Kamis, 31 Mei 2007

Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai WADAH PEMBINAAN NARAPIDANA

(Sebuah Tinjauan berdasarkan Konsep Pemasyarakatan menurut Rahardjo, S.H.)
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pelaksanaan Pidana
Disusun Oleh:

ANDRE DICKY PRAYUDHA E0005087
ANNA MARIA AYU E0005095

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H. yang menjabat Menteri Kehakiman RI saat itu.

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.

Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.

Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam LP.

Tentu saja hal ini sangat kontradiktif apabila dibandingkan dengan visi dan misi pemasyaratan sebagai tempat pembinaan narapidana, agar keberadaannya dapat diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas. Perlu bagi kita untuk sejenak melihat kembali tujuan pengadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk membina dan menyiapkan seorang narapidana menjadi “lurus” dan siap terjun kembali ke masyarakatnya kelak. Apakah selama ini pola dan cara pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah sampai pada tujuannya?

Apakah bukannya pola pembinaan di LP itu malah membekali si narapidana akan kelak lebih profesional? Butuh pemikiran bersama dalam mengurai benang kusut di balik jeruji besi selama ini.


B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, mengerucut beberapa pertanyaan yang menjadi kerangka pemikiran penulis untuk menyusun makalah ini :
1. Unsur apa saja yang dapat mempengaruhi pembinaan narapidana?
2. Bagaimanakah dukungan terhadap proses pembinaan narapidana dalam pemasyarakatan, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan konsep pemasyarakatan itu sendiri?
3. Jika tidak sesuai, apa faktor penghambatnya dan bagaimanakah solusi yang dapat dilakukan?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.

B. Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan

Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :

1. Sarana Gedung Pemasyarakatan

Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya.

2. Pembinaan Narapidana

Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).

3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.

C. Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana

Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku.

Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.

Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses restorative justice. Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat. Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.

D. Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial

Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi :

1. Asimilasi
Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana.

2. Reintegrasi Sosial
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
a). Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan.
b). Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat memperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Apabila ditinjau melalui tujuan didirikan Lembaga Pemasyarakatan, proses pembinaan yang seharusnya diberikan kepada narapidana belum dapat berjalan. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana Lembaga Pemasyarakatan yang belum dapat mengakomodir konsep Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana. Selain itu beberapa faktor non-teknis seperti : paradigma tentang narapidana dan wujud pembinaan yang belum sempurna turut memperburuk kondisi pembinaan di pemasyarakatan.

B. Saran

Melihat fenomena pemasyarakatan yang ada cukup memprihatinkan, beberapa hal yang ingin penulis sampaikan adalah :
1. Adanya koordinasi terkait antara pihak kepolisian, kejaksaan, pegawai pemasyarakatan, serta masyarakat dalam membina pelaku kejahatan.
2. Pengadaan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembinaan narapidana dalam pemasyarakatan, selain itu diperlukan sistem yang berorientasi pada nasib narapidana ketika bebas dan kembali lagi dalam masyarakat.
3. Pemerintah melalui kekuasaannya diharapkan dapat mengubah paradigma tentang pelaku kejahatan.


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika

Petrus, Irwan Panjaitan, 1995, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan


http://hmibecak.wordpress.com/2007/05/29/esensi-lembaga-pemasyarakatan-sebagai-wadah-pembinaan-narapidana/

0 komentar:

Posting Komentar