H Probosutedjo mengajukan Memori Peninjauan Kembali atas vonis empat tahun yang dijatuhkan padanya dengan tuduhan korupsi. Namun sampai dia dimasukkkan dalam penjara Cipinanga, Jakarta dan kemudian dipindah ke Sukamiskin, Bandung, adik satu ibu mantan Presiden Soeharto, itu tetap merasa tidak bersalah. Mengapa dia yakin tak bersalah? Dia menuangkannya dalam buku yang merupakan rangkuman memori PK-nya, berjudul: Ungkapan dari Penjara Cipinang.
Berikut ini kami sajikan secara lengkap pengantar (dari penulis) buku tersebut:
Semenjak adanya tuduhan mark-up luas tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Menara Hutan Buana (PT MHB), sehingga tuduhan merugikan negara dan berakhir dengan vonis 4 tahun penjara, saya tetap tidak merasa bersalah. Apa yang saya kerjakan dalam pembangunan HTI, tidak ada yang menyimpang dari ketentuan dan arahan yang terdapat dalam peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 (PP No7 tahun 1990) dan tidak menyimpang dari SK Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan.
Dana Rp. 1 00.931.585.000,-(seratus milyar sembilan ratus tiga puluh satu juta lima ratus delapan puluh lima ribu rupiah), dalam SKB Menhut dan Menkeu, jelas merupakan kredit. Bahkan bukan sembarang kredit dengan bunga 0%, sampai ada penebangan, tetapi lebih jelas merupakan penyertaan modal yang akan dikembalikan setelah ada penebangan HTI.
Pinjaman berdasar SKB, diikat dengan akte notaris dan telah diatur pemgembaliannya, kok dikatakan merugikan Negara oleh Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim.
Seandainya terjadi masalah dalam kredit, mestinya kan masalah perdata, mengapa Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim "mentolo" mempidanakan kredit PT MHB yang berdasar kepada PP No.7 tahun 1990 dan SKB Menhut dan Menkeu, dipidanakan dan tega memvonis 4 tahun penjara dengan berbagai hukuman lainnnya.
Di tembok penjara Cipinang, Jakarta terdapat sajak yang dibuat oleh Narapidana (Napi) yang berbunyi:
Mungkinkah aku mati karena peluru?
Tidak......!!!!!
Karena aku tidak sebodoh itu.
Mungkinkah aku mati karena pisau ?
Tidak.......!!!!!
Karena aku pandai menangkis senjata tajam.
Mungkinkah aku mati lemas di pantai bebas?
Tidak.......!!!!!
Karena aku terbiasa merenangi laut biru.
Mungkinkah aku mati menyaksikan ketidakadilan?
Tentu.......!!!!!
Jika hatimu tergetar melihat ketidakadilan?
Kau adalah sahabatku.
Rupanya banyak orang yang diperlakukan tidak adil dalam peradilan dan telah menjadi penghuni penjara.
Terasa adanya berbagai ketidakwajaran dalam mengadili tuduhan korupsi PT Menara Hutan Buana (PT MHB) yang melibatkan Probosutedjo. Jaksa Penuntut Umum di bawah pimpinan I Ketut Murtika, SH, mencari kesalahan dan tidak memperhatikan masalah yang mendasar.
Tidak diungkap oleh Jaksa Penuntut Umum bahwa yang dibangun oleh PT MHB adalah HTI bahan baku pulp, bertujuan untuk membangun industri pulp tercantum dalam SKHPHTI, tidak pernah terungkap.
Pembangunan HTI Pulp, berbeda dengan HTI bahan baku pertukangan yang produknya untuk menghasilkan bahan baku mebel dan bahan bangunan. Pendanaan pembangunan HTI Pulp, berdasarkan SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan sama sekali tidak diungkap.
Persentase pendanaan pembangunan HTI yang ditentukan dalam SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan tidak terungkap. Bahwa pembangunan HTI, terutama HTI Pulp merupakan proyek PELOPOR/PIONEERING proyek yang belum pernah ada sebelumnya, tidak pernah terungkap.
Memori Peninjauan Kembali (PK) yang kami ajukan terbagi dua. Pertama, memori yang saya susun berdasarkan PP No.7 tahun 1990 SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan, dibantu oleh seorang ahli perbankan yang turut menyusun SKB Menhut dan Menkeu. Kedua, disusun oleh tim penasehat hukum dalam mengajukan Memori Peninjauan Kembali (PK) dari segi hukum.
HTI Pulp merupakan proyek pelopor, karena belum pernah ada sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1990 khusus mengatur/menentukan realisasi Proyek Pembangunan Hutan Tanaman Industri disingkat menjadi proyek HTI.
Mengingat puluhan juta hektar hutan tidak produktif menjadi hutan produktif berkesinambungan (silvikultur). Pemerintah membuat Peraturan Khusus untuk membangun hutan rusak tidak produktif yang berkesinambungan, untuk mengembalikan kualitas sumber daya alam dan meningkatkan SDM dengan menciptakan lapangan kerja dan lapangan usaha.
Peraturan Pemerintah yang dikhususkan untuk mengatur dan menentukan pembangunan hutan yang rusak yang tidak produktif menjadi hutan produktif berkesinambungan yang besar manfaatnya bagi kehidupan rakyat, adalah peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1990, tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Maret 1990, masuk Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 No.11. Penjelasannya masuk dalam Tambahan Lembaran Negara No.3404.
PP No.7 Tahun 1990 tersebut terdiri dari 22 pasal, dan setiap pasal bermuatan tujuan utama dari pembangunan HTI. Hanya Pasal 22 yang tidak ada kata HTI, merupakan pasal penutup, kalimatnya berbunyi: "Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia."
Berdasarkan pasal 22 PP No.7 Tahun 1990, para penegak hukum harus tahu dan harus memahami isi dan makna peraturan Pemerintah tersebut. Setidaknya para penegak hukum, polisi, jaksa dan terutama hakim yang ditugasi menyelesaikan masalah pembangunan HTI, terutama HTI bahan baku pulp, harus menguasai dan memahami isi dan tujuan pembangunan HTI yang memang belum pernah ada sebelumnya, yang berarti ini merupakan proyek pelopor dalam pembangunan HTI yang sangat besar manfaatnya bagi pembangunan ekonomi bangsa.
Tetapi kenyataan membuktikan bahwa jaksa dan hakim yang ditugasi menangani masalah HTI milik PT MHB jelas tidak memahami PP No.7 Tahun 1990 dan SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan yang menentukan pendanaan pembangunan HTI.
Penegak hukum terutama Hakim Agung, bisa dinilai menghambat kelancaran pembangunan ekonomi bangsa, karena tidak memahami/tidak mengerti tujuan pembangunan HTI Pulp, yang merupakan pioneering proyek meningkatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkesinambungan dan berkembang.
Baca PP No.7 Tahun 1990, pasal demi pasal semua bermuatan petunjuk, manfaat dan fungsi dari pembangunan HTI.
Untuk jelasnya ikutilah isi Memori Peninjauan Kembali H. Probosutedjo dalam Memori Permohonan Peninjauan Kembali beserta lampiran-lampiran.
Keputusan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Iskandar Kamil, yang merupakan Hakim Agung dari Mahkamah Agung RI, dalam perkara korupsi HTI Pulp milik PT MHB jelas "KELIRU" dan menyimpang dari ketentuan pembangunan HTI. Maka dari itu siapa yang dirugikan, pemerintah atau PT Menara Hutan Buana? Ikutilah Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali. Jakarta, 11 Maret 2006. Pembahas PP No.7 Tahun 1990: H. Probosutedjo ► e-t
ditulis oleh ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA 11 Maret 2006
0 komentar:
Posting Komentar