Selasa, 14 April 2009

Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kebermaknaan Hidup Narapidana

Ditulis WangMuba pada 15 Mar. 2009, Kategori ARTIKEL, Psikologi Sosial, Psikologi Umum

Setiap peristiwa, terutama yang sifatnya ekstrim yang dialami oleh manusia sedikit banyak akan membawa perubahan dalam kehidupan selanjutnya. Salah satu peristiwa yang kurang menguntungkan yang mungkin pernah dialami oleh sebagian orang adalah menjadi narapidana.

Dr. Thomas Holmes dan Dr. Richard Rahe (Olson, 2005), psikiater dari Universitas Washington dalam skala terhadap perubahan yang sering mempengaruhi manusia, menempatkan periode waktu dalam penjara sebagai salah satu peristiwa ekstrim dalam hidup manusia yang membawa perubahan dalam kehidupan mereka selanjutnya. Hal ini terutama terkait dengan kehadiran mereka kembali ke dalam masyarakat selepas menghabiskan masa hukumannya dalam penjara.

Salah satu tujuan didirikannya lembaga pemasyarakatan adalah untuk mempersiapkan para narapidana untuk dapat hidup kembali secara wajar di tengah-tengah masyarakat tanpa menimbulkan kesenjangan antara masyarakat dengan si narapidana, begitupula sebaliknya. Mengapa, karena status narapidana ataupun mantan narapidana seringkali disikapi secara ekstrim atau berlebihan oleh masyarakat, termasuk cara mereka memperlakukannya. Kondisi ini lambat laun akan mempengaruhi cara pandang (konsep diri) si narapidana sendiri terhadap dirinya.

Salah satu bentuk kesalahan dari sekian banyak kesalahan yang dapat menyebabkan seseorang dijebloskan ke dalam sel tahanan adalah karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang, sebagai salah satu bentuk pemujaan terhadap gaya hidup hedonis. Realitas sosial paling dekat dengan kehidupan, terutama masyarakat Indonesia, adalah tidak sedikitnya individu (remaja dan orang dewasa) yang dipenjarakan karena keterlibatan mereka dengan narkoba. Hampir setiap orang menganggap bahwa gaya hidup hedonis sangat kental dengan hura-hura, senang-senang, mabuk-mabukan (minuman keras maupun narkoba) dan pesta-pesta ekstravaganza.

Hasil penelitian Alaina (2002) menemukan bahwa konsep diri yang negatif atau rendah berbanding terbalik dengan gaya hidup hedonisme, di mana tingginya gaya hidup hedonisme salah satunya disumbang oleh konsep diri negatif. Gaya hidup hedonisme yang banyak dianut oleh kawula muda dan bahkan orang dewasa saat ini, sangat mengagung-agungkan segala bentuk kesenangan, foya-foya dan hura-hura, meski tak jarang pesta-pesta atau hura-hura yang digelar oleh mereka berseberangan dengan pranata sosial dan norma-norma agama.

Hedonisme yang ditandai dengan budaya konsumtif cenderung menabukan hal-hal yang bersifat normatif, anti kemapanan, dan beberapa lainnya lebih merupakan ekspresi pemberontakan terhadap dominansi lembaga yang dianggap sakral, seperti orang tua serta norma yang mengusung jargon moral dan akhlak. Perilaku seperti penggunaan obat-obatan terlarang, mabuk-mabukan dengan minuman beralkohol, sampai kepada perilaku seks bebas merupakan beberapa contoh perilaku yang mewarnai gaya hidup hedonisme.

Meski tidak selalu seperti itu, namun tak urung gaya hidup hedonisme yang dianut oleh sebagian kalangan telanjur diasosiasikan sebagai gaya hidup yang pada gilirannya akan menggiring seseorang pada kekaburan identitas diri, labilitas emosi, kehampaan akan tujuan hidup, dan pada akhirnya bermuara pada ketidakbermaknaan hidup (Wong, tanpa tahun). Wong (tanpa tahun) menganggap bahwa gaya hidup hedonisme merupakan refleksi pesimistik individu terhadap kehidupan. Bagi para pemujanya, secara keseluruhan hidup ini terlalu singkat, sehingga setiap orang seharusnya berusaha untuk memaksimalkan kesenangan dalam kehidupannya. Bagi mereka, hidup itu identik dengan berbagai kesenangan.

Sebagaimana Kita diketahui bahwa, salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang adalah umpan balik atau penilaian orang lain mengenai diri individu (Bee, 1981). Setelah individu mengobservasi fungsi dirinya sendiri sebagaimana mereka melihat tingkah laku orang lain, ia mulai menyematkan sifat-sifat tertentu pada dirinya, misalkan mudah marah, pemberani, ramah, supel. Selanjutnya, individu menerima umpan balik (feed back) tentang siapa dirinya dari orang lain. Individu juga dapat melihat siapa dirinya dengan melakukan perbandingan dengan orang lain (Mappiare, tanpa tahun).

Sebagai seorang narapidana sudah barang tentu individu memiliki konsep sendiri tentang diri mereka secara keseluruhan termasuk apa yang membuat mereka akhirnya harus mendekam dalam penjara. Di samping itu, masyarakat telah memiliki asosiasi sendiri tentang sosok seorang narapidana, meski tidak selalu benar namun secara umum masyarakat telah membuat label sendiri bagi para pesakitan tersebut sebagai orang hukuman.

Dalam perkembangannya, persepsi masyarakat tentang narapidana terkadang agak berlebihan, sehingga dapat mempengaruhi persepsi para narapidana tentang diri mereka. Masih adanya sebagian kalangan dalam masyarakat yang secara terang-terangan menolak kehadiran mereka untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat (terutama terkait dengan kasus kejahatan yang melibatkan si napi), menyebabkan narapidana tak jarang menjadi kehilangan kepercayaan dirinya, dan jika dibiarkan berlarut-larut dapat menyebabkan munculnya gangguan-gangguan psikologis hingga bisa berujung pada tindakan nekat, seperti bunuh diri .

Dalam pandangan Pudjijogjanti (1993) konsep diri seseorang terbentuk melalui dua komponen, yaitu komponen kognitif (cognitive component) dan komponen afektif (affective component). Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya. Misalnya, “saya anak bodoh”, “saya anak manja”, atau “saya anak nakal”. Jadi komponen kognitif merupakan penjelasan tentang “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri (self picture) tersebut kemudian akan membentuk citra diri (self image) seseorang. Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta penghargaan pada diri (self esteem) individu.

Penjelasan di atas memberi pemahaman lebih jelas bahwa secara kognitif dan afektif seseorang telah memiliki gambaran sekaligus penilaian tentang diri mereka. Namun tetap saja apresiasi serta persepsi orang lain terhadap keberadaan narapidana memberi dampak besar terhadap bagaimana napi memandang diri mereka. Jika narapidana terpengaruh oleh penilaian masyarakat yang menstigmatisasi secara negatif eksistensi mereka, maka besar kemungkinan mereka akan memandang diri mereka secara negatif pula. Itu berarti pula bahwa akan semakin besar kemungkinan narapidana untuk gagal dalam memaknai keberadaan mereka sebagai narapidana. Mereka akan kehilangan kemampuan untuk berpikir secara jernih bahwa sesungguhnya mereka masih memiliki tanggung jawab sosial sebagai manusia, sebagai seorang ayah, suami, ibu, istri, anak, atau anggota masyarakat secara umum.

Ketidakmampuan mereka untuk berpikir demikian pada gilirannya akan membentuk mereka menjadi pribadi yang neurosis yang akan berujung pada hadirnya kecemasan yang berlebihan, hingga dapat melumpuhkan kemampuan mereka untuk bertindak sewajarnya, dan membuat kepribadiannya menjadi panik (May, 1997).

Kecemasan berlebihan yang dirasakan oleh narapidana akan menumpulkan keberanian serta rasa percaya dirinya. Jika sudah demikian, orang-orang neurosis akan terjebak dalam lingkaran setan yang akan berakhir pada kegoncangan jiwa. Alam atau lingkungan sekitar yang sejatinya bersifat netral dalam hal nilai-nilai, dianggap kejam dan bermusuhan sehingga orang-orang neurosis membentuk berbagai gambaran kompensatif tentang surga dan kehidupan setelah kematian (May, 1997).

Itu sebabnya mengapa narapidana dianggap sebagai komunitas yang rentan terhadap kondisi keputusasaan. Ketika keputusasaan mendera maka seseorang cenderung akan kehilangan keyakinannya terhadap makna kehidupan. Padahal jika seseorang dapat meyakini adanya makna dalam kehidupan, dapat meyakini nilai pokok diri sendiri dan orang lain, dapat meyakini bahwa alam (lingkungan) memiliki makna yang dapat membantunya dalam meretas jalan untuk mengatasi rasa ketidakamanan, maka ia akan kembali memiliki rasa percaya diri sekaligus keberanian yang dibutuhkan untuk menghadapi kehidupan.

Jung (dalam May, 1997) menjelaskan bahwa apa yang dibutuhkan oleh seseorang dalam hidup, adalah keimanan, harapan, cinta, dan pencerahan. Keimanan atau kepercayaan kepada kekuatan di luar diri manusia (Tuhan YME) akan memberi manusia keberanian dalam menghadapi kerasnya kehidupan, karena ia percaya bahwa ia tidak sendiri dalam menjalani kehidupan. Ia meyakini bahwa setiap saat Tuhan YME akan selalu membantunya jika menemui kesulitan, sekaligus menuntunnya untuk segera keluar dari kesulitan tersebut.

Harapan merupakan sumber kekuatan internal yang harus dimiliki oleh setiap manusia dalam membangun format kehidupan yang lebih baik. Harapan akan memberi peta bagi manusia untuk mencapai bentuk kehidupan yang diidam-idamkannya. Tanpa sebuah harapan mustahil manusia akan menggapai banyak kemenangan dalam hidupnya.

Harapan sekaligus berfungsi untuk memompakan semangat dan motivasi ke dalam diri seseorang untuk tetap memperjuangkan kehidupannya, meskipun ia pernah berlaku salah dalam suatu fase kehidupannya. Hanya harapan yang akan memberi kekuatan pada diri manusia untuk segera beranjak keluar dari kegagalan dan keterpurukannya, dan harapan pulalah yang pada akhirnya membantu manusia untuk secara sistematik merencanakan kehidupannya di masa depan.

http://wangmuba.com/2009/03/15/hubungan-antara-konsep-diri-dengan-kebermaknaan-hidup-narapidana

0 komentar:

Posting Komentar