Jumat, 13 April 2007

Perbaikan Nasib Napi Terintegrasi

Budaya Hukum Harus Berubah

Jakarta, Kompas - Buruknya kondisi narapidana di lembaga pemasyarakatan, yang dituding sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, adalah rangkaian panjang sebab-akibat. Karena itu, nasib tragis yang dialami napi di LP, yang tak jarang berujung pada kematian, tidak dapat hanya dilihat dari satu segi.Demikian disampaikan Soelistyowati Sugondo, Komisioner untuk Hak Memperoleh Keadilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Minggu (8/4) di Jakarta.

"Di hadapan kita ini ada tumpukan napi di LP kaya dendeng, kaya pindang, memang benar. Bahkan, ibaratnya bernapas pun sulit," katanya. Tahun 2006 sebanyak 813 napi meninggal di sejumlah LP karena berbagai sebab (Kompas, 5-7/4). Namun, lanjut dia, pengabaian hak napi yang dikatakan sebagai pelanggaran HAM itu dapat terjadi sejak proses peradilan. Dalam proses penuntutan lalu persidangan, terdakwa yang ditahan dititipkan di LP atau rumah tahanan (rutan). Padahal, masa tahanan dapat diperpanjang selama ada dasar hukumnya. Kondisi ini menambah jumlah penghuni rutan atau LP. "Kadang hakim tak segera mengeluarkan surat perpanjangan penahanan. Tetapi, tahanan belum bisa keluar. Ini melanggar HAM. Belum lagi jika putusan inkracht, tidak segera dieksekusi. Jumlah napi pun menumpuk," kata Soelistyowati. Banyaknya jumlah napi yang tidak sebanding dengan kapasitas LP memang menjadi kambing hitam buruknya nasib napi.

Namun, Soelistyowati menegaskan, perbaikan nasib napi tak bisa melalui jalan pintas.
"Jangka pendek dapat dengan membangun LP. Tetapi, jangka panjang tidak dapat seperti itu. Semua institusi penegak hukum harus berintegrasi, memecahkan persoalan bersama," ujarnya.

Seorang napi kepada Kompas, Sabtu (7/4), mengakui, napi yang mampu secara sosial-ekonomi lebih diperhatikan di LP. Meski seluruh napi sebenarnya memiliki hak memperoleh pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, tanpa kecuali. Yang dipertanyakan saat ini adalah Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (Bapas) yang dibentuk sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Bapas bertugas memberi saran kepada menteri dan beranggotakan ahli bidang pemasyarakatan, wakil instansi pemerintah terkait, badan nonpemerintah, dan perorangan.

Budaya hukum
Sementara itu, kriminolog Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Minggu, mengingatkan, budaya hukum sebaiknya diubah, menyusul tingginya angka kematian napi di LP. Salah satu yang perlu diubah adalah budaya menghukum orang ke penjara. Menurut Ronny, penjahat kelas teri yang terlalu lama di penjara akan menimbulkan kejahatan baru. Karena itu, diharapkan hakim tak memberikan hukuman yang terlalu berat untuk penjahat kelas teri, apalagi belum ada penelitian yang menyatakan bahwa orang yang keluar dari penjara menjadi lebih baik. LP bukan rumah sakit yang bisa menampung semuanya," kata Ronny. (idr/sie)

ditulis di KOMPAS CYBER MEDIA 09 April 2007

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/09/utama/


0 komentar:

Posting Komentar