PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Rabu, 14 November 2007

Tolak Hukuman Mati

Suara Pembaruan

Oleh : George Junus Aditjondro

Kontras, organisasi penegak HAM yang didirikan oleh almarhum Munir, sedang berduka. Dua tahun lalu, organisasi non-pemerintah ini sangat berharap bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review terhadap semua UU yang memuat aturan hukuman mati, dalam Laporan HAM Tahun 2005.

Ternyata, dalam sidang MK yang membahas permohonan Edith Yunita Sianturi dan empat orang terpidana hukuman mati, untuk membatalkan pasal-pasal hukuman mati dalam UU 22/1997 tentang Narkotika, MK memutuskan untuk menolak permohonan Sianturi dkk. Dalam putusan setebal 469 halaman itu, MK memutuskan bahwa hukuman mati tetap berlaku untuk kasus narkotika


Ketukan palu Ketua MK, Jimly Asshiddique seolah- olah ketukan palu pencabut nyawa Sianturi dkk. Sebab dengan keputusan MK itu, hukuman mati bagi pelanggar UU 22/1997 semakin mendapat kekuatan hukum. Satu-satunya celah penyelamat nyawa Sianturi dkk, tinggal permintaan grasi kepada Presiden RI, berdasarkan UU 22/2002 tentang Grasi.



Lalu, apa yang mendorong MK mengambil keputusan yang memutar jarum jam ke belakang itu? Tampaknya, keputusan itu didorong sikap ultra-nasionalis para hakim, untuk menentang imbauan Menlu Australia, Alexander Downer, agar ancaman hukuman mati terhadap enam warga Australia yang terancam hukuman mati dalam kasus penyelundupan narkotika di Bali, "dipertimbangkan secara hati-hati" (Republika, 30 Oktober 2007).



Kalau anggapan itu betul, maka tampaklah bahwa riwayat pelaksanaan hukuman mati serta prosedur pelaksanaannya di Indonesia, bersifat sangat taktis, dan bukan konsepsional. Misalnya, Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, ditandatangani oleh Kepala Bareskrim Polri, Komjen Suyitno Landung, di bulan Juli 2004. Tujuannya, melengkapi Penpres (Penetapan Presiden) 2/1964 dengan suatu Protap (prosedur tetap) yang mengikat Polri.



Soalnya, saat itu Polri merasa tidak punya pegangan hukum yang kuat untuk melakukan eksekusi terhadap Ayodya Prasad Chaubey, warganegara India berusia 65 tahun yang sudah dijatuhi keputusan hukuman mati karena kasus narkoba. Sebab Pasal 271 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak dilaksanakan di muka umum, dan "menurut ketentuan undang-undang". Padahal, sampai sekarang, kita juga tidak punya Undang-Undang yang mengatur pelaksanaan hukuman mati. Yang ada hanyalah Penpres 2/1964, yang ditandatangani Presiden Soekarno, tanggal 27 April 1964.


Protap itu, yang belum disosialisasikan kepada publik, juga diterapkan dalam eksekusi Fabianus Tibo dkk pada tanggal 20 September tahun lalu di Palu. Sebelumnya, pengetahuan umum hanyalah bahwa eksekusi dilakukan oleh empat orang anggota regu tembak, di mana hanya seorang di antara mereka memegang senapan yang terisi amunisi. Tahu-tahu, setelah jenazah Fabianus Tibo (60 tahun) dan sesama terpidananya, Marinus Riwu (48 tahun), setelah diotopsi kembali oleh Kepala Puskesmas Beteleme, dokter IM Pujawan, kedua jenazah itu tampak "dihiasi" banyak luka yang sudah dijahit kembali.



Kesan sadis segera muncul dalam perdebatan tentang eksekusi Tibo, dll. Sehingga pelaksanaan hukuman mati dirasakan lebih sebagai pembalasan dendam dari komunitas yang konon dicederai oleh Tibo dkk.



Eksekusi Tibo dkk juga mencerminkan sifat adhoc dari wacana dan kebijakan politik di seputar penggunaan hukuman mati, yang lebih bersifat instrumental, bukan konsepsional. Menurut sumber-sumber penulis di lingkungan penegak hukum, eksekusi Tibo waktu itu sudah merupakan keputusan politis, bukan keputusan hukum. Sehingga permintaan terpidana untuk mendapatkan grasi ke-2, sesuai dengan UU No 22/2002, diabaikan dan eksekusi mereka segera dijalankan, didorong oleh politik keseimbangan rezim SBY-JK waktu itu.



Keputusan untuk segera mengeksekusi Tibo dkk, tanpa mengindahkan hak para terpidana untuk mendapatkan grasi kedua, didorong oleh Menkopolhukam, Kapolri dan Jaksa Agung waktu itu. Yudhoyono sendiri tidak memberikan pendapat, tapi JK membuat pernyataan-pernyataan yang mendorong supaya Tibo dkk segera diekskusi. Penambahan pasukan di Poso, setelah eksekusi Tibo dkk memicu keresahan dan tindak kekerasan terhadap pedagang ikan dari Sulawesi Selatan, tentunya sudah dapat diperkirakan oleh para pengambil keputusan di Jakarta. Tapi penambahan pasukan polisi dan tentara yang dikerahkan untuk mencegah berulangnya konflik antar komunitas, tidak terlepas dari kepentingan pribadi keluarga Wakil Presiden di daerah Poso. Sebab penambahan pasukan di daerah Poso, dengan sendirinya ikut mengamankan PLTA berkapasitas 600an MW yang sedang dibangun oleh kelompok Bukaka, perusahaan keluarga Jusuf Kalla, di Sungai Poso.



Sayangnya, para penentang hukuman mati Tibo dkk, yang waktu itu dengan begitu gegap gempita mau menggugat pemerintah ke Komisi HAM PBB di Jenewa, tampaknya hanya marah sesaat. Padahal, buat organisasi-organisasi penentang hukuman mati, seperti Kontras, tidak peduli siapa yang dihukum, tidak peduli apa agamanya, tidak peduli apa kesalahannya, hukuman mati tidak dapat dibenarkan, berdasarkan tiga alasan.



Pertama, hukuman mati tidak dapat dipertahankan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip agama-agama dunia, bahwa nyawa berasal dari Tuhan, dan hanya dapat dicabut oleh Tuhan.




Kedua, seperti yang sudah disinggung di depan, dipertahankannya hukuman mati dalam sebelas Undang-Undang di negara kita, bertentangan 180 derajat dengan amanat bangsa untuk menegakkah hak-hak asasi manusia. Termasuk Kovenan PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia tanggal 28 Oktober 2005, yang menegaskan bahwa hak atas kehidupan merupakan suatu hak asasi yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun, termasuk negara.



Ketiga, hukuman mati tidak punya efek jera, yang dijadikan alasan oleh para pendukungnya. Tidak bagi para pengedar narkoba, tidak juga bagi mereka yang merampas kehidupan orang lain, dengan dalih keyakinan agamanya, dan tidak menghormati pengadilan buatan manusia. Makanya, untuk apa hukuman mati masih dipertahankan oleh negara kita?



Kita menolak hukuman mati, semata-mata untuk tidak merasa setinggi Tuhan, karena hanya Tuhanlah, sang pemberi nyawa, yang berhak mencabut nyawa manusia.



Penulis adalah pengamat hukum yang aktif menentang eksekusi terhadap Fabianus Tibo dkk


Minggu, 11 November 2007

Konsisten Melaksanakan Hukuman Mati

Suara Pembaruan

Oleh : Binsar Gultom

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945) maka pemberlakuan vonis pidana mati di Indonesia telah bersifat mengikat dan final.

Namun, sekalipun undang-undang menentukan adanya pidana mati bukan berarti hakim seenaknya menjatuhkan ancaman maksimal pidana mati kepada terdakwa. Hakim harus melihat secara cermat dan hati-hati fakta hukum yang terungkap di persidangan, siapa otak intelektualnya, apakah ia hanya turut membantu atau yang disuruh melakukan kejahatan tersebut.

Jika putusan hakim tingkat pertama masih dirasa kurang adil masih bisa diperbaiki oleh hakim tingkat banding, hakim kasasi, dan hakim peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Ingat, sekali hakim salah menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang terdakwa, yang sebenarnya vonis itu tidak pantas dijatuhkan kepadanya, dosa hakim yang memvonis hukuman mati tersebut tidak akan terampuni oleh Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Adil, sebab putusan hakim di sini menyangkut pencabutan "nyawa manusia" ciptaan Tuhan.

Yang menarik untuk dikaji dalam putusan MK tersebut adalah pertimbangan hukumnya menyatakan: "Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun, apabila terpidana tersebut berkelakuan baik dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup". Pertanyaannya, siapa yang berwenang mengubahnya, pengadilan atau pemerintah? Apa saja kriteria berkelakuan baik (perbuatan terpuji) itu? Apakah justru hal ini tidak memunculkan adanya aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada instansi terkait?

Manfaat ditangguhkannya pelaksanaan eksekusi pidana mati hingga 10 tahun dapat saja diterima, jika ternyata terungkap fakta baru atau novum, bahwa bukan terdakwa tersebut yang menjadi otak kejahatan dimaksud. Justru hal ini dapat dijadikan alasan pengajuan grasi kedua kepada presiden sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Soal apakah akan terjadi perubahan hukuman terhadap terpidana mati menjadi hukuman seumur hidup bergantung pada hasil proses persidangan di pengadilan, bukan berdasarkan kriteria berkelakuan baik. Sebab yang berwenang mengeluarkan surat keterangan berkelakuan baik adalah Kepolisian RI. Terpidana mati rasanya sulit dikualifikasi mempunyai kelakuan baik, karena apabila dia berkelakuan baik tidak mungkin divonis pidana mati.

Persoalannya lagi, jika pemerintah yang mengubah pidana mati menjadi seumur hidup, apakah justru hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Sebab menurut ketentuan tersebut, yang berwenang mengubah vonis pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap hanyalah presiden lewat permohonan grasi, yaitu pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana. Juga apakah hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi yang secara eksplisit mengatur waktu "pelaksanaan eksekusi vonis pidana mati, yaitu 30 hari terhitung sejak penolakan grasi presiden".

Yang jelas, menurut Pasal 2 ayat 3 huruf a UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi: terpidana yang pernah ditolak grasinya dan telah lewat dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut dapat mengajukan grasi kembali. Artinya, terhadap terpidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap masih dapat ditangguhkan eksekusinya, dengan syarat: permohonan grasi terpidana mati baru sekali diajukan dan ditolak oleh presiden. Kemudian, permohonan grasi kedua harus diajukan setelah lewat dua tahun.

Sedangkan jika permohonan grasi yang kedua telah diajukan terpidana mati dan ditolak oleh presiden maka eksekusi tidak dapat lagi ditangguhkan, artinya dia harus segera di eksekusi. Kata segera di sini sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi, yaitu 30 hari terhitung sejak penolakan grasi presiden".

Tak Konsekuen

Persoalannya, dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati pemerintah tak konsekuen. Dalam praktik selama ini, pemerintah masih tetap menggunakan UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi, sekalipun Pasal 16 UU No. 22 Tahun 2002 telah menyatakan secara eksplisit bahwa "pada saat UU Grasi No. 22 Tahun 2002 berlaku maka UU No. 3 Tahun 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Mengapa masih diberlakukan UU No. 3 Tahun 1950 tersebut? Karena Pasal 2 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1950 secara eksplisit masih mengatur waktu "pelaksanaan eksekusi vonis pidana mati, yaitu 30 hari terhitung sejak penolakan grasi presiden". Sedangkan UU No. 22 Tahun 2002 tidak mengatur sama sekali tenggang waktu pelaksanaan eksekusi mati. Di sini kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusi mati menjadi tidak tegas, yang berakibat memberikan ruang gerak kepada terpidana mati/keluarga/kuasa hukumnya untuk mengajukan grasi beberapa kali, yang sebenarnya tak perlu terjadi lagi.

Jika ada yang masih berupaya mengulur-ulur waktu pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana yang tidak mungkin lagi diajukan grasi kedua, artinya putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht van gewijsde), hingga membuat terpidana mati tersiksa, teraniaya sampai akhirnya meninggal dunia sebelum eksekusi dijalankan, maka sikap seperti itu dapat dikualifikasi melakukan pelanggaran HAM berat.

Penjelasan Pasal 9 huruf f UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan: "dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental terhadap seorang tahanan atau yang berada di bawah pengawasan, dipidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun.

Penulis adalah Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Hakim HAM pada Pengadilan HAM Adhoc Jakarta, serta mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan.

http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=1090


Jumat, 09 November 2007

Hukuman Mati dan Efek Jera

Suara Pembaruan

Oleh Oksidelfa Yanto

Tidak ada yang tahu sejak kapan hukuman mati diberlakukan. Menurut sejarah, hukuman mati sudah berlaku pada 399 SM, sewaktu Socrates divonis mati oleh pengadilan Athena karena dinilai telah meracuni pikiran generasi muda dengan ajaran-ajarannya serta sikap atheismenya.

Indonesia adalah negara yang sampai saat ini masih menerapkan hukuman mati. Penerapan hukuman mati tersebut berawal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (WvS) pada masa kolonial Belanda. Undang-undang itu disahkan 1 Januari 1918 setelah dilakukannya unifikasi terhadap seluruh hukum pidana bagi golongan penduduk Hindia Belanda.

Kejahatan yang diancam hukuman mati, misalnya, perbuatan makar (Pasal 104 KUHP) dan tindak pidana pembunuhan berencana (Pasal 340). Kemudian beberapa UU juga mengatur tentang penerapan hukuman mati. Misalnya, UU Tentang Tindak Pidana Terorisme (UU No 15 Tahun 2003), UU Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU No 26 Tahun 2000), dan UU Tentang Psikotropika (UU No 5 Tahun 1997).

Tujuan pemberlakuan hukuman mati untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Dari aspek kemanusiaan, hukuman mati diperlukan guna melindungi masyarakat dari perbuatan orang jahat. Hal ini kemudian menjadi pijakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menilai bahwa UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, negara harus melindungi masyarakat dari perbuatan jahat para bandar dan produsen narkoba.

Namun, sampai sekarang tidak pernah bisa dibuktikan bahwa hukuman mati merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan kejahatan. Sebagai contoh, dalam UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jelas-jelas ditegaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati. Tapi, apa yang terjadi, kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus saja meningkat.

Kemudian UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika juga mengatur tentang hukuman mati. Meskipun sudah ada pelaku yang dijatuhi hukuman mati, tapi jual beli narkotika masih terus terjadi.

Alasan Penolakan

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta pernah menyatakan penolakannya terhadap hukuman mati. Dalam sejarah peradaban dunia, penolakan dan penentangan terhadap hukuman mati pertama kali muncul pada 1764. Kemudian sederet tokoh hukum muncul menjadi pendukung usaha penghapusan hukuman mati, seperti, Leo Polak dan Rolling. Beberapa negarawan, seperti, "Raja Lois" dari Portugal atau Raja Oscar dari Swedia juga mendukungnya. Akibatnya, beberapa negara menghapuskan hukuman mati, seperti, Italia (1890) dan Selandia baru (1941). Sampai saat ini sudah 118 negara menghapus hukuman mati.

Di Indonesia, alasan sejumlah LSM menolak hukuman mati, karena dinilai melanggar konstitusi. Hak hidup seseorang tidak bisa dibatasi, dikurangi ataupun dirampas dalam kondisi apa pun. Ini sesuai dengan Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan: Hak untuk hidup tiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Di samping itu, hukuman mati melangkahi wewenang Yang Maha Kuasa dan jelas bertolak belakang dengan sila pertama dan kedua Pancasila. Hukuman mati juga bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM PBB 1948. Sebab jika dilihat dari perspektif HAM, hukuman mati sangat bertentangan secara substansial dengan prinsip-prinsip HAM.

Pasal 3 Deklarasi Universal HAM PBB 1948 menyebutkan, tiap orang berhak hidup, berhak atas kebebasan dan keamanan diri pribadi. Sedangkan Pasal 5 menjelaskan, tidak seorang pun boleh dikenai perlakuan atau pidana yang menganiaya atau kejam, yang tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat.

Hukuman mati juga tidak sesuai dengan Pasal 6 Kovenan PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966, yang telah diratifikasi menjadi undang-undang oleh pemerintah dan DPR September 2005. Pasal tersebut, antara lain, menyebutkan setiap orang mempunyai hak alami untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Siapa pun tidak boleh dengan sewenang-wenang dicabut nyawanya. Perlu diingat, tidak seorang pun yang luput dari kesalahan. Kepada setiap orang yang berbuat kesalahan perlu diberikan kesempatan untuk bertobat. Mungkin caranya dengan tidak menghukum mati, tapi dengan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.

Kalau terjadi kesalahan dalam putusan pengadilan tidak tertutup kemungkinan dikoreksi. Si terhukum tidak dihukum mati, namun dipenjara seumur hidup. Tapi, kalau sudah dihukum mati dan ternyata terdapat kesalahan pada putusan pengadilan maka koreksi dan rehabilitasi akan menjadi sia-sia. Kita hendaknya mencabut hak untuk menghukum mati manusia. Untuk menghilangkan tindakan yang tidak manusiawi tersebut maka hukuman mati hendaknya diganti menjadi hukuman penjara seumur hidup.

Penulis adalah staf di Center for Strategic and International Studies

Jakarta
6 Nopember 2007,HAM, Suara Pembaruan

http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=1088


Kamis, 08 November 2007

Hukuman Mati dan HAM

Oleh Frans Liemena, SH, MH
Hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra sejak dahulu hingga kini. Hari Senin 30 Oktober 2007 Mahkamah Konstitusi memutuskan, hukuman mati bagi pengedar narkoba idak bertentangan dengan UUD 1945. Berbagai kasus yang dijatuhi hukuman mati dan telah dilaksanakan seperti kasus Tibo cs dan lain-lain telah mengusik lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) internasional - Amnesty International - di London yang pada prinsipnya menolak hukuman mati dan meminta pemerintah Indonesia untuk membatalkan hukuman mati yang grasinya ditolak Presiden.

Bagi yang kontra didasarkan pada alasan atau menyangkut HAM, salah satunya ialah hak manusia untuk hidup. Selain alasan tersebut juga dirasakan oleh pendapat umum, bahwa hukuman mati tidak dapat diperbaiki lagi apabila dikemudian hari terbukti bahwa putusan hakim keliru atau terjadi peradilan yang sesat. Sebaliknya bagi yang pro hukuman mati dengan argumen, bahwa patutlah terpidana dieksekusi mati karena perbuatannya.

HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia karena martabatnya, dan bukan karena pemberian dari negara atau masyarakat. Dalam hak-hak tersebut terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu ciri dari negara hukum.

HAM juga merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis, kultural dan ideologis yang akan melindasnya kalau tidak dibendung.

Hukuman mati dilakukan terhadap pelanggaran norma hukum yang mengancam suatu perbuatan sehingga harus dihukum demikian. Secara normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain. Sehingga menurut penguasa adalah pantas orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman mati dengan ini, maka kita berbicara tentang filsafat negara oleh karena orang yang bersangkutan melakukan perbuatan di luar batas atau pun bertentangan dengan kebijaksanaan negara sebagai penguasa.

Indonesia masih diterapkan dan diberlakukan hukuman mati, padahal konstitusi mengakui, bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan (maachtstaat) belaka. Secara umum tujuan pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia adalah bukan sebagai sarana balas dendam melainkan untuk memberi pelajaran bagi terpidana agar apabila terpidana selesai menjalani hukuman, diharapkan menjadi anggota masyarakat yang baik, bahkan bisa menjadi pola anutan bagi masyarakat sekitarnya (general deterrence - general preventie).

Pro dan Kontra
Jauh sebelum adanya pendapat-pendapat sekarang yang pro hukuman mati, maka C Lombroso dan Garofalo adalah dua figur pendukung hukuman mati. Keduanya berpendapat, bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki, lagi (Andi Hamzah dan Sumangelipu : 27).

Sekalipun ada yang tidak sependapat tentang diberlakukan hukuman mati dengan alasan, bahwa hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Perlu dipertanyakan juga tentang apakah hak asasi manusia itu? Secara normatif sebagaimana tersurat dalam pasal 1 UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa: "Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia". "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara".

Dengan demikian, maka tidak ditemukan ketentuan, bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM karena terpidana mati juga harus mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar HAM orang lain dalam tertib kehidupan ber-masyarakat, berbangsa dan bernegara apabila tidak demikian mana mungkin hak asasi manusia dapat ditegakkan. Dengan perbuatan-perbuatan seperti tersebut diatas (terorisme dan kejahatan narkoba) justeru pelakunya telah melanggar HAM orang lain.

Ada pendapat bahwa hukuman mati tidak layak dilaksanakan dengan alasan, bahwa tujuan pemidanaan tidak tercapai, dan sifatnya mutlak artinya tidak dapat ditarik kembali (Beccaria:1864). Itulah sebabnya Jaksa Agung (Abdurahman Saleh, waktu itu) berposisi dilematis sebelum mengeksekusi Tibo cs. Pendapat yang menolak hukuman mati juga beralasan untuk menghindari terjadinya peradilan yang sesat (vide Hermann Mostar). Alasan yang umum dari penentang hukuman mati ialah hukuman mati bertentangan dengan Pancasila, HAM, etika dan moral.

Kesimpulan
Hukuman mati secara subtansial bertentangan dengan hak asasi manusia, sebaliknya terpidana mati juga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Berdasarkan kejadian akhir-akhir ini, maka hukuman mati masih dapat dan harus diberlakukan di Indonesia tetapi khusus diterapkan pada kejahatan-kejahatan yang berhubungan dengan terorisme dan pengedaran narkoba secara terorganisasi serta korupsi. Sedangkan kejahatan-kejahatan lainnya cukup diterapkan hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara.

Kalaupun ada yang menentang hukuman mati, maka jalan tengahnya ialah pidana berupa tindakan yang dapat membuat terpidana tidak berdaya secara permanen (poena proxima morti) yaitu pidana yang berada paling dekat dengan pidana mati, tetapi apakah ini tidak bertentangan dengan HAM?

Penulis adalah Hakim di Pengadilan Negeri Manado


Senin, 05 November 2007

Hukuman Mati Tetap Berlaku, MK Meminta Eksekusi Bisa Segera Dilaksanakan

Jakarta, Kompas - Hukuman mati masih tetap berlaku di Indonesia. Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan, hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pencantuman pidana mati dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat.

Putusan itu dibacakan pada sidang MK, Selasa (30/10) di Jakarta. Sidang pembacaan putusan itu berlangsung 4,5 jam.

Permohonan pengujian pasal hukuman mati dalam UU Narkotika diajukan dua warga negara Indonesia, Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia, serta tiga warga negara Australia, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Anthony Rush. Warga Australia itu, yang termasuk kelompok Bali Nine, tertangkap dan dihukum mati karena menyelundupkan heroin.

Sidang dihadiri kuasa hukum pemohon, antara lain Denny Kailimang dan Todung Mulya Lubis, sejumlah pejabat, serta Ketua Badan Narkotika Nasional I Made Mangku Pastika.

Putusan MK dalam perkara ini terbelah dua. Enam hakim konstitusi menilai hukuman mati tetap berlaku, sedangkan tiga hakim lainnya, yakni Laica Marzuki, Achmad Roestandi, dan Maruarar Siahaan, mengabulkan permohonan agar pasal hukuman mati itu dicabut.

Dalam putusannya, MK mempersoalkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon sebagai warga negara asing dan substansi hukuman mati. Mayoritas hakim konstitusi menilai warga negara asing tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian atas UU terhadap UUD.

Namun, tiga hakim konstitusi, yakni Harjono, Maruarar, dan Laica, berpendapat warga negara asing berhak mengajukan pengujian UU di Indonesia. Ini berlandaskan pada frasa "setiap orang berhak..." yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945. Seharusnya tak ada pembedaan antara hak asasi warga negara Indonesia dan warga negara asing.

Maruarar juga mencantumkan praktik di negara lain yang memperbolehkan warga negara asing memperoleh perlindungan hak asasi yang dilanggar UU negara yang menerimanya. Misalnya, gugatan Asakura (warga negara Jepang pemilik rumah gadai di Seattle, Amerika Serikat). Ia menguji peraturan kota Seattle, yang melarang orang asing berusaha di bidang pegadaian. Kasus lainnya adalah Cabell versus Chavez-Salido, Salim Ahmed Hamdan versus Donald H Rumsfeld (Sekretaris Pertahanan), dan Konstitusi Dominika tahun 1978.

Tentang pokok perkara, enam hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Jimly Asshiddiqie selaku ketua majelis hakim, menyatakan, penjatuhan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, hakim tidak boleh sewenang-wenang menjatuhkan hukuman mati karena harus sesuai dengan ketentuan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Jimly pun menjelaskan, pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan, perumusan, penerapan, dan pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus benar-benar memerhatikan bahwa hukuman mati bukan merupakan pidana pokok. Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh.

MK meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah Bambang Winahyo menyambut baik putusan MK yang melegalkan hukuman mati. Hal itu diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan eksekusi terpidana mati.
Di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kini terdapat 54 terpidana mati, termasuk terpidana kasus peledakan bom di Bali tahun 2003. (VIN/HAN/MDN)