Sabtu, 09 Februari 2008

Yayasan Solidaritas Eks Napi Indonesia SulseL

Miliki 300 Anggota, Berusaha Tepis Hukuman Sosial


Laporan: Sultan Rakib

STIGMA negatif bagi para narapidana (napi), memang masih melekat kuat di masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga tak bisa disalahkan begitu saja. GELAK tawa sejumlah pria terdengar jelas dari sebuah rumah permanen berwarna putih di Jl Sultan Alauddin I nomor 5 Makassar, kira-kira pukul 13.00 Wita Rabu, 20 Februari. Gelak tawa itu sesekali terdengar sampai di halaman rumah; sangat keras.

Tepat di depan rumah yang memiliki rumput lebat itu, berdiri kokoh papan berukuran 2X3 meter dengan tulisan Yayasan Solidaritas Eks Napi Indonesia (Yaseni) Sulawesi Selatan. Ternyata, rumah ini menjadi tempat pertemuan bagi para eks napi yang masuk dalam anggota Yaseni.

Tawa dan canda beberapa pria itu tiba-tiba terhenti saat penulis melangkah melewati pintu dan masuk ke ruang tamu rumah tersebut. Pandangan beberapa pria ini bak dikomando mengarah kepada penulis.

“Dari Fajar? Silakan masuk, sudah ditunggu,” ujar salah seorang dari mereka. Penulis sempat khawatir. Maklum, beberapa di antara mereka terlihat gondrong plus anting-anting di telinga.

Bukan hanya itu, ada eks napi yang kancing bagian atas bajunya terbuka sehingga tato di bagian dadanya terlihat.

Namun, ternyata mereka menyambut penulis dengan nada sopan dan senyum ramah. Penulis akhirnya tenang. “Kita semua sama dan bersaudara.

Bedanya, beberapa teman ini, termasuk saya adalah eks napi, sedangkan bapak (penulis) bukan,” kata Syukri Djunaid, seorang pembina Yaseni sambil mempersilakan penulis duduk di sofa berwarna krem.

Tidak ada basa-basi, memang. Beberapa detik saja setelah penulis mengambil posisi duduk, Ketua Umum Yaseni Andi Amir langsung membuka pembicaraan.

Lelaki dengan rambut cepak ini kemudian berkisah tentang yayasan yang mengayomi para eks napi itu. Ia mengatakan, yayasan ini sudah memiliki 300 anggota eks napi.

“Mereka semuanya dibina di yayasan ini. Kita berupaya keras agar tidak ada lagi yang melakukan praktik amoral setelah keluar dari penjara,” tegas Amir, meyakinkan.
Selang beberapa detik setelah berkomentar, Hasanuddin Tahir, salah seorang pembina dan sekaligus pendiri Yaseni ini, angkat bicara.

Dia menjelaskan bahwa ikhwal terbentuknya yayasan ini tak lain untuk meminimalkan tindak kriminalitas, khususnya bagi para eks napi.

Dia mengungkapkan, sebenarnya, salah satu penyebab sehingga sejumlah eks napi tak pernah bertobat karena perilaku masyarakat sekitar. Selain itu, tidak adanya jaminan dari pihak pemerintah.

Dalam realitas masyarakat modern yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, praktik pemenjaraan seolah-olah gagal mengubah seorang penjahat menjadi warga masyarakat yang baik. Pada akhirnya, lembaga pemasyarakatan tetap sebagai penjara yang seringkali membuat seorang narapidana tambah “pintar” berbuat jahat.

Dasar inilah, lanjut Hasanuddin, memunculkan pemikiran untuk membuat yayasan yang bisa mengubah secara total dan permanen sikap mantan napi. Tujuannya, agar bisa berguna dan tidak sekadar menjadi “sampah” masyarakat.

“Di Yaseni ini, sebanyak 300 anggotanya mulai kami kumpulkan untuk kemudian kami usahakan agar disalurkan ke beberapa perusahaan yang bisa menerima mereka sesuai dengan keahliannya,” jelas Hasanuddin.

Memang, lanjut dia, tidak semua anggota Yaseni sudah mendapatkan pekerjaan. Maklum, usia yayasan ini baru beranjak sebulan. Yaseni dibentuk berdasarkan akte pendirian tertanggal 23 Januari 2008.

“Pengurus yayasan masih terus membuka akses ke sejumlah perusahaan, sambil proses SITU-nya dibuat. Yang jelas, niat baik kami menjadikan yayasan eks napi ini berguna dan tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi masyarakat,” ujar Hasanuddin.

Amirullah Tahir, salah satu pengacara di Makassar, ternyata menjadi salah seorang pendiri Yaseni. Sayangnya, Amirullah tak sempat hadir dalam pertemuan para eks napi ini dengan penulis, kemarin. Amirullah berada di Jakarta.

Kendati tak bertemu langsung dengan penulis, ia tetap mengirimkan pesan singkat yang mempertegas bahwa Yaseni bukan organisasi politik. Juga tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu.

Yayasana ini, kata dia, murni bergerak dalam bidang sosial dengan tujuan utama menyejahterahkan anggotanya. Terpenting, sebut dia lagi, menghapus segala bentuk diskriminasi sosial bagi mantan napi.

Ditambahkan, Yaseni berbeda dengan yayasan sejenis yang didirikan di Jakarta yang hanya melakukan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP), dengan kegiatan membuka kuliah hukum di Cipinang, yang diikuti eks napi berduit.

“Yaseni beda dengan itu. Karena orientasinya pada pembinaan mantan napi di luar LP, membina yang keluar Rutan/LP,” katanya.

Amirullah menambahkan, pembinaan di dalam penjara saat ini dinilai sudah baik. Bimbingan mental dan keterampilan juga sudah memadai. “Persoalannya muncul saat napi keluar dari Rutan/LP.

Adaptasi sosial menjadi masalah karena muncul penolakan sebagian masyarakat. Mantan napi dianggap pendosa yang harus dijauhi.

Akibatnya, pekerjaan tidak jelas. Urusan mengisi perut saja menjadi sulit, sehingga muncullah pikiran, antara lain; lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan. Nah, akhirnya kejahatan terulang lagi,” tandas Amirullah.

Pernyataan Amirullah ini mungkin ada benarnya. Tak heran, sejumlah napi terkesan tak mau bertobat karena kurangnya perhatian masyarakat luas dan pemerintah kepada mereka. Nah, di sinilah sikap kearifan sebagai sesama sangat dibutuhkan. (bersambung)


http://www.fajar.co.id/picer.php?newsid=368

0 komentar:

Posting Komentar