oleh :ADI PRINANTYO
Dengan biaya pengobatan kurang dari Rp 1.000 per orang per hari, atau Rp 365.000 per orang per tahun, apa yang bisa dilakukan manajemen lembaga pemasyarakatan untuk merawat kesehatan narapidana? Sementara, problem kesehatan napi demikian rumit terkait penggunaan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lain di dalam penjara yang sangat rentan transmisi HIV.
Dalam perbincangan Kompas dengan sejumlah dokter yang bertugas di penjara Jakarta terungkap bahwa narapidana (napi) tak pernah dianggap sebagai kelompok masyarakat yang mendesak diberdayakan, salah satunya melalui pengobatan yang memadai. "Orang menganggap, kalau ada napi meninggal, ibaratnya mengurangi jumlah penjahat," ungkap seorang dokter. Minimnya ongkos pengobatan yang dialokasikan untuk lembaga pemasyarakatan (LP) membuat LP-LP di Jakarta merawat napi seadanya. Di LP Kelas 1A Cipinang misalnya, manajemen LP sebenarnya sempat mengoperasikan rumah sakit sederhana untuk merawat napi yang sakit parah dan tak punya biaya. Mayoritas pasien di tempat itu mengidap HIV positif, atau disebut ODHA (orang dengan HIV/AIDS).
Rumah sakit itu didirikan secara swadaya oleh dr Izhar Sapawi, dokter yang bertugas di LP Cipinang, dibantu dua koleganya, dr Ferdinand Rabain dan dr Lula Kamal. Biayanya? Bukan dari anggaran pemerintah, tetapi dari donatur luar negeri, salah satunya Global Fund. Jangan terburu membayangkan ruang perawatan dengan penyejuk udara atau AC. Dalam beberapa kali kunjungan Kompas pada tahun 2005-2006, bangsal perawatan itu akan segera membuat tamu bermandi peluh. Satu bangsal perawatan dengan luas sekitar 10 x 5 meter dihuni 12 pasien. Beberapa pasien napi yang berada di pojok bangsal perawatan tubuhnya tampak kering kerontang, bukti mereka sudah terkena AIDS. Namun, pada Senin (16/4) lalu, Kompas menerima kabar bahwa program rehabilitasi di rumah sakit itu, sesuai informasi Izhar, sudah tidak aktif lagi.
"Kami harus berkonsentrasi ke penanganan infeksi oportunistis karena terbatasnya dana. Program rehabilitasi sementara berhenti," ungkap Izhar. Biaya, lagi-lagi memang persoalan krusial. Sebagai perbandingan, sesuai penjelasan aktivis pendamping napi ODHA, Baby Jim Aditya, ongkos tes HIV saat ini mencapai Rp 125.000, demikian pula biaya pengecekan CD4. Belum lagi tes viral load yang besarnya Rp 250.000. "Itu belum mencakup biaya pengobatan infeksi oportunistis yang bisa setiap saat menjangkiti napi HIV, misalnya scabies, menceret, batuk, atau sariawan," papar Baby.
Padahal, napi ODHA masih membutuhkan anggaran untuk terapi antiretroviral (ARV) yang setidaknya menghabiskan dana Rp 360.000 per bulan. Dengan kata lain, untuk ARV saja, selama setahun perlu Rp 4,3 juta. Penghentian program rehabilitasi merupakan pukulan besar bagi LP Cipinang. Ini karena, dari penuturan beberapa peserta program, diperoleh fakta bahwa dengan ikut program tersebut mereka makin termotivasi meninggalkan kebiasaan mengonsumsi narkoba, terutama memakai narkoba dengan menyuntik yang berpotensi menularkan HIV.
Diakui atau tidak, narkoba, termasuk heroin, beredar di penjara-penjara kita. Seorang napi yang ODHA dalam perbincangan belum lama ini mengungkapkan, dia makin jera menyuntik heroin setelah melihat banyak napi ODHA tewas mengenaskan di rumah sakit penjara. "Ada yang mengerang sampai enggak kedengeran suaranya, ada yang menceret-menceret sebelum mati. Ngerilah pokoknya," tutur napi berusia 20-an tahun itu.
Angka kematian,
Kenyataan pemakaian narkoba dengan suntikan di penjara, seperti dituturkan sejumlah napi, sudah berjalan seiring dengan kenaikan angka kematian napi periode 2004-2005. Kematian itu patut diduga karena HIV/AIDS, sebab persentase pengguna narkoba suntik (penasun) di antara mereka yang tewas cukup signifikan. Berdasarkan data di LP Kelas 1A Cipinang, pada 2004 tercatat ada 117 kasus kematian dengan 77 di antaranya pengguna narkoba suntik (penasun). Angka itu melonjak pada 2005 dengan kematian 166 napi dan 124 di antaranya penasun. Prison specialist Partisipasi Kemanusiaan (Partisan) Yakub Gunawan meyakini, tren jumlah kematian itu akan terus meningkat dari waktu ke waktu karena percepatan penanganan tidak mampu meredam eskalasi transmisi HIV. Keadaan itu mencuatkan keyakinan, penjara bukan lagi tempat yang steril. Petugas penjara memang banyak menangkap pengunjung yang kedapatan membawa narkoba ke dalam sel, apakah dengan menyimpan di dalam sepatu atau trik-trik lain. Namun, adanya narkoba di dalam penjara membuktikan bahwa penggeledahan terhadap pengunjung tak cukup sukses mencegah narkoba masuk penjara.
Bukti sahih lain adanya kasus keterlibatan petugas penjara dalam distribusi narkoba dari dalam penjara kepada pengguna di luar penjara maupun penggerebekan sindikat narkoba berskala internasional di sejumlah LP. Beberapa napi juga menuturkan, penyuntikan narkoba di dalam penjara sudah menjadi hal lazim. Kuncinya, asal ada "koordinasi" dengan petugas sudah pasti tidak akan digerebek. "Koordinasi", termasuk di dalamnya memberi uang pelicin.
Hasil Penelitian Napi Narkoba di LP dan Rumah Tahanan Negara, kerja sama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Narkotika Nasional (BNN), yang menanyai 1.868 responden, mengungkapkan kenyataan bahwa penggunaan narkoba oleh para napi di penjara adalah fakta. Sembilan LP dan rumah tahanan (rutan) yang disurvei meliputi LP Cipinang dan Rutan Salemba di Jakarta, LP Pemuda Tangerang, LP Banceuy Bandung, LP Kedungpane Semarang, LP Wirogunan Yogyakarta, LP Madiun, LP Krobokan Denpasar, LP Makassar dan LP Tanjung Gusta Medan.
Riset pada 2003 itu mengungkap masih banyak responden yang terlihat memakai narkoba di dalam penjara (8,7 persen) dan pernah memakai narkoba tercatat 4,1 persen. Ada 4,4 persen yang pernah melihat transaksi narkoba di penjara dan 9,5 responden pernah ditawari narkoba. Situasi kelebihan penghuni di penjara kita (over capacity) memperparah kondisi pengobatan napi. Kenaikan anggaran napi menjadi Rp 365.000 per orang per tahun, yang berlaku mulai Januari 2006, disyukuri para kepala LP. Salah satunya Kepala LP Pondok Bambu Slamet Prihantara. Namun, kata Prihantara, penyerapan biaya pengobatan itu tak maksimal karena LP yang dipimpinnya kelebihan penghuni. Jika dialokasikan menjadi biaya per orang, ongkos itu hanya terserap Rp 150.000 per orang per tahun.
"Biaya Rp 365.000 itu dikucurkan mengacu kapasitas ideal LP, tepatnya dikalikan 504 orang. Padahal, kini LP Pondok Bambu dihuni lebih dari 1.300 napi, atau kelebihan 270 persen. Ya, alokasi per orangnya jadi merosot," ungkapnya.
Tidak ada alternatif lain untuk mengatasi problem krusial pengobatan napi, kecuali political will pemerintah, untuk lebih memanusiakan napi. Filosofi Pemerintah Iran, yang menganggap napi sudah hidup terbatas di dalam jeruji sehingga tak perlu dibuat lebih menderita lagi di penjara, patut kita tiru. Napi juga manusia, maka perlakukanlah mereka secara manusiawi.
ditulis oleh KOMPAS dalam Kolom FOCUS
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3463481.htm
0 komentar:
Posting Komentar