Jumat, 27 April 2007

SAMBUTAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA PADA HARI BHAKTI PEMASYARAKATAN KE-43 TANGGAL 27 APRIL 2007


Assalamualaikum Wr.Wb,


Hadirin yang saya hormati,Saya ingin memulai sambutan di pagi ini dengan sebuah adegan film Green Mile yang diangkat dari novel laris Stephen King. Saya mengingatnya karena film ini begitu baik melukiskan sisi-sisi kemanusiaan di balik tembok penjara di Louisana, Amerika Serikat. Alkisah, seorang terpidana mati kasus pembunuhan dan pemerkosaan bersahabat dengan seorang sipir yang diperankan oleh Tom Hanks. Si narapidana yang bertubuh besar, datang sebagai warga binaan yang sungguh-sungguh berguna. Ia bukan “sampah” melainkan “dewa penolong”.

Ia menyembuhkan penyakit bawaan sang penjaga dan menyelamatkan nyawa istri kepala penjara.Meski berbadan raksasa dan berwajah garang, si terpidana tetaplah manusia biasa: yang menangis dan ketakutan saat sendirian menghitung hari eksekusinya.

“Saya ingin semuanya cepat berlalu. Saya lelah dengan orang yang berlaku buruk satu sama lain. Saya lelah dengan segala penderitaan yang saya dengar dan rasakan setiap hari,” bisiknya kepada sang sipir. Ia akhirnya meregang nyawa di kursi listrik dan dilepas para penjaga dengan air mata dan kenangan yang baik. Wataknya yang baik tetap terjaga kendati dikungkung jeruji. Ia tak pernah didera ketakutan pada orang-orang yang menjaganya. Mungkin ini yang disebut Aung San Suu Kyi, peraih Nobel yang sudah ditahan bertahun-tahun di rumah sendiri bahwa: bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan.

Sengaja saya mengangkat cerita ini di Ulang Tahun Lembaga Pemasyarakatan yang ke 43. Dilihat dari situasi di penjara-penjara kita, ini mungkin hanyalah sebuah impian... ketika petugas penjara begitu berkesan di mata para narapidana dan tahanan, dan sebaliknya, para napi menebarkan watak dan tabiat yang baik selama berada dalam kungkungan penjara. Upaya meretas impian itu harus kita mulai dengan tekad yang teguh.

Hadirin yang saya hormati...Suasana hari ulang tahun seperti ini, juga membawa kita untuk kembali merenungi perjalanan masa silam, masa kini dan langkah kaki kita ke masa depan. Jika menengok jejak sejarah, maka kita tahu bersama, sistem peradilanlah yang menciptakan penjara ketika di abad 12, Raja Henry II dari Inggris membangun ruang-ruang khusus bagi tahanan yang hendak dihadapkan pada pengadilan. Saat itu baru sebatas kurungan badan belaka. Baru pada abad ke-16 penjara sebagai lembaga pemasyarakatan mewujud berupa London’s Bridewell dan Ghent House of Correction serta sejumlah LP di tanah koloni di Amerika Serikat.

Persoalan penyakit dan tingkat hunian belum mengemuka mengingat masa hukuman maksimal baru tiga tahun. Awal abad ke-18, Penjara Eastern State Penitentiary di Philadephia merintis pembinaan para narapidana dengan bekal keterampilan menganyam, bertukang dan membuat sepatu. Para pengelola LP saat itu sudah meyakini: dalam kesunyian dan kesendirian, para napi akan merenungi kesalahan masa lalu mereka dan bertobat. Di tahun 1840, Kapten Alexander Maconochie di Kepulauan Norfolk, sebelah timur Australia memperkenalkan sistem penilaian seperti pada anak sekolah.

Para napi dinilai pekerjaan dan sikapnya dan kemudian dicantumkan dalam “rapor” yang bisa mempengaruhi masa hukumannya. Sistem ini kemudian diterapkan di berbagai penjara di dunia -- juga di negeri kita -- yang berimbas pada pengurangan masa hukuman. Itu sebabnya para narapidana kita sebut sebagai warga binaan. Seusai masa hukuman, mereka akan kembali berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.Hadirin yang saya hormati...Lembaga Pemasyarakatan kita, telah mengabdi lebih dari empat dekade. Ia menjadi saksi pasang surutnya kehidupan negeri ini. Penjara menjadi cermin politik pemerintah dari setiap masa. Di masa pemerintahan kolonial misalnya, penjara dijejali oleh pejuang Indonesia yang dianggap musuh. Hampir semua pemimpin perjuangan pernah merasakan menjadi tahanan atau warga binaan, termasuk kedua proklamator kita: Soekarno-Hatta.

Lembaga Pemasyarakatan di masa lalu, juga banyak melahirkan karya-karya besar warga binaan atau tahanan. Mendiang sastrawan Pramoedya Ananta Toer menciptakan novel legendaris tetralogi Pulau Buru, justeru ketika ia berada dalam penjara. Hal serupa juga terjadi di belahan benua lain. Ambil contoh di Afrika selatan dengan legendanya: Mandela. Kekuatan perjuangan anti apartheid berhulu dari lembaga pemasyarakatan di mana Mandela disekap. Inspirasinya berasal dari seorang narapidana Politik yang badannya terkurung rapat, tetapi cita-cita dan imajinasinya melanglang buana menembus lorong-lorong waktu dan zaman melintasi jarak ruang.Tak terbilang lagi kisah klasik dari segala zaman yang membutkikan bahwa lingkungan lembaga pemasyarakatan ternyata juga kondusif untuk menghasilkan sesuatu yang positif, menelurkan karya besar, bukan sekedar tempat menghitung hari sampai masa hukuman berahir.

Juga bukan malah menjadi tempat untuk berguru kejahatan baru dan bergelimang dengan penyakit dan berbagai masalah sosial. Bagaimana pun, situasi ini adalah cerminan persoalan bangsa yang harus kita hadapi, bukan untuk dihindari. Dalam konteks ini, arah kebijakan kita adalah, di dalam lembaga pemsyarakatan, para penghuni bukan dibuang dari masyarakat, tetapi dibina. Itu sebabnya, mereka disebut warga binaan. Seusai masa hukuman, warga binaan diharapkan kembali berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Hadirin yang terhormatHari-hari ini, tak dipungkiri banyak problema yang membelit Lembaga Pemasyarakatan kita. Apalagi akhir-akhir ini, media sedang gencar menyorot tingginya tingkat kematian narapidana.

Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penghuni Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang meninggal sepanjang 2006 mencapai 813 orang. Angka kematian tertinggi ada di lima provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara dan Jawa Timur. Dari jumlah total tersebut, 70 hingga 75 persen adalah narapidana kasus narkoba, sehingga dicurigai kasus kematian ini umumnya berlatarbelakang penyalahgunaan narkoba yang kerap bergandengan dengan HIV/AIDS. Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia itu, hingga 31 Desember 2006, ada 8194 kasus HIV/AIDS di seluruh Indonesia. Tentu, masih banyak lagi kasus-kasus yang tak dilaporkan. Badan Narkotika Nasional bahkan menyebutkan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika telah menyentuh 1,5 persen dari penduduk Indonesia atau lebih dari 3 juta orang pada tahun 2006. Sebagian besar dari mereka adalah pengguna teratur.

Sesungguhnya, ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Menurut data UNAIDS --lembaga PBB di bidang AIDS-- di banyak negara, epidemi AIDS berawal dari kalangan pengguna narkoba suntikan sebelum menyebar ke segmen kelompok penduduk yang lain. Penggunaan narkoba suntikan menjadi media penularan yang dominan di sejumlah tempat. Sayangnya, berbeda dengan para pekerja seks, kelompok pengguna narkoba nyaris tak terpantau. Mereka pun sering terlewatkan dari pelayanan pencegahan dan pengobatan AIDS. Nah, para pengguna di penjara, menurut laporan UNAIDS, adalah kelompok yang paling rentan tertular virus mematikan itu. Ilustrasi ini saya sampaikan untuk membuka mata kita bahwa apa yang terjadi di dalam penjara adalah cerminan persoalan masyarakat kita saat ini. Penjara memang adalah miniatur kehidupan nyata di luar tembok. Semakin terang benderangnya sorotan media belakangan ini semestinya membuat kita makin terpacu untuk mencari jalan keluarnya, bukan malah menghindarinya.

Hadirin yang saya hormati,Hulu semua persoalan yang mendera lembaga pemasyarakatan kita, yakni, soal “tingkat hunian” yang jauh melebihi daya tampung. Ketika narapidana datang dengan penyakit bawaannya, maka penularan penyakit menjadi-jadi. Itulah sebabnya, Departemen Hukum dan HAM senantiasa berupaya menanggulangi penyebaran HIV/AIDS dengan menjalin kerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), Departemen Kesehatan, Badan Narkotika Nasional, Pemerintah Daerah dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menerapkan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lapas/Rutan.

Program ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi daerah-daerah lain di IndonesiaDari sisi medis, kami mencoba, antara lain, meningkatkan pelayanan kesehatan dasar di seluruh poliklinik Lapas/Rutan, memberikan layanan konsultasi dan pengobatan bagi penderita HIV AIDS, TBC dan pengguna narkoba. Kami juga sedang mengupayakan percepatan pembangunan LP Narkotika Terpadu Yogyakarta, operasionalisasi LP Super Maximum Security di Nusakambangan dan pemindahan narapidana dari penjara yang sudah penuh ke yang lebih kosong di daerah-daerah. Insya Allah. Tahun ini juga kita akan mengangkat seribu dokter dan paramedis yang ditempatkan di lembaga-lembaga kita. Kebijakan ini mengikuti kebijakan sebelumnya. Yakni, mengangkat 3 000 sipir penjara. Tak terbilang lagi ihtiar dan kiat yang kita tempuh untuk membenahi masalah ini.

Hadirin yang saya hormati, Kami sama sekali tidak menutup mata atas kritik-kritik dan sorotan tersebut. Ada yang obyketif, tapi tak terbilang juga subyektif. Semuanya kita terima dan ramu sebagai bahan untuk memperbaiki. Di tengah kondisi-kondisi obyektif yang digambarkan di atas, mari kita menyaksikan berapa banyak sipir penjara kita, dengan segala resiko yang dihadapi, dengan baju yang ditambal sulam untuk kesekian kalinya, mengayuh sepeda roda dua tak bermesin, menembus keramaian, berangkat mulai subuh hari, dan belum tentu pulang hingga subuh hari berikutnya. Karena itu, acapkali anak-anak dan isteri mereka, terpaksa melantunkan lagu yang dibawakan oleh Rossa:
Sekarang kau pergi menjauh,
Sekarang kau tinggalkan akuDi saat kumulai mengharapkanmu
Lalu setelah itu anak-anaknya pun melantunkan lagu yang dibawakan oleh Letto :
Kau datang dan pergi
Oh begitu saja
Semua kuterima Apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
Di ruang rindu kita bertemu....

Hari ini, kita bersama-sama memperingati Hari Bakti Pemasyarakatan ke 43. Lebih dari empat dekade Lembaga Pemasyarakatan kita mengabdi untuk bangsa, menjadi pelabuhan akhir proses penegakan hukum di tanah air. Ini bukan masa yang singkat, bukan pula masa yang mudah. Berbagai persoalan mencuat tiap kali musim berlalu dan masa berganti. Namun, ulang tahun adalah hari yang perlu kita peringati. Karena ulang tahun yang sebenarnya bukanlah acara tahunan, tetapi hari di mana kita dilahirkan kembali.Saya percaya, di hari ulang tahun ini, jajaran Pemasyarakatan akan “dilahirkan kembali” dengan semangat dan pengabdian yang baru, yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Tentu kita semua punya impian, menerima para tahanan dan narapidana yang sehat, dan kemudian berada dalam suasana Lembaga Pemasyarakatan yang menyenangkan. Di dalam, para narapidana tidak sekadar menghitung hari, dan para petugas LP kita tidak sekadar menjalani rutinitas menjaga, menghitung, dan menilai belaka.Ini memang bukan tugas yang ringan. Karena itu, mari, kita bertekad untuk menyempurnakan pelayanan dan pembinaan untuk meningkatkan kualitas hidup para narapidana dan tahanan sesuai dengan prinsip-prinsip hak azasi manusia.

Hadirin yang saya hormati Adegan film Escape From Alcatraz, kisah nyata tahanan yang berhasil melarikan diri dari pulau penjara di Amerika Serikat itu. Sang kepala penjara berkata kepada Frank Morris (yang dibintangi aktor favorit saya, Clint Eastwood), “Alcatraz dibangun untuk menyimpan telur-telur busuk dalam satu keranjang, dan tugas saya adalah memastikan bau busuknya tidak keluar.”Saya mengingat dialog ini justru karena saya berpendapat SEBALIKNYA. Penjara, bui, hotel prodeo atau apapun sebutannya BUKAN tempat menyimpan “telur busuk” atau apapun yang berbau tak sedap. Sebaliknya, Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat membina penghuninya menjadi warga yang baik, yang “harum” dan tidak lagi melanggar hukum.

Insya Allah, dengan tekad dan kerja keras bersama, ini semua bisa terwujud menjadi kenyataan.

Hadirin yang saya hormatiDi kota Meksiko di tahun 1968, tatkala pesta olimpiade berlangsung. Seorang pelari marathon Tanzania, Ochacalan, jatuh tersungkur di tengah jalan, tatkala ia sedang mengikuti perlombaan. Ia mengerang kesakitan. Banyak orang menghampirinya dan membujuk agar ia mundur saja. Ia menggeleng, pertanda menolak takluk.Beberapa jam kemudian, ketika stadion sudah amat sepi. Tinggal beberapa wartawan dan juru potret lokal, duduk keletihan karena upacara penyematan dan pemberian medali bagi para pemenang lomba marathon, usai sudah. Tak dinyana, dari jauh, Ochacalan muncul dengan kaki diseret, muka pucat. Ia tetap berjuang untuk menyentuh garis akhir. Dengan bangga, akhirnya toh ia memang menyentuh garis ahir dan tersipuh kegirangan.

Para wartawan dan juru potret lokal tadi, ramai-ramai menghampirinya. Mengapa kamu melakukan ini? Bukankah medali sudah diberikan kepada para pesaingmu? Kamu toh sudah jadi pihak yang kalah dan tak akan ditulis oleh sejarah, kata para wartawan padanya. Ia pun dengan tenang menjawab: “Saya dikirim oleh negara saya ke mari, ribuan kilometer jauhnya, bukan untuk sekedar memulai perlombaan ini, tetapi sekaligus mengahirinya. Saya harus tiba dan menyentuh garis ahir ini, untuk mengahiri tanggungjawab saya”, katanya tegas.

Kepada para sipir dan petugas pemasyarakatan dan rumah tahanan, anda semua adalah bagian dari orang-orang yang selalu berihtiar mengahiri tanggungjawab, tiap hari, dengan segala resiko yang dihadapi. Anda selalu menyentuh garis akhir itu, yakni, tak pergi, sebelum gembok terakhir dari sel blok, dikunci rapat. Kami bangga memiliki Anda semua. Selamat hari jadi pemasyarakatan yang ke-43.

Wassalamualaikum Wr.Wb. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia

Hamid Awaludin




0 komentar:

Posting Komentar