Senin, 17 September 2007

Konflik Laten di Lembaga Pemasyarakatan

SUARA PEMBARUAN DAILY
Oleh Didin Sudirman

Ketika kehidupan masyarakat masih sederhana, setiap pelanggaran hukum dapat diselesaikan pada saat itu juga. Pemimpin formal yang juga biasa bertindak sebagai hakim, menyelesaikan konflik segera setelah perbuatan dilakukan, sehingga tidak diperlukan tempat untuk menahan para pelanggar hukum.

Seiring makin kompleksnya kehidupan masyarakat, fungsi tempat penahanan bagi pelanggar hukum menjadi kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Hakim membutuhkan waktu untuk memutuskan suatu perkara, sehingga sambil menunggu putusan, pelanggar hukum ditempatkan dalam suatu bangunan.

Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, fungsi bangunan penjara dipandang sebagai bangunan yang keefektifannya sering diperdebatkan. Karena menurut pengalaman para cendekiawan, yang kebetulan merasakan pahit getirnya penjara, kehidupan di penjara cenderung dapat menimbulkan dehumanisasi. Seperti dikemukakan dalam The Implementation Standard Minimum Rules for The Treatment Of Prisoners, secara sosiologis, kehidupan dalam penjara sering kali memperlihatkan ciri-ciri yang sama dengan kondisi masyarakat yang memudahkan timbulnya suatu perilaku menyimpang (kejahatan).

Secara psikologis penempatan orang dalam penjara, pada hakikatnya adalah merupakan upaya pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Karena itulah penghuni mengalami kesakitan yang diakibatkan kehilangan-kehilangan. Baik kehilangan akan rasa aman, kehilangan relasi seksual, kehilangan otonomi, maupun kehilangan kekuasaan atas barang-barang yang dimilikinya. Berdasarkan teori supplay and demand, kondisi itu dapat meningkatkan permintaan.

Ketika permintaan meningkat, penawaran akan meningkat. Ketika penawaran meningkat harga (nilai) pun akan tinggi.
Smelser, dalam Sosiologi Ekonomi, menyatakan, supplay and demand dalam hubungannya dengan faktor lain, selalu menjadi variabel berpengaruh (dependent variables). Berarti, pengekangan kebebasan dalam suatu pemenjaraan, akan berdampak kepada hubungan sosiologis antara petugas (yang powerful) dan penghuni penjara (yang powerless).

Hubungan kekuasaan yang tidak seimbang itu akan menumbuhkan konflik laten dan terus-menerus dalam sebuah sistem sosial masyarakat penjara.
Sebagaimana layaknya sebuah konflik, demi eksistensi sistem, sistem akan menciptakan mekanisme untuk meredam konflik tersebut sehingga tidak destruktif terhadap sistem.
Mekanisme tersebut, dalam sosiologi, disebut dengan proses akomodasi. Akomodasi adalah suatu upaya meredam konflik melalui tukar-menukar kepentingan di antara dua kubu yang mengalami konflik. Dengan demikian diharapkan konflik dapat diredam, dan sistem akan mengalami keseimbangan.

Pertukaran Kepentingan
Secara ideal, proses akomodasi harus berlangsung melalui sistem formal. Pada intinya, tukar-menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku. Hak-hak penghuni, yang pada hakikatnya merupakan berbagai keringanan untuk mengatasi kesakitan-kesakitan yang dialami narapidana, dipertukarkan dengan kelakuan baik.
Hak-hak penghuni yang dijamin undang-undang, dijadikan modus/sarana terciptanya kondisi dan perilaku yang diinginkan (conditioning operant). Dalam kondisi itulah, fungsi penjara (lembaga pemasyarakatan) dapat diharapkan sebagai tempat untuk mengubah tingkah laku penghuninya dari yang tidak baik menjadi perilaku yang terpuji.

Namun secara faktual, kondisi ideal tersebut sering kali sulit dicapai, diakibatkan berbagai kondisi. Antara lain masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan petugas, dan di sisi lain adanya kecenderungan status sosial ekonomi narapidana makin tinggi.
Keadaan itu, pada gilirannya menimbulkan hubungan yang tidak seimbang secara ekonomi, antara beberapa golongan penghuni dengan oknum petugas. Akibatnya, proses akomodasi berlangsung pada tataran informal. Hal itu berarti, pertukaran kepentingan terjadi antara penghuni dan oknum petugas secara perorangan. Kalau demikian halnya, tidak dapat dielakkan, terjadi KKN antara petugas dan penghuni. Berbagai kejadian dan peristiwa yang selalu disiarkan media massa adalah cerminan proses itu.

Dalam The Implementation Standard Minimum Rules for The Treatment Of Prisoners dinyatakan, syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan adalah integritas moral, profesional, memiliki rasa kemanusiaan dan pekerjaan itu cocok dengan hati nuraninya. Maka upaya yang harus ditempuh manajemen pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi terbentuknya petugas yang memenuhi persyaratan tersebut, melalui proses perekrutan, pendidikan dan latihan, pembinaan karier dan lain sebagainya.

Menghadapi Preman
Sebagai praktisi, baik sadar atau tidak sadar, penulis pernah memperlakukan narapidana yang memiliki kualitas khusus, didasarkan reputasinya sebagai "preman" karena di berbagai lapas selalu membuat kekacauan. Ia mulai ditahan di Rutan Salemba. Karena membuat keributan ia dipindahkan ke Lapas Cipinang, kemudian ke lapas di Semarang.

Dari Semarang, dipindahkan lagi ke Lapas Kelas I Tangerang karena alasan yang sama. Baru dua hari di Lapas Kelas I Tangerang, dipindahkan lagi ke Lapas Pemuda Tangerang, karena ribut lagi dengan bekas lawannya (pindahan dari Rutan Salemba).
Menganalisis karakternya, ia memiliki sifat-sifat: pemberani, kaya secara finansial sehingga apa pun (termasuk kekuasaan/aturan) bisa ia peroleh dengan jalan "dibeli", punya backing, bahkan pernah sesumbar bisa memindahkan pejabat lapas (LP) karena kenal dekat dengan pejabat tinggi. Setiap kejadian yang menyangkut dirinya, selalu diiringi aroma KKN disertai "korban" petugas yang mendapat hukuman disiplin.

Selaku Kepala Lapas Pemuda Tangerang saat itu, penulis sangat menyadari sedang berhadapan dengan narapidana istimewa. Kalau salah menyikapinya, akan terjadi keributan dan tak mustahil menelan "korban" pegawai yang dapat dipengaruhi kekuasaan finansialnya, seperti dialami petugas di lapas lain sebelumnya.

Atas dasar itu, pilihannya adalah memanggilnya dan mengajaknya berbincang dari hati ke hati. Dari komunikasi tersebut penulis ingin menyatakan,:

pertama, penulis mengakui ia mempunyai kekuasaan (baik secara finansial maupun koneksi).

Kedua, menunjukkan penulis juga punya kekuasaan (walaupun perlu mendapat dukungan dari pimpinan).

Ketiga, mengetahui salah satu yang paling ditakuti setiap narapidana adalah dipindahkan ke Nusakambangan.

Keempat, menyatakan penulis tidak dapat dibeli dengan harga seberapa pun. Kelima, sikap istiqomah adalah segala-galanya -hal yang biasanya paling disegani narapidana, apalagi di mata sekaliber preman, karena mereka tahu bahwa di balik sikap demikian terdapat sikap berani menanggung risiko.

Pada awal-awal menjalankan pidananya di Lapas Pemuda Tangerang, ia sering kali mengetes pegawai untuk menyimpang dari aturan, namun selalu gagal, karena petugas sudah dikondisikan untuk tidak "main api" dengan penghuni tersebut. Mungkin menyadari kondisi di lapas itu agak berbeda dari lapas lainnya, dengan terpaksa ia harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.

Sejak itu, ia menjadi penghuni yang baik dan bahkan mendapat program Pembebasan Bersyarat. Istimewanya lagi, istrinya pun berterima kasih, bahkan mengakui setelah menjalani pidana di Lapas Pemuda, perangai suaminya berubah. Jika sebelumnya sangat pemarah dan emosional, menjadi lebih tenang dan lebih dewasa.

Resep
Tidak ada "resep" yang sama untuk menghadapi/membina narapidana yang berbeda, karena setiap orang adalah unik, karena itu satu sama lain harus diperlakukan berbeda. Maka tak heran, dalam sistem pemidanaan mutakhir dikenal istilah "individualisasi pemidanaan" (Muladi). Artinya, tak semua pen-curi ayam dipidana dengan hukuman yang sama. Hal itu sangat tergantung dari berbagai aspek, termasuk motivasi dan latar belakang mengapa ia melakukan pelanggaran hukum. Analog dengan model hukum yang demikian, perlakuan terhadap narapidana pun dapat dibedakan satu sama lain, tergantung pada kebutuhan pembinaannya.

Dari ceritera di atas dapat diambil kesimpulan,"karakter" dan pengetahuan yang dimiliki seorang petugas, apalagi dilakukan secara konsisten antara sikap dan tindakan, pada gilirannya dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas di lapas.

Penulis adalah praktisi pemasyarakatan dan kini Kepala Kanwil Dephukham DKI Jakarta
________________________________________
Last modified: 13/9/07

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/09/14/index.html

0 komentar:

Posting Komentar