Hatimu telah membeku
Tak mempedulikan aku
SUARA Wimpi yang merdu mengalun sendu bersama petikan gitar yang dimainkannya sore itu di depan teman-temannya sesama penghuni Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan. Wimpi menciptakan lagu tersebut persis ketika dia dipindah di Nusakambangan.
“Ketika saya dipindah ke sini maituwa (pacar) tidak mempedulikan. Jadi, tercipta lagu ini. Sedih ya,” ucapnya malu-malu.
Wimpi tidak sendirian. Para narapidana lain merasakan hal yang sama, tidak dipedulikan pasangan ketika harus menjalani hukuman di Nusakambangan. Beberapa di antaranya bahkan diceraikan pasangan.
“Aku tak pernah ditengok keluargaku. Bahkan kemarin aku terima surat yang mengabarkan aku sudah diceraikan,” ucap seorang napi kasus pembunuhan yang menjalani hukuman 20 tahun.
Karena itu aktivitas di luar sel menjadi saat yang membahagiakan bagi para napi. “Kami bisa berolah raga, main musik, maupun beternak. Suka-suka kita mana yang akan kita pilih untuk mengisi waktu. Karena saat yang paling berat adalah malam hari. Jika siang tak ada kegiatan. Malam tak bisa tidur dan itu sangat menyiksa,” tutur Andi yang tubuhnya penuh tato.
Ketika menengok sel nomor 1 LP Batu, seorang warga negara Nigeria bernama Nick tengah asyik membaca buku. “Ini kesibukanku. Membaca buku dan olah raga. Tak ada kegiatan lain. Karena keluargaku tak bisa menengok ke sini. Prosedurnya sangat sulit. Berbeda dengan mereka, napi pribumi,” keluh Nick, terpidana mati kasus narkotika.
Tak sedikit napi yang hilang akal. Mereka bagai patung dengan pandangan kosong tak bersuara meski disapa.
“Dia membunuh tiga orang, dipenjara, diceraikan, dan tidak dipedulikan keluarganya. Padahal, hukuman mati tengah menanti,” kata seorang napi sambil menunjuk temannya yang membeku di depannya.
Tak ada psikolog atau psikater yang membantu para napi stres ini. Mereka didiamkan hingga masa hukuman mati dijalankan.
“Pendampingan psikolog dan psikater baru akan dilakukan mendekati pelaksanaan hukuman mati. Itu memang prosedur kami. Dan sebenarnya aktivitas rohani bisa mereka jalani untuk mengurangi stres,” ujar Hari, penjaga LP Narkotika.
Di masjid satu-satunya milik LP Narkotika yang berada di tengah taman terlihat 15 orang khusuk mendengarkan khotbah seorang napi yang dianggap ustad di LP tersebut. Selebihnya memilih berolah raga di lapangan samping masjid. “Tak ada paksaan dalam beraktivitas. Jadi, itu tergantung mereka,” kata Hari.
Pukul 3 sore, saat makan bagi para napi. Sebuah gerobak berwarna cokelat yang telah kusam didorong dua napi berseragam biru. Terlihat beberapa lalat hinggap di atas nasi yang ditaruh dalam tempat plastik yang sudah rusak. Nasi berwarna kusam, sup daun kol, tumis tempe, dan kacang hijau menjadi menu mereka sore itu.
Ada ransum di tempat yang lebih bersih dan lebih besar. “Ini untuk satu sel. Jadi, tempatnya berbeda. Lebih besar. Kalau yang kecil sudah ada nasinya untuk satu orang,” papar Rahmad, napi yang menjadi juru masak di LP Narkotika.
Rahmad menerangkan ada 8 teman lain yang membantunya memasak tiap hari. Jam mengantar makanan juga diatur, yakni pukul 7 untuk makan pagi, pukul 12 untuk makan siang, dan pukul 3 untuk makan sore.
“Sehari anggaran kami hanya 8 ribu rupiah untuk satu orang. Jadi, ya pintar-pintar kita memenuhi gizinya. Meski itu tidak mungkin. Ada jadwal makan daging seminggu sekali, meski dagingnya seujung kuku,” ujar Marwan Adli, Kepala LP Narkotika.
Menu tetap mereka selain tumis tempe adalah ikan asin. Ikan asin mudah dan murah didapat, sehingga menjadi andalan juru masak LP. Prosedur memasak di tiap LP diserahkan juru masak masing-masing, dengan bahan makanan sama yang telah disediakan pegawai. Lihat saja sore itu menu di LP Narkotika tempe ditumis, sedangkan di LP Batu tempe digoreng.
Makanan Tambahan
Makanan yang dijatah serta menu yang minimalis membuat beberapa napi berupaya mendapatkan uang untuk membeli makanan tambahan yang bisa didapat di koperasi tiap-tiap LP. Beruntunglah mereka yang berduit, karena aturan yang tertulis dan tertempel di beberapa ruangan menyatakan pegawai hanya menerima uang tunai untuk pembelian barang di koperasi.
Itulah yang menyebabkan beberapa napi membuat kerajinan batu cincin dan kapal dari kayu yang dijual kepada pengunjung. “Kami menitipkan barang kami pada teman yang sudah berada di LP Terbuka. Mereka memiliki kesempatan untuk menjual barang kami. Meski dibayar murah oleh mereka, tetap saja itu berarti, karena bisa menambah uang untuk membeli makanan tambahan,” tutur Rudi yang biasa menjual mobil-mobilan dari kayu seharga Rp 5 ribu.
Ada saatnya para napi ini menyantap makanan rumah. Hal itu terjadi jika teman satu sel mendapat kunjungan dari keluarga. Namun itu belum tentu setahun sekali. Jauhnya lokasi dan besarnya biaya menyebabkan para napi jarang mendapat kunjungan kerabat.
“Saya hampir bebas bulan Maret nanti, dengan masa hukuman 15 tahun. Namun hanya tiga kali anak saya menengok. Setelah itu saya larang dia datang, karena kedatangannya justru membuat saya remuk redam,” ujar Markus, penghuni LP Terbuka.
Komunikasi lewat surat menjadi andalan para napi yang berasal dari luar Jawa. Rizal yang berasal dari Aceh mengaku sudah tiga kali menerima surat dari kerabatnya sejak dia dipindah ke Nusakambangan setahun lalu. “Sedih melihat teman lain mendapat kunjungan, uang, serta tambahan makanan dari kerabat. Inginnya keluarga datang. Tapi itu jelas tidak mungkin. Jadi, ya dinikmati saja,” ungkap Rizal.
“Saya korban salah tangkap. Sudah separo lebih menjalani hukuman. Tak ada untungnya bersedih, lebih baik bermain musik dan bernyanyi,” ucap Norman, lelaki separo baya yang sudah 10 tahun menjadi penghuni Nusakambangan. (E2)
Foto: VHRmedia / Andhika Puspita Dewi
http://www.vhrmedia.com/Hari-hari-Napi-Nusakambangan-kisah3220.html