Sabtu, 21 April 2007

MEREKA HANYA MENJEMPUT KEMATIAN di LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Susana Rita K

Banyak "kelelawar" di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda, Tangerang, saat hari beranjak malam. Mereka acap kali jatuh dengan suara menggema ke semua penjuru LP. "Kelelawar" itu adalah napi yang terpaksa tidur di atas, tak di tempat tidur, dengan kain sarung yang dibentangkan antara jeruji sel dan tembok. Paku yang ditanam pada dinding ruang tahanan sering tak mampu menahan beban napi itu.

Napi terpaksa menjadi "kelelawar" karena sel penuh sesak. Ruangan seluas 1,5 meter x 2,5 meter itu diisi 6-8 orang. Ada pula yang diisi 10 napi. Lembaga pemasyarakatan (LP) yang seharusnya menampung 800 napi kini dijejali 3.618 orang.

Kenyataan ini tak hanya terjadi di LP Pemuda, Tangerang, tetapi juga menjadi masalah di hampir semua LP di Indonesia, terutama di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Karena kelebihan penghuni itu, seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan soal LP, "Bagaimana mau mencari udara bersih, menghirup udara saja berebutan."

Tidak heran jika akhirnya LP menjadi sarang beragam penyakit, mulai dari tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan dan pencernaan, hingga HIV/AIDS. Ditjen Pemasyarakatan mencatat, sebanyak 813 napi meninggal pada 2006. Sebanyak 614 di antaranya adalah penghuni LP di DKI Jakarta, Banten, dan Jabar dengan konsentrasi paling tinggi di LP Cipinang, Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, dan LP Pemuda Tangerang.

Tingginya angka kematian napi itu diakui, namun Dirjen Pemasyarakatan Mardjaman menyatakan, angka itu sudah menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya. Angka kematian napi tahun 2006 sebesar 1,7 persen dari keseluruhan napi di negeri ini. Kematian napi pada 2005 mencapai 2,4 persen. Angka ini diperoleh dari persentase kematian napi di Jakarta.

Mardjaman menyatakan, napi memiliki penyakit bawaan saat masuk LP. Separuh napi yang meninggal di LP adalah napi yang baru menghuni penjara kurang dari enam bulan. Selebihnya adalah napi yang menghuni 6-12 bulan. Kebanyakan napi yang meninggal terindikasi mengidap HIV. Di sel, mereka tinggal menjemput kematian.

Tak tertangani

Persatuan Napi Seluruh Indonesia yang diketuai Rahardi Ramelan prihatin melihat banyak napi yang sakit, tetapi tak tertangani dengan baik. Bersama Paul Sutopo (terpidana kasus penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), ia mulai berinisiatif mengadvokasi pengobatan bagi napi yang sakit.

Menurut Rahardi, ribuan napi menderita penyakit kulit. Sekitar 1.000 orang di antaranya menderita penyakit kulit akut. Air yang kurang bersih, napi yang tak pernah berganti pakaian, dan napi pencandu narkotika yang takut air menjadi faktor munculnya penyakit kulit.

Ditambah minimnya persediaan air dan hidup berimpitan di sel, penularan penyakit kian cepat. Apalagi napi sakit tak dipisahkan dengan yang sehat. Kondisi ini diperburuk dengan keterbatasan persediaan obat- obatan di LP. Obat yang tersedia hanya obat-obatan dasar, seperti antalgin, obat flu, dan penyakit ringan lainnya.

Obat-obatan untuk penyakit kulit (scabies), TBC, diare, hepatitis, atau sariawan, yang banyak diderita napi justru tidak tersedia. Untuk kebutuhan itu, napi harus menebus sendiri resep yang dibuat dokter LP.

Rahardi bercerita, saat ia masih di LP Cipinang, ada seorang napi yang mengeluh gatal akibat penyakit kulit yang dideritanya. "Jawaban petugas apa? Ya, digaruk saja," katanya.

Mengenai ketersediaan obat, seorang petugas LP Narkotika Cipinang mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Ia kerap kali meminta obat ke Puskesmas Jatinegara, tetapi diminta ke Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Setelah berusaha menanyakan ke Dinkes Jaktim, ia justru dilempar ke puskesmas lagi dengan alasan obat-obatan untuk LP dialokasikan ke puskesmas.

"Saya seperti mengemis saat minta obat itu. Saya dipingpong ke sana-sini," kata petugas yang enggan disebut namanya itu.

Meminta obat ke Dinkes adalah satu-satunya jalan yang dapat dilakukannya. Sebab, LP tak memiliki cukup uang untuk menyediakan obat dan fasilitas yang memadai. Anggaran kesehatan untuk napi selama ini sangat minim.

Dirjen Pemasyarakatan menyebutkan, anggaran kesehatan untuk seorang napi berkisar Rp 500 hingga Rp 750 per hari. Tetapi, jumlah itu juga tidak seluruhnya digunakan untuk biaya kesehatan. Angka itu masih dikurangi untuk biaya kebersihan dan sanitasi lingkungan penjara.

Anggaran kesehatan riil untuk napi jauh lebih kecil lagi. Hasil penelitian ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Ferryal Basbeth dan Djaja Surya Atmadja, menunjukkan, seorang napi diberi anggaran kesehatan Rp 18,05 hingga Rp 78,77 per hari. Penelitian itu dilakukan di 12 LP/rutan di Jawa dan Sumatera pada 2004.

Akhirnya, napi harus berusaha sendiri untuk mencari jalan keluar atas persoalan ini. Rahardi Ramelan, misalnya, memprakarsai pengobatan massal di LP Cipinang. Ia juga mengorganisasi dokter yang menjadi napi karena berbagai sebab untuk mengobati sesama napi.

Selain minimnya penanganan, tingginya angka kematian napi juga diduga karena lambatnya respons petugas dan adanya ketentuan surat izin berobat ke RS dari petugas LP.

Menurut Rahardi, izin berobat ini tidak gratis. Secara lebih gamblang, anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Budi Santoso, yang sempat mengenyam kehidupan di LP Purwokerto mengatakan, biaya mengurus izin berobat ke RS itu mencapai Rp 2,5 juta.

Namun, Dirjen Pemasyarakatan membantah adanya biaya untuk izin berobat. Tidak ada biaya yang harus ditanggung napi untuk izin berobat di luar. "Kalau ada, laporkan saja. Nanti saya tindak," kata Mardjaman.

Kurang cepatnya menangani si sakit juga dapat berakibat fatal. Suatu kali, kata Rahardi, ada napi hendak dibawa ke RS. Dia sudah dibawa ke ambulans. Tetapi, mobil pengangkut pasien itu belum bisa berangkat meninggalkan LP karena menunggu surat izin berobat keluar. Sayangnya, saat izin itu keluar, napi itu keburu meninggal.

Ledakan HIV

Mardjaman menolak jika kematian ratusan napi itu hanya dikaitkan dengan buruknya kondisi penjara yang muncul seiring dengan kelebihan kapasitas penghuni LP. Kelebihan penghuni terjadi hampir di seluruh LP dan rutan di negeri ini. Di LP Batam dan Rutan Bandung, misalnya, yang juga kelebihan penghuni, angka kematian napinya kecil.

Di LP Batam, selama setahun hanya tiga napi yang meninggal. LP itu dihuni sekitar 1.300 napi. Sementara di Rutan Bandung, penghuni yang meninggal hanya seorang dari sekitar 5.000 tahanan/napi.

Pendapat senada disampaikan aktivis penanggulangan HIV/AIDS, Baby Jim Aditya. Ia bahkan memprediksikan akan ada ledakan kematian napi sejak beberapa tahun lalu.

Baby memang patut khawatir. Peningkatan penghuni penjara berjalan seiring dengan peningkatan kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan obat-obatan berbahaya (narkoba). Tahun 2003, jumlah penghuni penjara 71.587 orang (kapasitas 64.000 orang). Pada 2004, penghuni naik menjadi sekitar 86.000 orang (kapasitas 66.000 orang). Pada 2005, penghuni penjara menjadi 97.000 orang (kapasitas 68.000 orang). Pada 2006, penghuni mencapai 116.000 orang (kapasitas 70.000 orang). Pada Januari 2007, penghuni sudah naik menjadi 118.453 orang.

Dari jumlah itu, sekitar 30 persen atau sekitar 32.000 napi terlibat kasus narkoba. Dari jumlah itu, sekitar 72,5 persen atau 23.200 napi merupakan pencandu/pemakai narkoba.

Menurut Baby Jim, pencandu narkoba di penjara kebanyakan adalah pemakai jarum suntik secara beramai-ramai. Berdasarkan survei yang dilakukannya secara acak, setiap kali menyuntik, napi itu selalu ditemani minimal dua teman sesama napi. Orang yang diajak menyuntik pun tidak selalu sama.

"Bayangkan, kalau salah satu di antara penyuntik itu mengidap HIV, otomatis akan menular dengan sangat cepat pada yang lain," ujar dia.

Data Ditjen Pemasyarakatan menyebutkan, dari 813 kasus kematian di penjara selama 2006, 89 napi di antaranya meninggal karena HIV (urutan ketiga).

Disebut pemasyarakatan

Fakta itu memang membuat sejumlah kalangan prihatin. Konsep pemidanaan yang dikemukakan Menteri Kehakiman Sahardjo pada masa lalu rasanya sulit tercapai. Dalam pidatonya saat meraih gelar doktor honoris causa pada 5 Juli 1963, ia menyatakan tujuan penjara adalah pemasyarakatan narapidana.

Gagasan pemasyarakatan itu ditindaklanjuti dengan pembuatan 10 prinsip pemasyarakatan yang menjadi acuan dan pedoman pembinaan napi. Pada butir empat disebutkan, negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau jahat selama menjalani pemidanaan. Pada butir sembilan dinyatakan, hilang kemerdekaan seharusnya hanya sebagai satu-satunya derita yang dialami napi.

Namun, kenyataan kini berkata lain. Di penjara, mereka bukan dimasyarakatkan. Bagaimana mau dimasyarakatkan? Mereka bahkan merasa tak dimanusiakan. Di penjara, mereka menanti kematian. (Soelastri S/ vincentia hanni S)

ditulis oleh KOMPAS pada tanggal 13 April 2007

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/13/politikhukum/3447410.htm


0 komentar:

Posting Komentar