Selasa, 09 September 2008 23:42 WIB
Penulis : Maya Puspita Sari
JAKARTA--MI: Direktur Bina Bimbingan Masyarakat Ditjenpas Mashudi menyatakan, pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi hanya diberikan jika yang bersangkutan melunasi uang pengganti. Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah menolak pembebasan bersyarat enam narapidana kasus korupsi. Hal itu dilakukan karena mereka menyatakan tak mau membayar uang pengganti.
“Ini peraturan baru. Saat ini, kami sedang menyiapkan surat edaran kepada seluruh Lembaga Pemasyarakatan,” kata Mashudi kepada wartawan di Gedung Departemen Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (9/9).
Sebelumnya, Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiyono berjanji surat edaran akan dikeluarkan pada pekan ini. “Surat akan segera dikirim ke seluruh lembaga pemasyarakatan dalam pekan ini,” ujarnya.
Untung mengatakan, peraturan itu dikeluarkan selaras dengan upaya memperbesar tingkat pengembalian uang hasil kejahatan korupsi. Menurutnya, dalam setiap putusan untuk kasus korupsi menggunakan UU No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, selalu ditetapkan terpidana diharuskan membayar uang denda dan uang pengganti selain hukuman penjara.
Ia menambahkan, agar kebijakan ini efektif, Dirjen Pemasyarakatan selaku instansi yang memproses pembebasan bersyarat akan berkoordinasi dengan pihak eksekutor. Ditjenpas akan menerima data lengkap tentang harta terpidana sebagai bahan pertimbangan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat dari pihak eksekutor.
Jika yang bersangkutan tak bersedia membayar dan benar-benar tak memiliki harta lagi, lanjut Untung, pembebasan bersyarat tak akan diberikan. “Sekalipun dia sudah menjalani dua pertiga masa pidana,” tuturnya.
Mashudi menambahkan, sekalipun surat edaran belum disebarkan, namun peraturan ini telah diterapkan. Menurutnya, surat edaran hanya lingkup teknis bagi Ditjenpas saja, prosedur sudah dijalankan oleh Ditjenpas.
Mashudi juga menerangkan, hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam dua undang-undang, yaitu UU No 7 Tahun 1971 dan UU No 31 Tahun 1999. Berdasarkan aturan pertama, pembebasan bersyarat akan diberikan jika terpidana telah menjalani dua pertiga masa pidana dan bersedia membayar uang pengganti.
Sedangkan berdasarkan UU No 31 Tahun 1999, pembebasan bersyarat akan diberikan jika narapidana sudah menjalani dua pertiga masa pidana. Namun, jika menolak membayar, atau kurang membayar setelah ada yang disita, pidana pengganti diterapkan pada pelaku korupsi. (*/OL-03)
http://mediaindonesia.com/webtorial/tanahair/?bar_id=MjkyNDk=
“Ini peraturan baru. Saat ini, kami sedang menyiapkan surat edaran kepada seluruh Lembaga Pemasyarakatan,” kata Mashudi kepada wartawan di Gedung Departemen Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (9/9).
Sebelumnya, Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiyono berjanji surat edaran akan dikeluarkan pada pekan ini. “Surat akan segera dikirim ke seluruh lembaga pemasyarakatan dalam pekan ini,” ujarnya.
Untung mengatakan, peraturan itu dikeluarkan selaras dengan upaya memperbesar tingkat pengembalian uang hasil kejahatan korupsi. Menurutnya, dalam setiap putusan untuk kasus korupsi menggunakan UU No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, selalu ditetapkan terpidana diharuskan membayar uang denda dan uang pengganti selain hukuman penjara.
Ia menambahkan, agar kebijakan ini efektif, Dirjen Pemasyarakatan selaku instansi yang memproses pembebasan bersyarat akan berkoordinasi dengan pihak eksekutor. Ditjenpas akan menerima data lengkap tentang harta terpidana sebagai bahan pertimbangan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat dari pihak eksekutor.
Jika yang bersangkutan tak bersedia membayar dan benar-benar tak memiliki harta lagi, lanjut Untung, pembebasan bersyarat tak akan diberikan. “Sekalipun dia sudah menjalani dua pertiga masa pidana,” tuturnya.
Mashudi menambahkan, sekalipun surat edaran belum disebarkan, namun peraturan ini telah diterapkan. Menurutnya, surat edaran hanya lingkup teknis bagi Ditjenpas saja, prosedur sudah dijalankan oleh Ditjenpas.
Mashudi juga menerangkan, hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam dua undang-undang, yaitu UU No 7 Tahun 1971 dan UU No 31 Tahun 1999. Berdasarkan aturan pertama, pembebasan bersyarat akan diberikan jika terpidana telah menjalani dua pertiga masa pidana dan bersedia membayar uang pengganti.
Sedangkan berdasarkan UU No 31 Tahun 1999, pembebasan bersyarat akan diberikan jika narapidana sudah menjalani dua pertiga masa pidana. Namun, jika menolak membayar, atau kurang membayar setelah ada yang disita, pidana pengganti diterapkan pada pelaku korupsi. (*/OL-03)
http://mediaindonesia.com/webtorial/tanahair/?bar_id=MjkyNDk=
2 komentar:
Waduh tambah rumit Pemasyarakatan ...........
Waduh biyung BANG NAPI agak keteteran nih terima sms dari teman-2 sesama napi dan eks napi soal Surat Edaran DitjenPAs tentang kaitan uang pengganti dengan PB, CMB, CB, memang setelah dipelajari Surat itu dan mendengar secara langsung dari teman-2 eks napi dan yg msh jadi napi korupsi perihal uang pengganti korupsi atau pasal 18 UU No.31/1999 Jo UU. No.20/2001.... agak janggal dan agak aneh saja SE dari ditjenpas ini timbul dan disosialisasikan kesetiap UPT, pasti setiap UPT tambah bingung lha... belum tuntas PP No.28/2006 yg kontrovensial dan membuat bingung setiap UPT, tambah bingung aja para petugas lapas.... ayo bingung lha...? kenapa bingung...?lha iya TOH... soal uang pengganti ini khan RANAH PIDANA, bukan RANAH PEMASYARAKATAN, dimana kontrovensial soal uang pengganti aja antara KEJAGUNG sebagai eksekutor dgn Mahkamah Agung saja belum beres, sehingga MA tdk mau mengeluarkan fatwa atas uang pengganti tersebut, kemudian Kejagung juga salah didalam mengelola sistim akuntansi soal uang pengganti( Hasil Audit BPK tahun 2006 ), diakui juga nih ama KAJAGUNGnya kalo memang salah mengetrapkan pembukuannya, tapi karena KEJAGUNG pemilik Hukum, maka tidak bisa dikategorikan indikasi adanya KORUPSI... inilah Hukum di Indonesia, buat pembukuan sendiri saja tidak bisa yang relatif lebih mudah, bagaimana bisa mengobrak-abrik pembukuan BANK yg lebih sulit dan seenaknya menuduh korupsi.. inilah kalo orang bodo menilai orang pinter... selalu pake pasal "POKOKNYA "..... dari laporan teman-2 dalam satu kasus yg sama terdiri dari banyak terpidana, dimana masing-2 terpidana mempunyai kekuatan uang yg tdk sama, maka hasil putusannyapun bisa tidak sama, walaupun kasusnya sama dan dalam satu kasus, ada yg disita tapi tidak uang pengganti, ada uang pengganti tapi tidak ada yang disita, ada uang pengganti tapi yang disita bukan milik terpidana, tapi milik orang lain dan masih banyak lagi hal-2 pelik soal uang pengganti, yang menyebabkan ada suatu kasus korupsi besar tahun 2003 sampai sekarang asetnya hanya disita administrasi tetapi belum pernah dieksekusi utk mengganti kerugian negara... udah 5 tahun ( pdhal pasal 18 mengatur hanya 1 bulan stlh inkrach ).... kemudian bagaiman dengan mudahnya Ditjenpas dengan surat edarannya mengatakan Boleh BEBAS kalo BAYAR... ini ranah pidana pak dirjen...!!!!!!, bukan semudah itu penyelesaiannya, saran BANG NAPI, kenapa tidak jalankan saya sesuai dengan UU Pemasyarakatan, yang mana inti job petugas lapas adalah melakukan pembinaan dstnya..... karena kasus spt hal diatas bukan kasus baru, sudah berjalan sejak jaman Korupsi di KPU tahun 2006, karena polemik soal uang pengganti yg belum tuntas, jadi lebih baik Ditjenpas tidak mengeluarkan aturan baru yang pasti akan membuat bingung diri sendiri dan juga para WBP yg skrg sedang menuntut keadilan dgn menerima keadaan yg carut marut ini, karena soal uang pengganti ini.
Posting Komentar