RUU KUHP mendorong hakim memberi pengobatan bagi pencandu narkotika ketimbang pidana penjara.
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Forum 2004 pekan lalu, Ketua Komisi III DPR, Teras Narang mengeluhkan kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang kelebihan kapasitas. Dalam kunjungannya ke LP, ia mendapati sebuah ruangan bisa diisi oleh 200 sampai 300 orang tahanan. Dengan kondisi itu, untuk duduk pun sulit, bahkan untuk tidur harus bergantian. "Saya bilang, ini pelanggaran HAM,” cetus Teras.
Ditambahkannya, saat ini 60 persen penghuni LP adalah pecandu narkoba. Berkaitan dengan itu, politisi dari PDI Perjuangan ini justru mempertanyakan, apakah pencandu menjalani pidana penjara mengingat mereka sebenarnya adalah korban.
Menyambut pernyataan Teras, Prof. Romli Atmasasmita, Ketua Forum 2004, menyatakan hakim seharusnya mengirim pencandu narkotika untuk menjalani rehabilitasi, bukan memberi hukuman pidana penjara. Selain mencegah terjadinya kelebihan muatan dalam LP, di berbagai negara lain pun, terutama di Eropa, pecandu narkotika tidak dijerat dengan pidana.
Romli berharap, dalam RUU KUHP yang baru, kebijakan yang bukan pidana (non penal policy) akan lebih mengemuka. Apalagi, RUU KUHP sudah mengatur mengenai sanksi pidana kerja sosial.
Dalam pasal 79 ayat (1) RUU KUHP memang sudah disebutkan bahwa pidana penjara yang tidak lebih dari enam bulan, atau denda yang tidak lebih dari denda kategori I, dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
Rehabilitasi
Anggota Tim Perumus RUU KUHP, yang juga pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudi Satrio Mukantardjo mengatakan bahwa dalam soal pidana bagi pencandu narkotika, RUU KUHP mengadopsi isi Undang-Undang No 22 Tahun 1997 mengenai Narkotika.
Meski UU No.22/1997 tersebut memberikan ancaman pidana antara satu sampai empat tahun, bagi pengguna narkotika, namun hakim dapat memberikan hukuman rehabilitasi bagi pencandu.
Pasal 47 UU No.22/1997 menyebutkan hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pencandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Masa pengobatan dan atau perawatan bagi pencandu narkotika tersebut, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Namun, sepanjang pengamatan hukumonline, sangat sedikit hakim yang memilih menjatuhkan hukuman rehabilitasi ketimbang hukuman pidana penjara. "Ini yang akan kita coba ubah. Pola pikir hakim yang salah, yang menggambarkan bahwa yang dinamakan penjara adalah segalanya," tandas Rudi (14/2).
Oleh sebab itu, dalam RUU KUHP diatur berbagai pidana non penjara, seperti kerja sosial, denda sebagai pengganti pidana dan soal pengobatan bagi pencandu narkotika.
Penuh sesaknya LP, lanjut Rudi, juga menjadi pertimbangan penyusun RUU KUHP untuk memperkenalkan pidana non penjara. "Orientasi hakim pada penjara harus sudah dialihkan pada non penjara," demikian Rudi.
(Nay)
http://hukumonline.com/default.asp
0 komentar:
Posting Komentar