PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Sabtu, 29 September 2007

Mantan Napi Bisa Jadi Senator

Jakarta - Surya

Gagasan dibukanya peluang mantan narapidana (napi) untuk dicalonkan sebagai senator atau anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai membingungkan.
Di satu sisi, pemberian peluang kepada napi itu merupakan penghormatan terhadap HAM. Namun, di sisi lain justru dinilai sebagai upaya parpol melindungi para kader yang pernah terjerat proses hukum.

Perdebatan itu terungkap dalam diskusi interaktif di DPD Senayan, Jakarta, Jum'at (28/9). Wacana napi jadi senator itu pertama kali muncul ketika Partai Golkar mengajukan DIM dalam pembahasan RUU Pemilu oleh Pansus RUU di DPR.
Golkar mengajukan syarat agar calon DPD adalah orang yang tidak sedang menjalani hukuman pidana 5-10 tahun. PDIP juga mengajukan hal yang sama, namun menegaskan syarat bahwa orang itu tidak sedang terancam pidana.

Partai Demokrat mensyaratkan agar orang yang dicalonkan itu tidak sedang menjalani tahanan selama 2 tahun. Wacana ini sebenarnya ada dalam UU 12/2003 tentang Pemilu.
Sementara partai lain cenderung mempertahankan persyaratan calon sesuai dengan konsep pemerintah, yaitu calon tidak pernah diancam dan dipidana. Ketentuan itu ada dalam UU 32/2004 tentang Pemerinthan Daerah dan UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Anggota Pansus RUU Pemilu dari FPKB DPR Saifullah Ma'soem menyatakan mendukung penghormatan hak politik seseorang. "Bila mantan napi itu sudah berperilaku baik, kenapa masih distigmatisasi,” ujarnya.
Dikatakan, Konstitusi UUD 1945 tidak menafikan hak seseorang dalam berpolitik. Dia sepakat bahwa pejabat itu harus bersih. Namun, seorang mantan napi pun bisa kemudian berperilaku bersih.

Sedangkan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti menilai gagasan itu membingungkan. Sebuah UU, katanya, merupakan produk hukum positif yang tidak bisa didasaran pada faktor pertimbangan moralitas. Menurutnya, UU seharusnya memberikan penegasan apa yang dibutukan oleh masyarakat.

"Kalau melihat HAM dan Konstitusi, tetapkan saja kalau konsisten, ya liberakan saja. Buka saja semuanya. Jadi, di sini, penyaring utamanya adalah partai politik dan masyarakat pemlih. Namun, di sini, ambigunya adalah sepertinya ada jalan tengah atau kompromi di dalamnya," kata Bivit.

Hanya saja, dalam wacana ini yang ditekankan adalah persyaratan calon bagi DPD. Bila wacana ini diterapkan, maka tidak ada saringan awal bagi calon DPD dari eks napi. Itu jelas berbeda bila pengajuan calon itu dari parpol. "Ini yang menyulitkan," tegasnya. JBP/yat

http://www.surya.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=21939&Itemid=30

Jumat, 28 September 2007

ICW Tolak Pencalonan Mantan Narapidana

Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak adanya rencana narapidana (napi) dapat mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada pemilu 2009 nanti.

JAKARTA (SINDO) –Koordinator Bidang Korupsi Politik ICW Ibrahim Fahmi Badoh menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pencalonan mantan napi jadi wakil rakyat. Menurut dia, politikus di negara yang sedang menuju transisi ke demokrasi yang dewasa, membutuhkan orangorang yang tidak mempunyai cacat hukum.

Politikus yang cacat hukum akan membuat kepentingan umum akan makin terpinggirkan dalam pembuatan kebijakan.“Bukan berarti setelah menjalani hukuman kemudian persoalan cacat hukum itu selesai. Tindak pidana, itu berarti ada pelanggaran hukum yang menyangkut kejahatan publik. Jadi kalau mereka telah melakukan hal itu,sangat mungkin mereka tidak akan mengindahkan kepentingan- kepentingan publik.Ini berbahaya bagi publik jika ada politikus seperti ini lolos ke Senayan,” jelasnya.

Fahmi menambahkan,penolakan terhadap wacana tersebut juga didasarkan pada masih belum bersihnya sistem peradilan kita. Dalam pandangan ICW, sistem peradilan di Tanah Air masih mudah diintervensi oleh kekuasaan dan uang.

“Dua hal ini kan dekat dengan para politikus. Kalau mereka sebelumnya cacat hukum, akan makin runyam persoalan,”sebutnya.

Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala berpendapat, usulan DPR yang memperbolehkan seorang mantan napi menduduki jabatan anggota DPD dinilai tidak realistis dan perlu dipertanyakan dasar argumennya. Menurut Adrianus, melonggarkan sebuah aturan seharusnya diikuti dasar-dasar yang kuat.

“Ini sebuah usulan yang tidak masuk akal. Seakan-akan di negeri ini sudah tidak ada SDM yang layak sampai-sampai memberi kelonggaran seorang mantan napi menduduki jabatan publik,” katanya kepada SINDO,tadi pagi.

Dari sisi psikis, seseorang yang pernah mengenyam sel penjara apalagi dalam waktu yang cukup lama, akan banyak mendapat kesulitan jika harus duduk di jabatan publik.Selain kurang percaya diri, penolakan juga akan datang dari masyarakat. “Memang kesalahan mereka sudah ditebus dengan hukuman di penjara. Tapi pengaruh penjara akan membekas di ingatan seseorang. Belum lagi nantinya akan mendapat penolakan dari masyarakat,” katanya.

Dia berasumsi, untuk dapat menduduki jabatan publik, seseorang harusnya memenuhi beberapa unsur. Selain tidak bertentangan dengan aturan legal formal juga tidak mendapat penolakan dari masyarakat. “ Tentu sebuah kemunduran jika DPR kembali berpikir persoalan itu,”katanya.

Sementara itu, anggota komisi II DPR Chozin Chumaidy mengatakan, hak politik mantan narapidana tidak perlu dikekang karena melanggar hak asasi manusia. Sebab, setiap warga negara yang telah selesai menjalani masa hukuman,dia berhak dipilih sebagai anggota DPD.

“Orang yang sudah selesai menjalani hukumannya, maka dia sudah mempunyai hak berpolitik yang sama dengan warga negara lain.” Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menilai, mantan napi punya hak untuk dipilih sebagai anggota DPD.

Chozin menyebutkan, tidak adil jika seseorang yang sudah selesai menjalani hukuman tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPD . Lebih lanjut, jelas Chozin, seharusnya masyarakat yang berhak memberikan penilaian apakah mantan napi berhak menjadi anggota DPD atau tidak.

”Terpilihnya mantan napi sebagai anggota DPD tergantung dari pemilihan umum.Dan rakyatlah yang berhak menentukannya,”katanya.

Pakar Psikologi dari Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY),Khaeruddin Bashori menilai, usulan diperbolehkannya mantan napi menjadi calon DPD sebaiknya dipertimbangkan. Karena berhubungan langsung dengan kematangan kompetensi dan kejiwaan seseorang.

’’Masyarakat harus lebih berhati- hati dengan track record apakah dia sudah insaf atau belum. Karena itu,syarat menjadi anggota DPD harus benar-benar diperketat apakah dia memiliki kompetensi tertentu,”kata Khaeruddin.

Menurut Khaeruddin,permasalahan utama dari mantan napi kejiwaan. Artinya, apakah mereka bisa lolos dalam kualifikasi pencalonan. Hal itu yang menjadi persoalan untuk bahas terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh.Namun, ujar Khaeruddin,semuanya dikembalikan pada wakil rakyat.’’Merekalah yang akan menentukan diperketat atau tidaknya syarat pencalonan tersebut,’’ paparnya.

Namun, jelas Khaeruddin, hal tersebut sangat tergantung pada pribadi yang bersangkutan, apakah para mantan napi tersebut benarbenar berubah atau masih ada persoalan kejiwaan menyangkut pribadinya. (purwadi/ekobudiono/ arifbudianto/helmi firdaus)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/nasional-sore/icw-tolak-pencalonan-mantan-narapidana.html


Praktik Pungli Marak di LP Cipinang - koranindonesia.com

Kamis, 27 September 2007

Mantan Narapidana Berhak Memilih dan Dipilih

Jakarta- Mantan narapidana yang telah selesai menjalani hukuman, mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya baik untuk memilih maupun dipilih dalam pemilu. Pembatasan atau bahkan pengabaian hak mereka, sama saja merampas hak-hak politik mereka.

“Jadi, hak konstitusi warga negara untuk dicalonkan tidak boleh dicegah UU, karena hukum yang lebih tinggi, yakni UUD’45 sangat menghormati hak politik warganegara,” ujar anggota Pansus RUU Pemilu dari FPDIP, Irmadi Lubis, Rabu (26/9).
Masalah hak politik mantan narapidana ini menghangat dibahas dalam rapat Pansus RUU Pemilu yang dihadiri Mendagri Mardiyanto dan Mensesneg Hatta Radjasa. Pemerintah berpatokan pada UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang menyebutkan syarat bagi calob legislatif antara lain tidak pernah dijatuhi hukuman berkuatan hukum tetap dengan ancaman minimal 5 tahun.

Namun, Irmadi menjelaskan, dalam pembuatan UU harus merujuk UUD’45. Pasal 27 (1) UUD’45 disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

“Kalau seseorang sudah bebas menjalani hukumannya, dia kembali menjadi warga negara biasa. Jangan berfikir dia tetap selamanya menjadi orang hukuman. Jadi, jangan dihambat,” katanya.

FPDIP katanya, akan memperjuangkan agar mereka yang pernah menjalani hukuman bsia dicalonkan. Untuk itu pun ada penyaringannya lagi, yaitu pemeriksaan kesehatan/psikologi, apakah yang bersangkutan akan mengulangi perbuatannya dan juga ada jerat hukum jika mengulang lagi perbuatannya. (suradi)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0709/27/nas04.html

DPD Nilai DPR Jalan Mundur, Usulkan Mantan Napi Jadi Anggota DPD

JAKARTA – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai usulan DPR mengenai mantan nara pidana (napi) boleh menjadi anggota DPD merupakan langkah mundur. Ketua Pansus RUU Politik DPD Muspani mengaku heran dengan usulan dari DPR.

Menurut dia, seharusnya syarat keikutsertaan dalam pemilu diperketat bukan sebaliknya. Sebab, kata dia, dengan sistem yang lebih ketat peluang untuk menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas semakin besar.

“DPD tidak suka yang gitu-gituan (melonggarkan persyaratan). Kalau DPR mempunyai usulan seperti itu berarti langkah mundur,” kata Muspani Kamis (27/9/2007).

Diberitakan sebelumnya, Fraksi Partai Golkar (F-PG) mengusulkan agar mantan narapidana yang dipenjara di bawah lima tahun bisa mencalonkan sebagai anggota DPD pada pemilu mendatang.

Usulan tersebut tertuang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) nomor 108 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Pendapat serupa dilontarkan oleh Fraksi PDIP (F-PDIP). Bedanya, F-PG menitikberatkan pada besaran vonis yang diterima seseorang.

Bagi yang mendapat vonis di bawah lima tahun diusulkan bisa mencalonkan. Sedangkan F-PDIP menitikberatkan pada ancaman vonis yang akan dijatuhkan. Bagi seseorang yang sedang menjalankan vonis tetap dengan ancaman di atas lima tahun tidak berhak mencalonkan.

Muspani menjelaskan, perilaku wakil rakyat harus benar-benar bersih. Untuk itu, diperlukan syarat-syarat yang ketat sebab mereka dipilih secara langsung. Menurut dia, Undang-Undang (UU) nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu masih layak digunakan. “Jadi kalau sudah terancam di atas lima tahun seharusnya tidak bisa mencalonkan,” tegas dia.

Anggota DPD asal Bengkulu ini menambahkan, seseorang yang belum teruji secara hukum seharusnya tidak menjadi figur publik. Dia menilai sistem demokrasi di Indonesia belum terlalu mapan untuk memperlonggar persyaratan. “Demokrasi di Indonesia masih membutuhkan aturan yang ketat,” terangnya.

Pendapat serupa disampaikan analis politik dan kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Andrinof A. Chaniago. Menurut dia, usulan fraksi-fraksi besar di DPR itu justru tidak progresif. Seharusnya, kata Andrinof, parpol mengambil momentum pembahasan RUU Pemilu untuk memajukan demokrasi, bukan sebaliknya.

“Salah satu upaya untuk memajukan demokrasi dengan memperketat syarat pencalonan,” kata dia.

Dia berpendapat, sikap fraksi-fraksi dalam pembahasan RUU Pemilu tersebut akan dinilai oleh publik. Karena itu, parpol harus pandai memanfaatkan situasi dengan tidak melakukan blunder. Andrinof menambahkan, reputasi seseorang yang pernah dijatuhi hukuman pidana akan jatuh.

“Hal itu sudah menjadi budaya di negara ini. Setiap orang yang pernah mendapat hukuman, pasti mendapat penilaian buruk dari masyarakat,” terang Andrinof.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono mengatakan, usulan F-PG

tersebut bukan muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui pengkajian lebih mendalam. Agung menjelaskan, larangan pencalonan bagi mantan napi bisa dikategorikan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

“Dengan adanya larangan itu, mantan napi tidak punya kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat,” terang Agung.

Ketua DPR RI ini menambahkan, seharusnya seseorang yang telah menjalani masa hukuman mendapatkan kembali hak-hak publik. Terlebih lagi, kata Agung, larangan pencalonan tersebut didasarkan pada besaran ancaman hukuman. Padahal, tidak sedikit mantan napi sudah berperilaku baik, bahkan melebihi orang yang tidak pernah dipenjara.

Dia membantah, usulan tersebut hanya untuk kepentingan Golkar. Menurut dia, hal itu untuk kepentingan masyarakat secara luas. “Sama sekali tidak benar. Ini bukan hanya untuk kepentingan Golkar,” kata dia kepada wartawan. (ahmad baidowi/sindo/fit)


http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=50108&Itemid=67


UU PARPOL DAN UU PEMILU HARUS BERPIHAK KEPADA RAKYAT

Jakarta--RRI-Online, Undang-Undang Partai Politik dan UU Pemilu, yang Rancangan Undang-undang (RUU)-nya kini sedang dibahas di DPR, harus betul-betul demokratis dan berpihak kepada rakyat.

"Kedua UU itu nantinya tidak boleh memihak kepada siapapun, kecuali berpihak kepada rakyat dan menjamin hak-hak demokratis setiap orang," kata Ketua Umum DPP Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) Brigjen TNI (Purn) Tarida Sinambela S.IP kepada pers di Jakarta, Sabtu (29/9).

Dengan demikian, katanya, kedua UU itu diharapkan tidak dimaksudkan melalimi partai-partai politik baru, tetapi justru menciptakan persaingan sehat, yang semua diarahkan untuk kepentingan rakyat.

Sinambela menandaskan, partainya telah berkomitmen bahwa selama apa yang dirumuskan dalam UU Parpol maupun UU Pemilu betul-betul demokratis, tidak memihak, tidak bermaksud melalimi, berpihak kepada rakyat, dan menjamin hak-hak demokratis rakyat akan didukung.

"Kami sudah berkomitmen untuk mendukung hasil terbaik yang diputuskan DPR dalam UU itu nanti, sepanjang tidak bertentangan dengan kriteria-kriteria yang kami sebutkan tadi," katanya setelah memberikan santunan berupa bingkisan Lebaran dan sejumlah uang kepada sekitar 500 warga Pondok Bambu, di mana kantor pusat partai tersebut berada.

"Kami berusaha loyal kepada UU yang diputuskan DPR. Sebelum memimpin, kami siap untuk dipimpin," kata Sinambela berkelakar.

Selain memberikan santunan berupa bingkisan, para pengurus DPP PPRN juga mengadakan acara buka puasa bersama anak-anak yatim, para duafa, dan orang-orang lanjut usia di kantor pusat partai itu.

Seorang pemuka masyarakat setempat pada kesempatan itu menyatakan terimakasih atas kepedulian PPRN selama ini, antara lain memberikan bantuan dan pengobatan gratis saat daerah sekitarnya dilanda banjir beberapa waktu lalu.

PPRN saat ini sudah membentuk Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di 33 provinsi dan 420 DPD tingkat kabupaten/kota. "Saat ini kader dan anggota PPRN sudah sampai ke desa-desa dan kecamatan," katanya.

Ditanya mengenai perdebatan calon legislatif (caleg) bekas napi di DPR, Sinambela mengatakan, hal itu harus dilihat dulu konteksnya.

"Kalau mantan napi korban politik tak boleh ikut sebagai caleg pemilu itu jelas tidak adil, tapi jika mantan napi koruptor, pemerkosa, sebaiknya kita tolak, karena mereka akan menjadi pemimpin dan panutan bangsa. Karena itu, pemimpin masa depan harus didasari moral yang bersih dan kuat," ujarnya.

Sinambela menegaskan, seorang napi pada dasarnya tak pernah kehilangan hak demokrasinya untuk memilih dan dipilih, namun semua itu harus mengacu pada moralitas, karena caleg adalah calon pemimpin bangsa. (WD)

http://www.rri-online.com/modules.php?name=Artikel&sid=33186

Senin, 17 September 2007

Konflik Laten di Lembaga Pemasyarakatan

SUARA PEMBARUAN DAILY
Oleh Didin Sudirman

Ketika kehidupan masyarakat masih sederhana, setiap pelanggaran hukum dapat diselesaikan pada saat itu juga. Pemimpin formal yang juga biasa bertindak sebagai hakim, menyelesaikan konflik segera setelah perbuatan dilakukan, sehingga tidak diperlukan tempat untuk menahan para pelanggar hukum.

Seiring makin kompleksnya kehidupan masyarakat, fungsi tempat penahanan bagi pelanggar hukum menjadi kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Hakim membutuhkan waktu untuk memutuskan suatu perkara, sehingga sambil menunggu putusan, pelanggar hukum ditempatkan dalam suatu bangunan.

Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, fungsi bangunan penjara dipandang sebagai bangunan yang keefektifannya sering diperdebatkan. Karena menurut pengalaman para cendekiawan, yang kebetulan merasakan pahit getirnya penjara, kehidupan di penjara cenderung dapat menimbulkan dehumanisasi. Seperti dikemukakan dalam The Implementation Standard Minimum Rules for The Treatment Of Prisoners, secara sosiologis, kehidupan dalam penjara sering kali memperlihatkan ciri-ciri yang sama dengan kondisi masyarakat yang memudahkan timbulnya suatu perilaku menyimpang (kejahatan).

Secara psikologis penempatan orang dalam penjara, pada hakikatnya adalah merupakan upaya pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Karena itulah penghuni mengalami kesakitan yang diakibatkan kehilangan-kehilangan. Baik kehilangan akan rasa aman, kehilangan relasi seksual, kehilangan otonomi, maupun kehilangan kekuasaan atas barang-barang yang dimilikinya. Berdasarkan teori supplay and demand, kondisi itu dapat meningkatkan permintaan.

Ketika permintaan meningkat, penawaran akan meningkat. Ketika penawaran meningkat harga (nilai) pun akan tinggi.
Smelser, dalam Sosiologi Ekonomi, menyatakan, supplay and demand dalam hubungannya dengan faktor lain, selalu menjadi variabel berpengaruh (dependent variables). Berarti, pengekangan kebebasan dalam suatu pemenjaraan, akan berdampak kepada hubungan sosiologis antara petugas (yang powerful) dan penghuni penjara (yang powerless).

Hubungan kekuasaan yang tidak seimbang itu akan menumbuhkan konflik laten dan terus-menerus dalam sebuah sistem sosial masyarakat penjara.
Sebagaimana layaknya sebuah konflik, demi eksistensi sistem, sistem akan menciptakan mekanisme untuk meredam konflik tersebut sehingga tidak destruktif terhadap sistem.
Mekanisme tersebut, dalam sosiologi, disebut dengan proses akomodasi. Akomodasi adalah suatu upaya meredam konflik melalui tukar-menukar kepentingan di antara dua kubu yang mengalami konflik. Dengan demikian diharapkan konflik dapat diredam, dan sistem akan mengalami keseimbangan.

Pertukaran Kepentingan
Secara ideal, proses akomodasi harus berlangsung melalui sistem formal. Pada intinya, tukar-menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku. Hak-hak penghuni, yang pada hakikatnya merupakan berbagai keringanan untuk mengatasi kesakitan-kesakitan yang dialami narapidana, dipertukarkan dengan kelakuan baik.
Hak-hak penghuni yang dijamin undang-undang, dijadikan modus/sarana terciptanya kondisi dan perilaku yang diinginkan (conditioning operant). Dalam kondisi itulah, fungsi penjara (lembaga pemasyarakatan) dapat diharapkan sebagai tempat untuk mengubah tingkah laku penghuninya dari yang tidak baik menjadi perilaku yang terpuji.

Namun secara faktual, kondisi ideal tersebut sering kali sulit dicapai, diakibatkan berbagai kondisi. Antara lain masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan petugas, dan di sisi lain adanya kecenderungan status sosial ekonomi narapidana makin tinggi.
Keadaan itu, pada gilirannya menimbulkan hubungan yang tidak seimbang secara ekonomi, antara beberapa golongan penghuni dengan oknum petugas. Akibatnya, proses akomodasi berlangsung pada tataran informal. Hal itu berarti, pertukaran kepentingan terjadi antara penghuni dan oknum petugas secara perorangan. Kalau demikian halnya, tidak dapat dielakkan, terjadi KKN antara petugas dan penghuni. Berbagai kejadian dan peristiwa yang selalu disiarkan media massa adalah cerminan proses itu.

Dalam The Implementation Standard Minimum Rules for The Treatment Of Prisoners dinyatakan, syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan adalah integritas moral, profesional, memiliki rasa kemanusiaan dan pekerjaan itu cocok dengan hati nuraninya. Maka upaya yang harus ditempuh manajemen pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi terbentuknya petugas yang memenuhi persyaratan tersebut, melalui proses perekrutan, pendidikan dan latihan, pembinaan karier dan lain sebagainya.

Menghadapi Preman
Sebagai praktisi, baik sadar atau tidak sadar, penulis pernah memperlakukan narapidana yang memiliki kualitas khusus, didasarkan reputasinya sebagai "preman" karena di berbagai lapas selalu membuat kekacauan. Ia mulai ditahan di Rutan Salemba. Karena membuat keributan ia dipindahkan ke Lapas Cipinang, kemudian ke lapas di Semarang.

Dari Semarang, dipindahkan lagi ke Lapas Kelas I Tangerang karena alasan yang sama. Baru dua hari di Lapas Kelas I Tangerang, dipindahkan lagi ke Lapas Pemuda Tangerang, karena ribut lagi dengan bekas lawannya (pindahan dari Rutan Salemba).
Menganalisis karakternya, ia memiliki sifat-sifat: pemberani, kaya secara finansial sehingga apa pun (termasuk kekuasaan/aturan) bisa ia peroleh dengan jalan "dibeli", punya backing, bahkan pernah sesumbar bisa memindahkan pejabat lapas (LP) karena kenal dekat dengan pejabat tinggi. Setiap kejadian yang menyangkut dirinya, selalu diiringi aroma KKN disertai "korban" petugas yang mendapat hukuman disiplin.

Selaku Kepala Lapas Pemuda Tangerang saat itu, penulis sangat menyadari sedang berhadapan dengan narapidana istimewa. Kalau salah menyikapinya, akan terjadi keributan dan tak mustahil menelan "korban" pegawai yang dapat dipengaruhi kekuasaan finansialnya, seperti dialami petugas di lapas lain sebelumnya.

Atas dasar itu, pilihannya adalah memanggilnya dan mengajaknya berbincang dari hati ke hati. Dari komunikasi tersebut penulis ingin menyatakan,:

pertama, penulis mengakui ia mempunyai kekuasaan (baik secara finansial maupun koneksi).

Kedua, menunjukkan penulis juga punya kekuasaan (walaupun perlu mendapat dukungan dari pimpinan).

Ketiga, mengetahui salah satu yang paling ditakuti setiap narapidana adalah dipindahkan ke Nusakambangan.

Keempat, menyatakan penulis tidak dapat dibeli dengan harga seberapa pun. Kelima, sikap istiqomah adalah segala-galanya -hal yang biasanya paling disegani narapidana, apalagi di mata sekaliber preman, karena mereka tahu bahwa di balik sikap demikian terdapat sikap berani menanggung risiko.

Pada awal-awal menjalankan pidananya di Lapas Pemuda Tangerang, ia sering kali mengetes pegawai untuk menyimpang dari aturan, namun selalu gagal, karena petugas sudah dikondisikan untuk tidak "main api" dengan penghuni tersebut. Mungkin menyadari kondisi di lapas itu agak berbeda dari lapas lainnya, dengan terpaksa ia harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.

Sejak itu, ia menjadi penghuni yang baik dan bahkan mendapat program Pembebasan Bersyarat. Istimewanya lagi, istrinya pun berterima kasih, bahkan mengakui setelah menjalani pidana di Lapas Pemuda, perangai suaminya berubah. Jika sebelumnya sangat pemarah dan emosional, menjadi lebih tenang dan lebih dewasa.

Resep
Tidak ada "resep" yang sama untuk menghadapi/membina narapidana yang berbeda, karena setiap orang adalah unik, karena itu satu sama lain harus diperlakukan berbeda. Maka tak heran, dalam sistem pemidanaan mutakhir dikenal istilah "individualisasi pemidanaan" (Muladi). Artinya, tak semua pen-curi ayam dipidana dengan hukuman yang sama. Hal itu sangat tergantung dari berbagai aspek, termasuk motivasi dan latar belakang mengapa ia melakukan pelanggaran hukum. Analog dengan model hukum yang demikian, perlakuan terhadap narapidana pun dapat dibedakan satu sama lain, tergantung pada kebutuhan pembinaannya.

Dari ceritera di atas dapat diambil kesimpulan,"karakter" dan pengetahuan yang dimiliki seorang petugas, apalagi dilakukan secara konsisten antara sikap dan tindakan, pada gilirannya dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas di lapas.

Penulis adalah praktisi pemasyarakatan dan kini Kepala Kanwil Dephukham DKI Jakarta
________________________________________
Last modified: 13/9/07

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/09/14/index.html

Minggu, 16 September 2007

Mengendalikan Pabrik Ekstasi dari Lapas


Inilah dampak kemajuan zaman. Sebuah pabrik ekstasi bisa beroperasi berkat kerja sinergi dari manusia-manusia yang terpisah tembok penjara.

Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Jawa Timur baru-baru ini membongkar pabrik ekstasi—sejenis narkoba yang populer di kalangan para pencandu di kota-kota besar—di Jalan Manyar Sabrangan, Surabaya. Hebatnya lagi, pabrik obat terlarang ini didirikan oleh sejumlah narapidana (napi) dari tiga lembaga pemasyarakatan (lapas) lewat telepon genggam (handphone/HP).

"Modusnya tergolong baru karena produksi di luar penjara, tetapi cara meracik dikendalikan para napi dari tiga lapas melalui handphone. Mereka semua pemain lama," kata Direktur Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) Komisaris Besar Coki Manurung di Surabaya, Kamis pekan lalu.

Pengendali pabrik ekstasi di Jalan Manyar Sabrangan, Surabaya, adalah Kurniawan Jeri (30) dari Lapas Sidoarjo dengan dibantu Rizal (28), yang mengelola "pabrik" Manyar Sabrangan.

"Kurniawan Jeri mengajari Rizal lewat HP. Sedangkan racikan ekstasi diperoleh Kurniawan Jeri dari Gunawan Sukyatno yang menjalani hukuman tujuh tahun di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Surabaya di Medaeng," katanya.

Bahan bakunya? Ternyata berasal dari dokter Welly (44) yang mendekam di Lapas Pamekasan, Madura. Welly merupakan residivis yang pernah sekali ditangkap Polwiltabes Surabaya dan dua kali ditangkap Polda Jatim.

"Jadi, Rizal merupakan kurir yang mengelola pabrik ekstasi di Manyar Sabrangan dengan pengendali napi di Lapas Sidoarjo serta mengambil bahan baku milik napi di Lapas Pamekasan," kata Manurung.

Tiga tersangka lainnya adalah Johanes (54) dan Joko (40) yang berasal dari Rutan Medaeng, tetapi keduanya pernah satu blok di Rutan Medaeng dengan Kurniawan Jeri yang sekarang berada di Lapas Sidoarjo.

"Ada juga tersangka Amir yang berada di Lapas Sidoarjo, tetapi perannya masih kami kembangkan karena masih ada dua buron lagi yang hingga kini belum tertangkap. Yang jelas, kami dibantu Kepala Lapas Sidoarjo, Kepala Lapas Pamekasan, dan Kepala Rutan Medaeng dalam pembongkaran jaringan itu," kata Coki Manurung menegaskan.

Ditanya tentang waktu pabrik ekstasi Manyar Sabrangan beroperasi, ia menyatakan, tujuh tersangka itu sudah melakukan bisnis ekstasi sejak Desember 2006.

"Dalam sepekan, mereka bisa dua kali panen dengan setiap kali panen bisa memproduksi 150 gram ekstasi sehingga hasilnya dapat mencapai Rp 1 miliar dalam sebulan," katanya.

Tentang barang bukti yang disita dari pabrik ekstasi di Jalan Manyar Sabrangan, Surabaya, ia menuturkan, 1.028 butir ekstasi dan 62,3 gram sabu.

"Kami menemukan bahan-bahan itu dari ruang tamu kontrakan Rizal di Jalan Manyar Sabrangan, Surabaya, termasuk buku tabungan, kartu ATM, dan seperangkat alat produksi," katanya.

Namun, lanjutnya, pihaknya juga menemukan sejumlah barang bukti dari dalam tiga lapas, yakni di dalam Rutan Medaeng, Lapas Sidoarjo, dan Lapas Pamekasan.

"Dengan bantuan Kepala Lapas Sidoarjo, kami menemukan barang bukti berupa tiga bungkus ekstasi seberat 2,5 gram, lima butir pil ekstasi HF, dua alat bong, enam HP, dan seperangkat alat isap," katanya.

Di Lapas Pamekasan, katanya, pihaknya menemukan serbuk bahan ekstasi dalam tiga tempat yang beratnya 2,3 gram, 0,7 gram, dan 0,3 gram. Adapun dari Rutan Medaeng ditemukan 0,3 gram serbuk ekstasi, 3 butir ekstasi, 12 butir ekstasi HF, bong, alat isap, dan empat telepon genggam. Waduh...! (Antara)

http://www.kompas.com/


Sabtu, 15 September 2007

Revitalisasi Peran Rutan atau Penjara

Pendekatan penanganan rutan pasca terbongkarnya pemakaian, peredaran, produksi dan pengendalian di berbagai rutan di Jatim, tidak boleh bersifat ad hoc melainkan harus bersifat strategis, komprehensif dan berkelanjutan.

Baru-baru ini Direktorat Narkoba Polda Jawa Timur berhasil membongkar jaringan narkoba yang ternyata dikendalikan dari tiga rumah tahanan (rutan) dan lembaga permasyarakatan (lapas) yakni Rutan Kelas 1 Surabaya Medaeng, Lapas Sidoarjo dan Lapas Pamekasan (Surya, 14/09).

Dari penggrebekan ini, polisi berhasil menyita 1.300 pil ekstasi dan 63,7 gram sabu-sabu dari lokasi pabrik milik Rizal, kaki tangannya Kurniawan Jerry, seorang narapidana (napi) Lapas Sidoarjo. Penemuan polisi ini mengindikasikan terjadinya ragam pergeseranparadigma rutan/lapas.

Pertama, paradigma bahwa rutan menjadi tempat pembentukan warga binaan agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana sesuai Undang-Undang No. 12/1995 Pasal 2, kini telah berubah menjadi tempat
pembinaan/pembentukan menjadi penjahat ulung yang semakin kreatif.

Roh dari UU No. 12/1995 menuntut adanya pembinaan secara vertikal dari petugas ke napi tetapi realitas empirik membuktikan bahwa sub-kultur horisontal yakni pembinaan antarnapi justru menjadi kultur yang lebih kuat ketimbang kultur utama tadi. Dengan kata lain, terjadi gap antara what is (deskripsi) dan what ought (preskripsi). Publik kerap terjebak kepada pemahaman preskriptif dan lupa kepada realitas deskriptif.

Kedua, dalam realitas kejahatan di rutan, terjadi pergeseran paradigma, sebagai contoh, dalam kasus narkoba, dari pemakai, pengedar, produsen hingga kepada otak pengendali. Bahwa narkoba dikonsumsi dan beredar luas di dalam rutansudah bukan rahasia lagi. Rutan/ malah berkembang menjadi tempat produksi narkoba.

Pada akhir Mei 2007lalu, aparat gabungan dari Polwiltabes Surabaya, Polres Sidoarjo dan sipirRutan Medaeng, berhasil menemukan 1,4 kilogram sabu-sabu, 6,1 kilogram
ganja kering, 168 butir ekstasi dan uang Rp 3,2 juta. Kini, justru polisi menemukan lagi bahwa rutan bukan hanya menjadi tempat produksi tetapi pengendali peredaran narkoba di luar. Heran, yang "tidak bebas" kok bisa mengendalikan yang "bebas". Bisa saja, praktek seperti ini sebenarnya telah lama subur di berbagai rutan tetapi baru ketahuan sekarang.

Ketiga, dengan memparadigma rutan sebagai sistem tertutup terbukti dari sistem pengamanan yang demikian ketat agar terhindar dari kaburnya napi, justru berefek samping menjadikan hotel prodeo tersebut tempat legitimasi dan reproduksi kejahatan.

Karena bersifat tertutup
maka persekongkolan kolutif antarnapi dan sipir menjadi sulit terdeteksi. Hal inilah yang menyebabkan bertumbuh suburnya kejahatan dan pergeseran serta peningkatan paradigma kejahatan sebagai mana diurai di atas.

Merevitalisasi Peran
Dengan fakta pergeseran paradigma tersebut maka perlu upaya strategis-teknis merevitalisasi kembali peran rutan.

Pertama, perlunya kontrol sosial publik terhadap rutan dengan membuka akses
masuk bagi kepolisian serta media massa agar kehidupan rutan tidak menjadi sarang mafia. Semakin terbukanya akses bukan tanpa resiko karena dengan demikian maka jalur distribusi kejahatan juga akan semakin terbuka lebar.

Hal ini dapat disolusi dengan kerjasama sinergis periodik antar rutan dengan pihak kepolisian/media massa sehingga fungsi kontrol yuridis dan publik tetap bisa berjalan tentunya disertai dengan pengaturan mekanisme yang ketat.

Jangan sampai rutan menjadi tempat
yang imun dari jangkaun hukum sehingga justru lebih mengerikan ketimbang istana dikator yang tidak bisa tersentuh hukum dalam negara totaliter karena diktator bersifat tirani mengatur tetapi rutan bersifat anarkis dan merusak.

Kedua, stigmatisasi masyarakat terhadap narapidana sebagai orang
bermasalah dan sampah masyarakat justru akan menimbulkan efek legitimasi rutan sebagai komunitas dengan sense of togetherness dan counter sub-culture yang baru dan kuat.

Dengan kata lain, di luar rutan
dicaci maki tetapi di dalam rutan diterima baik. Hal ini menyebabkan, nilai alternatif dianut dan berkembang di dalam rutan. Jika penggunaan narkoba dilarang dan dikutuk di luar rutan tetapi karena stigmatisasi maka rutan bukan saja menjadi tempat paling baik menggunakan narkoba
tetapi juga untuk mengedarkan dan memproduksi. Selain itu, stigmatisasi juga berdampak keengganan publik untuk melakukan kontrol sosial terhadap rutan.

Perbedaan stigmatisasi ini menyebabkan misalnya, publik amat mengontrol kehidupan kampus IPDN tetapi membiarkan kehidupan internal rutan berjalan tanpa kontrol sosial. Oleh sebab itu, perlunya perubahan pemahaman publik dengan mengedepankan peran lembaga-lembaga:
keluarga, pendidikan, keagamaan dan media massa, agar stigmatisasi terhadap narapidana dapat dielimir secara gradual.

Ketiga, pendekatan penanganan rutan pascaterbongkarnya pemakaian, peredaran, produksi dan pengendalian di berbagai rutan di Jatim, tidak boleh bersifat ad hoc melainkan harus bersifat strategis, komprehensif dan berkelanjutan. Pengalaman penanganan kasus kekerasan di IPDN yang pada 2003 menimbulkan korban dan pada 2007 kembali jatuh korban,
disebabkan penanganannya bersifat reaktif dan bukan komprehensif.

Karena itu, bagi pihak terkait dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaan, Kepolisian dan lainnya, agar benar-benar memikirkan suatu pendekatan penanganan rutan secara serius, transparan dan berakuntabilitas agar di kemudian hari, kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi.

Penanganan ini melibatkan setidaknya lima variabel penting yakni sistem, personel, kultur, sarana prasarana dan anggaran. Sistem merupakan keseluruhan substansi dan model pengawasan dan pembinaan yang diadakan dalam rutan perlu mendapatkan kajian dari para akademisi dan pihak berkompeten, apakah masih efektif dan efisien atau jangan-jangan sebenarnya tidak lagi tepat guna dan tepat nalar tetapi masih dipertahankan.

Sedangkan personel merupakan persoalan yang tidak mudah dicarikan solusinya karena harus memenuhi tuntutan rasio. Mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin pernah mengatakan, rasio antara petugas dan narapidana di Indonesia adalah sekitar 1:60 (satu petugas menangani 60 narapidana) bahkan di rutan tertentu mencapai 1:150 (hukumonline.com, 4/3/2005). Padahal idealnya satu petugas mengawasi maksimum 20 narapidana. Penambahan personel perlu mendapatkan agenda prioritas.

Masalah kultur penyelenggaraan pemasyarakatan merupakan masalah terutama. Upaya pembentukan kultur melalui keteladanan dan pendidikan berkelanjutan untuk membentuk petugas profesional merupakan pekerjaan rumah yang harus terus diupayakan penyelesaiannya. Selain itu, permasalahan sarana prasarana dan anggaran adalah permasalah riil di lapangan.

Sebagai contoh,
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Timur menyatakan bahwa dari 32 rutan/lapas yang tersebar di Jatim, 22 di antaranya telah mengalami kelebihan kapasitas. DIPA tahun 2006 tidak mengalokasikan biaya pemindahan narapidana dari rutan ke lapas dan narapidana narkotika ke lapas narkotika ( http://www.depkumham.go.id/). Tidak bisa tidak, penambahan sarana prasarana dan anggaran harus diupayakan jika menginginkan perbaikan pola kehidupan dalam rutan.

Antonius Steven Un
Ketua Sekolah Teologi Reformed Injili Malang



http://www.surya.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=20586&Itemid=40



Minggu, 02 September 2007

10 Tips Menghindari Pemerkosaan

  1. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda penderita AIDS ato positif HIV.
  2. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda tengah datang bulan.
  3. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda tengah hamil.
  4. Tawarkan pada si pemerkosa metode lain, misalnya oral. Jika ia mengiyakan, lakukan dan gigit Mr P nya sekeras mungkin. Lalu kabur lah sejauh mungkin.
  5. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda kebelet pipis.
  6. Katakan pada si pemerkosa bahwa anda baru saja melakukan operasi ganti kelamin dan Katakan bahwa anda adalah homo.
  7. Jika si pemerkosa telah membuka bajunya dan anda tak punya cara lain untuk mengalihkan perhatiannya adalah dengan menarik bulu dadanya ato bulu keteknya sekeras mungkin.
  8. Berpura-puralah menjadi orang gila, teruslah tertawalah dan jangan terlihat panik, dengan demikian ia akan mengira bahwa anda sakit jiwa dan lalu meninggalkan anda.
  9. Jika si pemerkosa mencoba mencium anda, gigitlah lidahnya sekeras mungkin, jika bisa hingga ia berdarah.
  10. Jika semua cara tidak berhasil dan anda semakin dekat dengan pemerkosaan, tanyakan pada si pemerkosa, apakah ia mau memakai alat pengaman

    http://humorterbaik.blogspot.com/2007/08/10-tips-menghindari-pemerkosaan.html

Sabtu, 01 September 2007

REMISI DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN INDONESIA

Menurut Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.174 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Merujuk pada Keppres tersebut, remisi dihitung pada saat menjalani masa pidana dan tidak dihitung dengan mengakumulasi masa penahanan.


DASAR HUKUM PEMBERIAN REMISI

  1. Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (pasal 14).
  2. Keputusan Presiden RI No.174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
  3. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No.M.09.HN.02-01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keppres No.174 Tahun 1999 tentang Remisi.
  4. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Didik.
  5. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.03-PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
  6. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.01-HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusu Bersyarat serta Remisi Tambahan.

Ada beberapa jenis remisi pada Sistem Pemasyarakatan Indonesia :

Remisi Umum : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.

Remisi Khusus : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada Hari Besar Keagamaan yang dianut oleh yang bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak-banyaknya I (satu) kali dalam setahun bagi masing-masing agama.

Remisi Tambahan : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukanperbuatan yang membantu kegiatan lembaga pemasyarakatan.

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai Pasal ayat 7 UU.No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.


Hak-hak tersebut adalah :

  1. Hak untuk melakukan ibadah
  2. Hak untuk mendapat perawatan rohani dan jasmani
  3. Hak pendidikan
  4. Hak Pelayanan Kesehatan dan makanan yang layak
  5. Hak menyampaikan keluhan
  6. Hak memperoleh informasi
  7. Hak mendapatkan upah atas pekerjaannya
  8. Hak menerima kunjungan
  9. Hak mendapatkan remisi
  10. Hak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk mengunjungi keluarga
  11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat
  12. Hak mendapatkan cuti menjelang bebas,
  13. serta hak-hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku

Perlu diingat bahwa hak-hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis tetapi dengan syarat atau kriteria tertentu. Sama halnya dengan pemberian remisi.


Proses Pembinaan Narapidana
Ada 4 tahap dalam proses pembinaan narapidana Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Remisi sudah dapat dihitung semenjak yang bersangkutan yang telah berstatus narapidana menjalani masa pidana atau dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia disebut dengan menjalani proses pembinaan.

Dalam tahap pertama menjalankan proses pembinaan terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal ikhwal narapidana; sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Pada tahap ini, pembinaan dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum.

Pada
tahap kedua proses pembinaan, setelah yang bersangkutan telah menjalani 1/3 masa pidana yang sebenarnya, serta narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Yang dimaksud dengan narapidana telah menunjukkan kemajuan disini adalah dengan terlihatnya keinsyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku di Lembaga.

Setelah menjalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2 bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dengan sistem pengawasan menengah (medium security). Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum.

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan
tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.

Besarnya Remisi Yang Diberikan Kepada Narapidana dan Anak Pidana

A. Remisi Umum (17 Agustus)

a. Tahun Pertama apabila telah menjalani 6 bulan s/d 12 bulan, besarnya remisi 1 bulan.
b. Tahun Pertama apabila telah menjalani lebih dari 12 bulan, besarnya remisi 2 bulan.
c. Tahun Kedua, besarnya remisi 3 bulan.
d. Tahun Ketiga, besarnya remisi 4 bulan.
e. Tahun keempat, besarnya remisi 5 bulan.
f. Tahun kelima, besarnya remisi 5 bulan.
g. Tahun keenam, besarnya remisi 6 bulan.
h. Tahun ketujuh dan seterusnya, besarnya remisi 6 bulan
.
B. Remisi Khusus (Idul Fitri, Natal, Nyepi dan Waisak)

Tahun Pertama apabila telah menjalani pidana 6 bulan sampai dengan 12 bulan, diberikan remisi sebesar 15 hari.
Apabila telah menjalani 12 bulan atau lebih, diberikan remisi sebesar 1 bulan.
Tahun kedua dan ketiga, diberikan masing-masing 1 bulan.
Tahun keempat dan kelima , diberikan masing-masing 1 bulan 15 hari.
Tahun keenam dan seterusnya, diberikan remisi 2 bulan.

C. Remisi Tambahan
a. Berbuat jasa pada negara :

  • Membela negara secara moral, material dan fisik dari serangan musuh.
  • Membela negara secara moral, material dan fisik terhadap pemberontakan yang berupaya memecah belah atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI.
    Besarnya remisi : 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan
    .

b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan.

  • Menemukan inovasi yang berguna untuk pembangunan bangsa dan negara RI.
  • Turut serta mengamankan Lapas atau Rutan apabila terjadi keributan atau huru hara.
  • Turut serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan bencana alam di lingkungan Lapas, Rutan atau wilayah sekitarnya.
  • Menjadi donor darah 4 (empat) kali atau salah satu organ tubuh bagi orang lain.
    Besarnya remisi yang diberikan sebesar 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan.

c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas atau Rutan.

Pemuka kerja.
Melakukan pendidikan dan pengajaran kepada sesama narapidana dan anak didik.
Besarnya remisi yang diberikan 1/3 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan

Dengan mengetahui cara menghitung pemberian remisi maka masyarakat dapat membuat estimasi angka remisi. Angka remisi yang didapat tentunya akan mengurangi jumlah masa hukuman seorang narapidana, serta membuat seorang narapidana dapat lebih cepat kembali kepada keluarga dan masyarakatnya sebagai warga negara yang baik, menyongsong masa depan yang lebih baik.

------------------------
Oleh. Fatma Puspita Sari
Penulis adalah Staf pada Biro Humas dan HLN


http://www.depkumham.go.id/templates/NewsComment.aspx?pm3nc=1&params=Z3VpZD0lN2JCNTVEN0Y1Ny1BMDAwLTREQUQtQjg1RS0wQzRDQURCNkUwMEIlN2Q%3D