Jumat, 13 April 2007

HIV di Penjara Itu Bom Waktu ...

Seorang narapidana mengaku hanya bisa pasrah saat ditanya kemungkinan ia tertular HIV. "Saya pasrah saja. Mau kena (HIV) ya kena, mati ya mati saja," ungkap seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur.

Pria 30-an tahun yang dihukum karena pasal penggunaan narkoba itu menghuni penjara sejak awal 2006. Dan, terbukti, meski telah masuk bui, tak ada halangan buat dia untuk tetap mengonsumsi putau, yang tak lebih dari ampasnya heroin itu. Di sini (penjara) tetep bisa makai kok, karena di sini ada yang jual dan ada tempat buat makai juga. Kalau ada duit buat beli putau dan sewa jarum, ya beres," katanya.

Soal kemungkinan ditangkap petugas LP, ia menuturkan, selama ini aman-aman saja karena sudah ada "kesepakatan" dengan petugas. "Nyatanya, kalau saya lagi punya uang, katakanlah Rp 20.000 atau Rp 30.000, saya tinggal datang ke tempat makai, lalu beli di situ, beres deh. Habis makai, mau balik lagi ke sel aman aja tuh," ujarnya lagi. Jika dirata-rata, dari penuturan beberapa napi di situ, putau di penjara berharga Rp 600.000 satu gram. Mengenai ongkos sewa jarum, Rp 1.000 sampai Rp 2.000. Jangan tanya soal kebersihan jarum suntik. Menurut napi itu, paling sering ia mencuci jarum suntik dengan mencelupkan di air panas. Namun, itu pun belum tentu selalu ia lakukan sebelum menyuntikkan putau.

Fenomena penggunaan narkoba di penjara Cipinang juga diungkapkan napi lainnya di LP yang sama. "Bisa makai di sini, asal koordinasi sama petugas. Itu jangan dilupain. Kalau enggak koordinasi, bisa digerebek," ujarnya. Napi yang disebut terakhir ini tidak pernah mau menyuntik putau lagi di dalam penjara karena mengaku sudah jera. "Yang membuat saya kapok adalah kenyataan saya sudah positif HIV. Ingin rasanya saya bilang sama mereka, saya sudah tahunan nyuntik putau sampai akhirnya kena HIV, tutur remaja kelahiran Jakarta itu.

Selain berhenti menyuntik putau karena nyata-nyata positif HIV, ia juga menghentikan kebiasaannya setelah trauma oleh kejadian tewasnya penderita AIDS di rumah sakit penjara. Ada yang mencret-mencret saat mau mati, ada yang teriak tetapi tidak keluar suaranya, ada juga yang mengerang-erang sampai akhirnya diam sendiri karena mati, tuturnya. Saya baru tahu transmisi HIV lewat jarum suntik tidak steril setelah menerima pembekalan di LP Khusus Narkotika ini. Begitu ditawari mau ikut tes apa tidak, saya bilang mau aja. Dan begitu tahu hasil tesnya positif, saya langsung sadar, ah, ini pasti karena kebiasaan saya nyuntik di Salemba," ujar napi lainnya yang berumur 20-an tahun.

Kenyataan pemakaian narkoba dengan suntikan di penjara, seperti dituturkan sejumlah napi itu, berjalan seiring dengan kenaikan angka kematian napi periode 2004-2005. Kematian itu patut diduga akibat HIV/AIDS sebab persentase pengguna narkoba suntik di antara mereka yang mati cukup signifikan. Data LP Kelas 1A Cipinang menyebutkan, pada 2004 tercatat ada 117 kasus kematian, dengan 77 di antaranya pengguna narkoba suntik. Angka itu melonjak pada 2005, dengan kematian 166 napi, dan 124 di antaranya pengguna narkoba suntik. Keadaan itu menguatkan keyakinan, penjara bukan lagi tempat yang steril. Petugas penjara memang banyak menangkap pengunjung yang kedapatan membawa narkoba ke dalam sel, baik yang disimpan di dalam sepatu atau trik-trik lain. Namun, adanya narkoba di dalam penjara membuktikan bahwa penggeledahan terhadap pengunjung tak cukup sukses mencegah narkoba masuk penjara.

Kasus petugas Rutan Salemba, Abdul Rojak, Maret 2003, dapat menjadi contoh. Rojak kedapatan menjadi kurir pembantu Iwan—waktu itu bandar narkoba di rutan—yang bertugas membawa narkoba ke luar penjara untuk melayani pesanan pembeli (Kompas, 18/3/2003). Fenomena serupa terjadi di LP Cipinang, ketika itu ada komplotan pengedar berskala internasional yang dipimpin Nwaolisa Hansen Anthony (35), terpidana kasus narkoba di LP tersebut (Kompas, 12/6/2003).

Hasil Penelitian Napi Narkoba di LP dan Rumah Tahanan Negara, hasil kerja sama Badan Pusat Statistik dan Badan Narkotika Nasional, yang menanyai 1.868 responden, mengungkapkan kenyataan serupa. Riset pada tahun 2003 itu mengungkap masih banyak responden yang terlihat memakai narkoba di dalam penjara (8,7 persen) dan pernah memakai narkoba tercatat 4,1 persen. Ada 4,4 persen yang pernah melihat transaksi narkoba di penjara dan 9,5 responden pernah ditawari narkoba.

Mencermati berbagai fenomena tersebut, Prison Specialist Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP) Inang Winarso berpendapat, salah satu langkah untuk mengatasi masalah ini adalah dengan harm reduction (pengurangan dampak buruk) penggunaan narkoba. Oleh karena itu, IHPCP kini sedang membantu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk menyiapkan program substitusi narkoba di LP Khusus Narkotika Cipinang. "Para napi, setelah dites urine untuk menggolongkan siapa yang pengguna narkoba aktif, akan diberi metadhone yang kadar adiksinya relatif lebih lemah daripada putau," ujarnya. Tingkat adiksi methadone yang berkisar 24 jam akan bisa membuat napi berperilaku produktif sehingga mereka dapat dilibatkan dalam kegiatan yang positif. Berbeda dengan putau yang tingkat adiksinya tiap tujuh jam sehingga napi ketagihan dalam tempo tujuh jam sekali.

Sejauh ini ada sejumlah lembaga yang aktif mengadakan program pendampingan di LP Kelas I Cipinang, LP Khusus Narkotika Cipinang, serta Rutan Salemba dan LP Wanita Pondok Bambu. Di LP Narkotika Cipinang, misalnya, ada Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DKI Jakarta, Criminon, dan Yayasan Pelita Ilmu. Namun, kegiatan-kegiatan itu lebih banyak baru berkisar penyuluhan. Dengan demikian, tidak dapat secara signifikan meredam transmisi HIV di penjara, yang bergerak cepat.

Perkunpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), menurut Program Manager PKBI DKI Catur Ndaru Wahono, telah dua tahun berkiprah di LP tersebut. Program pelatihan yang diadakan antara lain sosialisasi harm reduction dan mengadakan voluntary counseling testing (VCT), yakni pelayanan tes HIV dengan prinsip sukarela, rahasia, dan cuma-cuma. "Program kami diterima dengan baik oleh peserta karena diakui bisa membuat para napi menjadi sibuk, dan oleh karena itu mereka terlupakan dari narkoba. Dari beberapa penuturan peserta, justru banyak permintaan agar program diperbanyak, supaya mereka makin sibuk," ujar Ndaru.

Butuh keseriusan pemerintah untuk masalah ini jika kita tidak ingin transmisi HIV menjadi bom waktu di penjara-penjara kita.

http://www.kompas.co.id/ver1/kesehatan
Kompas: Adi Prinantyo

0 komentar:

Posting Komentar