Jumat, 09 November 2007

Hukuman Mati dan Efek Jera

Suara Pembaruan

Oleh Oksidelfa Yanto

Tidak ada yang tahu sejak kapan hukuman mati diberlakukan. Menurut sejarah, hukuman mati sudah berlaku pada 399 SM, sewaktu Socrates divonis mati oleh pengadilan Athena karena dinilai telah meracuni pikiran generasi muda dengan ajaran-ajarannya serta sikap atheismenya.

Indonesia adalah negara yang sampai saat ini masih menerapkan hukuman mati. Penerapan hukuman mati tersebut berawal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (WvS) pada masa kolonial Belanda. Undang-undang itu disahkan 1 Januari 1918 setelah dilakukannya unifikasi terhadap seluruh hukum pidana bagi golongan penduduk Hindia Belanda.

Kejahatan yang diancam hukuman mati, misalnya, perbuatan makar (Pasal 104 KUHP) dan tindak pidana pembunuhan berencana (Pasal 340). Kemudian beberapa UU juga mengatur tentang penerapan hukuman mati. Misalnya, UU Tentang Tindak Pidana Terorisme (UU No 15 Tahun 2003), UU Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU No 26 Tahun 2000), dan UU Tentang Psikotropika (UU No 5 Tahun 1997).

Tujuan pemberlakuan hukuman mati untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Dari aspek kemanusiaan, hukuman mati diperlukan guna melindungi masyarakat dari perbuatan orang jahat. Hal ini kemudian menjadi pijakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menilai bahwa UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, negara harus melindungi masyarakat dari perbuatan jahat para bandar dan produsen narkoba.

Namun, sampai sekarang tidak pernah bisa dibuktikan bahwa hukuman mati merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan kejahatan. Sebagai contoh, dalam UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jelas-jelas ditegaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati. Tapi, apa yang terjadi, kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus saja meningkat.

Kemudian UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika juga mengatur tentang hukuman mati. Meskipun sudah ada pelaku yang dijatuhi hukuman mati, tapi jual beli narkotika masih terus terjadi.

Alasan Penolakan

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta pernah menyatakan penolakannya terhadap hukuman mati. Dalam sejarah peradaban dunia, penolakan dan penentangan terhadap hukuman mati pertama kali muncul pada 1764. Kemudian sederet tokoh hukum muncul menjadi pendukung usaha penghapusan hukuman mati, seperti, Leo Polak dan Rolling. Beberapa negarawan, seperti, "Raja Lois" dari Portugal atau Raja Oscar dari Swedia juga mendukungnya. Akibatnya, beberapa negara menghapuskan hukuman mati, seperti, Italia (1890) dan Selandia baru (1941). Sampai saat ini sudah 118 negara menghapus hukuman mati.

Di Indonesia, alasan sejumlah LSM menolak hukuman mati, karena dinilai melanggar konstitusi. Hak hidup seseorang tidak bisa dibatasi, dikurangi ataupun dirampas dalam kondisi apa pun. Ini sesuai dengan Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan: Hak untuk hidup tiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Di samping itu, hukuman mati melangkahi wewenang Yang Maha Kuasa dan jelas bertolak belakang dengan sila pertama dan kedua Pancasila. Hukuman mati juga bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM PBB 1948. Sebab jika dilihat dari perspektif HAM, hukuman mati sangat bertentangan secara substansial dengan prinsip-prinsip HAM.

Pasal 3 Deklarasi Universal HAM PBB 1948 menyebutkan, tiap orang berhak hidup, berhak atas kebebasan dan keamanan diri pribadi. Sedangkan Pasal 5 menjelaskan, tidak seorang pun boleh dikenai perlakuan atau pidana yang menganiaya atau kejam, yang tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat.

Hukuman mati juga tidak sesuai dengan Pasal 6 Kovenan PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966, yang telah diratifikasi menjadi undang-undang oleh pemerintah dan DPR September 2005. Pasal tersebut, antara lain, menyebutkan setiap orang mempunyai hak alami untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Siapa pun tidak boleh dengan sewenang-wenang dicabut nyawanya. Perlu diingat, tidak seorang pun yang luput dari kesalahan. Kepada setiap orang yang berbuat kesalahan perlu diberikan kesempatan untuk bertobat. Mungkin caranya dengan tidak menghukum mati, tapi dengan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.

Kalau terjadi kesalahan dalam putusan pengadilan tidak tertutup kemungkinan dikoreksi. Si terhukum tidak dihukum mati, namun dipenjara seumur hidup. Tapi, kalau sudah dihukum mati dan ternyata terdapat kesalahan pada putusan pengadilan maka koreksi dan rehabilitasi akan menjadi sia-sia. Kita hendaknya mencabut hak untuk menghukum mati manusia. Untuk menghilangkan tindakan yang tidak manusiawi tersebut maka hukuman mati hendaknya diganti menjadi hukuman penjara seumur hidup.

Penulis adalah staf di Center for Strategic and International Studies

Jakarta
6 Nopember 2007,HAM, Suara Pembaruan

http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=1088


0 komentar:

Posting Komentar