Diterbitkan November 7, 2011 Oleh Romli Atmasasmita Dua kejahatan di antara enam jenis kejahatan yang merupakan ancaman dunia abad 21 adalah korupsi dan terorisme (laporan panel PBB 2004). Dua jenis kejahatan ini dalam sistem hukum pidana Indonesia termasuk lex specialis sehingga semua tata cara yang umum berlaku dalam KUHAP dapat dikesampingkan untuk mempermudah proses pembuktian sejak penyidikan sampai persidangan. Dua undang-undang khusus untuk pemberantasan korupsi dan terorisme diterapkan sejak tahun 2002 dan telah memberi kontribusi pada keamanan, ketertiban, dan kesinambungan NKRI. Apresiasi rakyat atas keberhasilan penegakan hukum berdasarkan dua undang-undang tersebut sangat tinggi, begitu pun masyarakat internasional. Masalahnya, mengapa kedua UU tersebut kini dikoreksi kembali? Perubahan UU Antikorupsi tahun 1999/2001 merupakan konsekuensi logis ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003, dan perubahan UU Antiterorisme Tahun 2003 karena tidak dapat menjangkau niat dan perencanaan untuk melakukan terorisme atau UU ini hanya bersifat reactive law enforcement tidak proaktif apalagi preemptive law enforcement. Persepsi Publik Di tengah-tengah pemerintah menyiapkan perubahan UU Antikorupsi, muncul wacana moratorium remisi terhadap narapidana kasus korupsi dan terorisme. Alasannya, untuk menambah vitamin efek jera dan “menjauhkan” pelaku dari masyarakat selama mungkin. Hasil penelitian Imparsial menyatakan tingkat kepuasan publik dalam pemberantasan terorisme mencapai 80% dan sedikit catatan mengenai ekses penegakan hukum oleh Densus 88. Intinya, UU Tahun 2003 telah berhasil memenuhi harapan publik secara luas, sedangkan terhadap penegakan hukum UU Antikorupsi 1999/2001, tingkat kepuasan publik merosot tajam (TI), tapi survei hanya dibatasi pada kepuasan pelayanan publik, terutama terhadap para investor. Barometer keberhasilan pemberantasan korupsi seharusnya tidak hanya pada persepsi publik atau KPK seorang diri, juga pada Polri dan kejaksaan. Namun, dari dua jenis kejahatan luar biasa yang menyentuh kepentingan publik dan negara serta dipublikasi secara luas adalah pemberantasan korupsi, sehingga pemerintah lebih fokus terhadap korupsi dibandingkan terorisme. Contoh, untuk pemberantasan korupsi, secara khusus pemerintah telah menetapkan strategi nasional pemberantasan korupsi (stranas PK), tetapi belum tampak untuk terorisme. Hak-hak warga binaan (dengan latar belakang berbagai kejahatan) telah diatur dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang telah mengadopsi SMR (Standard Minimum Rules for the Treatment for the Prisoners) PBB Tahun 1955. Sampai kini belum ada penelitian menyeluruh tentang kegagalan pemasyarakatan beserta eksesnya kecuali yang terbaca di media nasional. Dengan demikian, menjadi sangat absurd jika tanpa hasil penelitian dilontarkan kebijakan pemerintah perihal moratorium. Sedangkan kebijakan pemerintah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan asas hukum pidana yang diakui universal mengharuskan hukum peralihan yang mengharamkan kerugian, kecuali yang menguntungkan bagi terdakwa/terpidana. Sebab, kebijakan hukum baru akan menjadi tidak adil bagi mereka yang terkena imbasnya setelah kebijakan baru diberlakukan dibandingkan dengan mereka yang telah menikmati haknya dengan kebijakan lama. Konvensi PBB Sisi keadilan dalam keseimbangan hak dan kewajiban warga negara termasuk terpidana merupakan tanggung jawab negara dalam memelihara dan melindungi hak setiap warga negara termasuk tersangka/terdakwa dan terpidana berdasarkan UUD 1945. Kajian hukum oleh Kemenkum HAM atas wacana moratorium remisi dan hak terpidana korupsi dan terorisme patut diapresiasi dan seyogianya mengikutsertakan para ahli kriminologi, ahli hukum, dan ahli psikologi karena masalah terpidana sangat kompleks (John Howard dan Gresham Sykes). Merujuk pada uraian di atas, di tengah-tengah gegap gempita kehidupan masyarakat karena korupsi dan terorisme, diperlukan pemikiran objektif agar tidak ada kebijakan hukum yang keliru yang akan muncul di masa depan dan tidak terpikirkan di masa kini. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 tidak menyentuh terpidana korupsi, tapi hanya meletakkan kewajiban kepada setiap negara peratifikasi untuk berusaha mengembalikan koruptor kepada masyarakat (Pasal 30 Ayat 10). Begitu pula Asean Convention on Counter Terrorism yang diadopsi negara anggota ASEAN termasuk Indonesia pada tanggal 30 Januari 2007 telah mewajibkan negara peratifikasi melaksanakan program rehabilitasi dan reintegrasi sosial untuk mencegah terorisme (Pasal XI). Inti dari kedua konvensi tersebut adalah perikemanusiaan yang adil dan beradab dan kesetaraan kebijakan hukum dengan standar regional dan internasional. (Sumber: Lampung Post, 3 Nopember 2011). Tentang penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Unpad, Bandung http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/romli-atmasasmita/page/3/
0 komentar:
Posting Komentar