Rabu, 24 Agustus 2011

Rantai Remisi Koruptor

Di sela-sela perayaan HUT RI di KPK, Rabu (17/8), Ketua KPK Busyro Muqoddas, mengkritik kebijakan Kementerian Hukum dan HAM yang memberi remisi bagi terpidana pelaku korupsi pada hari kemerdekaan RI. Menurut Busyro, penghapusan remisi terhadap napi koruptor dapat menekan potensi tindak pidana korupsi.

“Sejak dahulu, saya berpendapat remisi terhadap koruptor ditinjau kembali. Ini perlu dilakukan segera, mudah-mudahan ini bias cepat ditindaklanjuti dengan revisi undangundang terkait,” tutur Busyro.

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Topik usang, namun menjadi mencengangkan, karena diucapkan oleh seorang BusyroMuqoddas yang kita anggap mengerti hukum. Dasar utama pemberian remisi sekarang ini adalah Pasal 14 Ayat (1) Butir i, yang berbunyi, “Narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).” Selanjutnya,Pasal 14 Ayat (2) berbunyi, “Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan remisi diatur dengan peraturan pemerintah.” Remisi kemudian diatur dengan PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Dengan dasar hukum tersebut, persoalannya bukan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM, tetapi remisi semata-mata melaksanakan amanat UU. Ini yang pertama. Kedua, Ketua KPK tidak membedakan rantai proses pidana. Dia seakan-akan lupa, proses pengadilan (dakwaan, pembuktian, penuntutan, putusan hukuman), sungguh suatu rantai yang berbeda dengan pelaksanaan hukuman.

Sudah barang tentu kita mendukung jika hukuman koruptor diperberat, dan upaya pengembalian kerugian negara benar-benar dioptimalkan. Tetapi, hendaknya hal itu dilakukan pada mata rantai proses pidana, bukan di rantai pelaksanaan pidana.

Mencampuradukkan keduanya (antara proses pidana dan pelaksanaan hukuman), sama dengan menginjak-injak konstitusi. Sebetulnya, hal mendesak memberantas korupsi adalah penerapan asas pembuktian terbalik.

Ditolak MK

Masalah pemberian remisi (UU 12/1995) sudah pernah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui putusan No 022/PUU-III/2005 (tertanggal 1 Maret 2006), MK menolak gugatan. Keberatan diajukan oleh Bahrul Ilmi Yakup SH dan Dhabi K Gumayra SH, keduanya berdomisili di Palembang.

Menteri Hukum dan HAM pada masa itu, secara lisan dan tertulis memberi kesaksian kepada MK. Menurut Menteri, pemberian remisi adalah sesuai dengan UUD 1945, juga Pasal 14 dan 15 KUH Pidana. Pada masa Hindia Belanda, dasar hukum pertama pemberian remisi adalah Gouvernementsbesluit, tanggal 10 Agustus 1935 tentang Remissieregeling.

Menteri Hukum membuat perbandingan remisi di Indonesia dengan sejumlah negara. Kanada, misalnya, berdasarkan Queen’s Printer 1988 dan Prisons and Reformatories Act 1988, memberikan secara otomatis pengurangan masa pidana sebanyak satu pertiga dari masa pidana. Di Indonesia, total remisi tak lebih 20 persen. Di Amerika Serikat, pengurangan otomatis setengah hukuman. Afrika Selatan, malah mempertimbangkan aspek overcrowding (kelebihan muat) dan kurangnya anggaran Lembaga Pemasyarakatan (LP). Departemen Pelayanan Pemasyarakatan di sana, telah beberapa kali memberikan remisi khusus (special remission) dalam kurun waktu 30 Maret 1990 dan 30 Juni 1994, kepada 94.128 narapidana. Padahal, Afrika Selatan, juga seperti Kanada, menganut pengurangan hukuman sepertiga hukuman secara otomatis.

Singapura, sama dengan Kanada, pengurangan sepertiga hukuman (secara otomatis). Thailand, remisi diberikan kepada narapidana dengan klasifikasi berkelakuan baik, sangat baik dan terbaik (good, very good and excellent class). Pada klasifikasi baik, narapidana akan mendapatkan pengurangan pidana tiga hari untuk setiap bulan. Klasifikasi sangat baik akan mendapatkan empat hari tiap bulan, dan pada klasifikasi terbaik narapidana akan mendapatkan lima hari tiap bulan. Apabila seorang narapidana di Thailand ditugaskan untuk bekerja di luar selama satu hari, masa pidana mereka juga akan dikurangi sebesar satu hari, ditambahkan dengan remisi bulanannya.

Saksi ahli yang dihadirkan di MK, Prof Dr Andi Hamzah SH, memberi pencerahan atas masalah ini. Andi Hamzah, memberi batas yang jelas antara “batas wewenang peradilan pidana” dan “pelaksanaan hukuman”.
Hamzah mengutip pakar hukum pidana, JM Van Bemmelen yang mengemukakan, acara pidana terdiri atas tujuh tahap: (1) Mencari kebenaran; (2) Mencari pelaku tindak pidana; (3) Menangkap pelaku dan kalau perlu menahannya; (4) Mengumpulkan bukti untuk diajukan ke pengadilan; (5) Pengambilan putusan oleh hakim; (6) Upaya hokum melawan putusan hakim (bandingkasasi); dan (7) Pelaksanaan putusan hakim (eksekusi).

Begitu jaksa mengeksekusi putusan hakim, berakhirlah proses acara pidana. Selanjutnya, pembinaan narapidana berada di dalam wilayah pemerintah (eksekutif), yang dilaksanakan oleh LP, di bawah naungan Kementerian Hukum dan HAM.

Dengan pernyataan Ketua KPK Busyro Muqoddas, agar remisi dihilangkan, penulis menjadi tidak mengerti, dalam konteks mana dia bicara? Soal berat hukuman, adalah wewenang pengadilan (jaksa dan hakim). Khusus di KPK, malah mulai dari penyidik. Jaksa dan hakim adalah satu “tim terpadu” yang tak mungkin gagal. Jika narapidana “alumnus” KPK cepat bebas, tentu bukan karena memperoleh remisi, tetapi karena hukuman di Pengadilan Tipikor yang mungkin tak sesuai harapan rakyat.

Lama Pidana

Kemudian soal lama pidana. Ada asumsi sebagian orang, semakin lama hukuman suatu tindak pidana, akan semakin menimbulkan efek jera. Dalam kesaksian di MK, Andi Hamzah juga mengatakan, sesudah Perang Dunia II, para pakar hukum pidana dan hukum acara pidana di Eropa berpendapat, pidana penjara tidak mencapai maksudnya, yaitu untuk mengurangi kejahatan di masyarakat.

Hukuman ringan (enam bulan ke bawah), lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya (too short for rehabilitation and too long for corruption). Maka perlu dicari alternative lain, seperti pidana kerja sosial (community
service order), denda harian (day fine), yaitu denda yang dibayar terpidana sebagai pengganti pidana penjara enam bulan ke bawah.

Masa pidana yang lama, ternyata tak juga membuat efek jera. Hukuman untuk pengedar narkoba di Indonesia sekarang ini sudah demikian berat, banyak yang sampai hukuman mati. Namun kenyataannya, peredaran narkoba bukannya berkurang, malah bertambah. Para pakar pun sudah sepakat, hukuman dengan jangka waktu yang lama, tak memberi efek jera.

“Kesadaran Palsu”

Kini publik seakan-akan dihinggapi “kesadaran palsu,” seakan-akan mengoptimalkan pemberantasan korupsi hanya dengan menghilangkan remisi koruptor. Padahal, remisi hanya sebagian kecil dari rantai proses memasukkan koruptor ke penjara. Publik seakan- akan lupa, hal utama memberantas korupsi adalah pemerintahan yang bersih, transparansi, dan penerapan asas pembuktian terbalik.
Jika remisi bagi para koruptor dihilangkan, namun kualitas birokrasi kita tak juga berubah, apakah praktik korupsi akan berkurang? Tentu tidak.

Lalu, publik sepertinya tak juga menyadari, sekarang ini pemberian remisi pelaku tindak pidana korupsi sebetulnya sudah sangat ketat. Hanya boleh mendapat remisi apabila sudah menjalani sepertiga hukuman. Ini diatur dalam PP 28/2006 (yang merupakan perubahan atas PP 32/1999, khususnya Pasal 34).

Meski PP ini sudah berusia lima tahun, kenyataannya tidak memperbaiki peringkat Indonesia sebagai negara terkorup. Indonesia tetap bertengger di kelompok terbawah. Apanya yang salah? Barangkali, pokok masalah adalah keseriusan para penegak hukum, jangan tebang pilih, jangan hanya mencari nama, jangan hanya membentuk citra, dan satu lagi, penerapan asas pembuktian terbalik!

SIHOL MANULANG
PENULIS ADALAH WARTAWAN

http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2011/08/24/index.html



0 komentar:

Posting Komentar