Sabtu, 21 April 2007

MELUPAKAN " HAK " di " TEMPAT PEMBINASAAN "

Bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik yang manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.

Kalimat di atas menjadi pembuka konsiderans dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang sampai kini masih berlaku di negeri ini. Kalimat itu menegaskan, sistem pemenjaraan yang sebelumnya diberlakukan bagi warga negara yang melakukan tindak pidana tak sesuai dengan dasar negara, Pancasila.


Bahkan, Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menjadi dasar pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan negara (rutan) menyebutkan lagi, sistem pemasyarakatan adalah rangkaian kegiatan penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga bisa diterima kembali masyarakat.

Warga binaan, terutama narapidana (napi), setelah keluar dari penjara diharapkan dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Karena itu, Pasal 5 UU Pemasyarakatan menegaskan,
sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas:

(a) pengayoman,
(b) persamaan perlakuan dan pelayanan,
(c) pendidikan,
(d) pembimbingan,
(e) penghormatan harkat dan martabat manusia,
(f) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan
(g) terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Oleh karena itu, napi sesuai Pasal 14 UU No 12/1995 juga diberikan hak mendapat perawatan rohani atau jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak; menyampaikan keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi, termasuk cuti mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan bersyarat; mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak lain sesuai dengan UU yang berlaku.

Namun, masihkah penjara di negeri ini layak disebut LP? Pertanyaan itu terasa menggelitik, terutama saat dihadapkan pada kondisi LP yang kini sangat menyedihkan, mulai dari kelebihan penghuni, keterbatasan sanitasi dan perlengkapan, hak napi dan tahanan yang terabaikan, hingga ratusan napi yang meninggal dalam penjara. Singkatnya, kondisi penjara kini jauh dari standard minimum rules (SMR) yang ditetapkan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) untuk sebuah penjara.

Standar PBB


SMR mengatur setiap napi seharusnya memiliki ruang sel sendiri yang memenuhi standar kesehatan. Hak itu meliputi volume udara, luas lantai, penerangan, pemanasan, dan ventilasi. SMR juga mengatur akomodasi napi harus memerhatikan bagian untuk membuang hajat dan mandi yang bersih serta dapat digunakan setiap saat.

SMR juga mengatur tentang hak napi memperoleh perawatan dan pelayanan kesehatan jasmani dan rohani. Standar pelayanan meliputi kesehatan jiwa, pengobatan yang tepat, serta penyembuhan kelainan mental. Ketersediaan dokter spesialis pun dijamin.

Jelas saja SMR ini seakan menjadi omong kosong di Indonesia. Tingkat hunian penjara sangat padat. Sangat tidak mungkin menempatkan seorang napi sendirian di sel. Hingga 17 April lalu, LP di wilayah DKI Jakarta dihuni 6.742 orang. Padahal, kapasitasnya hanya 4.068 orang.

Anggota Dewan Pertimbangan Pemasyarakatan (DPP), Farida Syamsi Chadaria, Kamis (19/4), mengakui kondisi LP yang teramat jauh dari ideal itu. "Sebenarnya DPP sudah memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Namun, memang kondisi LP kita masih jauh dari fungsi pemasyarakatan. Juga Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah lama tak mengundang DPP untuk membahas kondisi penjara ini," katanya.

Dengan kondisi yang ada saat ini, lanjut Farida, memang tidak mungkin bagi pengelola LP atau rutan untuk memedulikan fungsi menyiapkan dan membina warga binaan sehingga bisa kembali kepada masyarakat dengan baik, termasuk tidak mengulangi tindak pidananya lagi. Pengelola LP atau rutan sudah terlalu disibukkan dengan urusan hariannya.

"DPP sudah mewacanakan agar tak semua pelaku tindak pidana itu mesti dipenjara. Bisa saja diberikan hukuman pengganti, seperti kerja sosial atau denda, sehingga penjara tidak penuh. Namun, itu baru akan diakomodasi dalam revisi UU No 12/1995," papar Farida lagi.

Aktivis Kelompok Studi 19 yang membidangi HAM dan Pemasyarakatan, Priyadi, mengakui memang sulit untuk mewujudkan konsep pemasyarakatan yang ideal. Itu membutuhkan perubahan menyeluruh dalam criminal justice system kita.

"Kalau mau dibenahi, seharusnya dari hilir hingga hulu. Pemasyarakatan itu, kan, hanya menerima. Pembenahan harus dilakukan sejak di kepolisian, kejaksaan, hingga hakim. Hakim kalau memutus perkara narkoba, misalnya, jangan semua dimasukkan ke penjara. UU mengatur pencandu dapat dimasukkan ke panti rehabilitasi," ujar dia.

Persoalannya, hakim sering tidak memperhitungkannya. Semua terpidana kasus narkoba diperintahkan dipenjara.

Farida juga mempersoalkan fungsi hakim, yang sekadar melepaskan orang ke penjara. Padahal, semestinya hakim juga mengawasi apakah pemidanaan itu dilakukan dengan baik dan manusiawi. "Fungsi itu tak ada lagi. Hakim benar-benar ’melepaskan’ terpidana ke penjara," katanya. (ana/tra )

ditulis dari KOMPAS dalam Kolom FOCUS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3469056.htm

0 komentar:

Posting Komentar