Minggu, 11 November 2007

Konsisten Melaksanakan Hukuman Mati

Suara Pembaruan

Oleh : Binsar Gultom

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945) maka pemberlakuan vonis pidana mati di Indonesia telah bersifat mengikat dan final.

Namun, sekalipun undang-undang menentukan adanya pidana mati bukan berarti hakim seenaknya menjatuhkan ancaman maksimal pidana mati kepada terdakwa. Hakim harus melihat secara cermat dan hati-hati fakta hukum yang terungkap di persidangan, siapa otak intelektualnya, apakah ia hanya turut membantu atau yang disuruh melakukan kejahatan tersebut.

Jika putusan hakim tingkat pertama masih dirasa kurang adil masih bisa diperbaiki oleh hakim tingkat banding, hakim kasasi, dan hakim peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Ingat, sekali hakim salah menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang terdakwa, yang sebenarnya vonis itu tidak pantas dijatuhkan kepadanya, dosa hakim yang memvonis hukuman mati tersebut tidak akan terampuni oleh Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Adil, sebab putusan hakim di sini menyangkut pencabutan "nyawa manusia" ciptaan Tuhan.

Yang menarik untuk dikaji dalam putusan MK tersebut adalah pertimbangan hukumnya menyatakan: "Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun, apabila terpidana tersebut berkelakuan baik dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup". Pertanyaannya, siapa yang berwenang mengubahnya, pengadilan atau pemerintah? Apa saja kriteria berkelakuan baik (perbuatan terpuji) itu? Apakah justru hal ini tidak memunculkan adanya aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada instansi terkait?

Manfaat ditangguhkannya pelaksanaan eksekusi pidana mati hingga 10 tahun dapat saja diterima, jika ternyata terungkap fakta baru atau novum, bahwa bukan terdakwa tersebut yang menjadi otak kejahatan dimaksud. Justru hal ini dapat dijadikan alasan pengajuan grasi kedua kepada presiden sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Soal apakah akan terjadi perubahan hukuman terhadap terpidana mati menjadi hukuman seumur hidup bergantung pada hasil proses persidangan di pengadilan, bukan berdasarkan kriteria berkelakuan baik. Sebab yang berwenang mengeluarkan surat keterangan berkelakuan baik adalah Kepolisian RI. Terpidana mati rasanya sulit dikualifikasi mempunyai kelakuan baik, karena apabila dia berkelakuan baik tidak mungkin divonis pidana mati.

Persoalannya lagi, jika pemerintah yang mengubah pidana mati menjadi seumur hidup, apakah justru hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Sebab menurut ketentuan tersebut, yang berwenang mengubah vonis pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap hanyalah presiden lewat permohonan grasi, yaitu pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana. Juga apakah hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi yang secara eksplisit mengatur waktu "pelaksanaan eksekusi vonis pidana mati, yaitu 30 hari terhitung sejak penolakan grasi presiden".

Yang jelas, menurut Pasal 2 ayat 3 huruf a UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi: terpidana yang pernah ditolak grasinya dan telah lewat dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut dapat mengajukan grasi kembali. Artinya, terhadap terpidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap masih dapat ditangguhkan eksekusinya, dengan syarat: permohonan grasi terpidana mati baru sekali diajukan dan ditolak oleh presiden. Kemudian, permohonan grasi kedua harus diajukan setelah lewat dua tahun.

Sedangkan jika permohonan grasi yang kedua telah diajukan terpidana mati dan ditolak oleh presiden maka eksekusi tidak dapat lagi ditangguhkan, artinya dia harus segera di eksekusi. Kata segera di sini sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi, yaitu 30 hari terhitung sejak penolakan grasi presiden".

Tak Konsekuen

Persoalannya, dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati pemerintah tak konsekuen. Dalam praktik selama ini, pemerintah masih tetap menggunakan UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi, sekalipun Pasal 16 UU No. 22 Tahun 2002 telah menyatakan secara eksplisit bahwa "pada saat UU Grasi No. 22 Tahun 2002 berlaku maka UU No. 3 Tahun 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Mengapa masih diberlakukan UU No. 3 Tahun 1950 tersebut? Karena Pasal 2 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1950 secara eksplisit masih mengatur waktu "pelaksanaan eksekusi vonis pidana mati, yaitu 30 hari terhitung sejak penolakan grasi presiden". Sedangkan UU No. 22 Tahun 2002 tidak mengatur sama sekali tenggang waktu pelaksanaan eksekusi mati. Di sini kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusi mati menjadi tidak tegas, yang berakibat memberikan ruang gerak kepada terpidana mati/keluarga/kuasa hukumnya untuk mengajukan grasi beberapa kali, yang sebenarnya tak perlu terjadi lagi.

Jika ada yang masih berupaya mengulur-ulur waktu pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana yang tidak mungkin lagi diajukan grasi kedua, artinya putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht van gewijsde), hingga membuat terpidana mati tersiksa, teraniaya sampai akhirnya meninggal dunia sebelum eksekusi dijalankan, maka sikap seperti itu dapat dikualifikasi melakukan pelanggaran HAM berat.

Penjelasan Pasal 9 huruf f UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan: "dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental terhadap seorang tahanan atau yang berada di bawah pengawasan, dipidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun.

Penulis adalah Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Hakim HAM pada Pengadilan HAM Adhoc Jakarta, serta mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan.

http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=artikel&id=1090


0 komentar:

Posting Komentar