Kamis, 10 Mei 2007

KEKERASAN DALAM LAPAS

SUARA PEMBARUAN DAILY



Pembinaan napi di lapas seringkali dirusak oleh adanya perbedaan perlakuan atau perbedaan tingkat sosial para napi. [Anton Medan, mantan napi]

Ribut-ribut mengenai tidak dijebloskannya mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol Suyitno Landung ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang mengingatkan masyarakat akan aksi kekerasan yang kerap terjadi di Lapas Cipinang. Pada April 2006 lalu misalnya, terjadi perkelahian massal antara narapidana (napi) yang tinggal di Blok A dengan napi di Blok E. Pemicunya adalah perseteruan antara Sammy Key dan Berti, dua pentolan pemuda Maluku yang punya pengaruh di lapas.

Kerusuhan massal juga pernah terjadi pada Oktober 2001 silam yang melibatkan ratusan napi penghuni Blok I Lapas Cipinang. Dalam kejadian itu dua orang meninggal dunia, dan tidak kurang empat orang lainnya luka parah akibat perkelahian massal yang diduga melibatkan dua kelompok besar napi di lapas kelas satu itu.

Perkelahian yang menelan korban jiwa juga terjadi pada Februari dan Maret 2001. Sedikitnya, lima orang kehilangan nyawa dan 22 orang luka parah. Bahkan, dalam kerusuhan Maret 2001, para napi sempat membakar gedung lapas yang didirikan sejak zaman Belanda itu, dan menantang aparat dengan segala macam senjata tajam.
Untuk mencegah kerusuhan berulang, saat itu napi yang terlibat bentrok pun dipindahkan ke beberapa lapas lain.

Lapas Cipinang pun dipecah dua menjadi Lapas Khusus dengan pengamanan super maksimal dan Lapas Narkotika. Namun langkah itu nyatanya tak mampu mencegah terjadi perkelahian massal, seperti kejadian April 2006 itu.

Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana, tawuran seperti itu merupakan satu dari tiga jenis kekerasan yang terjadi di lapas. Secara umum ada tiga bentuk kekerasan di lapas. Pertama, kekerasan individual; kedua, kekerasan kolektif; ketiga, kekerasan yang berhubungan dengan pengaturan.

Kekerasan individual biasanya terjadi di antara napi atau dengan salah seorang sipir penjara. Sedangkan kekerasan kolektif sering terjadi dalam masalah riot (kerusuhan, huru hara dan keributan). Kekerasan bentuk ini biasanya tidak secara spontan, tapi merupakan akumulasi persoalan yang mereka hadapi di penjara.

Khusus mengenai kekerasan jenis ketiga, kekerasan itu timbul karena adanya interaksi tidak sehat antara napi dan para petugas. Masalah utama yang sering muncul di permukaan adalah soal penghukuman fisik. Para petugas menganggapnya sebagai bagian hukuman, tetapi para napi memandangnya sebagai bentuk penyiksaan.

Selain itu, terbatasnya daya tampung Lapas Cipinang juga memiliki kontribusi bagi kerusuhan tersebut. Sebagai catatan, di Lapas Cipinang terdapat 2.300 napi, sementara daya tampungnya hanya 1.700 orang.

Dapat dibayangkan, betapa kewalahan petugas bila mereka hanya berjumlah 40 orang setiap shift (dalam sekali jaga). Agaknya, ke depan, lapas masih rentan kerusuhan karena secara keseluruhan lembaga-lembaga pemasyarakatan mengalami over capacity (lebih dari 65.000 napi).

Diskriminasi
Sementara itu, mantan napi, Anton Medan mengatakan, terjadinya kekerasan di lapas lebih menunjukkan belum profesionalnya sistem pembinaan napi di Indonesia, termasuk petugas-petugasnya. Selain itu juga disebabkan adanya disparitas pidana, diskriminasi perlakuan dan tidak berfungsinya hakim wasmat (pengawas pengamat).

Selain itu, pembinaan napi di lapas seringkali dirusak oleh adanya perbedaan perlakuan atau perbedaan tingkat sosial para napi. "Seharusnya, kan mereka diperlakukan sama," kata Anton. Ia mencontohkan di Lapas Cipinang khususnya di Blok II, kondisinya sangat berbeda dibandingkan blok lainnya. Blok II banyak dihuni mantan pejabat ataupun orang terkenal sehingga tidak ada persoalan dengan kekerasan di sana.

Saya kira Suyitno Landung pun apabila ditahan di Lapas Cipinang akan dimasukkan di Blok II ini, jadi ngapain harus takut diintimidasi napi lainnya," ujar Anton.

Mantan Menteri Kehakiman Muladi mengutarakan, menurut penelitian di luar negeri, salah satu penyebab timbulnya pemberontakan di penjara adalah perasaan tidak adil akibat disparitas pidana serta perlakuan tidak adil yang dirasakan napi. Penderitaan akibat masalah itu membuat napi mudah meledak. Pembinaan di lapas dirasakan tidak ada artinya lagi, karena dia merasa menjadi korban ketidakadilan.

Muladi mengatakan, seringkali pemberontakan atau kekacauan di dalam penjara bukan sebagai akibat kondisi di penjara. Tapi justru akibat proses sistem peradilan pidana yang tidak memuaskan mereka misalnya, pemeriksaan di polisi, di kejaksaan dan keputusan pengadilan yang tidak memuaskan.

Itu semua sudah dibawa secara akumulasi ketika masuk penjara, sehingga program lapas seringkali gagal karena proses sebelumnya.

Disparitas pidana adalah pemidanaan yang dianggap tidak adil karena dibandingkan dengan orang yang sederajat, tindak pidananya dengan dirinya mendapatkan pidana lebih ringan tapi dia lebih berat. "Ini masalah sensitif bagi para napi," kata Muladi.

Salah satu kelemahan lapas di Indonesia, menurut Muladi, adalah kurangnya petugas profesional sebagai pembina, misalnya ahli-ahli ilmu-ilmu sosial yang betul-betul terdidik dan sarjana. Walaupun ada perkembangan baru dengan UU Pemasyarakatan petugas lapas mendapat tunjangan fungsional, akan lebih baik kalau lapas bisa menarik sarjana ilmu sosial untuk membina, misalnya psikolog, antropolog atau psikiater dan sebagainya.

Membina
Namun pernyataan Anton tersebut dibantah oleh Kepala Lapas Cipinang, Gunadi. Menurut Gunadi, tidak ada diskriminasi dalam penempatan napi. Selain itu, sejak diberlakukan sistem keamanan dan pengawasan yang lebih ketat, tidak terjadi lagi tawuran di lapas yang dipimpinnya. Berbagai upaya untuk membina napi pun dilakukan termasuk dengan pendekatan keagamaan dan pendidikan keterampilan, ujar Gunadi.

"Kami melakukan pembinaan keagamaan secara rutin bagi napi sesuai agama mereka, sehingga bisa mengubah perilaku buruk mereka," tutur Gunadi. Dengan bekal agama yang cukup, ditunjang keterampilan yang memadai, diharapkan para napi tidak lagi terjerumus ke dunia hitam selepas dari lapas, tambahnya.

Namun Erlangga mengatakan, sangat sulit menghilangkan sama sekali bentuk kekerasan di lapas. Menurutnya, hingga saat ini belum terjadi perbaikan sistem secara signifikan dalam pembinaan napi di Indonesia. Belum lagi persoalan kapasitas berlebih di setiap lapas. Yang jelas aksi kekerasan yang terjadi di lapas berdampak buruk bagi napi itu sendiri.

Kekerasan di lapas erat kaitannya dengan hilangnya beberapa hak para napi.

Pertama, lost of liberty (hilangnya kebebasan). Setiap napi akan merasa kehidupannya semakin sempit dan terbatas. Mereka tidak hanya terkungkung pekatnya bui, tapi juga terbatasnya "ruang spiritualitasnya".

Kedua, lost of autonomy (hilangnya otonomi). Setiap orang yang telah dikategorikan sebagai napi secara tidak langsung akan kehilangan sebagian haknya, khususnya masalah hak pengaturan dirinya sendiri, dan mereka diharuskan untuk tunduk kepada aturan-aturan yang berlaku di lingkungan bui. Akibatnya, mereka menghadapi depersonalisasi dan infantilisme, seperti layaknya anak kecil.

Ketiga, lost of good and services . Ketidakbebasan memiliki barang-barang tertentu secara pribadi dan pelayanan yang tidak memadai dari petugas, akan memicu perilaku-perilaku baru, seperti mencurigai sesama napi dan negosiasi atau menyuap sipir penjara demi satu tujuan tertentu. Masuknya barang-barang terlarang (narkoba dan senjata) misalnya, adalah kategori keinginan tertentu itu.

Keempat, lost of heterosexual relationship. Hilangnya kesempatan untuk menyalurkan nafsu seksual dengan lawan jenis akan berakibat timbulnya perilaku-perilaku seks menyimpang (homoseksual, perkosaan homoseksual, dan pelacuran homoseksual).

Kelima, lost of security. Suasana keterasingan sebagai akibat hilangnya komunikasi dengan sesamanya dan timbulnya persaingan antarnapi pada gilirannya akan berubah menjadi bentuk kekhawatiran dan kecemasan bagi individu-individu.

Berkurangnya hak-hak kebutuhan dasar individual para napi tersebut akan semakin jauh dari ideal, tak terpenuhi, bahkan terabaikan. Karenanya, penataan kembali manajemen penjara adalah keniscayaan.

Penataan ini tidak hanya dengan memindahkan para napi yang diduga menjadi pemicu kerusuhan tersebut ke lapas lain ataupun hanya memperluas area gedung lapas.
Jika ketiga hal itu dibiarkan begitu saja, keberadaan lapas akan tetap seperti yang dikenal orang selama ini, "lembaga bertemunya penjahat dan tempat bersemainya kejahatan baru yang sarat dengan kekerasan". [L-11]

Last modified: 24/2/07

ditulis oleh Media Suara Pembaruan



0 komentar:

Posting Komentar