PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Senin, 12 Desember 2011

Moratorium Remisi Koruptor dan Teroris

Diterbitkan November 7, 2011 Oleh Romli Atmasasmita Dua kejahatan di antara enam jenis kejahatan yang merupakan ancaman dunia abad 21 adalah korupsi dan terorisme (laporan panel PBB 2004). Dua jenis kejahatan ini dalam sistem hukum pidana Indonesia termasuk lex specialis sehingga semua tata cara yang umum berlaku dalam KUHAP dapat dikesampingkan untuk mempermudah proses pembuktian sejak penyidikan sampai persidangan. Dua undang-undang khusus untuk pemberantasan korupsi dan terorisme diterapkan sejak tahun 2002 dan telah memberi kontribusi pada keamanan, ketertiban, dan kesinambungan NKRI. Apresiasi rakyat atas keberhasilan penegakan hukum berdasarkan dua undang-undang tersebut sangat tinggi, begitu pun masyarakat internasional. Masalahnya, mengapa kedua UU tersebut kini dikoreksi kembali? Perubahan UU Antikorupsi tahun 1999/2001 merupakan konsekuensi logis ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003, dan perubahan UU Antiterorisme Tahun 2003 karena tidak dapat menjangkau niat dan perencanaan untuk melakukan terorisme atau UU ini hanya bersifat reactive law enforcement tidak proaktif apalagi preemptive law enforcement. Persepsi Publik Di tengah-tengah pemerintah menyiapkan perubahan UU Antikorupsi, muncul wacana moratorium remisi terhadap narapidana kasus korupsi dan terorisme. Alasannya, untuk menambah vitamin efek jera dan “menjauhkan” pelaku dari masyarakat selama mungkin. Hasil penelitian Imparsial menyatakan tingkat kepuasan publik dalam pemberantasan terorisme mencapai 80% dan sedikit catatan mengenai ekses penegakan hukum oleh Densus 88. Intinya, UU Tahun 2003 telah berhasil memenuhi harapan publik secara luas, sedangkan terhadap penegakan hukum UU Antikorupsi 1999/2001, tingkat kepuasan publik merosot tajam (TI), tapi survei hanya dibatasi pada kepuasan pelayanan publik, terutama terhadap para investor. Barometer keberhasilan pemberantasan korupsi seharusnya tidak hanya pada persepsi publik atau KPK seorang diri, juga pada Polri dan kejaksaan. Namun, dari dua jenis kejahatan luar biasa yang menyentuh kepentingan publik dan negara serta dipublikasi secara luas adalah pemberantasan korupsi, sehingga pemerintah lebih fokus terhadap korupsi dibandingkan terorisme. Contoh, untuk pemberantasan korupsi, secara khusus pemerintah telah menetapkan strategi nasional pemberantasan korupsi (stranas PK), tetapi belum tampak untuk terorisme. Hak-hak warga binaan (dengan latar belakang berbagai kejahatan) telah diatur dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang telah mengadopsi SMR (Standard Minimum Rules for the Treatment for the Prisoners) PBB Tahun 1955. Sampai kini belum ada penelitian menyeluruh tentang kegagalan pemasyarakatan beserta eksesnya kecuali yang terbaca di media nasional. Dengan demikian, menjadi sangat absurd jika tanpa hasil penelitian dilontarkan kebijakan pemerintah perihal moratorium. Sedangkan kebijakan pemerintah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan asas hukum pidana yang diakui universal mengharuskan hukum peralihan yang mengharamkan kerugian, kecuali yang menguntungkan bagi terdakwa/terpidana. Sebab, kebijakan hukum baru akan menjadi tidak adil bagi mereka yang terkena imbasnya setelah kebijakan baru diberlakukan dibandingkan dengan mereka yang telah menikmati haknya dengan kebijakan lama. Konvensi PBB Sisi keadilan dalam keseimbangan hak dan kewajiban warga negara termasuk terpidana merupakan tanggung jawab negara dalam memelihara dan melindungi hak setiap warga negara termasuk tersangka/terdakwa dan terpidana berdasarkan UUD 1945. Kajian hukum oleh Kemenkum HAM atas wacana moratorium remisi dan hak terpidana korupsi dan terorisme patut diapresiasi dan seyogianya mengikutsertakan para ahli kriminologi, ahli hukum, dan ahli psikologi karena masalah terpidana sangat kompleks (John Howard dan Gresham Sykes). Merujuk pada uraian di atas, di tengah-tengah gegap gempita kehidupan masyarakat karena korupsi dan terorisme, diperlukan pemikiran objektif agar tidak ada kebijakan hukum yang keliru yang akan muncul di masa depan dan tidak terpikirkan di masa kini. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 tidak menyentuh terpidana korupsi, tapi hanya meletakkan kewajiban kepada setiap negara peratifikasi untuk berusaha mengembalikan koruptor kepada masyarakat (Pasal 30 Ayat 10). Begitu pula Asean Convention on Counter Terrorism yang diadopsi negara anggota ASEAN termasuk Indonesia pada tanggal 30 Januari 2007 telah mewajibkan negara peratifikasi melaksanakan program rehabilitasi dan reintegrasi sosial untuk mencegah terorisme (Pasal XI). Inti dari kedua konvensi tersebut adalah perikemanusiaan yang adil dan beradab dan kesetaraan kebijakan hukum dengan standar regional dan internasional. (Sumber: Lampung Post, 3 Nopember 2011). Tentang penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Unpad, Bandung http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/romli-atmasasmita/page/3/

Kemerdekaan Terpidana


Oleh Romli Atmasasmita

Penulis sangat prihatin dengan tindakan negara melalui Kementerian Hukum dan HAM yang telah menunda hak terpidana untuk memperoleh remisi dan bebas bersyarat yang notabene didasarkan pada ketentuan undang-undang.

Sebuah instruksi Menteri Hukum dan HAM dapat menegasikan perintah undang-undang hanya karena aspirasi publik dan tidak jelas pula publik yang mana yang diakomodasi Menteri Hukum dan HAM.Dua orang di antaranya adalah Paskah Suzetta dan Hafiid,dua orang tokoh partai politik dan mantan pejabat negara.Bukan mustahil kebijakan lisan tersebut berlaku bagi narapidana lainnya (korupsi,terorisme dan narkotika).

Semua warga negara harus diperlakukan sama di hadapan hukum.Konsekuensi persamaan di muka hukum juga telah dialami oleh kedua mantan pejabat tersebut sejak dalam proses penyidikan sampai pada persidangan yang terbuka dan dibuka untuk umum.Namun ketika kedua orang ini telah menjadi terpidana maka prinsip persamaan di muka hukum bagi setiap narapidana tetap harus diberlakukan dan tidak diperbolehkan ada diskriminasi perlakuan kecuali mereka melakukan pelanggaran disiplin dan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan.

Kita tidak dapat menutup mata ada penyimpangan pemberian remisi dan bebas bersyarat terhadap terpidana bukan hanya korupsi dan terorisme melainkan juga pada kasus lainnya.Namun tindakan reaktif dalam bentuk penundaan pemberian hak remisi dan bebas bersyarat merupakan tindakan sewenang-wenang dari negara terhadap hak universal narapidana yang juga dijamin dalam UUD 1945 (Pasal 28 D ayat 1).

Bahkan dapat digolongkan sebagai bentuk pelanggaran HAM terpidana. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Pasal 30 ayat (10) menegaskan bawa setiap negara peratifikasi wajib(mandatory obligation) melaksanakan reintegrasi terpidana korupsi ke dalam masyarakat.

Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 sama sekali tidak memberikan mandat kepada negara peratifikasi untuk menunda atau meniadakan pemberian remisi atau bebas bersyarat kepada terpidana korupsi.

Karena masyarakat internasional memahami benar standard minimum rules (SMR) internasional tahun 1955 yang berlaku dalam pembinaan narapidana terlepas dari kejahatan yang telah dilakukannya.

Beda Ranah
Korupsi termasuk kejahatan luar biasa dan harus ditangani secara luar biasa baik dalam tingkat penyidikan maupun pada tingkat pemeriksaan di muka pengadilan.

Namun seketika putusan pengadilan telah dijatuhkan dan mengubah status terdakwa menjadi terpidana apalagi setelah memperoleh putusan pengadilan yang tetap maka tidak ada lagi perlakuan perlakuan yang luar biasa terhadap terpidana korupsi atau terorisme.

Karena keberadaan mereka di dalam lembaga pemasyarakatan bukan termasuk ranah penegakan hukum (law enforcement) lagi melainkan ranah pembinaan narapidana (treatment).

Atas dasar pembedaan tersebut maka sejak lama telah diakui perbedaan yang signifikan antara penghukuman (punishment) di satu sisi dan pembinaan narapidana (treatment of prisoners) di sisi lain.

Penerapan asas praduga tak bersalah hanya berlaku terhadap tersangka dan terdakwa, tidak berlaku untuk narapidana yang sedang menjalani hukumannya.

Kebijakan penundaan remisi dan bebas bersyarat bagi narapidana tertentu (korupsi, terorisme dan narkotika) dan tidak terhadap narapidana lain jelas bersifat diskriminatif.

Perlakuan itu hanya dibenarkan berdasarkan undang undang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 dan tidak boleh hanya didasarkan atas peraturan pemerintah apalagi peraturan menteri terlebih lagi hanya surat edaran dirjen.

Kebijakan tersebut hanya dibenarkan jika didasarkan pada UU perubahan terhadap UU pemasyarakatan tahun 1995.

Peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang menetapkan perbedaan perlakuan atas hak hak narapidana adalah cacat hukum dan karenanya batal demi hukum.

Segala konsekuensi dari akibat batal demi hukum dimaksud maka negara wajib membayar kompensasi atau ganti rugi terhadap narapidana yang telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya berdasarkan UUD 1945.

Dalam konteks kebijakan pemerintah yang keliru dan bertentangan dengan hak-hak konstitusional UUD 1945 maka Komnas HAM seharusnya turun tangan melakukan penyelidikan sesuai dengan UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Komnas HAM tidak dapat berdalih dan hanya berhenti dan tidak bertindak di balik pembedaan antara derogable rights dan nonderogable rights semata-mata melainkan seharusnya merujuk juga pada ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 yang hanya membenarkan pembatasan hak asasi dimaksud berdasarkan UU bukan bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam kasus penundaan pemberian remisi dan bebas bersyarat baru-baru ini justru terdapat keganjilan.

Ada sebagian narapidana yang telah menikmati dikeluarkannya SK Menteri Hukum dan HAM tentang Pembebasan Bersyarat terhadap mereka, dan ada yang belum menikmatinya sekalipun SK tersebut telah dieksekusi secara administratif oleh kepala rutan setempat.

Dalam konteks itu tampak bahwa di mata pemerintah narapidana bukan dipandang sebagai subjek hukum yang wajib diakui dan dihormati hak-hak asasinya.Narapidana telah dijadikan objek perlakuan oleh sebuah kekuasaan yang bersifat otoritarian atas nama kepentingan aspirasi publik semata-mata dengan menabrak dasar perundang undangan dan UUD yang berlaku.

Kita semua, termasuk penulis, tentu sepakat untuk memberantas korupsi sampai tuntas dan ke akar-akarnya. Akan tetapi semangat dan komitmen tersebut bukan semangat dan komitmen yang membabi-buta. Semangat itu harus dijalankan sesuai dengan dasar perundang undangan yang berlaku dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional berbangsa dan bernegara. (Sumber: Seputar Indonesia, 3 Nopember 2011)Tentang penulis:Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad).

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/romli-atmasasmita/page/2/

Rabu, 24 Agustus 2011

Rantai Remisi Koruptor

Di sela-sela perayaan HUT RI di KPK, Rabu (17/8), Ketua KPK Busyro Muqoddas, mengkritik kebijakan Kementerian Hukum dan HAM yang memberi remisi bagi terpidana pelaku korupsi pada hari kemerdekaan RI. Menurut Busyro, penghapusan remisi terhadap napi koruptor dapat menekan potensi tindak pidana korupsi.

“Sejak dahulu, saya berpendapat remisi terhadap koruptor ditinjau kembali. Ini perlu dilakukan segera, mudah-mudahan ini bias cepat ditindaklanjuti dengan revisi undangundang terkait,” tutur Busyro.

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Topik usang, namun menjadi mencengangkan, karena diucapkan oleh seorang BusyroMuqoddas yang kita anggap mengerti hukum. Dasar utama pemberian remisi sekarang ini adalah Pasal 14 Ayat (1) Butir i, yang berbunyi, “Narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).” Selanjutnya,Pasal 14 Ayat (2) berbunyi, “Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan remisi diatur dengan peraturan pemerintah.” Remisi kemudian diatur dengan PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Dengan dasar hukum tersebut, persoalannya bukan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM, tetapi remisi semata-mata melaksanakan amanat UU. Ini yang pertama. Kedua, Ketua KPK tidak membedakan rantai proses pidana. Dia seakan-akan lupa, proses pengadilan (dakwaan, pembuktian, penuntutan, putusan hukuman), sungguh suatu rantai yang berbeda dengan pelaksanaan hukuman.

Sudah barang tentu kita mendukung jika hukuman koruptor diperberat, dan upaya pengembalian kerugian negara benar-benar dioptimalkan. Tetapi, hendaknya hal itu dilakukan pada mata rantai proses pidana, bukan di rantai pelaksanaan pidana.

Mencampuradukkan keduanya (antara proses pidana dan pelaksanaan hukuman), sama dengan menginjak-injak konstitusi. Sebetulnya, hal mendesak memberantas korupsi adalah penerapan asas pembuktian terbalik.

Ditolak MK

Masalah pemberian remisi (UU 12/1995) sudah pernah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui putusan No 022/PUU-III/2005 (tertanggal 1 Maret 2006), MK menolak gugatan. Keberatan diajukan oleh Bahrul Ilmi Yakup SH dan Dhabi K Gumayra SH, keduanya berdomisili di Palembang.

Menteri Hukum dan HAM pada masa itu, secara lisan dan tertulis memberi kesaksian kepada MK. Menurut Menteri, pemberian remisi adalah sesuai dengan UUD 1945, juga Pasal 14 dan 15 KUH Pidana. Pada masa Hindia Belanda, dasar hukum pertama pemberian remisi adalah Gouvernementsbesluit, tanggal 10 Agustus 1935 tentang Remissieregeling.

Menteri Hukum membuat perbandingan remisi di Indonesia dengan sejumlah negara. Kanada, misalnya, berdasarkan Queen’s Printer 1988 dan Prisons and Reformatories Act 1988, memberikan secara otomatis pengurangan masa pidana sebanyak satu pertiga dari masa pidana. Di Indonesia, total remisi tak lebih 20 persen. Di Amerika Serikat, pengurangan otomatis setengah hukuman. Afrika Selatan, malah mempertimbangkan aspek overcrowding (kelebihan muat) dan kurangnya anggaran Lembaga Pemasyarakatan (LP). Departemen Pelayanan Pemasyarakatan di sana, telah beberapa kali memberikan remisi khusus (special remission) dalam kurun waktu 30 Maret 1990 dan 30 Juni 1994, kepada 94.128 narapidana. Padahal, Afrika Selatan, juga seperti Kanada, menganut pengurangan hukuman sepertiga hukuman secara otomatis.

Singapura, sama dengan Kanada, pengurangan sepertiga hukuman (secara otomatis). Thailand, remisi diberikan kepada narapidana dengan klasifikasi berkelakuan baik, sangat baik dan terbaik (good, very good and excellent class). Pada klasifikasi baik, narapidana akan mendapatkan pengurangan pidana tiga hari untuk setiap bulan. Klasifikasi sangat baik akan mendapatkan empat hari tiap bulan, dan pada klasifikasi terbaik narapidana akan mendapatkan lima hari tiap bulan. Apabila seorang narapidana di Thailand ditugaskan untuk bekerja di luar selama satu hari, masa pidana mereka juga akan dikurangi sebesar satu hari, ditambahkan dengan remisi bulanannya.

Saksi ahli yang dihadirkan di MK, Prof Dr Andi Hamzah SH, memberi pencerahan atas masalah ini. Andi Hamzah, memberi batas yang jelas antara “batas wewenang peradilan pidana” dan “pelaksanaan hukuman”.
Hamzah mengutip pakar hukum pidana, JM Van Bemmelen yang mengemukakan, acara pidana terdiri atas tujuh tahap: (1) Mencari kebenaran; (2) Mencari pelaku tindak pidana; (3) Menangkap pelaku dan kalau perlu menahannya; (4) Mengumpulkan bukti untuk diajukan ke pengadilan; (5) Pengambilan putusan oleh hakim; (6) Upaya hokum melawan putusan hakim (bandingkasasi); dan (7) Pelaksanaan putusan hakim (eksekusi).

Begitu jaksa mengeksekusi putusan hakim, berakhirlah proses acara pidana. Selanjutnya, pembinaan narapidana berada di dalam wilayah pemerintah (eksekutif), yang dilaksanakan oleh LP, di bawah naungan Kementerian Hukum dan HAM.

Dengan pernyataan Ketua KPK Busyro Muqoddas, agar remisi dihilangkan, penulis menjadi tidak mengerti, dalam konteks mana dia bicara? Soal berat hukuman, adalah wewenang pengadilan (jaksa dan hakim). Khusus di KPK, malah mulai dari penyidik. Jaksa dan hakim adalah satu “tim terpadu” yang tak mungkin gagal. Jika narapidana “alumnus” KPK cepat bebas, tentu bukan karena memperoleh remisi, tetapi karena hukuman di Pengadilan Tipikor yang mungkin tak sesuai harapan rakyat.

Lama Pidana

Kemudian soal lama pidana. Ada asumsi sebagian orang, semakin lama hukuman suatu tindak pidana, akan semakin menimbulkan efek jera. Dalam kesaksian di MK, Andi Hamzah juga mengatakan, sesudah Perang Dunia II, para pakar hukum pidana dan hukum acara pidana di Eropa berpendapat, pidana penjara tidak mencapai maksudnya, yaitu untuk mengurangi kejahatan di masyarakat.

Hukuman ringan (enam bulan ke bawah), lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya (too short for rehabilitation and too long for corruption). Maka perlu dicari alternative lain, seperti pidana kerja sosial (community
service order), denda harian (day fine), yaitu denda yang dibayar terpidana sebagai pengganti pidana penjara enam bulan ke bawah.

Masa pidana yang lama, ternyata tak juga membuat efek jera. Hukuman untuk pengedar narkoba di Indonesia sekarang ini sudah demikian berat, banyak yang sampai hukuman mati. Namun kenyataannya, peredaran narkoba bukannya berkurang, malah bertambah. Para pakar pun sudah sepakat, hukuman dengan jangka waktu yang lama, tak memberi efek jera.

“Kesadaran Palsu”

Kini publik seakan-akan dihinggapi “kesadaran palsu,” seakan-akan mengoptimalkan pemberantasan korupsi hanya dengan menghilangkan remisi koruptor. Padahal, remisi hanya sebagian kecil dari rantai proses memasukkan koruptor ke penjara. Publik seakan- akan lupa, hal utama memberantas korupsi adalah pemerintahan yang bersih, transparansi, dan penerapan asas pembuktian terbalik.
Jika remisi bagi para koruptor dihilangkan, namun kualitas birokrasi kita tak juga berubah, apakah praktik korupsi akan berkurang? Tentu tidak.

Lalu, publik sepertinya tak juga menyadari, sekarang ini pemberian remisi pelaku tindak pidana korupsi sebetulnya sudah sangat ketat. Hanya boleh mendapat remisi apabila sudah menjalani sepertiga hukuman. Ini diatur dalam PP 28/2006 (yang merupakan perubahan atas PP 32/1999, khususnya Pasal 34).

Meski PP ini sudah berusia lima tahun, kenyataannya tidak memperbaiki peringkat Indonesia sebagai negara terkorup. Indonesia tetap bertengger di kelompok terbawah. Apanya yang salah? Barangkali, pokok masalah adalah keseriusan para penegak hukum, jangan tebang pilih, jangan hanya mencari nama, jangan hanya membentuk citra, dan satu lagi, penerapan asas pembuktian terbalik!

SIHOL MANULANG
PENULIS ADALAH WARTAWAN

http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2011/08/24/index.html



Senin, 25 April 2011

Hari-hari Napi Nusakambangan

Mengapa kau abaikan rasa
Hatimu telah membeku
Tak mempedulikan aku


SUARA Wimpi yang merdu mengalun sendu bersama petikan gitar yang dimainkannya sore itu di depan teman-temannya sesama penghuni Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan. Wimpi menciptakan lagu tersebut persis ketika dia dipindah di Nusakambangan.

“Ketika saya dipindah ke sini maituwa (pacar) tidak mempedulikan. Jadi, tercipta lagu ini. Sedih ya,” ucapnya malu-malu.

Wimpi tidak sendirian. Para narapidana lain merasakan hal yang sama, tidak dipedulikan pasangan ketika harus menjalani hukuman di Nusakambangan. Beberapa di antaranya bahkan diceraikan pasangan.

“Aku tak pernah ditengok keluargaku. Bahkan kemarin aku terima surat yang mengabarkan aku sudah diceraikan,” ucap seorang napi kasus pembunuhan yang menjalani hukuman 20 tahun.

Karena itu aktivitas di luar sel menjadi saat yang membahagiakan bagi para napi. “Kami bisa berolah raga, main musik, maupun beternak. Suka-suka kita mana yang akan kita pilih untuk mengisi waktu. Karena saat yang paling berat adalah malam hari. Jika siang tak ada kegiatan. Malam tak bisa tidur dan itu sangat menyiksa,” tutur Andi yang tubuhnya penuh tato.

Ketika menengok sel nomor 1 LP Batu, seorang warga negara Nigeria bernama Nick tengah asyik membaca buku. “Ini kesibukanku. Membaca buku dan olah raga. Tak ada kegiatan lain. Karena keluargaku tak bisa menengok ke sini. Prosedurnya sangat sulit. Berbeda dengan mereka, napi pribumi,” keluh Nick, terpidana mati kasus narkotika.

Tak sedikit napi yang hilang akal. Mereka bagai patung dengan pandangan kosong tak bersuara meski disapa.

“Dia membunuh tiga orang, dipenjara, diceraikan, dan tidak dipedulikan keluarganya. Padahal, hukuman mati tengah menanti,” kata seorang napi sambil menunjuk temannya yang membeku di depannya.

Tak ada psikolog atau psikater yang membantu para napi stres ini. Mereka didiamkan hingga masa hukuman mati dijalankan.

“Pendampingan psikolog dan psikater baru akan dilakukan mendekati pelaksanaan hukuman mati. Itu memang prosedur kami. Dan sebenarnya aktivitas rohani bisa mereka jalani untuk mengurangi stres,” ujar Hari, penjaga LP Narkotika.

Di masjid satu-satunya milik LP Narkotika yang berada di tengah taman terlihat 15 orang khusuk mendengarkan khotbah seorang napi yang dianggap ustad di LP tersebut. Selebihnya memilih berolah raga di lapangan samping masjid. “Tak ada paksaan dalam beraktivitas. Jadi, itu tergantung mereka,” kata Hari.

Pukul 3 sore, saat makan bagi para napi. Sebuah gerobak berwarna cokelat yang telah kusam didorong dua napi berseragam biru. Terlihat beberapa lalat hinggap di atas nasi yang ditaruh dalam tempat plastik yang sudah rusak. Nasi berwarna kusam, sup daun kol, tumis tempe, dan kacang hijau menjadi menu mereka sore itu.

Ada ransum di tempat yang lebih bersih dan lebih besar. “Ini untuk satu sel. Jadi, tempatnya berbeda. Lebih besar. Kalau yang kecil sudah ada nasinya untuk satu orang,” papar Rahmad, napi yang menjadi juru masak di LP Narkotika.

Rahmad menerangkan ada 8 teman lain yang membantunya memasak tiap hari. Jam mengantar makanan juga diatur, yakni pukul 7 untuk makan pagi, pukul 12 untuk makan siang, dan pukul 3 untuk makan sore.

“Sehari anggaran kami hanya 8 ribu rupiah untuk satu orang. Jadi, ya pintar-pintar kita memenuhi gizinya. Meski itu tidak mungkin. Ada jadwal makan daging seminggu sekali, meski dagingnya seujung kuku,” ujar Marwan Adli, Kepala LP Narkotika.

Menu tetap mereka selain tumis tempe adalah ikan asin. Ikan asin mudah dan murah didapat, sehingga menjadi andalan juru masak LP. Prosedur memasak di tiap LP diserahkan juru masak masing-masing, dengan bahan makanan sama yang telah disediakan pegawai. Lihat saja sore itu menu di LP Narkotika tempe ditumis, sedangkan di LP Batu tempe digoreng.

Makanan Tambahan
Makanan yang dijatah serta menu yang minimalis membuat beberapa napi berupaya mendapatkan uang untuk membeli makanan tambahan yang bisa didapat di koperasi tiap-tiap LP. Beruntunglah mereka yang berduit, karena aturan yang tertulis dan tertempel di beberapa ruangan menyatakan pegawai hanya menerima uang tunai untuk pembelian barang di koperasi.

Itulah yang menyebabkan beberapa napi membuat kerajinan batu cincin dan kapal dari kayu yang dijual kepada pengunjung. “Kami menitipkan barang kami pada teman yang sudah berada di LP Terbuka. Mereka memiliki kesempatan untuk menjual barang kami. Meski dibayar murah oleh mereka, tetap saja itu berarti, karena bisa menambah uang untuk membeli makanan tambahan,” tutur Rudi yang biasa menjual mobil-mobilan dari kayu seharga Rp 5 ribu.

Ada saatnya para napi ini menyantap makanan rumah. Hal itu terjadi jika teman satu sel mendapat kunjungan dari keluarga. Namun itu belum tentu setahun sekali. Jauhnya lokasi dan besarnya biaya menyebabkan para napi jarang mendapat kunjungan kerabat.

“Saya hampir bebas bulan Maret nanti, dengan masa hukuman 15 tahun. Namun hanya tiga kali anak saya menengok. Setelah itu saya larang dia datang, karena kedatangannya justru membuat saya remuk redam,” ujar Markus, penghuni LP Terbuka.

Komunikasi lewat surat menjadi andalan para napi yang berasal dari luar Jawa. Rizal yang berasal dari Aceh mengaku sudah tiga kali menerima surat dari kerabatnya sejak dia dipindah ke Nusakambangan setahun lalu. “Sedih melihat teman lain mendapat kunjungan, uang, serta tambahan makanan dari kerabat. Inginnya keluarga datang. Tapi itu jelas tidak mungkin. Jadi, ya dinikmati saja,” ungkap Rizal.

“Saya korban salah tangkap. Sudah separo lebih menjalani hukuman. Tak ada untungnya bersedih, lebih baik bermain musik dan bernyanyi,” ucap Norman, lelaki separo baya yang sudah 10 tahun menjadi penghuni Nusakambangan. (E2)

Foto: VHRmedia / Andhika Puspita Dewi

http://www.vhrmedia.com/Hari-hari-Napi-Nusakambangan-kisah3220.html

Eks Napi Terorisme Dilarang Ceramah di Pengajian

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk merancang peraturan bagi para mantan narapidana kasus terorisme untuk mencegah kemungkinan adanya penyebaran paham serupa.

Seperti dikutip okezone dari laporan International Crisis Group, Rabu (20/4/2011), International Crisis Group mengusulkan sebuah peraturan baru bagi para narapidana kasus terorisme yang bebas bersyarat, untuk tidak berbicara, mengadakan atau menjadi narasumber dalam kegiatan pengajian atau majelis taklim, setidaknya selama masa percobaan bebas. Usulan tersebut ditujukan untuk Menteri Hukum dan HAM.

Selain itu, Menteri Hukum dan HAM juga diminta memperkuat program-program yang saat ini sedang berjalan untuk memperbaiki pelatihan bagi petugas penjara, memantau dan mengawasi tahanan yang dianggap beresiko tinggi, serta merumuskan program-program bagi narapidana yang sudah bebas.

Dalam laporan itu, Menteri Hukum dan HAM juga diminta untuk memprioritaskan program-program yang berupaya untuk mengurangi tingkat korupsi dalam penjara yang begitu tinggi, termasuk lewat inspeksi yang lebih baik, pelatihan yang lebih baik, audit yang lebih baik, dan pengangkatan para sipir yang berdasarkan pada kemampuannya dan bukan karena uang.

(lam)

http://news.okezone.com/read/2011/04/20/339/448011/eks-napi-terorisme-dilarang-ceramah-di-pengajian

"Melarang Eks Napi Terorisme Ceramah Bukan Jalan Keluar"


JAKARTA- Desakan International Crisis Group agar pemerintah merancang peraturan larangan bagi para mantan narapidana kasus terorisme untuk berceramah bukanlah jalan keluar pencegahan kasus terorisme.

“Itu berlebihan, sama saja dengan membuat perpecahan, lagipula itu mengekang hak orang memberikan pendapat, berceramah itu adalah hak asasi orang,” kata Komisioner Subkomisi Mediasi Komnas HAM Syafruddin Ngulma Simeulue, Jumat (22/4/2011).

Namun, Syafrudin mengungkapkan permasalahan ini memang masih {debatable}. Seharusnya diselidiki dulu apa yang membuat adanya terorisme apakah ceramah tersebut memang membuat terorisme tumbuh subur. “Menurut saya tidak perlulah, eks narapidana ceramah dilarang,” katanya.

Seperti diketahui laporan International Crisis Group mengusulkan sebuah peraturan baru bagi para narapidana kasus terorisme yang bebas bersyarat, untuk tidak berbicara, mengadakan atau menjadi narasumber dalam kegiatan pengajian atau majelis taklim, setidaknya selama masa percobaan bebas. Usulan tersebut ditujukan untuk Menteri Hukum dan HAM.

Selain itu, Menteri Hukum dan HAM juga diminta memperkuat program-program yang saat ini sedang berjalan untuk memperbaiki pelatihan bagi petugas penjara, memantau dan mengawasi tahanan yang dianggap beresiko tinggi, serta merumuskan program-program bagi narapidana yang sudah bebas.

(ugo)

http://news.okezone.com/read/2011/04/23/337/449090/melarang-eks-napi-terorisme-ceramah-bukan-jalan-keluar

MUI: Asalkan Tak Menyimpang Eks Napi Boleh Ceramah


JAKARTA - Narapidana kasus terorisme yang bebas bersyarat, diminta tidak diperbolehkan menjadi penceramah di suatu Majelis Taklim. Namun, asalkan materinya tidak mengandung kesesatan yang mengajak masyarakat awam untuk berjihad di jalan yang salah itu boleh saja.

"Asalkan materinya yang standar-standar saja dan itu diperbolehkan asalkan tidak meyimpang untuk mengajak orang ke dalam kesesatan baru itu kita cekal," kata Ketua Bidang Seni dan Budaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Cholil RidwanMajelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Ridwan, Saat dihubungi okezone (22/4/2011).

Menurutnya jihad disesatkan itu sudah tidak benar dan banyaknya penyimpangan makna berjihad saat ini oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam. "Saat ini banyak penyimpangan makna berjihad, kalau ingin benar-benar berjihad pergi aja ke Israel," kata Cholil.

Orang lain yang bukan Narapidana mengajarkan kesesatan di dalam pengajian itu wajib hukumnya dilarang. "Kalau Mubaligh menyampaikan pesan ceramahnya menyimpang, itu baru wajib kita larang," ujar Cholil

Seperti diketahui International Crisis Group mengusulkan sebuah peraturan baru bagi para narapidana kasus terorisme yang bebas bersyarat, untuk tidak berbicara, mengadakan atau menjadi narasumber dalam kegiatan pengajian atau majelis taklim, setidaknya selama masa percobaan bebas. Usulan tersebut ditujukan untuk Menteri Hukum dan HAM.
(ugo)

http://news.okezone.com/read/2011/04/23/337/449091/mui-asalkan-tak-menyimpang-eks-napi-boleh-ceramah

Jumat, 25 Februari 2011

Hukum Membayar Zakat Fitrah Bagi Napi

Ustadz, bagaimana hukum membayar zakat fitrah bagi para napi di penjara? Apakah keluarganya yang membayarkannya? Ustadz, mohon doanya untuk orang tua dan keluarga ana yang jauh dari agama bahkan banyak pelencengannya agar Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada orang tua dan adik-adik ana. Syukran

Ummu Hafizh
Alamat: Cibinong
Email: ummuxxxxxx@ymail.com
Ustadz Musyaffa Ad Darini menjawab:


Pertama: Zakat Fitri adalah kewajiban setiap muslim yang mampu. Maksud dari kata mampu adalah: memiliki kebutuhan makan bagi dirinya dan orang yang wajib dinafkahinya untuk malam dan siang hari raya idul fitri (lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah 4/307).

Napi yang memenuhi syarat ini wajib menunaikan zakat fitrinya, bisa dia sendiri yang membayarnya, bisa juga diwakilkan kepada keluarganya.

Kedua: Untuk sasaran penyerahan, zakat fitri tersebut hendaklah diberikan kepada fakir miskin yang hidup di daerah orang yang menunaikannya. Jika si napi yang menunaikannya, maka diberikan kepada fakir miskin yang hidup di daerah sekitar tempat ia ditahan. Dan jika yang menunaikan diwakilkan ke keluarganya, maka diberikan kepada fakir miskin yang hidup di daerah sekitar tempat keluarganya tinggal (lihat Mulakhas Fiqhi, karya Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan, 1/352).

Semoga Allah memberikan hidayah kepada orang tua, dan keluarga anda, serta seluruh kaum muslimin kepada jalan yang lurus, memperbaiki keadaan mereka, dan mengampuni dosa yang telah diperbuatnya. Juga memberikan kekuatan kepada kita untuk selalu mendakwahkan yang haq dengan ikhlas dan istiqomah, Amin.

Innahu waliyyu dzalik wal qodiru alaih…

Sekian, semoga jelas dan bisa dimengerti, kurang lebihnya mohon maaf, wassalamualaikum warahmatullah…

http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/fiqih-tanya-ustadz/hukum-membayar-zakat-fitrah-bagi-napi/