Oleh Try Harijono
Boleh jadi karena dianggap "sampah masyarakat", nasib narapidana kurang diperhatikan. Bukan cuma soal fasilitas dalam penjara, menu makanan dan fasilitas kesehatan pun sangat jauh dari layak.
Akibat minimnya fasilitas kesehatan ini, sekitar 813 narapidana di sejumlah lembaga pemasyarakatan (LP) di Tanah Air meninggal sepanjang tahun 2006. Jumlah narapidana (napi) yang meninggal paling banyak ada di DKI Jakarta, yaitu 321 orang atau 39,6 persen dari jumlah kasus.
Angka ini luar biasa karena dari 116.688 napi yang mendekam di berbagai penjara sepanjang tahun 2006 ternyata hampir satu persen di antaranya meninggal dunia.
Ironisnya, meski kasus narapidana meninggal cukup tinggi, nyaris tidak ada upaya serius untuk mengatasinya. Terbukti, selama Januari-Februari 2007, masih ada 62 napi yang meninggal dalam penjara, termasuk 22 napi di DKI Jakarta.
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan, napi yang meninggal tersebut kebanyakan karena mengidap HIV/AIDS sejak sebelum masuk penjara. Ketika dalam penjara, kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan, rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan penjara.
Penyebaran HIV/AIDS di lingkungan penjara ini tidak bisa dianggap enteng karena hampir merata di semua LP. Dari sembilan LP dan rumah tahanan (rutan) yang ada di Provinsi Banten, misalnya, sampai Maret 2007 tercatat 214 napi yang positif terjangkit HIV/AIDS. Jumlah ini setara dengan 19,5 persen dari sekitar 1.100 orang yang terjangkit HIV/AIDS di Provinsi Banten.
Jarum suntik
Menyebarnya HIV/AIDS di lingkungan penjara tak terlepas dari mudahnya mendapatkan obat-obat terlarang atau narkoba meski berada di balik terali besi. Bayangkan saja, hanya dengan membayar Rp 30.000, seorang tahanan atau napi bisa mendapatkan putaw berikut jarum suntiknya.
Jarum suntik itu sewakan kepada napi. Dalam sehari, jarum itu dapat dipergunakan oleh 90-100 napi.
Para napi sering kali menyuntik sampai darah berceceran di tangan. Mereka kemudian mencuci tangan yang masih berdarah itu ke dalam bak mandi. Air di bak mandi dipakai bersama-sama. Handuk pun dipakai bersama- sama. Melalui cara seperti inilah, HIV menyebar di kalangan napi.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin jarum suntik dan obat- obat terlarang bisa masuk ke dalam penjara?
Kalau saja petugas atau sipir bersikap tegas, tentu hal ini tidak akan terjadi. Namun begitulah, dengan melakukan "salam tempel" alias menyerahkan sejumlah uang kepada petugas, segala urusan bisa beres.
Seperti kelelawar
Selain menghadapi persoalan beredarnya obat-obat terlarang di kalangan napi dan tahanan, LP juga menghadapi persoalan kelebihan penghuni.
Pada tahun 2003, misalnya, jumlah penghuni LP, baik tahanan maupun narapidana, mencapai 71.587 orang. Padahal, kapasitasnya hanya untuk 64.345 orang.
Tahun 2005, jumlah penghuni lapas melonjak menjadi 97.671 orang, sedangkan kapasitasnya hanya untuk 68.141 orang. Tahun 2007, sampai Januari lalu, kondisinya lebih dahsyat lagi.
Penghuni penjara mencapai 118.453 orang yang tersebar di 525 lokasi, sedangkan kapasitasnya hanya untuk 76.550 orang. Berarti terdapat kelebihan penghuni sekitar 54,73 persen dari kapasitas yang semestinya.
Tak heran jika kemudian napi dan tahanan berdesak-desakan di balik jeruji besi. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang tidur bak kelelawar karena lantai penjara pun sudah penuh penghuni.
Kain panjang atau sarung dibentangkan antarjeruji satu dan jeruji besi lainnya, kemudian napi tidur di atasnya. Napi lain terpaksa tidur di bawahnya.
Jika sewaktu-waktu napi jatuh saat tidur dan menimpa napi lainnya, harus maklum karena begitulah kondisi dalam penjara saat ini. Mengharapkan sel yang layak tampaknya masih berupa mimpi karena untuk tahun 2007 saja target pembangunan penjara baru hanya mampu menambah kapasitas untuk 2.150 orang. Masih jauh dari yang diharapkan.
Standar PBB
Manajemen penjara di Tanah Air hingga saat ini masih sangat jauh dari yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB antara lain menetapkan, ruang sel harus dihuni sendiri. Selain itu, kamar mandi dan tempat buang hajat harus tersedia layak, pakaian harus bersih, serta makanan dan minuman harus sesuai dengan syarat-syarat kesehatan.
Kenyataannya, persyaratan tersebut masih jauh panggang dari api. Napi selain dijejal dalam satu sel, juga sulit mendapatkan air bersih. Handuk pun dipakai secara bergantian. Itulah sebabnya penyakit menular, seperti kudis, hepatitis, dan TBC, berkembang sangat cepat di penjara.
Manajemen lapas juga tidak membedakan narapidana yang yang terinfeksi HIV/AIDS maupun yang sehat. Mereka yang mestinya masuk panti rehabilitasi ditempatkan pada satu sel yang sama dengan residivis dan napi yang sehat. Itulah sebabnya penularan penyakit berlangsung cepat di dalam LP.
Dari sisi keamanan, hampir semua penjara tidak dilengkapi CCTV (closed circuit television), sinar X, metal detector, dan jammer atau alat pemutus jaringan telepon seluler dengan dunia luar. Itu sebabnya berbagai obat dan barang berbahaya leluasa masuk ke dalam lingkungan penjara.
Dalam kondisi semacam ini, rasanya konsep pemasyarakatan yang digagas Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962 semakin jauh untuk diwujudkan.
Sahardjo mengatakan, "Tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman (sehingga seseorang) kehilangan kemerdekaan saja. Tugas yang jauh lebih berat, tetapi yang jauh lebih murni, adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana itu ke dalam masyarakat."
Kini konsep itu sudah jauh melenceng. Penjara saat ini hanya dipandang sebagai tempat penghukuman. Bahkan, seorang napi LP Cipinang mengatakan, penjara kini jadi tempat untuk mengantar menuju kematian. (ANA)
ditulis oleh KOMPAS dalam Kolom FOCUS
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3469051.htm
0 komentar:
Posting Komentar