Asia Watch pada tahun 1990 telah mengeluarkan laporan tentang Kondisi Penjara di Indonesia (Prison Conditions in Indonesia).
Penelitian dilakukan di tujuh LAPAS, antara lain : Cipinang–Jakarta, Malang–Jawa Timur, Kalisosok–Surabaya, Wirogunan-Yogyakarta, Bantul–Yogyakarta, Perempuan dan Anak di Tangerang. Hasil penelitian menemukan banyaknya penyimpangan yang terjadi di lapangan, antara lain soal kematian tidak wajar, korupsi, pelayanan kesehatan yang tidak makimal, penyiksaan (torture), dan tidak terpenuhinya hak atas lingkungan yang bersih dan sehat.
Dalam bulan ini kita dihebohkan dengan angka kematian di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang cukup tinggi, dimana sepanjang tahun 2006 sebanyak 831 Narapidana meninggal dunia. Di awal 2007, Januari-April dilaporkan sebanyak 52 orang meninggal di LAPAS Pemuda Kelas IIA Tangerang. Berbagai kalangan menyatakan prihatin atas kondisi tersebut dan kecewa atas kegagalan penerapan konsep pemasyarakatan yang ditetapkan pada tanggal 27 April 1964 sebagai pengganti konsep pemenjaraan.
Kedua laporan diatas menjelaskan kondisi di dalam LAPAS sebelum dan sesudah UU Nomor 12/1995 Tentang Pemasyarakatan diberlakukan. Keduanya melaporkan kondisi yang sama terkait dengan problematika di dalam LAPAS. Paling tidak ada tiga masalah penting yang dapat dipetik dalam peristiwa tersebut, pertama permasalahan kultur dan cara pandang (paradigma) pemasyarakatan, kedua soal hak-hak Narapidana dan ketiga perubahan kebijakan pemerintah.
Dampak cara pandang lama
RA Koesnoen (1966) telah menggariskan bahwa narapidana sebagai manusia memiliki kedudukan yang sama untuk tetap menikmati hak-hak dasarnya. Pemenuhan hak diperlukan untuk mengangkat kehormatan dan martabat tahanan sebagai manusia. Tujuannya agar penjara tidak membuat tahanan semakin tidak menentu nasibnya, seperti terstigma sebagai sampah di masyarakat dan menjadi lebih jahat.
Praktik yang terjadi sekarang ini jelas berseberangan dengan apa yang diinginkan oleh konseptor pemasyarakatan di era tahun 60-an itu. Berlangsungnya kultur penghukuman hingga saat ini, berupa efek jera dan penderitaan kepada narapidana tidak lepas dari cara pandang yang tidak berubah. Dari petugas, masyarakat, hingga narapidana sendiri pada umumnya menganggap LAPAS sebagai tempat menjalani hukuman, padahal sejak tahun 1964 termasuk di dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan yang berlaku sekarang sudah tidak mengenal LAPAS sebagai tempat penghukuman.
UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan telah menggariskan 6 (enam) prinsip dasar dalam melakukan pembinaan dan bimbingan terhadap narapidana, diantaranya narapidana mendapatkan pembekalan, mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang sama, pendidikan kepribadian, memperlakukan narapidana sebagai manusia, tidak lagi mendapatkan penderitaan selain pembatasan ruang gerak, dan tetap berhubungan dengan keluarga dan masyarakat. (Pasal 5).
Meskipun pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebenarnya telah mengeluarkan Sepuluh Wajib Pemasyarakatan namun keinginan luhur ini pada prakteknya sulit diterapkan. Melalui Sepuluh Wajib Pemasyarakatan ini diharapkan para petugas LAPAS dapat melaksanakan perannya dengan tetap memegang prinsip hak asasi manusia..
Oleh karena itu, cara pandang tentang LAPAS sebagai tempat penghukuman harus normalisasi, kepada seluruh pihak termasuk kepada masyarakat dan narapidana itu sendiri. Pemerintah merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk melakukan perubahan pada tingkat pemikiran. Hingga akhirnya nanti tidak ada lagi stigma buruk terhadap LAPAS maupun pergeseran makna pemasyarakatan itu sendiri.
Melanggar Standar Minimal Internasional
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kongres Pertamanya tahun 1955 telah mengeluarkan ketentuan minimum dalam pembinaan para tahanan yang dituangkan dalam Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners. Terdapat 95 pasal yang harus menjadi ketentuan dari Negara-negara anggota dalam memperlakukan tahanan, tidak terkecuali di Indonesia yang telah menjadi salah satu anggota PBB. Khusus pada persolaan standar minimal perawatan kesehatan dan kebersihan, terdapat 5 (lima) pelanggaran serius, yaitu :
Pertama, makanan dan minuman tidak disajikan baik, tidak memenuhi unsur gizi dan kualitas kesehatan melanggar pasal 20.
Kedua, penyediaan kebutuhan perawatan kesehatan yang tidak maksimal seperti tenaga medis dan obat-obatan yang secara rutin harus berikan kepada narapidana melanggar pasal 22.
Ketiga, terbatasnya sarana untuk buang hajat dan mandi serta kebersihannya, air dan benda yang berhubungan dengan kesehatan dan kebersihan tidak selalu tersedia, termasuk juga perlengkapan perawatan rambut dan jenggot para tahanan melanggar pasal 14, 15 dan 23.
Keempat, sempitnya ruang tahanan dan volume udara, luas lantai, penerangan, pemanasan dan ventilasi harus tersedia serta pencahayaan alami yang seharusnya dirasakan oleh seluruh tahanan melanggar pasal 9, 10, 11, 12, dan 13. Tidak adanya pakaian yang bersih dan layak digunakan berdasarkan perubahan iklim serta tidak adanya pengawasan kebersihan penggunaan tempat tidur, selimut dan seprei melanggar pasal 17, 18 dan 19.
Kelima, tidak disediakan waktu untuk pendidikan jasmani dan olahraga serta waktu rekreasi melanggar pasal 21.
Dalam hukum nasional, UU 12/1995 dan secara teknis telah diatur dalam Pemerintah (PP) Nomor 32/1999 Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan telah mencantumkan hak-hak narapidana. Persoalan makanan, pakaian, kegiatan olahraga, hingga perawatan kesehatan lainnya telah diatur secara lengkap didalamnya. Herannya, hak-hak minimal yang telah diatur secara internasional dan diakui secara nasional ini tidak dapat dioperasikan di tingkat lapangan sehingga melahirkan pelanggaran-pelanggaran.
Merubah Kebijakan
Kondisi LAPAS yang dilaporkan Asia Watch serta peristiwa yang terjadi sekarang memiliki rentan waktu yang cukup lama, dimana seharusnya kondisi sekarang tidak lebih buruk dari kondisi masa lalu. Laporan media pada tahun ini saja sudah menggambarkan kondisi LAPAS yang sangat buruk dan mengkhawatirkan, bahkan LAPAS disinyalir menjadi school of criminal. Oleh karena itu perlu adanya perubahan fundamental dari hulu ke hilirnya untuk memulihkan ke kondisi yang lebih normal.
Pertama, perlunya tindakan represif pemerintah terhadap budaya menyimpang didalam LAPAS dengan memberikan sanksi kepada siapaun yang melanggar prinsip pemasyarakatan. Tindakan represif bukan berupa kekerasan fisik tetapi tindakan tegas untuk melarang dan menghukum para pelaku, bukan saja narapidana yang berulah, tetapi birokrasi pemasyarakatan yang menyimpang pun menjadi pihak yang harus ditindak.
Kedua dibutuhkan perluasan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pemasyarakatan. Secara institusi masyarakat hanya dilibatkan dalam Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) itupun hanya sebatas menyampaikan keluhan dan pengaduan masyarakat kepada pemerintah.
Perluasan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan harus diatur dalam regulasi baru, dimana didalamnya memberikan hak masyarakat untuk dapat mengakses informasi, menerima keluhan dari narapidana, mengawasi langsung pelaksanaan program pemasyarakatan serta melakukan upaya-upaya, termasuk didalamnya upaya hukum perdata dan pidana jika didapati pelanggaran pada pelaksanaannya.
Ketiga perubahan pada kurikulum pendidikan bagi para calon taruna yang akan ditugaskan dalam LAPAS. Peninjauan ulang kurikulum pendidikan ini sangat penting oleh karena pelaksanaan pemasyarakatan di lapangan sepenuhnya berada pada sarjana lulusan lembaga pendidikan ini. Meski AKIP telah melahirkan ribuan sarjana faktanya masalah LAPAS tidak pernah selesai.
Tiga solusi ini menjadi pekerjaan rumah yang semestinya dikerjakan terlebih dahulu. Kita berkeinginan bahwa konsep pemasyarakatan yang telah terbingkai dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat dijalankan dengan baik. Butuh kesungguhan pemerintah untuk segera melaksanakan regulasi yang ada tanpa terus menerus mencari kambing hitam.
Ditulis oleh Kepala Bidang Litbang LBH Jakarta
http://www.bantuanhukum.org/index-6.php?fileid=10&makalahid=3