Jakarta - Surya
Gagasan dibukanya peluang mantan narapidana (napi) untuk dicalonkan sebagai senator atau anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai membingungkan.
Di satu sisi, pemberian peluang kepada napi itu merupakan penghormatan terhadap HAM. Namun, di sisi lain justru dinilai sebagai upaya parpol melindungi para kader yang pernah terjerat proses hukum.
Perdebatan itu terungkap dalam diskusi interaktif di DPD Senayan, Jakarta, Jum'at (28/9). Wacana napi jadi senator itu pertama kali muncul ketika Partai Golkar mengajukan DIM dalam pembahasan RUU Pemilu oleh Pansus RUU di DPR.
Golkar mengajukan syarat agar calon DPD adalah orang yang tidak sedang menjalani hukuman pidana 5-10 tahun. PDIP juga mengajukan hal yang sama, namun menegaskan syarat bahwa orang itu tidak sedang terancam pidana.
Partai Demokrat mensyaratkan agar orang yang dicalonkan itu tidak sedang menjalani tahanan selama 2 tahun. Wacana ini sebenarnya ada dalam UU 12/2003 tentang Pemilu.
Sementara partai lain cenderung mempertahankan persyaratan calon sesuai dengan konsep pemerintah, yaitu calon tidak pernah diancam dan dipidana. Ketentuan itu ada dalam UU 32/2004 tentang Pemerinthan Daerah dan UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Anggota Pansus RUU Pemilu dari FPKB DPR Saifullah Ma'soem menyatakan mendukung penghormatan hak politik seseorang. "Bila mantan napi itu sudah berperilaku baik, kenapa masih distigmatisasi,” ujarnya.
Dikatakan, Konstitusi UUD 1945 tidak menafikan hak seseorang dalam berpolitik. Dia sepakat bahwa pejabat itu harus bersih. Namun, seorang mantan napi pun bisa kemudian berperilaku bersih.
Sedangkan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti menilai gagasan itu membingungkan. Sebuah UU, katanya, merupakan produk hukum positif yang tidak bisa didasaran pada faktor pertimbangan moralitas. Menurutnya, UU seharusnya memberikan penegasan apa yang dibutukan oleh masyarakat.
"Kalau melihat HAM dan Konstitusi, tetapkan saja kalau konsisten, ya liberakan saja. Buka saja semuanya. Jadi, di sini, penyaring utamanya adalah partai politik dan masyarakat pemlih. Namun, di sini, ambigunya adalah sepertinya ada jalan tengah atau kompromi di dalamnya," kata Bivit.
Hanya saja, dalam wacana ini yang ditekankan adalah persyaratan calon bagi DPD. Bila wacana ini diterapkan, maka tidak ada saringan awal bagi calon DPD dari eks napi. Itu jelas berbeda bila pengajuan calon itu dari parpol. "Ini yang menyulitkan," tegasnya. JBP/yat
http://www.surya.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=21939&Itemid=30
0 komentar:
Posting Komentar