Sabtu, 21 April 2007

" PRING SONG "

Oleh Ign Mahendra K

Artikel dalam Kompas, 5 April berjudul Selama 2006, 813 Napi Meninggal di Penjara, mengingatkan saya pada masa-masa yang saya habiskan di penjara kelas IIA Wirogunan, Yogyakarta. Sejak 7 Januari 2003 praktis saya menghabiskan beberapa tahun masa muda saya di penjara. Namun, saya berada di penjara Wirogunan sejak 17 Februari 2003 hingga 17 Agustus 2005.

Pemenjaraan tersebut didasarkan atas Pasal 134 KUHP (Penghinaan Kepala Negara). Pasal yang pada 6 Desember lalu dinyatakan melanggar UUD 1945 dan dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

Semasa dipenjara saya bersama beberapa narapidana membentuk kelompok diskusi. Kelompok diskusi tersebut kita sebut dengan "Kelompok Diskusi Bawah Tanah". Bawah tanah karena kita melakukan diskusi dengan sembunyi-sembunyi. Ini terjadi setelah pada 11 Januari 2004 diskusi kami dibubarkan oleh petugas penjara dan peserta mendapat ancaman.

Saya sendiri juga mendapat ancaman akan "diciduk" oleh seorang petugas. Selain berdiskusi, kita juga sempat mengumpulkan berbagai data mengenai berbagai persoalan di penjara.

Di dalam penjara yang berkuasa adalah uang. Blok yang saya huni dahulu bisa disebut sebagai kos-kosan dalam penjara. Tempatnya memang lebih baik daripada di blok belakang yang sangat crowded dan tidur berjejer seperti sarden dalam kemasan kaleng. Hanya orang- orang tertentu saja yang dapat berada di blok tersebut. Semakin besar bayarannya maka satu sel dapat ditempati oleh satu orang sehingga yang berada di sana ialah narapidana-narapidana berduit.

Diskriminasi adalah hal yang biasa, semakin banyak uang yang kau miliki maka semakin dihargai dirimu. Salah satu kasus ialah saat terjadi razia handphone pada 12 September 2003. Sementara semua tahanan maupun narapidana yang kedapatan membawa handphone diberi sanksi, seperti tidak diberikannya remisi selama satu tahun, ada seorang narapidana yang lolos dari sanksi tersebut. Razia dan sanksi itu dilakukan untuk pemberantasan narkoba. Ironisnya, narapidana yang lolos dari sanksi tersebut justru masuk ke dalam penjara karena kasus narkoba. Jangankan dijatuhi sanksi, menjalani proses pemberian sanksi saja tidak. Pejabat-pejabat lembaga pemasyarakatan (LP) yang saya tanya menyangkal bahwa di dalam sel narapidana tersebut diketemukan handphone.

Selama saya di dalam penjara terjadi juga beberapa kasus kematian narapidana atau tahanan. Terdapat beberapa persoalan mengenai fasilitas kesehatan yang sempat kami data. Persoalan tersebut, antara lain, apa pun penyakitnya, obat yang diberikan sama saja, terutama obat penghilang rasa sakit maupun CTM. Narapidana atau tahanan yang sakit akan lebih terawat justru di dalam bloknya sendiri, bukan di rumah sakit LP. Hal tersebut, karena di dalam bloknya, teman-teman satu blok pasti merawat dia. Perawatan di luar LP hanya mungkin dilakukan oleh narapidana-narapidana "kelas atas".

Hal ini terutama berkaitan dengan biaya pengobatan yang ditanggung sendiri dan pemberian jatah terhadap petugas yang menjaga di luar. Pengobatan di luar LP yang dilakukan terhadap narapidana "kelas menengah ke bawah" terjadi jika kondisi mereka sudah sekarat.

Akhirnya akibat penanganan yang terlambat kondisi kesehatannya sudah sangat sulit untuk disembuhkan. Ini merupakan penyebab meninggalnya seorang narapidana di LP Wirogunan pada Juli 2003.

Korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam fasilitas kesehatan LP juga terjadi. Ada satu kasus yang cukup menarik pernah kami amati. Ada seorang narapidana kasus narkoba yang besar kemungkinan akan dipindah ke LP Nusakambangan. Untuk menghindari perpindahan tersebut, ia membayar seorang dokter LP Wirogunan untuk menyatakan bahwa si narapidana mengidap HIV/ AIDS.

Setelah bebas dari penjara Wirogunan, pada 20 September 2005 saya bersama beberapa mantan tahanan politik/narapidana politik era Orde Baru sempat mengikuti demonstrasi yang diadakan oleh Forum Komunikasi Eks Narapidana dan Preman.

Seperti yang dinyatakan oleh Mahfud MD, anggota Komisi III DPR, bahwa fasilitas yang tidak memadai akibat dari negara yang tidak memiliki uang, dikatakan juga oleh Dirjen Pemasyarakatan saat itu. Ia mengatakan, jatah sekali makan seorang narapidana Rp 5.700 dan itu tidak memadai. Namun begitu, Anton Medan, penasihat Forum Komunikasi Eks Narapidana dan Preman, menyatakan, pesantren yang ia bangun menjatahkan satu orang Rp 5.000 untuk makan. Dari jatah yang lebih kecil dibanding jatah seorang narapidana, murid-murid pesantren Anton Medan bisa mendapat makanan yang lebih layak.i Saya melihat persoalannya lebih pada korupsi yang terjadi di LP.

Jatah makanan, sebagai contoh, yang diberikan kepada narapidana ialah jatah yang sebelumnya telah dikorupsi. Sehingga, yang didapatkan oleh narapidana adalah makanan yang bukan saja tidak bergizi, namun juga tidak higienis.

Nasi yang masih bercampur dengan kutu ataupun krikil, air minum yang berisi jentik maupun sayur yang tidak jelas-jujur saya sulit menemukan kalimat yang tepat untuk menggambarkannya. Jatah makanan yang dikorupsi tersebut dikembalikan kepada narapidana dalam bentuk paket-paket seharga Rp 1.000. Paket tersebut dapat berupa beberapa ikat sayuran, satu plastik minyak goreng, satu paket bumbu yang berisi 6 atau 7 siung bawang merah atau putih, dan beberapa batang cabai.

Saya pikir akar semua permasalahan tersebut ialah ekonomi. Mayoritas narapidana yang masuk ke dalam penjara karena persoalan ekonomi. Perbaikan kesejahteraan rakyat niscaya akan menurunkan angka kriminalitas.

Demikian juga peningkatan kesejahteraan terhadap petugas LP akan menurunkan kemungkinan korupsi. Dalam poin ini saya menegaskan bahwa ada perbedaan dalam korupsi yang dilakukan oleh petugas rendahan dengan kesejahteraan minim dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat LP.

Ign Mahendra K Mantan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Yogyakarta

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/17/jateng/51631.htm

0 komentar:

Posting Komentar