Seperti biasa, perayaan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus selalu dinanti oleh narapidana, karena di momen inilah, pemerintah akan “mengobral” remisi atau pengurangan masa hukuman. Tahun 2008, bertepatan dengan HUT ke-63, pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) pun melakukan hal yang sama. Sebagaimana dipublikasikan situs Depkumham, Menkumham Andi Matalatta menyiapkan remisi bagi sekitar 100 ribu narapidana di seluruh Indonesia.
Namun, pemberian remisi untuk tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk pertama kalinya pemerintah memutuskan tidak memberikan remisi, khusus bagi narapidana kasus terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Kejahatan pembalakan liar termasuk di dalamnya. Pengecualian diberikan apabila narapidana tersebut berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa hukuman.
Kebijakan ini didasarkan pada PP No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. “Dalam aturan itu disebutkan semua narapidana biasa yang telah menjalani masa hukuman lebih dari enam bulan akan mendapatkan remisi. Adapun bagi keempat golongan tadi, setidaknya mereka harus menjalani 1/3 masa hukuman,” papar andi merangkum isi Pasal 34 PP No. 28 Tahun 2006.
PP ini, tegas Andi, tidak berlaku surut. Makanya, pemberian remisi tetap berlaku bagi narapidana yang dihukum sebelum tahun 2007. Itupun ditambah dengan pengecualian khusus untuk dua jenis kejahatan, narkoba dan korupsi. PP ini hanya berlaku bagi narapidana kejahatan narkotika yang berperan sebagai produsen dan bandar.
Sementara untuk korupsi, PP ini hanya berlaku untuk perkara yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Lalu, perkara korupsi itu juga mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
Ternyata ada alasan dibalik perlakuan “berbeda” ini. Mengutip penjelasan umum PP No. 28 Tahun 2006, kejahatan-kejahatan yang disebut Pasal 34 ayat (3) tidak diberi remisi, karena dianggap telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau menimbulkan korban jiwa yang banyak dan harta benda serta menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat.
PP tidak manusiawi
Walaupun sudah berusia dua tahun, PP No. 28 Tahun 2006 menuai kritikan. Juru Bicara Komnas HAM Hesti Armiwulan mengatakan bahwa setiap orang yang divonis mestinya mendapat kesempatan dan peluang yang sama. “kalau itu perberatan bahwa dia (narapidana) harus menjalani 1/3, saya kira itu harus berlaku untuk semuanya,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM bidang Eksternal.
Hesti menambahkan, jika asas yang dipakai adalah asas pemidanaan, maka seharusnya tidak berlaku diskriminatif. Artinya, setiap narapidana mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan narapidana yang lain. “Kalau yang satu berhak mendapatkan remisi dan kemudian tidak ada persyaratan maka tidak bisa berlaku untuk kejahatan-kejahatan tertentu kecuali diatur dengan undang-undang,” tukasnya.
Kritik lain juga disampaikan oleh Peneliti Hukum ICW Illian Deta Artasari. Menurutnya, syarat berkelakuan baik yang ditetapkan PP No. 28 Tahun 2006 adalah syarat yang tidak jelas. Pasalnya, tidak ada parameter yang jelas mengenai perhitungan kualitatif dan kuantitatif dari berkelakukan baik itu. “Di PP itu tidak jelas berkelakuan baik, di penjelasannya juga tidak ada, jadi itu ditafsirkan secara subjektif oleh aparat pemasyarakatan,” ujarnya. Kewenangan penilaian yang bersifat subjektif ini dikhawatirkan rentan disalahgunakan.
“Kami melihat PP ini setengah hati,” sergah Illian. “PP ini juga tidak bisa memberikan efek jera karena dari segi aturannya saja bermasalah, prakteknya sering kali juga diperjualbelikan,” tukasnya lagi.
Terpisah, Rahardi Ramelan menilai PP No. 28 Tahun 2006 menyiratkan semangat balas dendam. PP tersebut terkesan memposisikan lembaga pemasyarakatan (LP) sebagai lembaga untuk balas dendam. Rahardi mengingatkan bahwa semangat balas dendam tidak sejalan dengan konsep pemasyarakatan yang digagas DR. Sahardjo pada tahun 1964, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden RI-1 Soekarno.
Ketika itu, tutur Ketua Asosiasi Narapidana tersebut, LP dilekatkan dengan beberapa prinsip dasar, diantaranya satu-satunya hukuman adalah kehilangan kemerdekaan bergerak, pemidanaan bukan upaya balas dendam negara, tidak diasingkan dari masyarakatnya, tidak boleh lebih buruk atau jahat dari semula, dan narapidana juga manusia.
“Saya sangat tidak setuju dengan PP No. 28 Tahun 2006, karena tidak manusiawi,” tegasnya. Rahardi bahkan menilai PP tersebut tak ubahnya konsep pemasyarakatan pada era kolonial. Untuk itu, ia berharap PP No. 28 Tahun 2006 segera ditinjau ulang keberadaannya.
http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=19956&cl=Berita