Kamis, 08 November 2007

Hukuman Mati dan HAM

Oleh Frans Liemena, SH, MH

Hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra sejak dahulu hingga kini. Hari Senin 30 Oktober 2007 Mahkamah Konstitusi memutuskan, hukuman mati bagi pengedar narkoba idak bertentangan dengan UUD 1945. Berbagai kasus yang dijatuhi hukuman mati dan telah dilaksanakan seperti kasus Tibo cs dan lain-lain telah mengusik lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) internasional - Amnesty International - di London yang pada prinsipnya menolak hukuman mati dan meminta pemerintah Indonesia untuk membatalkan hukuman mati yang grasinya ditolak Presiden.

Bagi yang kontra didasarkan pada alasan atau menyangkut HAM, salah satunya ialah hak manusia untuk hidup. Selain alasan tersebut juga dirasakan oleh pendapat umum, bahwa hukuman mati tidak dapat diperbaiki lagi apabila dikemudian hari terbukti bahwa putusan hakim keliru atau terjadi peradilan yang sesat. Sebaliknya bagi yang pro hukuman mati dengan argumen, bahwa patutlah terpidana dieksekusi mati karena perbuatannya.

HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia karena martabatnya, dan bukan karena pemberian dari negara atau masyarakat. Dalam hak-hak tersebut terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu ciri dari negara hukum.

HAM juga merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis, kultural dan ideologis yang akan melindasnya kalau tidak dibendung.

Hukuman mati dilakukan terhadap pelanggaran norma hukum yang mengancam suatu perbuatan sehingga harus dihukum demikian. Secara normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain. Sehingga menurut penguasa adalah pantas orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman mati dengan ini, maka kita berbicara tentang filsafat negara oleh karena orang yang bersangkutan melakukan perbuatan di luar batas atau pun bertentangan dengan kebijaksanaan negara sebagai penguasa.

Indonesia masih diterapkan dan diberlakukan hukuman mati, padahal konstitusi mengakui, bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan (maachtstaat) belaka. Secara umum tujuan pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia adalah bukan sebagai sarana balas dendam melainkan untuk memberi pelajaran bagi terpidana agar apabila terpidana selesai menjalani hukuman, diharapkan menjadi anggota masyarakat yang baik, bahkan bisa menjadi pola anutan bagi masyarakat sekitarnya (general deterrence - general preventie).

Pro dan Kontra
Jauh sebelum adanya pendapat-pendapat sekarang yang pro hukuman mati, maka C Lombroso dan Garofalo adalah dua figur pendukung hukuman mati. Keduanya berpendapat, bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki, lagi (Andi Hamzah dan Sumangelipu : 27).

Sekalipun ada yang tidak sependapat tentang diberlakukan hukuman mati dengan alasan, bahwa hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Perlu dipertanyakan juga tentang apakah hak asasi manusia itu? Secara normatif sebagaimana tersurat dalam pasal 1 UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa: "Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia". "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara".

Dengan demikian, maka tidak ditemukan ketentuan, bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM karena terpidana mati juga harus mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar HAM orang lain dalam tertib kehidupan ber-masyarakat, berbangsa dan bernegara apabila tidak demikian mana mungkin hak asasi manusia dapat ditegakkan. Dengan perbuatan-perbuatan seperti tersebut diatas (terorisme dan kejahatan narkoba) justeru pelakunya telah melanggar HAM orang lain.

Ada pendapat bahwa hukuman mati tidak layak dilaksanakan dengan alasan, bahwa tujuan pemidanaan tidak tercapai, dan sifatnya mutlak artinya tidak dapat ditarik kembali (Beccaria:1864). Itulah sebabnya Jaksa Agung (Abdurahman Saleh, waktu itu) berposisi dilematis sebelum mengeksekusi Tibo cs. Pendapat yang menolak hukuman mati juga beralasan untuk menghindari terjadinya peradilan yang sesat (vide Hermann Mostar). Alasan yang umum dari penentang hukuman mati ialah hukuman mati bertentangan dengan Pancasila, HAM, etika dan moral.

Kesimpulan
Hukuman mati secara subtansial bertentangan dengan hak asasi manusia, sebaliknya terpidana mati juga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Berdasarkan kejadian akhir-akhir ini, maka hukuman mati masih dapat dan harus diberlakukan di Indonesia tetapi khusus diterapkan pada kejahatan-kejahatan yang berhubungan dengan terorisme dan pengedaran narkoba secara terorganisasi serta korupsi. Sedangkan kejahatan-kejahatan lainnya cukup diterapkan hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara.

Kalaupun ada yang menentang hukuman mati, maka jalan tengahnya ialah pidana berupa tindakan yang dapat membuat terpidana tidak berdaya secara permanen (poena proxima morti) yaitu pidana yang berada paling dekat dengan pidana mati, tetapi apakah ini tidak bertentangan dengan HAM?

Penulis adalah Hakim di Pengadilan Negeri Manado


0 komentar:

Posting Komentar