8 April 2007, Hukum, Koran Kompas
Oleh : Windoro Adi
Menguatnya penegakan hukum tanpa diimbangi perbaikan ekonomi, sosial, dan moral masyarakat, hanya akan menyebabkan penumpukan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Tanpa langkah itu, kita sama saja dengan menebas hutan di hulu, meluap kali di hilir.
Ketika mengunjungi rumah tahanan (rutan) di Jakarta, awal November 2005, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Hamid Awaludin menjelaskan, tahun 1998, setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1997, penghuni penjara mulai meluap.
Di tengah kecenderungan naiknya penghuni penjara, muncul kejahatan baru yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya, yaitu narkoba.Penghuni penjara karena kasus narkoba datang seperti air bah. "Itu terjadi tahun 1999 sampai sekarang," kata Hamid.
Sebanyak 60 persen penghuni, terutama di kota-kota besar, berlatar belakang narkoba.Rutan Pondok Bambu yang berkapasitas 504 orang, dihuni 1.100 perempuan. Rutan Salemba yang berdaya tampung 1.000-an orang, diisi 4.309 penghuni. Bahkan rutan di Surabaya yang kapasitas huniannya hanya 400 orang, dihuni 2.400 orang.
Ini bisa terjadi karena jumlah narapidana (napi) yang masuk lebih banyak dari yang ke luar. Di Rutan Salemba, misalnya, setiap hari masuk 50 orang, sementara yang keluar cuma sembilan orang.Tingkat kesehatan penghuni penjara pun, kata Direktur Bina Perawatan Ditjen Pemasyarakatan Paulus Sugeng, berbanding terbalik dengan tingkat hunian penjara (Kompas, 6/4/2007).
Semakin banyak penghuni penjara, semakin buruk kondisi kesehatan penghuninya.Kalau setahun kemudian, tahun 2006, muncul catatan ada 813 napi yang tewas di penjara atau rata-rata setiap harinya dua napi meninggal, tak perlu kaget. Jakarta terbanyak, 321 tewas. Mereka meninggal, antara lain, karena TBC (110), sesak napas (92), HIV (89), infeksi pencernaan (85), dan jantung (60).
Yang seharusnya membuat kita kaget adalah, negara masih belum tergerak memperbaiki keadaan. Legislatif lebih suka berwacana atau bersandiwara menunjukkan keprihatinan atau mengecam-kecam eksekutif.Yudikatif cenderung bungkam, tidak mau terlibat wacana seperti ini. Sebagian eksekutif lebih suka melempar rencana dan janji-janji, sementara sebagian birokrat sampai tingkat sipir, lebih asyik memikirkan "bisnis" penjara mereka demi menutup kesenjangan antara gaji dan kebutuhan hidup mereka sendiri sehari-hari.
Mikro
Hampir dua tahun lalu, Hamid menyampaikan rencananya bersama tim merancang sebuah sistem hukuman sosial yang lebih produktif, baik bagi napi maupun negara, seperti yang sudah dilakukan banyak negara.Sayangnya, sampai hari ini rencana tersebut belum terealisasi. Bisa jadi seperti dikeluhkan Hamid kala itu, terhambat akibat tumpang tindihnya sistem dan peraturan hukum di Indonesia.
Hamid tentu saja tidak mau tersandung aturan main yang ada.Apa yang disampaikan Hamid adalah salah satu solusi jangka pendek dengan pendekatan mikro untuk mengurangi tingkat hunian serta tingkat kematian napi. Hukuman bisa berupa kerja bakti di pabrik, bertani, berkebun, memperbaiki dan membersihkan sistem saluran air termasuk kali dan infrastruktur lainnya. Atau, membersihkan lingkungan pasar, panti-panti yatim piatu-jompo, terminal, puskesmas, balai desa, gedung pemerintahan, rumah ibadah, serta fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya.
Narapidana yang memiliki keterampilan tertentu atau bahkan pendidikan tinggi, bisa dimanfaatkan ikut melakukan pelatihan-pelatihan.Pada gilirannya, pelaksanaan sistem hukuman yang dibarengi sistem evaluasi, serta sistem ganjaran-hukuman yang tepat dan seimbang, akan mempercepat mekanisme pengurangan hukuman. Solusi lainnya untuk mengurangi tingkat hunian dan menekan angka kematian napi adalah dengan meningkatkan kapasitas hunian rutan atau menyebarkan tingkat hunian, meningkatkan alokasi untuk kesejahteraan serta kesehatan para petugas rutan dan napi, sampai mempercepat proses hukuman mati.
Tetapi, dari tiga solusi tersebut, tampaknya hanya yang terakhir yang masih mungkin dilakukan, itu pun dengan risiko menghadapi munculnya kembali kontroversi kelompok Hati (hapus hukuman mati) dan Sakti (setuju hukuman mati) seperti yang sudah-sudah.
Untuk saat ini, dua solusi pertama tak mungkin direalisasi. Alasannya klasik, "Negara enggak punya duit", meski banyak petinggi negara kaya-raya, setelah duduk di "kursi" panas.Oleh karena itu, yang paling mungkin direalisasikan adalah rencana Hamid.
Masalahnya, maukah legislatif dan eksekutif mendukung rencana Hamid, menyangkut penataan kembali sistem hukum yang lebih memungkinkan terealisasinya gagasan hukuman sosial tadi. Kalaupun akhirnya sistem hukum bisa ditata kembali, masih muncul pertanyaan, "Apakah masyarakat mau menerima napi di tengah hidup mereka?"Jawabannya tentu, "Harus ada kekuatan yang mengubah cara berpikir masyarakat bahwa napi itu cuma ’sampah’ dan membahayakan orang lain". Kekuatan itu bisa bersumber dari para tokoh agama, masyarakat, pers, dan terutama guru.
Makro
Dengan pendekatan makro, persoalan banyaknya napi yang tewas di rutan sebenarnya cuma cermin dari memburuknya kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan moral masyarakat.Perhatikan kembali penjelasan Hamid di awal tulisan ini.
Ia mengatakan, rutan mulai meluap setelah terjadi krisis ekonomi. Artinya, meningkatnya kemiskinan seiring dengan meningkatnya kejahatan. Dalam konteks ini, aspek ekonomi atau aspek kesejahteraan masyarakatlah yang menonjol.
Tahun 1999, lanjut Hamid, penghuni penjara didominasi napi yang terlibat narkoba. Dalam konteks ini, aspek moral dan pendidikan/budayalah yang lebih menonjol.Kenyataan ini sebaiknya membuat semua sadar, pembangunan ekonomi rakyat, dan perbaikan kesejahteraan guru, harus menjadi prioritas pembangunan. Pemberantasan korupsi dan pungutan liar, sebagai bagian usaha membangun ekonomi rakyat, harus mendapat lebih banyak lagi perhatian.
http://www.ham.go.id/index_first.asp
0 komentar:
Posting Komentar