Senin, 05 November 2007

Hukuman Mati Tetap Berlaku, MK Meminta Eksekusi Bisa Segera Dilaksanakan

Jakarta, Kompas - Hukuman mati masih tetap berlaku di Indonesia. Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan, hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pencantuman pidana mati dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat.

Putusan itu dibacakan pada sidang MK, Selasa (30/10) di Jakarta. Sidang pembacaan putusan itu berlangsung 4,5 jam.

Permohonan pengujian pasal hukuman mati dalam UU Narkotika diajukan dua warga negara Indonesia, Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia, serta tiga warga negara Australia, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Anthony Rush. Warga Australia itu, yang termasuk kelompok Bali Nine, tertangkap dan dihukum mati karena menyelundupkan heroin.

Sidang dihadiri kuasa hukum pemohon, antara lain Denny Kailimang dan Todung Mulya Lubis, sejumlah pejabat, serta Ketua Badan Narkotika Nasional I Made Mangku Pastika.

Putusan MK dalam perkara ini terbelah dua. Enam hakim konstitusi menilai hukuman mati tetap berlaku, sedangkan tiga hakim lainnya, yakni Laica Marzuki, Achmad Roestandi, dan Maruarar Siahaan, mengabulkan permohonan agar pasal hukuman mati itu dicabut.

Dalam putusannya, MK mempersoalkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon sebagai warga negara asing dan substansi hukuman mati. Mayoritas hakim konstitusi menilai warga negara asing tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian atas UU terhadap UUD.

Namun, tiga hakim konstitusi, yakni Harjono, Maruarar, dan Laica, berpendapat warga negara asing berhak mengajukan pengujian UU di Indonesia. Ini berlandaskan pada frasa "setiap orang berhak..." yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945. Seharusnya tak ada pembedaan antara hak asasi warga negara Indonesia dan warga negara asing.

Maruarar juga mencantumkan praktik di negara lain yang memperbolehkan warga negara asing memperoleh perlindungan hak asasi yang dilanggar UU negara yang menerimanya. Misalnya, gugatan Asakura (warga negara Jepang pemilik rumah gadai di Seattle, Amerika Serikat). Ia menguji peraturan kota Seattle, yang melarang orang asing berusaha di bidang pegadaian. Kasus lainnya adalah Cabell versus Chavez-Salido, Salim Ahmed Hamdan versus Donald H Rumsfeld (Sekretaris Pertahanan), dan Konstitusi Dominika tahun 1978.

Tentang pokok perkara, enam hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Jimly Asshiddiqie selaku ketua majelis hakim, menyatakan, penjatuhan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, hakim tidak boleh sewenang-wenang menjatuhkan hukuman mati karena harus sesuai dengan ketentuan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Jimly pun menjelaskan, pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan, perumusan, penerapan, dan pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus benar-benar memerhatikan bahwa hukuman mati bukan merupakan pidana pokok. Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh.

MK meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah Bambang Winahyo menyambut baik putusan MK yang melegalkan hukuman mati. Hal itu diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan eksekusi terpidana mati.
Di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kini terdapat 54 terpidana mati, termasuk terpidana kasus peledakan bom di Bali tahun 2003. (VIN/HAN/MDN)


0 komentar:

Posting Komentar