnya tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan,” paparnya. Ia menambahkan pemerintah harus punya political will kuat untuk menaikkan kesejahteraan pegawai sehingga godaan untuk menarik pungli bisa terhindarkan.

Selain itu, ia juga menyarankan agar dibuat pos-pos pengaduan di Lapas atau di Kantor Wilayah. “Sehingga pengunjung yang terkena pungli bisa melakukan pengaduan dan langsung ditindaklanjuti,” tambahnya.

Menurut Mustafa masalah lain yang juga memicu terjadinya pungli adalah waktu kunjungan yang terbatas. “Aturan masalah kunjungan harus dibuat secara transparan, Jangka waktu kunjungan juga harus diperpanjang. Kalau kunjungan waktu terbatas, semua orang akan terburu-buru, sehingga minta diprioritaskan, hal inilah yang memprovokasi terjadinya pungli,” jelasnya.

Upaya Marjaman untuk meminimalisir pungli dengan membatasi kontak fisik antara petugas LP dan pengunjung dinilai bagus, baik oleh Asfin maupun Mustofa. “Penimimalisiran itu dapat dilakukan dengan menggunakan sistem loket. Dari situ pengunjung mendapat free pass (kartu tanda bebas masuk,red),” jelas Mustafa.

Ubah sistem penghukuman
Masalah klasik lain yang juga dialami oleh Lapas adalah jumlah penghuni yang tidak sebanding dengan kapasitas Lapas itu sendiri. “Harus ada perbaikan sistem penghukuman untuk mengatasi over crowded. Kalau sekarang peraturan perundang-undangan sedikit-sedikit memenjarakan, maka ke depan harus dibuat alternatif hukuman agar Lapas tidak penuh,” cetus Mustafa.

Asfin mengamini pernyataan itu. “Alternatif hukuman bisa berupa kerja sosial,” tambahnya. Ia mencontohkan, pidana penjara tidak terlalu bermanfaat untuk orang yang dihukum hanya satu bulan atau tiga bulan penjara.

Selain itu, kelebihan kapasitas penjara juga disebabkan karena banyaknya pengguna narkoba yang dipenjarakan. “Seharusnya pengguna narkoba tidak perlu dihukum, tapi diperintahkan untuk direhabilitasi,” terang Mustofa.

Menurut Asfin pemenjaraan pengguna narkoba adalah salah penerapan dan konsep “Pengguna itu dianggap korban atau pelaku? Kalau kejahatan dianggap sebagai gejala sosial yang tidak benar di masyarakat, maka pengguna narkoba sebenarnya adalah korban,” terangnya.

Menurut Mustafa perubahan sistem penghukuman ini dapat dirumuskan dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu). “Bentuk hukumannya bisa diganti dengan dengan hukuman denda, membayar kerugian yang diderita korban, kerja sosial,” jelasnya. Namun menurut Asfin alternatif penghukuman seharusnya dimasukan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang saat ini sedang disusun.
(CRM)

http://hukumonline.com/default.asp

Kamis, 10 Mei 2007

KEKERASAN DALAM LAPAS

SUARA PEMBARUAN DAILY


Pembinaan napi di lapas seringkali dirusak oleh adanya perbedaan perlakuan atau perbedaan tingkat sosial para napi. [Anton Medan, mantan napi]

Ribut-ribut mengenai tidak dijebloskannya mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol Suyitno Landung ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang mengingatkan masyarakat akan aksi kekerasan yang kerap terjadi di Lapas Cipinang. Pada April 2006 lalu misalnya, terjadi perkelahian massal antara narapidana (napi) yang tinggal di Blok A dengan napi di Blok E. Pemicunya adalah perseteruan antara Sammy Key dan Berti, dua pentolan pemuda Maluku yang punya pengaruh di lapas.

Kerusuhan massal juga pernah terjadi pada Oktober 2001 silam yang melibatkan ratusan napi penghuni Blok I Lapas Cipinang. Dalam kejadian itu dua orang meninggal dunia, dan tidak kurang empat orang lainnya luka parah akibat perkelahian massal yang diduga melibatkan dua kelompok besar napi di lapas kelas satu itu.

Perkelahian yang menelan korban jiwa juga terjadi pada Februari dan Maret 2001. Sedikitnya, lima orang kehilangan nyawa dan 22 orang luka parah. Bahkan, dalam kerusuhan Maret 2001, para napi sempat membakar gedung lapas yang didirikan sejak zaman Belanda itu, dan menantang aparat dengan segala macam senjata tajam.
Untuk mencegah kerusuhan berulang, saat itu napi yang terlibat bentrok pun dipindahkan ke beberapa lapas lain.

Lapas Cipinang pun dipecah dua menjadi Lapas Khusus dengan pengamanan super maksimal dan Lapas Narkotika. Namun langkah itu nyatanya tak mampu mencegah terjadi perkelahian massal, seperti kejadian April 2006 itu.

Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana, tawuran seperti itu merupakan satu dari tiga jenis kekerasan yang terjadi di lapas. Secara umum ada tiga bentuk kekerasan di lapas. Pertama, kekerasan individual; kedua, kekerasan kolektif; ketiga, kekerasan yang berhubungan dengan pengaturan.

Kekerasan individual biasanya terjadi di antara napi atau dengan salah seorang sipir penjara. Sedangkan kekerasan kolektif sering terjadi dalam masalah riot (kerusuhan, huru hara dan keributan). Kekerasan bentuk ini biasanya tidak secara spontan, tapi merupakan akumulasi persoalan yang mereka hadapi di penjara.

Khusus mengenai kekerasan jenis ketiga, kekerasan itu timbul karena adanya interaksi tidak sehat antara napi dan para petugas. Masalah utama yang sering muncul di permukaan adalah soal penghukuman fisik. Para petugas menganggapnya sebagai bagian hukuman, tetapi para napi memandangnya sebagai bentuk penyiksaan.

Selain itu, terbatasnya daya tampung Lapas Cipinang juga memiliki kontribusi bagi kerusuhan tersebut. Sebagai catatan, di Lapas Cipinang terdapat 2.300 napi, sementara daya tampungnya hanya 1.700 orang.

Dapat dibayangkan, betapa kewalahan petugas bila mereka hanya berjumlah 40 orang setiap shift (dalam sekali jaga). Agaknya, ke depan, lapas masih rentan kerusuhan karena secara keseluruhan lembaga-lembaga pemasyarakatan mengalami over capacity (lebih dari 65.000 napi).

Diskriminasi
Sementara itu, mantan napi, Anton Medan mengatakan, terjadinya kekerasan di lapas lebih menunjukkan belum profesionalnya sistem pembinaan napi di Indonesia, termasuk petugas-petugasnya. Selain itu juga disebabkan adanya disparitas pidana, diskriminasi perlakuan dan tidak berfungsinya hakim wasmat (pengawas pengamat).

Selain itu, pembinaan napi di lapas seringkali dirusak oleh adanya perbedaan perlakuan atau perbedaan tingkat sosial para napi. "Seharusnya, kan mereka diperlakukan sama," kata Anton. Ia mencontohkan di Lapas Cipinang khususnya di Blok II, kondisinya sangat berbeda dibandingkan blok lainnya. Blok II banyak dihuni mantan pejabat ataupun orang terkenal sehingga tidak ada persoalan dengan kekerasan di sana.

Saya kira Suyitno Landung pun apabila ditahan di Lapas Cipinang akan dimasukkan di Blok II ini, jadi ngapain harus takut diintimidasi napi lainnya," ujar Anton.

Mantan Menteri Kehakiman Muladi mengutarakan, menurut penelitian di luar negeri, salah satu penyebab timbulnya pemberontakan di penjara adalah perasaan tidak adil akibat disparitas pidana serta perlakuan tidak adil yang dirasakan napi. Penderitaan akibat masalah itu membuat napi mudah meledak. Pembinaan di lapas dirasakan tidak ada artinya lagi, karena dia merasa menjadi korban ketidakadilan.

Muladi mengatakan, seringkali pemberontakan atau kekacauan di dalam penjara bukan sebagai akibat kondisi di penjara. Tapi justru akibat proses sistem peradilan pidana yang tidak memuaskan mereka misalnya, pemeriksaan di polisi, di kejaksaan dan keputusan pengadilan yang tidak memuaskan.

Itu semua sudah dibawa secara akumulasi ketika masuk penjara, sehingga program lapas seringkali gagal karena proses sebelumnya.

Disparitas pidana adalah pemidanaan yang dianggap tidak adil karena dibandingkan dengan orang yang sederajat, tindak pidananya dengan dirinya mendapatkan pidana lebih ringan tapi dia lebih berat. "Ini masalah sensitif bagi para napi," kata Muladi.

Salah satu kelemahan lapas di Indonesia, menurut Muladi, adalah kurangnya petugas profesional sebagai pembina, misalnya ahli-ahli ilmu-ilmu sosial yang betul-betul terdidik dan sarjana. Walaupun ada perkembangan baru dengan UU Pemasyarakatan petugas lapas mendapat tunjangan fungsional, akan lebih baik kalau lapas bisa menarik sarjana ilmu sosial untuk membina, misalnya psikolog, antropolog atau psikiater dan sebagainya.

Membina
Namun pernyataan Anton tersebut dibantah oleh Kepala Lapas Cipinang, Gunadi. Menurut Gunadi, tidak ada diskriminasi dalam penempatan napi. Selain itu, sejak diberlakukan sistem keamanan dan pengawasan yang lebih ketat, tidak terjadi lagi tawuran di lapas yang dipimpinnya. Berbagai upaya untuk membina napi pun dilakukan termasuk dengan pendekatan keagamaan dan pendidikan keterampilan, ujar Gunadi.

"Kami melakukan pembinaan keagamaan secara rutin bagi napi sesuai agama mereka, sehingga bisa mengubah perilaku buruk mereka," tutur Gunadi. Dengan bekal agama yang cukup, ditunjang keterampilan yang memadai, diharapkan para napi tidak lagi terjerumus ke dunia hitam selepas dari lapas, tambahnya.

Namun Erlangga mengatakan, sangat sulit menghilangkan sama sekali bentuk kekerasan di lapas. Menurutnya, hingga saat ini belum terjadi perbaikan sistem secara signifikan dalam pembinaan napi di Indonesia. Belum lagi persoalan kapasitas berlebih di setiap lapas. Yang jelas aksi kekerasan yang terjadi di lapas berdampak buruk bagi napi itu sendiri.

Kekerasan di lapas erat kaitannya dengan hilangnya beberapa hak para napi.

Pertama, lost of liberty (hilangnya kebebasan). Setiap napi akan merasa kehidupannya semakin sempit dan terbatas. Mereka tidak hanya terkungkung pekatnya bui, tapi juga terbatasnya "ruang spiritualitasnya".

Kedua, lost of autonomy (hilangnya otonomi). Setiap orang yang telah dikategorikan sebagai napi secara tidak langsung akan kehilangan sebagian haknya, khususnya masalah hak pengaturan dirinya sendiri, dan mereka diharuskan untuk tunduk kepada aturan-aturan yang berlaku di lingkungan bui. Akibatnya, mereka menghadapi depersonalisasi dan infantilisme, seperti layaknya anak kecil.

Ketiga, lost of good and services . Ketidakbebasan memiliki barang-barang tertentu secara pribadi dan pelayanan yang tidak memadai dari petugas, akan memicu perilaku-perilaku baru, seperti mencurigai sesama napi dan negosiasi atau menyuap sipir penjara demi satu tujuan tertentu. Masuknya barang-barang terlarang (narkoba dan senjata) misalnya, adalah kategori keinginan tertentu itu.

Keempat, lost of heterosexual relationship. Hilangnya kesempatan untuk menyalurkan nafsu seksual dengan lawan jenis akan berakibat timbulnya perilaku-perilaku seks menyimpang (homoseksual, perkosaan homoseksual, dan pelacuran homoseksual).

Kelima, lost of security. Suasana keterasingan sebagai akibat hilangnya komunikasi dengan sesamanya dan timbulnya persaingan antarnapi pada gilirannya akan berubah menjadi bentuk kekhawatiran dan kecemasan bagi individu-individu.

Berkurangnya hak-hak kebutuhan dasar individual para napi tersebut akan semakin jauh dari ideal, tak terpenuhi, bahkan terabaikan. Karenanya, penataan kembali manajemen penjara adalah keniscayaan.

Penataan ini tidak hanya dengan memindahkan para napi yang diduga menjadi pemicu kerusuhan tersebut ke lapas lain ataupun hanya memperluas area gedung lapas.
Jika ketiga hal itu dibiarkan begitu saja, keberadaan lapas akan tetap seperti yang dikenal orang selama ini, "lembaga bertemunya penjahat dan tempat bersemainya kejahatan baru yang sarat dengan kekerasan". [L-11]

Last modified: 24/2/07

ditulis oleh Media Suara Pembaruan



Sabtu, 05 Mei 2007

HASIL TEST NARKOBA NAPI POSITIF, DOKTER DIANIAYA, KEPALA “PENJARA” TIDAK MELINDUNGI


Kehadiran tenaga kesehatan/dokter di lembaga pemasyarakatan (“penjara”) sangat dibutuhkan, sebagaimana yang disepakati oleh Kongres PBB pertama di Jenewa tahun 1955, ...


... dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan resolusi 663 C (XXIV) 31 Juli 1957 dan resolusi 2076 (LXII) 13 Mei 1977, mengenai pelayanan kesehatan yakni :
Peraturan 22 (a): “Pada setiap lembaga harus tersedia pelayanan-pelayanan, paling sedikit satu orang pejabat kesehatan yang memenuhi syarat dimana harus memiliki beberapa pengetahuan psikiatri. Pelayanan kesehatan harus diorganisir dalam hubungan yang dekat dengan administrasi kesehatan umum masyarakat atau negara…”

Peraturan 24: “Para petugas kesehatan harus melihat dan meneliti setiap narapidana sesegera mungkin sesudah penerimaannya dan selanjutnya bila perlu, dengan tujuan terutama untuk penemuan penyakit jasmani dan penyakit mental dan pengambilan semua tindakan yang perlu, pemisahan narapidana yang diduga terjangkit penyakit infeksi atau menular, pencatatan kelemahan-kelemahan jasmani atau mental yang mungkin menghambat rehabilitasi dan penentuan kemampuan jasmani setiap nara pidana untuk bekerja”.

Peraturan 25 (a): “Petugas kesehatan harus merawat kesehatan jasmani dan mental nara pidana”.

Peraturan 25 (b): “Petugas kesehatan harus melaporkan kepada direktur lembaga setiap waktu bila dia menganggap bahwa kesehatan jasmani dan mental seorang narapidana sudah atau akan secara membahayakan”.

Peraturan 26 (a): “Petugas kesehatan harus secara teratur memelihara dan memberi nasihat kepada direktur lembaga (Kepala Lapas/Rutan) mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kesehatan narapidana”.

Peraturan 26 (b): “Direktur (Kepala Lapas/Rutan) harus mempertimbangkan berbagai laporan dan nasihat yang disampaikan oleh petugas kesehatan sesuai peraturan 25 (b) dan 26, dalam kasus dia setuju dengan rekomendasi yang dibuat, harus mengambil langkah-langkah segera untuk memberlakukan rekomendasi-rekomendasi tersebut. Jika tidak berada dalam kewenangannya atau kalau dia tidak menyetujui rekomendasi tersebut, dia harus segera menyampaikan laporannya sendiri dan nasihat petugas kesehatan kepada penguasa yang lebih tinggi”.

Prinsip-prinsip Etika Kedokteran, yang relevan dengan peran personil kesehatan, terutama dokter dalam perlindungan nara pidana dan tahanan menyebutkan :

Prinsip 1: “Personil kesehatan, terutama dokter yang ditugaskan merawat kesehatan para narapidana dan para tahanan mempunyai suatu kewajiban untuk memberikan kepada mereka perlindungan kesehatan fisik dan mental mereka, dan perawatan penyakit dengan kualitas dan standar yang sama seperti yang diberikan kepada mereka yang tidak dipenjara atau ditahan”

Menurut Undang – undang Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004

Pasal 50 ayat a : Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : “memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.”

Menurut Undang – undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992

Pasal 53 ayat 1 : “Tenaga Kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.”

Memperhatikan kebutuhan akan kehadiran dokter dan beratnya tugas yang harus diemban pada saat bertugas di “penjara” maka Ikatan Dokter Indonesia :

1. Mengecam keras setiap tindakan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan (dokter) yang sedang menjalankan tugasnya

2. Meminta kepada seluruh petugas “Penjara” dan departemen yang mengurusi lembaga-lembaga narapidana untuk mematuhi pasal 5 Deklarasi Universal yang menyatakan: “Tidak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam, dengan tak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan.

3. Meminta kepada petugas “Penjara” dan departemen yang mengurusi lembaga-lembaga narapidana untuk mematuhi salah satu butir pesan kunci/seruan organisasi kesehatan dunia (WHO) pada peringatan hari kesehatan sedunia 2006, yakni: “Support and protect health workers – Safe and supportive working conditions must be ensured, and salaries, resources and management structures improved”

4. Dalam hal tindakan penganiayaan/pemukulan yang dialami anggota IDI: Dr. Budiman pada saat melakukan pemeriksaan/test narkoba (beberapa hasil test positif) kepada penghuni “Penjara” di Yogyakarta, tidak memperoleh pembelaan dari pejabat “Penjara” atau pejabat Dep. Hukum dan HAM (malah disalahkan), adalah suatu bentuk tidak adanya perlindungan (sebagaimana poin 3 di atas) terhadap profesi kedokteran dan sekaligus mengindikasikan “Penjara” dan Dep. Hukum dan HAM tidak serius mendukung tugas tenaga kesehatan (dokter) dalam merawat kesehatan jasmani dan mental nara pidana. Yang terjadi kemudian, termasuk di dalamnya tentang temuan adanya hasil pemeriksaan narkoba yang positif pada urin napi dan kemungkinan adanya peredaran narkoba dalam lingkungan “Penjara”, petugas “Penjara”, bahkan terkesan menutup-nutupi hasil pemeriksaan tersebut.

5. Untuk diketahui bahwa pemukulan yang terjadi terhadap Dr. Budiman menyebabkan yang bersangkutan dirawat karena edema cerebri (bengkak otak), fraktur septum nasi (patah tulang hidung), yang kemudian bukan dihargai niat baiknya untuk memantau apakah ada pemakaian narkoba di “Penjara”, malahan kemudian di”non-aktifkan” pekerjaan profesinya dengan ditempatkan di Kanwil Hukum dan HAM tanpa kejelasan status selanjutnya.

Demikian siaran pers Ikatan Dokter Indonesia ini dibuat untuk dipublikasikan, semoga bermanfaat.

Jakarta, 1 Maret 2007
Ketua Umum,

Dr. Fachmi Idris, M.Kes
(Redaksi Idionline)