Sabtu, 19 Mei 2007

HIDUP DI BUI

Salut untuk Pak Amien Rais yang mengaku menerima dana nonbudgeter dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ketika jadi capres 2004. Pak Amien siap jadi tersangka dan dihukum.

Pak Amien mengimbau capres-cawapres lain jangan berkelit karena dana nonbudgeter itu juga mereka terima. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengungkapkan, tim sukses semua capres-cawapres kecipratan juga.

Wajar ada yang skeptis terhadap pengakuan Pak Amien ini. Telah keburu berkembang pesimisme terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pesimisme meluas juga karena penyidikan penembakan mahasiswa Universitas Trisakti ataupun kerusuhan Mei—yang pas sembilan tahun pada bulan ini—makin melempem. Sikap pemerintah, seperti kata orang Hawaii, "pau hana" alias "emangnya gua pikirin".

Manusia Indonesia jago berteriak demokrasi, tetapi di dalam rumah belum tentu mau demokratis terhadap PRT. Mereka mungkin dilarang nonton "Empat Mata" atau disuruh beli rokok jam 10 malam.
Manusia Indonesia pandai berkhotbah soal aturan, tetapi terbiasa hidup curang, mulai dari melanggar marka jalan, menyogok perpanjangan SIM, atau membawa kabur dana BLBI ke luar negeri.
Manusia Indonesia pintar mengkritik pejabat yang gemar "membeli" jaksa atau polisi. Namun, mereka pun berani mengeluarkan dana pelicin kalau teman atau keluarganya diciduk polisi.
Manusia Indonesia ahli membuat UU, hukum, atau peraturan, tetapi tiap hari membangun portal, membuat polisi tidur, atau enggak mau bayar karcis masuk ke stadion sepak bola.
Manusia Indonesia dikenal ramah dan cinta gotong-royong. Siapa bilang?

Makin sulit mencari manusia Indonesia yang patuh hukum. Mungkin 99 persen bersikap above the law alias kebal hukum.
Aturan di sini lebih banyak daripada petatah-petitih para filsuf sejak zaman Babilonia sampai Abad Pencerahan. Hantu Aristoteles, Thomas Hobbes, atau Immanuel Kant akan menangisi kesia-siaan karya mereka yang usang di negeri ini.

Belum lama ini, Menneg PAN Taufiq Effendi mengungkapkan ada 1.850 peraturan yang tumpang tindih. Aturan larangan kencing saja tumpang tindih: di kali lima, di tempat sampah, atau di bawah pohon. Aturan pemberantasan korupsi dibuat rumit karena diurus secara multikompartemental melalui irjen departemen, BPK, KPK, atau Tim Tastipikor. Hasilnya wallahualam bisawab.

Namun, pengakuan Pak Amien dapat digunakan untuk menunjukkan tekad zero tolerance dalam pemberantasan korupsi. Ini peluang emas, jangan disia-siakan seperti penyerang timnas PSSI yang tak mampu mencetak gol meski gawang lawan tak ada kipernya lagi.
Mea culpa Pak Amien wajib ditindaklanjuti. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali dan yang penting lagunya—bukan penyanyinya.

Caranya mudah: tanya ke KPU. Masih ada anggota KPU yang di balik jeruji, yang jadi kutu loncat, dan yang masih harus diperiksa dugaan korupsinya.
Jika data sudah lengkap, periksa anggota tim sukses capres-cawapres. Ini seperti membalikkan telapak tangan karena identitas mereka, dalam istilah SBY, telah terang benderang.
Habis itu, panggil setiap capres-cawapresnya sekalian, kalau perlu dengan ancaman "atas nama hukum!" Ini perkara gampang karena yang supersibuk toh bisa didatangi, apalagi yang pura-pura sibuk.

Mungkin pemeriksaan mereka mengundang reaksi pendukung masing-masing. Mungkin ada yang bersenjatakan katebelece, mengerahkan demonstran, atau seperti kura-kura dalam perahu bocor.
Setiap capres-cawapres sing duité akéh itu pasti menyewa pengacara lihai. Di Amerika Serikat ada guyon, kalau ada ular lepas dari kebun binatang, segera panggil pengacara ulung karena mereka mengerti bahasa reptil.

Anda jangan kaget melihat capres-cawapres dan pengacara mengeluarkan kalimat azimat "hargailah asas praduga tak bersalah", "saya dizalimi", atau "saya siap disumpah pocong". Ingat Bung dan Nona sekalian, di negara demokrasi ada juga yang berhak mempertunjukkan "democrazy".

Lalu bagaimana kalau ada capres-cawapres yang terbukti melanggar aturan dana kampanye? Ya ikuti saja langkah Pak Amien yang siap masuk bui.
Toh republik jalan terus dengan atau tanpa mereka. Kekuasaan eksekutif bisa dialihkan kepada MPR atau lembaga konstitusional seperti presidium, pemerintahan sementara, atau model PDRI di zaman dulu.

Kalau MPR (DPR plus DPD) terseret skandal dana nonbudgeter DKP? Ya enggak apa-apa, rakyat oke-oke saja, meski mereka sering kumpul di hotel atau studi banding ke luar negeri.
Tak perlu takut kepada presidium atau pemerintahan sementara/darurat selama mereka menyatakan mengadakan pilpres lebih awal dari jadwal 2009. Tak perlu khawatir penyalahgunaan wewenang selama kita sama-sama menjaga mereka.

Mungkinkah capres-cawapres melancarkan perlawanan dari balik jeruji? Itu takkan terjadi kalau mereka dipaksa makan nasi aking tiap hari dan dibui di Rutan Cipinang—jangan di Rutan Mabes Polri—yang para penghuninya tak kenal ampun.

Saya janji deh akan membesuk mereka. Saya bawa gitar dan menyanyikan Hidup di Bui karya D'Lloyd untuk mereka.
"Hidup di bui bagaikan burung/Bangun pagi makan nasi jagung".
"Mau merokok rokoknya puntung/Mau mandi tidak ada sabun".
"Hidup di bui menyiksa diri/ Badan hidup terasa mati".
"Apalagi penjara Cipinang/ Masuk gemuk pulang tinggal tulang".

ditulis dalam media KOMPAS, 19 Mei 2007


0 komentar:

Posting Komentar