15/5/07]
HUKUMONLINE
Pungli dan kelebihan kapasitas masih menjadi masalah klasik Lembaga Pemasyarakatan. Untuk siasati kapasitas minim, diperlukan sistem penghukuman alternatif selain hukuman penjara.
Hingga saat ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) masih tidak bisa terlepas dari masalah pungutan liar alias pungli. Gejala klasik ini sering dijumpai ketika kunjungan keluarga terhadap penghuni Lapas. Meski banyak semangat untuk memperbaiki, belum ada metode yang bisa menghentikan masalah ini. Apa ada masalah mendasar dibaliknya?
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Asfinawati berpandangan pungli merupakan masalah sistemik. Penyelesaiannya tidak bisa dilakukan hanya dengan mencopot petugas LP yang menarik pungli. Pemecatan Kepala Pengamanan, Kepala Pembinaan serta Kepala Keamanan dan Ketertiban Lapas Cipinang oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan Marjaman dinilainya sebagai langkah tepat untuk menimbulkan efek jera.
“Tapi itu cara pandang yang terlokalisir di tingkat sebuah unit Lapas. Padahal harus dilihat secara sistemik. Karena jika sistemnya tidak dirubah siapapun yang ada dalam sistem itu, pungli tetap berjalan. Harus ada mata rantai yang diputus,” terangnya. Ia menambahkan pemberian sanksi administratif terkadang hanya melenakan pelaku. “Tidak menjadi hukuman tapi penutupan fakta,” cetusnya.
Menurut perempuan berkaca mata ini, letak permasalahan pungli terkait pula dengan pengawasan bertingkat di Lapas. “Jika pengawasan berjalan dengan baik, seharusnya permasalahan yang terjadi dilevel bawah bisa terdeteksi lebih cepat,” tandasnya.
Lebih jauh, Asfin menuding jangan-jangan pungli menjadi ‘setoran’, layaknya pengumpulan dana non budgeter yang marak terjadi. “Intinya harus jelas aliran dananya, dan untuk apa dana itu digunakan. Kalau dana itu ternyata digunakan untuk biaya operasional, timbul pertanyaan, kenapa dana operasional kurang,” tambah Asfin.
Mohammad Mustafa, kriminolog Universitas Indonesia, justru menilai sangat naif jika permasalahan pungli dikaitkan sebagai pengumpulan dana non budgeter. “Itu terlalu naif, karena toh jumlah pungli yang ditarik tidak terlalu banyak,” jelasnya.
Mustafa hanya menilai pungli sebagai masalah kesejahteraan pegawai Lapas. “Selama ini meskipun ada peningkatan kesejahteraan, namun jumlahnya tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan,” paparnya. Ia menambahkan pemerintah harus punya political will kuat untuk menaikkan kesejahteraan pegawai sehingga godaan untuk menarik pungli bisa terhindarkan.
Selain itu, ia juga menyarankan agar dibuat pos-pos pengaduan di Lapas atau di Kantor Wilayah. “Sehingga pengunjung yang terkena pungli bisa melakukan pengaduan dan langsung ditindaklanjuti,” tambahnya.
Menurut Mustafa masalah lain yang juga memicu terjadinya pungli adalah waktu kunjungan yang terbatas. “Aturan masalah kunjungan harus dibuat secara transparan, Jangka waktu kunjungan juga harus diperpanjang. Kalau kunjungan waktu terbatas, semua orang akan terburu-buru, sehingga minta diprioritaskan, hal inilah yang memprovokasi terjadinya pungli,” jelasnya.
Upaya Marjaman untuk meminimalisir pungli dengan membatasi kontak fisik antara petugas LP dan pengunjung dinilai bagus, baik oleh Asfin maupun Mustofa. “Penimimalisiran itu dapat dilakukan dengan menggunakan sistem loket. Dari situ pengunjung mendapat free pass (kartu tanda bebas masuk,red),” jelas Mustafa.
Ubah sistem penghukuman
Masalah klasik lain yang juga dialami oleh Lapas adalah jumlah penghuni yang tidak sebanding dengan kapasitas Lapas itu sendiri. “Harus ada perbaikan sistem penghukuman untuk mengatasi over crowded. Kalau sekarang peraturan perundang-undangan sedikit-sedikit memenjarakan, maka ke depan harus dibuat alternatif hukuman agar Lapas tidak penuh,” cetus Mustafa.
Asfin mengamini pernyataan itu. “Alternatif hukuman bisa berupa kerja sosial,” tambahnya. Ia mencontohkan, pidana penjara tidak terlalu bermanfaat untuk orang yang dihukum hanya satu bulan atau tiga bulan penjara.
Selain itu, kelebihan kapasitas penjara juga disebabkan karena banyaknya pengguna narkoba yang dipenjarakan. “Seharusnya pengguna narkoba tidak perlu dihukum, tapi diperintahkan untuk direhabilitasi,” terang Mustofa.
Menurut Asfin pemenjaraan pengguna narkoba adalah salah penerapan dan konsep “Pengguna itu dianggap korban atau pelaku? Kalau kejahatan dianggap sebagai gejala sosial yang tidak benar di masyarakat, maka pengguna narkoba sebenarnya adalah korban,” terangnya.
Menurut Mustafa perubahan sistem penghukuman ini dapat dirumuskan dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu). “Bentuk hukumannya bisa diganti dengan dengan hukuman denda, membayar kerugian yang diderita korban, kerja sosial,” jelasnya. Namun menurut Asfin alternatif penghukuman seharusnya dimasukan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang saat ini sedang disusun.
(CRM)
http://hukumonline.com/default.asp
0 komentar:
Posting Komentar