Kamis, 27 September 2007

DPD Nilai DPR Jalan Mundur, Usulkan Mantan Napi Jadi Anggota DPD

JAKARTA – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai usulan DPR mengenai mantan nara pidana (napi) boleh menjadi anggota DPD merupakan langkah mundur. Ketua Pansus RUU Politik DPD Muspani mengaku heran dengan usulan dari DPR.

Menurut dia, seharusnya syarat keikutsertaan dalam pemilu diperketat bukan sebaliknya. Sebab, kata dia, dengan sistem yang lebih ketat peluang untuk menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas semakin besar.

“DPD tidak suka yang gitu-gituan (melonggarkan persyaratan). Kalau DPR mempunyai usulan seperti itu berarti langkah mundur,” kata Muspani Kamis (27/9/2007).

Diberitakan sebelumnya, Fraksi Partai Golkar (F-PG) mengusulkan agar mantan narapidana yang dipenjara di bawah lima tahun bisa mencalonkan sebagai anggota DPD pada pemilu mendatang.

Usulan tersebut tertuang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) nomor 108 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Pendapat serupa dilontarkan oleh Fraksi PDIP (F-PDIP). Bedanya, F-PG menitikberatkan pada besaran vonis yang diterima seseorang.

Bagi yang mendapat vonis di bawah lima tahun diusulkan bisa mencalonkan. Sedangkan F-PDIP menitikberatkan pada ancaman vonis yang akan dijatuhkan. Bagi seseorang yang sedang menjalankan vonis tetap dengan ancaman di atas lima tahun tidak berhak mencalonkan.

Muspani menjelaskan, perilaku wakil rakyat harus benar-benar bersih. Untuk itu, diperlukan syarat-syarat yang ketat sebab mereka dipilih secara langsung. Menurut dia, Undang-Undang (UU) nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu masih layak digunakan. “Jadi kalau sudah terancam di atas lima tahun seharusnya tidak bisa mencalonkan,” tegas dia.

Anggota DPD asal Bengkulu ini menambahkan, seseorang yang belum teruji secara hukum seharusnya tidak menjadi figur publik. Dia menilai sistem demokrasi di Indonesia belum terlalu mapan untuk memperlonggar persyaratan. “Demokrasi di Indonesia masih membutuhkan aturan yang ketat,” terangnya.

Pendapat serupa disampaikan analis politik dan kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Andrinof A. Chaniago. Menurut dia, usulan fraksi-fraksi besar di DPR itu justru tidak progresif. Seharusnya, kata Andrinof, parpol mengambil momentum pembahasan RUU Pemilu untuk memajukan demokrasi, bukan sebaliknya.

“Salah satu upaya untuk memajukan demokrasi dengan memperketat syarat pencalonan,” kata dia.

Dia berpendapat, sikap fraksi-fraksi dalam pembahasan RUU Pemilu tersebut akan dinilai oleh publik. Karena itu, parpol harus pandai memanfaatkan situasi dengan tidak melakukan blunder. Andrinof menambahkan, reputasi seseorang yang pernah dijatuhi hukuman pidana akan jatuh.

“Hal itu sudah menjadi budaya di negara ini. Setiap orang yang pernah mendapat hukuman, pasti mendapat penilaian buruk dari masyarakat,” terang Andrinof.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono mengatakan, usulan F-PG

tersebut bukan muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui pengkajian lebih mendalam. Agung menjelaskan, larangan pencalonan bagi mantan napi bisa dikategorikan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

“Dengan adanya larangan itu, mantan napi tidak punya kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat,” terang Agung.

Ketua DPR RI ini menambahkan, seharusnya seseorang yang telah menjalani masa hukuman mendapatkan kembali hak-hak publik. Terlebih lagi, kata Agung, larangan pencalonan tersebut didasarkan pada besaran ancaman hukuman. Padahal, tidak sedikit mantan napi sudah berperilaku baik, bahkan melebihi orang yang tidak pernah dipenjara.

Dia membantah, usulan tersebut hanya untuk kepentingan Golkar. Menurut dia, hal itu untuk kepentingan masyarakat secara luas. “Sama sekali tidak benar. Ini bukan hanya untuk kepentingan Golkar,” kata dia kepada wartawan. (ahmad baidowi/sindo/fit)


http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=50108&Itemid=67


0 komentar:

Posting Komentar