PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Jumat, 15 Februari 2008

Napi Gratis Makan di Rutan

Klick judul kalau mau lihat video alinya
Direktur Bina Bimbingan Kemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi manusia, Mashudi menargetkan ke depan tidak akan ada lagi nara pidana yang harus membayar tiap Minggu untuk makan. Target ini dinyatakan saat mencanangkan bulan tertib rumah tahanan (rutan) pada Kamis.

Mashudi menyatakan, biaya hidup napi yang tinggi membuat pihaknya secara bertahap akan memperbaiki sistemnya. Antara lain, dengan meniadakan penyimpangan-penyimpangan.

Sementara Rahadi Ramelan, mantan Kabulog yang kini berstatus nara pidana menyatakan di penjara dirinya banyak kehilangan kebebasan. Bahkan, banyak sekali hak-hak napi yang dicabut dari lembaga pemasyarakatan.

Reporter: Syariful Kameramen : Alam Penulis : Sastra Editor Video : Feri

http://tv.kompas.com/berita/metropolitan/napi_gratis_makan_di_rutan.html

Selasa, 12 Februari 2008

Napi-napi Yang Kuliah Lagi

Pengantar Redaksi: Menjadi terpidana tak kehilangan hak untuk mencari dan mengembangkan ilmu. Lapas Cipinang bekerjasama dengan Univ. Bung Karno menyelenggarakan perkuliahan untuk para napi. Sambutannya ternyata antusias. Berikut ceritanya dituturkan wartawan Pos Kota Aby Bahagiana. Selamat mengikuti. Murid sudah pakar, dosen kewalahan (1).

Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas I Cipinang Jakarta Timur Drs. Haviluddin Bc. IP.MH membuat kerja sama (MOU) dengan Universitas Bung Karno (UBK), dua bulan lalu. Kerja sama itu terbentuk berkat gagasan ketua mantan napi LP Cipinang Prof. Dr. Rahardi Ramelan yang pernah mendekam di LP Cipinang karena tersandung kasus Bulog.

Kerja sama yang terbentuk ialah LP Cipinang, Jakarta Timur membuka kesempatan kepada para napi, mantan napi, maupun petugas LP untuk mengikuti kuliah strata 1 (S 1) di LP Cipinang setiap hari Jumat dan Sabtu mulai Pkl. 16:00 sampai 20:00. Kuliahnya berlangsung terus menerus tanpa henti. “Meski ada libur Lebaran atau Natal, kita terus gelar kuliah,” ucap Haviluddin.

Program S-1 UBK di LP Cipinang sangat unik. Selain satu-satunya lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia yang menyediakan program pendidikan bagi para narapidana, juga kuliahnya singkat, hanya ditempuh selama 2 tahun 8 bulan.

Menurut Kalapas Cipinang Haviluddin kepada Pos Kota, kemarin, dengan program pendidikan ini diharapkan para napi yang habis masa hukumannya lebih mengerti tentang hukum serta memperoleh tambahan ilmu, wawasan dan keadilan.

Sejauh ini para napi di LP Cipinang baru bisa mengikuti kuliah di fakultas hukum setiap hari Jumat sore dan Sabtu sore mulai Pkl. 16:00 hingga 20:00 WIB. Untuk itu, Haviluddin mendatangkan dosen-dosen berkualitas ke LP Cipinang setiap kali ada proses belajar mengajar.

Tidak tanggung-tanggung, para mahasiswa UBK yang berkuliah di LP Cipinang terdapat sejumlah pakar dan nama tenar seperti ECW Neloe (mantan Dirut Bank Mandiri), Theo F. Toemion (tokoh PDI-P), Eurico Guterrez, Pollycarpus (terpidana 20 tahun kasus Munir), Sihol Manulang (terpidana kasus korupsi KPU), dll.

TAK KENAL LIBUR
Dosen Sosiologi UBK, Coki TN. Sinambela, SH, MM mengatakan para dosen UBK terkadang kewalahan jika berdiskusi dengan mahasiswa di LP Cipinang. Sebab, sebagian mahasiswanya sudah memiliki wawasan dan pendidikan tinggi seperti ECW Neloe yang sangat ahli di bidang ekonomi.

“Program S-1 di sini sangat singkat. Cuma 2 tahun 8 bulan. Soalnya kami tidak mengenal libur semester,” tambah Kalapas Haviluddin yang mantan Kalapas LP Tangerang.

Haviluddin mengakui ide terselenggaranya program pendidikan S1 di LP Cipinang merupakan gagasan mantan napi Prof. Dr. Rahadi Ramelan yang kini menjadi ketua para napi LP Cipinang. Rahadi Ramelan melakukan terobosan bersama Haviluddin dengan mencari donatur untuk memberi bea siswa kepada siswa berprestasi.

Terpidana Pollycarpus mengatakan dirinya ikut kuliah UBK di LP Cipinang selain untuk mengisi waktu, juga untuk mencari tahu keadilan. Sebab, dirinya merasa tidak bersalah dan ingin menelusurinya lewat kuliah di fakultas hukum.

Mantan pilot Garuda ini mendukung penuh program kuliah S-1 di LP Cipinang sebagai upaya pencerahan bagi para napi yang rata-rata buta hukum. “Dengan kuliah dan seringnya diskusi soal hukum, maka para napi menjadi melek hukum,” ucapnya.

Meski baru sepekan mendekam di LP, Pollycarpus juga mengajak teman-teman sesama napi untuk masuk menjadi mahasiswa UBK fakultas hukum. “Saya berharap, kelak LP Cipinang menyediakan juga fakultas lain, bukan hanya fak. Hukum,” tuturnya.

Kalapas Haviluddin sendiri sering memeriksa proses belajar mengajar di dalam LP. “Di LP Cipinang ini, bukan hanya pendidikan yang saya perhatikan, tetapi keindahan taman, ketertiban, kebersihan kamar tahanan dan ruang pegawai sama-sama menjadi fokus perhatian,” ucap pria asal Palembang ini. (bersambung/j)

http://www.poskota.co.id/news_baca.asp?id=33597&ik=3

Sabtu, 09 Februari 2008

Yayasan Solidaritas Eks Napi Indonesia SulseL

Miliki 300 Anggota, Berusaha Tepis Hukuman Sosial


Laporan: Sultan Rakib

STIGMA negatif bagi para narapidana (napi), memang masih melekat kuat di masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga tak bisa disalahkan begitu saja. GELAK tawa sejumlah pria terdengar jelas dari sebuah rumah permanen berwarna putih di Jl Sultan Alauddin I nomor 5 Makassar, kira-kira pukul 13.00 Wita Rabu, 20 Februari. Gelak tawa itu sesekali terdengar sampai di halaman rumah; sangat keras.

Tepat di depan rumah yang memiliki rumput lebat itu, berdiri kokoh papan berukuran 2X3 meter dengan tulisan Yayasan Solidaritas Eks Napi Indonesia (Yaseni) Sulawesi Selatan. Ternyata, rumah ini menjadi tempat pertemuan bagi para eks napi yang masuk dalam anggota Yaseni.

Tawa dan canda beberapa pria itu tiba-tiba terhenti saat penulis melangkah melewati pintu dan masuk ke ruang tamu rumah tersebut. Pandangan beberapa pria ini bak dikomando mengarah kepada penulis.

“Dari Fajar? Silakan masuk, sudah ditunggu,” ujar salah seorang dari mereka. Penulis sempat khawatir. Maklum, beberapa di antara mereka terlihat gondrong plus anting-anting di telinga.

Bukan hanya itu, ada eks napi yang kancing bagian atas bajunya terbuka sehingga tato di bagian dadanya terlihat.

Namun, ternyata mereka menyambut penulis dengan nada sopan dan senyum ramah. Penulis akhirnya tenang. “Kita semua sama dan bersaudara.

Bedanya, beberapa teman ini, termasuk saya adalah eks napi, sedangkan bapak (penulis) bukan,” kata Syukri Djunaid, seorang pembina Yaseni sambil mempersilakan penulis duduk di sofa berwarna krem.

Tidak ada basa-basi, memang. Beberapa detik saja setelah penulis mengambil posisi duduk, Ketua Umum Yaseni Andi Amir langsung membuka pembicaraan.

Lelaki dengan rambut cepak ini kemudian berkisah tentang yayasan yang mengayomi para eks napi itu. Ia mengatakan, yayasan ini sudah memiliki 300 anggota eks napi.

“Mereka semuanya dibina di yayasan ini. Kita berupaya keras agar tidak ada lagi yang melakukan praktik amoral setelah keluar dari penjara,” tegas Amir, meyakinkan.
Selang beberapa detik setelah berkomentar, Hasanuddin Tahir, salah seorang pembina dan sekaligus pendiri Yaseni ini, angkat bicara.

Dia menjelaskan bahwa ikhwal terbentuknya yayasan ini tak lain untuk meminimalkan tindak kriminalitas, khususnya bagi para eks napi.

Dia mengungkapkan, sebenarnya, salah satu penyebab sehingga sejumlah eks napi tak pernah bertobat karena perilaku masyarakat sekitar. Selain itu, tidak adanya jaminan dari pihak pemerintah.

Dalam realitas masyarakat modern yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, praktik pemenjaraan seolah-olah gagal mengubah seorang penjahat menjadi warga masyarakat yang baik. Pada akhirnya, lembaga pemasyarakatan tetap sebagai penjara yang seringkali membuat seorang narapidana tambah “pintar” berbuat jahat.

Dasar inilah, lanjut Hasanuddin, memunculkan pemikiran untuk membuat yayasan yang bisa mengubah secara total dan permanen sikap mantan napi. Tujuannya, agar bisa berguna dan tidak sekadar menjadi “sampah” masyarakat.

“Di Yaseni ini, sebanyak 300 anggotanya mulai kami kumpulkan untuk kemudian kami usahakan agar disalurkan ke beberapa perusahaan yang bisa menerima mereka sesuai dengan keahliannya,” jelas Hasanuddin.

Memang, lanjut dia, tidak semua anggota Yaseni sudah mendapatkan pekerjaan. Maklum, usia yayasan ini baru beranjak sebulan. Yaseni dibentuk berdasarkan akte pendirian tertanggal 23 Januari 2008.

“Pengurus yayasan masih terus membuka akses ke sejumlah perusahaan, sambil proses SITU-nya dibuat. Yang jelas, niat baik kami menjadikan yayasan eks napi ini berguna dan tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi masyarakat,” ujar Hasanuddin.

Amirullah Tahir, salah satu pengacara di Makassar, ternyata menjadi salah seorang pendiri Yaseni. Sayangnya, Amirullah tak sempat hadir dalam pertemuan para eks napi ini dengan penulis, kemarin. Amirullah berada di Jakarta.

Kendati tak bertemu langsung dengan penulis, ia tetap mengirimkan pesan singkat yang mempertegas bahwa Yaseni bukan organisasi politik. Juga tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu.

Yayasana ini, kata dia, murni bergerak dalam bidang sosial dengan tujuan utama menyejahterahkan anggotanya. Terpenting, sebut dia lagi, menghapus segala bentuk diskriminasi sosial bagi mantan napi.

Ditambahkan, Yaseni berbeda dengan yayasan sejenis yang didirikan di Jakarta yang hanya melakukan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP), dengan kegiatan membuka kuliah hukum di Cipinang, yang diikuti eks napi berduit.

“Yaseni beda dengan itu. Karena orientasinya pada pembinaan mantan napi di luar LP, membina yang keluar Rutan/LP,” katanya.

Amirullah menambahkan, pembinaan di dalam penjara saat ini dinilai sudah baik. Bimbingan mental dan keterampilan juga sudah memadai. “Persoalannya muncul saat napi keluar dari Rutan/LP.

Adaptasi sosial menjadi masalah karena muncul penolakan sebagian masyarakat. Mantan napi dianggap pendosa yang harus dijauhi.

Akibatnya, pekerjaan tidak jelas. Urusan mengisi perut saja menjadi sulit, sehingga muncullah pikiran, antara lain; lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan. Nah, akhirnya kejahatan terulang lagi,” tandas Amirullah.

Pernyataan Amirullah ini mungkin ada benarnya. Tak heran, sejumlah napi terkesan tak mau bertobat karena kurangnya perhatian masyarakat luas dan pemerintah kepada mereka. Nah, di sinilah sikap kearifan sebagai sesama sangat dibutuhkan. (bersambung)


http://www.fajar.co.id/picer.php?newsid=368

Dari Lapas Cipinang

Dalam Acara Kick Andy Metro TV Kamis 7 Februari 2008 saya sangat terkesan dengan acara tersebut, walapun materi dari program-program Kick Andy sebelumnya juga tidak kalah menariknya. Kepada anda yang mungkin tidak sempat menonton acara tersebut, inilah penjelasan singkatnya.

Acara ini dilangsungkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, di mana ada sebuah berita yang sangat menarik bahwa di dalam lapas tersebut telah dibuka perkuliahan tentang Hukum. Dalam acara tersebut presenter Andy F Noya bertanya kepada beberapa peserta kuliah tersebut yang tak lain adalah napi Lapas Cipinang.

Hampir semuanya memberikan komentar bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil setelah mereka belajar langsung tentang hukum. Seorang peserta kuliah tersebut memberi komentar bahwa betapa hukum di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan hukum yang sedang dia pelajari. Adapun materi kuliah tersebut dibawakan oleh dosen dari Universitas Bung Karno. Mereka merasakan perlakuan tidak adil oleh hukum di Indonesia.

Hal ini membawa kita kembali kepada masalah kasus Suharto yang akhir-akhir ramai dibicarakan setelah meninggal dunia. Bahkan semakin tidak jelas. Setelah sempat jadi perdebatan bahwa dia diberi gelar pahlawan atau tidak. Status hukumnya pun mulai dilupakan kembali seperti pada saat dia masih hidup. Kini berita tentang status hukum Suharto perlahan-lahan mulai memudar, dan mungkin perhatian pun beralih kepada kehidupan nyata sehari-hari.

yakni semua harga kebutuhan pokok yang terus naik. Terutama masalah bahan pokok untuk keperluan rumah tangga yang terus naik.

Seorang peserta dalam Lapas tersebut mengatakan bahwa banyak orang lain yang juga seharusnya dipenjara tetapi tidak tertangkap. Saya rasa itu benar dan kita semua setuju bahwa masih begitu banyak koruptor di negri ini yang tidak tersentuh oleh hukum.

Hal ini menimbulkan simpati kepada mantan pejabat yang dipenjara karena kasus korupsi. Orang yang dipenjara telah membayar apa kejahatan yang telah dilakukannya. Mereka telah melakukan pembersihan diri. Dan beberapa dari mereka sedang belajar tentang hukum. Mereka adalah mahasiswa hukum sekaligus juga menjadi contoh kasus "laboratorium hukum".

Mereka di penjara demi untuk keadilan, namun hukum sendiri tidak bertindak adil. Sebagian bisa lolos dari hukum itu sendiri.

Mudah-mudahan secerca sinar sedang dinyalakan dari Lapas Cipinang untuk menerangi gelapnya hukum di negri yang kita cintai ini.

Diposting oleh BUDI di 08:54

http://bingkai-bingkai.blogspot.com/2008/02/dari-lapas-cipinang.html

Jumat, 08 Februari 2008

NAPI JUGA MANUSIA dari KICK ANDY

Teman, kalimat indah ini aku ambil dari acara KICK ANDY di MetroTV.
Dialog dengan beberapa TEMAN di Lapas Cipinang. Silahkan dinikmati:


Badan kami boleh terpenjara, tetapi hati dan pikiran kami harus TETAP MERDEKA
(Theo F Toemion)
-------------------
Saya bangga menjadi BANGSA INDONESIA walaupun Indonesia tidak bangga memiliki saya
Merah Putih adalah hasil perjuangan

(Eurico Gutteres, Mantan Wakil Panglima Pro Integrasi Timor Timur)
-------------------
Siapakah yang pantas menjadi PEJABAT PUBLIK ... Antara seorang mantan napi atau seorang yang berbohong agar tidak dipenjara?
(Rahadi Ramelan)


Posted by labalaba at 10:06 AM
Labels: CATATAN HARIAN, MUTIARA HATI
http://indo4all.blogspot.com/2008/02/fw-napi-juga-manusia.html

Kamis, 07 Februari 2008

CARILAH ILMU SAMPAI DI BALIK TERALI

Mungkin banyak yang mengira bahwa seorang Theo F Toemion yang kini mendekam di LP Cipinang Jakarta ketika dijumpai dalam keadaan kusut dan sedih. Ternyata pria mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM itu ketika mengungkapkan perasaan di Kick Andy nampak trendy dan selalu semangat.

Memang Kick Andy kali ini agak beda. Kami kali ini melakukan rekaman dalam penjara Cipinang, Jakarta. Kami mengangkat topik seputar kuliah dalam penjara yang difasilitasi Universitas Bung Karno, Jakarta. Tentunya menarik untuk disimak mengingat para mahasiswa yang mengikuti perkuliahan itu adalah para narapidana yang ada di LP Cipinang.

Para Napi seperti Theo F Toemion, mantan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe dan Eurico Guterres, Tokoh Pemuda Pro Indonesia ketika jajak pendapat di Timor Timur tercatat sebagai mahasiswa. Bagi Theo, kuliah hukum (memang yang tersedia hanya fakultas hukum) di penjara memang sangat bermanfaat. Pria yang mendekam di LP Cipinang Jakarta karena divonis penyalahgunaan dana Tahun Kunjungan Indonesia 2003 itu hingga kini tidak mengerti mengapa sampai “menginap” di LP Cipinang.

Untuk itu dengan mempelajari ilmu hukum setidaknya ia akan mendapat jawabannya. Dan, semangat Theo untuk mengikuti perkuliahan itu sungguh luar biasa. “badan boleh terkurung tapi pikiran kita jalan terus” ujarnya ketika tampil di Kick Andy.

Begitu pula ECW Neloe. Mantan Dirut Bank Mandiri yang tersandung masalah penyaluran kredit itu. Motivasi pria yang seumur hidup tak mengira bakal menghuni Penjara Cipinang itu mengaku ingin mencari kebenaran hukum yang menimpa dirinya. Seperti halnya Theo F Toemion, Neloe menilai keberadaan dirinya di LP Cipinang adalah alasan politis.

Orang yang masuk penjara, kata Neloe adalah orang yang tidak mempunyai kekuatan. Dengan jenaka ia mengungkapkan bahwa orang yang masuk penjara itu adalah yang tertangkap. Sementara yang tidak tertangkap menurutnya lebih banyak.

Begitu halnya bagi Eurico Guterres.Pria berewokan kelahiran Timor Timur itu juga bersemangat mempelajari ilmu hukum. Selain bercita-cita menjadi pengacara kelak bebas nanti,Guterres juga ingin mencari jawaban mengapa ia sampai dijebloskan ke dalam penjara. Hal yang masih mengganjal sampai saat ini adalah, mengapa dirinya pada saat kerusuhan dulu membela Indonesia justru dihukum.

Padahal menurutnya, jika waktu itu bergabung dengan Timor Timur ia mengaku akan ditawari jabatan menteri pertahanan. Walau demikian Eurico Guterres tetap mencintai Indonesia sampai kapan pun, walaupun pemerintah Indonesia tidak mencintai dirinya.

Tentunya masih banyak hal-hal menarik lainnya yang akan diungkap pada Kick Andy episode kali ini.Selain tiga narasumber di atas masih ada cerita menarik dari dalam penjara seperti pengakuan Jamaludin Latief yang dihukum penjara seumur hidup karena kasus pembunuhan satu keluarga. Yang di luar dugaan adalah banyaknya donatur yang menyumbang untuk beasiswa dan sarana perkuliahan di LP Cipinang.

Menurut Rahardi Ramelan, Ketua Narapidana Indonesia, sampai saat ini sudah terkumpul dana Rp 105 juta. Uang itu akan diberikan kepada para narapidana yang ingin kuliah tetapi tidak mempunyai biaya.


Copyright © 2007 Website Team Kick Andy. All rights reserved

http://www.kickandy.com/pretopik.asp


Merayakan Imlek di LP Cipinang

Klick judulnya kalau mau lihat video imlek
Liputan6.com, Jakarta: Kemeriahan menyambut suasana Tahun Baru Cina atau Imlek juga dirasakan para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Untuk kali pertama, LP Cipinang menggelar perayaan Imlek bagi penghuni yang merupakan warga Tionghoa, Kamis (7/2).

Ide merayakan Imlek di LP Cipinang ini muncul karena semakin banyak warga Tionghoa yang terjerat masalah hukum sehingga tidak bisa merayakan dengan keluarga. "Salah satu liburan bagi mereka untuk melepaskan rasa duka. Walaupun mereka di dalam, Imlek tetap terasa," tutur Kepala Lapas Cipinang Haviluddin.

Bagi 3500 penghuni Lapas Cipinang, tarian ular naga dan barongsai menjadi hiburan tersendiri meski kebanyakan mereka bukan warga Tionghoa. Kebersamaan ini diharapkan mampu mengubah perilaku melawan hukum ketika mereka keluar kelak.(YNI/Jasmine Valentine)

http://www.liputan6.com/news/?id=154555&c_id=3

Ilmu Hukum untuk Orang Hukuman

Setiap orang memiliki hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Mulai dari hak untuk hidup, beragama hingga hak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang layak. Hak ini dimiliki oleh setiap orang tanpa terkecuali. Seorang presiden memiliki hak yang sama dengan seorang dosen. Begitu juga dengan narapidana.

Atas dasar pemikiran inilah akhirnya diselenggarakannya program kelas ekstension Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta yang diselenggarakan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta. Kuliah hukum ini ditujukan bagi narapidana dan juga petugas LP. ''Kelas ini sama dengan kuliah ekstension yang lainnya. Namun karena mereka tidak bisa keluar, maka kami yang mendatangkan dosen ke tempat mereka,'' jelas Dekan Fakultas Hukum UBK Houtlan Napitupulu, SH, MM.

Mereka yang berada di penjara pun merupakan salah satu contoh bentuk hukum, namun umumnya mereka tidak mengerti mengenai hukum. Karena itulah kemudian narapidana yang tergabung dalam Perhimpunan Narapidana meminta UBK untuk menyelenggarakan pendidikan hukum di LP Cipinang. Akhirnya pada 14 Desember 2007 lalu, program ini resmi dibuka di LP Cipinang.

Houtlan mengatakan, antusiasme untuk program ini cukup tinggi. Tercatat jumlah orang yang ikut program ini mencapai 60-an orang. Dengan komposisi, sekitar 21-23 orang narapidana dan sisanya, sekitar 40 orang merupakan petugas LP. Rahardi Ramelan, Mulyana W Kusuma dan juga Enrico Guteres merupakan sebagian dari narapidana yang ikut dalam program ini.

Houtlan juga menceritakan, program ini mendapat dukungan dari Menteri Hukum dan HAM. Bahkan, Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM meminta agar program ini dapat dijalankan di semua LP di Indonesia. Karena itu Houtlan mengaku tidak khawatir memberikan pendidikan hukum kepada para narapidana.

Ia berharap setelah mengerti hukum, mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Karena ia beranggapan, pendidikan merupakan hak semua orang. Serta hanya pendidikan yang mampu merubah sifat dan sikap seseorang. ''Ada filosofi yang mengatakan, hal yang bisa mengubah seseorang agar tidak mengulangi kesalahan bukanlah hukuman badan. Melainkan memberikan pemahaman dan pendidikan mengenai kesalahan yang dilakukan. Agar orang tersebut tahu bahwa yang dilakukannya adalah salah dan juga agar ia menyesal,'' jelas Houtlan.

Sumber : Republika , Senin, 07 Januari 2008

http://permanajayawirya.multiply.com/journal/item/51/Ilmu_Hukum_untuk_Orang_Hukuman



PEMULIHAN HAK-HAK SIPIL MANTAN NAPI

Oleh Prof.Dr. Muhammad Mustofa (Guru Besar Kriminologi FISIP UI)

Pendahuluan
Filosofi pembinaan pelanggar hukum yang dianut oleh Indonesia adalah mengintegrasikan kembali pelaku pelanggar hukum ke masyarakat, atau lebih dikenal sebagai pemasyarakatan. Akan tetapi dalam realitas, mantan narapidana secara sistematis justru dihambat untuk dapat berintegrasi kembali dalam kehidupan alamiah di masyarakat. Banyak peraturan perundangan dan kebijakan yang dibuat justru untuk menghambat terintegrasinya kembali mantan napi dengan masyarakat.

Dengan demikian maka filosofi pemasyarakatan napi hanya sekedar slogan kosong, yang dalam realitas menghasilkan pelaku pelanggar ulang, yang bolak-balik kembali ke bangunan penjara. Masyarakat dan struktur sosial (politik) telah melakukan stigmatisasi mantan napi yang sesungguhnya tidak selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi.
Makalah ini akan membahas bagaimana cara memperlakukan mantan napi yang selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi?

Pokok-pokok pikiran


Perlakuan terhadap mantan napi yang tidak adil sesungguhnya merupakan bentuk kemunafikan dari struktur sosial (politik). Sebab manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orangpun yang belum pernah melakukan perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana.

Namun demikian sebagian besar dari warga masyarakat tersebut beruntung karena tindakan kesalahan atau pelanggaran hukumnya tidak pernah diketahui oleh sistem peradilan pidana. Hanya sebagian kecil saja warga masyarakat yang tidak beruntung, yang ketika melakukan pelanggaran hukum pidana diketahui oleh sistem peradilan pidana dan tidak mampu menghindari hukuman. Mereka ini terpaksa menjalani hukuman dan diberi label narapidana.

Penghukuman pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya.

Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya.

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku. Dengan dasar pengertian ini tipologi pelanggar hukum meliputi:

1. Pelanggar hukum situasional.
2. Pelanggar hukum yang lalai.
3. Pelanggar hukum yang tidak sengaja melakukan pelanggaran.
4. Pelanggar hukum yang sakit.
5. Pelanggar hukum berulang atau residivis.

Tipologi pelanggar hukum tersebut seperti status penyakit yang diderita orang. Ada penyakit yang tidak perlu dirawat karena akan sembuh sendiri. Ada penyakit yang perlu perawatan cukup sekali saja. Ada penyakit yang perlu perawatan jalan. Ada penyakit yang memerlukan perawatan inap. Dan ada penyakit yang tak tersembuhkan. Dengan demikian perlakuan terhadap mantan napi, dengan analogi penyakit tersebut, tidak dapat dilakan secara sama dalam keadaan apapun.

Sebagian besar dari pelaku pelanggaran hukum sesungguhnya hanyalah orang-orang yang secara situasional (dalam keadaan khusus) melakukan pelanggaran hukum, dan kemungkinan pengulangan pelanggarannya kecil. Demikian juga banyak orang yang melakukan pelanggaran hukum secara tidak sengaja atau karena lalai. Dalam keadaan sakit (jiwa) orang tidak menyadari apa yang dilakukan ketika melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana.

Orang menjadi pelaku pelanggaran berulang melalui suatu proses yang panjang, termasuk memahirkan tindakan pelanggaran ketika berada di dalam lembaga penghukuman (penjara) dan penolakan masyarakat untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat, habitat hidup manusia. Pada tahap tertentu, pelaku pelanggaran ulang akan juga menghentikan kecenderungan pelanggarannya. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada umumnya orang akan menghentikan kecenderungan melakukan pelanggaran hukum secara berulang ketika mencapai usia lanjut.

Kecenderungan memperlakukan pelanggar hukum secara represif dalam telaah Durkheim mencerminkan bahwa masyarakat yang bersangkutan lebih dekat dengan ciri masyarakat primitif. Masyarakat modern cenderung menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum secara restitutif, yaitu memulihkan hubungan. Dalam dalil evolusi penghukuman, Durkheim menumuskan:

1. Semakin dekat tipe masyarakat ke pada masyarakat primitif, dan semakin absolut kekuasaan pusat dilakukan, intensitas hukuman semakin tinggi
2. Perampasan kemerdekaan yang lamanya berbeda tergantung dari keseriusan kejahatannya, cenderung menjadi alat pengendalian sosial yang normal

Kalau mengikuti dalil evolusi penghukuman dari Durkheim tersebut, dapat dikatakan bahwa perlakuan tidak adil terhadap mantan napi menunjukkan bahwa masyarakat dan kekuasaan pusat (struktur sosial poilitik) yang cenderung absolut merupakan ciri masyarakat primitif. Padahal sesungguhnya ciri umum masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa timur, dalam menyikapi pelanggaran hukum pidana cenderung mencari solusi perdamaian atau pemulihan hubungan antara pelaku dengan korban dan masyarakat.

Pelanggaran hukum pidana dilihat tidak semata-mata sebagai konflik antar pribadi (micro cosmos), tetapi merupakan keadaan yang dapat mengganggu kestablian alam semesta (macro cosmos). Oleh karena itu ketidakseimbangan yang dihasilkan harus disikapi dengan mengembalikan kestabilan hubungan para pihak yang berkonflik. Filosofi penghukuman bangsa-bangsa timur ini telah digali olehilmuwan barat John Braithwaite menjadi konsep restorative justice.

Restorative justice adalah cara penyelesaian konflik pidana melalui cara-cara informal yang dilakukan oleh komunitas dengan tujuan memulihkan hubungan antara pelaku dengan korbannya dan yang direstui masyarakat, dengan tetap menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah tindakan yang tidak benar. Melalui mekanisme ini adaupacara untuk menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah salah, tetapi melalui proses restorasi, pelanggar hukum diterima kembali menjadi warga masyarakat.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penghilangan dan pembatasan hak-hak sipil dan politik terhadap mantan napi dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan merupakan ketidakadilan terhadap warga masyarakat yang telah melunasi hutang kesalahan. Oleh karena itu semua peraturan perundangan yang membatasi atau menghilangkan hak-hak sipil dan politik mantan napi haruslah dicabut. Selain itu perlu adanya gerakan penyadaran masyarakat terhadap realitas pelanggaran hukum seperti yang diuraikan di atas sehingga masyarakat secara sadar mampu memperlakukan mantan napi secara adil.

http://kriminologi1.wordpress.com/2008/01/18/pemulihan-hak-hak-sipil-mantan-napi/

Minggu, 03 Februari 2008

Black Hole Lembaga Pemasyarakatan


Oleh: Lollong M. Awi


Pemenjaraan sebagai muara terakhir dari sistem peradilan pidana yang mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan dan akhirnya pemidanaan yang dikenal dengan integrated criminal justice system merupakan proses agar seseorang mendapatkan keadilan yang sesungguhnya, dan ini bisa terwujud ketika peraturan yang ada benar-benar dilaksanakan dengan konsisten.

Dalam pentahapan sistem peradilan pidana inilah maka lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan sampai Lembaga Pemasayarakatan merupakan empat pilar yang memungkinkan penegakan hukum dan keadilan yang menghargai hak azasi manusia bisa diwujudkan. Terkhusus lembaga pemasyarakatan dari realitas yang ada, maka bisa dikatakan cita-cita ideal yang diharapkan masih sangatlah jauh, terutama yang menyangkut pemenuhan hak dasar narapidana.

Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan (WBP), baik yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1995, yang didalamnya juga mencamtumkan sepuluh prinsip pemasyarakatan, kemudian adanya beberapa hukum internasional seperti Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, bahkan PBB pada tahun 1955 telah mengeluarkan apa yang Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners atau Peraturan-Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana. Tidak dipenuhinya secara ideal hak-hak napi ini sesungguhnya merupakan efek kesekian dari begitu kompleksnya masalah yang ada dalam lembaga pemasyarakatan.

Salah satu yang menjadi akar masalah adalah di kalangan internal Lapas (birokrasi) sendiri yang menjadikan ketenangan, keamanan sebagai ukuran atau parameter keberhasilan dan kinerja Lembaga pemasyarakatan, sehingga mau tidak mau pendekatan yang dilakukan masih pendekatan yang diterapkan dalam sistem kepenjaraan yaitu security approach semata yang berkarakter repressif dan punitif, bukan lagi pendekatan pemasyarakatan yaitu pembinaan, pembimbingan dan pengayoman dengan karakter korektif, edukatif dan rehabilitatif.

Jenis pendekatan inilah yang kemudian memberikan efek domino yaitu terjadinya secara terus-menerus pengingkaran hak-hak dasar warga binaan sebagimana tercantum dalam pasal 14 UU No 12 1995, ini masalah yang pertama.

Masalah kedua adalah kelebihan penghuni (over capacity), Secara nasional data dari DitJend Pemasyarakatan menunjukkan, prosentase peningkatan penghuni LP lebih tinggi dibanding perkembangan bangunan LP. Pada tahun 2003 penghuni LP (Tahanan dan Narapidana) 71.587 orang kapasitas 64.345 orang, tahun 2004 penghuni 86.450 orang kapasitas untuk 66.891 orang, tahun 2005 penghuni 97.671 orang kapasitas untuk 68.141 orang, tahun 2006 penghuni 118.453 orang kapasitas 76.550 orang, dan tahun 2007 sekitar 116.000 penghuni Lapas dengan kapasitas yang sama,

Berarti terdapat kelebihan penghuni sekitar 54,73 persen dari kapasitas yang semestinya, dari jumlah ini kasus yang menempati urutan pertama adalah kasus narkoba sekitar 30 persen atau 32.000 , khusus untuk DKI Jakarta jumlahnya lebih tinggi lagi menghampiri 60 persen atau 4.068 dari total 6.742 narapidana.

Persoalan over capacity ini sesungguhnya bukan masalah baru, melainkan masalah klasik yang sudah sangat sering diberitakan di media massa, diangkat menjadi tema-tema seminar, menjadi kajian penelitian, dan tentunya menjadi keluhan sebahagian besar Lapas itu sendiri yang dituding sebagai biang kerok penyebab kesemrawutan pengelolaan Lembaga pemasyarakatan.

Jika ditelisik secara sederhana lembaga kepolisian menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam memenuhi hunian Lapas karena memasukkan sebanyak mungkin orang ke dalam Lapas adalah sebuah prestasi tersendiri, begitupun dengan para hakim dituntut untuk lebih jeli dalam menangani kasus-kasus narkoba karena selama ini sebahagian besar semua orang yang ditangkap pasti divonis hukuman penjara, padahal hakim dapat menggunakan Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika di mana pasal ini menyebutkan bahwa hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan apabila terbukti bersalah.

Hal ini semakin diperparah dengan sistem kepidanaan kita yang belum mengakomodir secara maksimal apa yang disebut restorative justice system di mana pelaku sebuah tindak pidana kejahatan tidak serta merta harus dimasukkan ke dalam penjara sebagai upaya penjeraan, namun ada alternatif-alternatif lain seperti kerja-kerja sosial seperti di banyak negara lain yang sebenarnya bisa diadopsi dalam sistem yang ada, tentunya setelah melakukan klasifikasi kejahatan seperti apa yang bisa diterapkannya sistem restoratif ini.

Masalah ketiga adalah lemahnya pengawasan. Pengawasan yang ada selama ini dalam organisasi Lapas minimal ada dua yaitu pengawasan melekat dan pengawasan fungsional, pengawasan melekat yang dilakukan oleh pejabat internal lapas belum bisa diharapkan mengingat tidak adanya mekanisme kontrol yang jelas terutama dari masyarakat. Terlebih lagi pengawasan fungsional yang diserahkan kepada inspektorat jenderal Depkumham, bagaimana mungkin pengawasan yang dilakukan “orang dalam” bisa diharap transparan dan akuntabel.

Keberadaan Badan Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) yang mayoritas diisi oleh masyarkat sipil dan akademisi diperhadapkan pada masalah yang serupa mengingat badan ini hanya memberikan berbagai macam masukan dan pertimbangan kepada menteri, dan sepertinya sampai sekarang masyarakat umum tidak pernah mengetahui kinerja dan aktivitasnya. Sebenarnya jika badan ini diperkuat dengan mereformasi tugas dan kewenangannya maka pengawasan yang dilakukan bisa efektif dan memiliki taring.

Masalah keempat adalah kualitas dan kuantitas sumber daya. Kualitas yang dimaksud di sini adalah tingkat pemahaman kalangan petugas pemasyarakatan (gaspas) yang lemah dalam mengimplementasi dan mengakselerasi sepuluh prinsip pemasyarakatan termasuk pemenuhan hak-hak napi. Untuk meningkatkan kualitas para gaspas maka pendidikan dan pelatihan yang sesuai dan lebih spesifik dengan kebutuhan lapas (pembinaan kemandirian dan kepribadian) harus lebih intensif diberikan mengingat selama ini diklat yang ada masih berputar pada hal-hal yang bersifat umum dan peruntukannya pun hanya bagi para pejabat Lapas.

Kualitas dan kuntitas sarana dan fasilitas dalam rangka pembinaan kemandirian berupa pelatihan-pelatihan masih sangat jauh dari harapan. Kuantitas dari segi jumlah petugas jika dibandingkan dengan peta hunian lapas jelas lebih memprihatinkan. Jika dirata-ratakan hampir di setiap lapas satu petugas keamanan berbanding tujuh puluh napi bahkan di beberapa lapas tertentu perbandingannya satu banding seratus.

Masalah kelima adalah anggaran. Minimnya anggaran adalah masalah klasik lainnya sekaligus sebagai penyebab utama culnya berbagai macam persolan krusial dalam pengelolaan Lapas. Dari sisi napi besarnya uang makan (Rp. 1000 per napi per hari, uang kesehatan (Rp. 750 per napi per hari) terasa begitu miris, dari sisi petugas, uang tunjangan, uang kesejahteraan, dan gaji juga miris dirasakan dan tidak sebanding dengan resiko yang mereka hadapi di dalam lapas yang tidak jarang mempertaruhkan keselamatan mereka.

Munculnya dugaan pungli atau pungutan, kebiasaan memperlama napi dalam penjara dengan menghambat proses pemberian pembebasan bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga dan hak napi lainya, adalah akibat dari sangat minimnya tunjangan yang diberikan sehingga mereka secara kreatif mencari pemasukan dari napi itu sendiri bahkan yang lebih ironis lagi tidak sedikit petugas kemasyarakatan yang menjadi perantara supplay narkoba dari luar ke dalam Lapas dengan bayaran sekitar Rp. 500.000 sekali transaksi.

Dari akumulasi lima persoalan di atas maka yang terjadi kemudian adalah gelobang kematian warga binaan dan tahanan yang tidak bisa dikatakan sedikit di sejumlah Lapas yang mengalami fluktuasi yang fantastis, Sebanyak 440 napi (312 napi dan 128 tahanan) meninggal sepanjang tahun 2007, tahun 2006 napi yang meninggal sebanyak 813 orang (Kompas, 20 Oktober 2007), banyaknya korban jiwa yang mati sia-sia dan luka-luka akibat tawuran yang melibatkan antar sesama napi seperti yang terjadi di LP Cipinang (dua napi tewas, dua luka berat lima luka ringan.) maupun di LP Kesambi (satu napi tewas dan tujuh lainnya luka-luka), Cirebon, kasus kaburnya enam napi di LP Padang, termasuk yang kabur dari LP Pasir Putih (satu orang) dan LP Permisan (dua orang) di pulau Nusakambangan yang menerapkan Super maximum security, banyaknya petugas LP (empat kasus) yang ditangkap karena kasus menyelundupkan narkoba ke dalam Lapas, dan rentetan kasus lain yang tentunya bisa memberikan gambaran bagaimana kondisi lembaga pemasyarkatan kita di Idonesia.

Last but not least, pertanyaannya kemudian adalah adakah good and political will dari para pengambil kebijakan di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di negara ini untuk secara serius dan segera melakukan perubahan dan teroboson-terobosan cerdas dan signifikan terhadap persoalan yang melanda lembaga pemasyarakatan kita yang begitu kompleks, kalau tidak maka kita masih tetaplah menganut sistim kepenjaraan dan lembaga pemasyarakatan yang semestinya ideal tetap berada di lubang hitam yang menganga.

Lollong M. Awi
Staf Program Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta

Sumber: KRHN

http://hmibecak.wordpress.com/2007/12/30/black-hole-lembaga-pemasyarakatan/