PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA
Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia
PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG
Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan
KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA
Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia
Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia
Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
RANTAI REMISI KORUPTOR
Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.
Selasa, 08 Desember 2009
Jumat, 24 Juli 2009
Perlakuan Khusus bagi Koruptor
Oleh Houtland Napitupulu
pini publik untuk menciptakan efek jera bagi tersangka koruptor semakin menggelora. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagaimana dikatakan Wakil Ketua Bidang Pencegahan M Jasin, berencana memborgol dan memberikan baju khusus bertuliskan koruptor untuk tersangka koruptor yang sedang menjalani proses hukum. Data koruptor yang telah berkekuatan hukum tetap juga direncanakan dibeberkan di situs internet.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ridha Saleh berpendapat, rencana KPK itu tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya, tindakan para koruptor melanggar hak orang lain karena rakyat jadi miskin dan negara bangkrut.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana menilai rencana KPK itu tidak melanggar asas praduga tidak bersalah, jika baju yang dikenakan sesuai dengan status hukum, yakni baju untuk tersangka bertuliskan Tersangka Koruptor, baju untuk terdakwa bertuliskan Terdakwa Koruptor dan baju terpidana bertuliskan Terpidana Koruptor.
Menurut Denny, upaya KPK tersebut perlu ditindaklanjuti dengan langkah lain, seperti pemberlakuan moratorium keringanan atau pengampunan hukuman, seperti grasi, amnesti, atau remisi untuk terpidana korupsi. Presiden tidak dapat dituduh melanggar hukum jika menerapkan moratorium ini. Sebab, kebijakan itu merupakan hak prerogatif Presiden. Bahkan, penerapan moratorium ini dapat menguatkan citra pemerintah dalam memberantas korupsi, kata Denny.
Moratorium ini juga dibutuhkan karena hukuman untuk para koruptor belum maksimal. Pukat UGM mencatat, dari 12 perkara yang diputus Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi pada 2008, rata-rata lama hukuman hanya 4,32 tahun.
Indonesia Corruption Watch mencatat, dari 59 perkara yang diputus pengadilan yang sama pada 2005-2007, rata-rata hukumannya adalah 4,4 tahun. Jadi, ada gejala penurunan lama hukuman untuk para terpidana koruptor. Dengan rata-rata lama hukuman 4,4 tahun penjara jika terpidana korupsi masih mendapat remisi dan lainnya mereka mungkin hanya tiga tahun berada di penjara, bahkan kurang. Ini tidak baik untuk menumbuhkan efek jera, kata Denny.
Menhukham Andi Matalata kemudian mengatakan, pemberian remisi kepada pelaku koruptor sudah ditunda hingga sepertiga masa hukuman, sebagaimana diatur dalam PP No 28 Tahun 2008. Daripada berwacana soal seragam, lebih baik menegakkan hukum dengan baik tanpa pilih kasih, katanya.
UU Pemasyarakatan
Jika KPK mengumumkan nama dan perbuatan terpidana koruptor serta moratorium keringanan bagi para terpidana koruptor, sebagai negara hukum kita tetap layak bertanya, apakah perlakuan khusus ini sesuai undang-undang atau tidak? Pasal 28 UUD 1945 menjamin perlakuan hukum yang sama. Kita tidak bisa lari dari itu.
Menyangkut sistem pembinaan bagi narapidana, Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, berbunyi demikian: Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: a. pengayoman; b. persamaan perlakuan dan pelayanan; c. pendidikan; d. pembimbingan; e. penghormatan harkat dan martabat manusia; f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu- satunya penderitaan; dan g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Jika polemik pemberian perlakuan khusus terhadap narapidana koruptor dikaitkan dengan Pasal 5 UU 12/1995, jelas bertentangan. Dengan menganut asas perlakuan yang sama bagi semua narapidana, maka jika KPK mengumumkan nama-nama terpidana koruptor, maka KPK juga (atau lembaga lain) harus mengumumkan nama dan perbuatan seluruh terpidana yang kini sekitar 120.000 orang.
Jika ayat b menjamin perlakuan persamaan, ayat f menegaskan bahwa hukuman berupa kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya hukuman. Artinya, tidak ada hukuman lain, di luar pidana yang diputuskan majelis hakim. Hal itu juga berarti, tidak diperbolehkan ada hukuman lain, seperti yang direncanakan KPK.
Maka kalau rencana memberikan perlakuan khusus (memperberat hukuman dalam bentuk lain) bagi terpidana korupsi benar-benar direalisasikan, akan bertentangan dengan UU 12/1995. Selain melanggar UU, juga akan melukai hak asasi manusia (HAM) narapidana.
Pasal 14
Moratorium remisi (keringanan hukuman) juga diusulkan Denny Indrayana. Tanpa perlu banyak silat lidah dan opini segala macam, pemberian remisi bagi narapidana diatur dalam Pasal 14 UU 12/1995, yang berisi demikian: (1) Narapidana berhak : a.melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Memperoleh remisi diatur dalam ayat i. Lagi-lagi, jika diadakan moratorium pemberian remisi, juga akan bertentangan dengan UU 12/1995. Maka bisa kita simpulkan, pernyataan Denny Indrayana mengatakan, moratorium remisi merupakan wewenang presiden.
Selain UU, ketentuan mengenai remisi juga diatur dalam beberapa Peraturan Pemerintah (PP). Pertanyaan kita, bagaimana mungkin presiden berhak membuat kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan UU dan PP?
Sekarang ini, pelaku tindak pidana hanya boleh memperoleh remisi jika sudah menjalani sepertiga hukuman. Ini diatur dalam PP 28/2006 (yang merupakan perubahan atas PP 32/1999, khususnya Pasal 34). Pasal 34 PP 28/2006 sebagai berikut: (1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berkelakuan baik; dan b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. (3) Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berkelakuan baik; dan b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana. (4) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS.
Dalam Pasal 5 PP 32/1999, syarat remisi, terpidana hanya menjalani masa pidana enam bulan. Pasal 5 ini diubah dalam PP 28/2006, khusus untuk pidana tertentu seperti yang disebut dalam Ayat 3, menjadi setelah sepertiga masa pidana. Ini pun sebetulnya bertentangan dengan Pasal 5 UU 12/1995, sehingga tinggal menunggu waktu saja untuk uji materi ke Mahkamah Agung.
Hal paling mendesak sebetulnya adalah pembuktian terbalik dalam penanganan kasus korupsi. Dengan pembuktian terbalik, niscaya tak ada yang bisa lolos.
Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Jakarta
http://www.koranindonesia.com/2008/08/14/perlakuan-khusus-bagi-koruptor/
Selasa, 28 April 2009
Pro Kontra Conjugal Visit terhadap Narapidana
Jakarta, Hukumham.info, -- Tuntutan kebutuhan biologis narapidana merupakan suatu masalah yang perlu ditangani oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), terutama berkenaan dengan kekerasan seksual yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Conjugal Visit atau kunjungan pasangan (suami/istri yang sah) dipandang sebagai pilihan dalam mengatasi kekerasan seksual di LP.
Demikian antara lain pembicaraan dalam Seminar mengenai Tuntutan Kebutuhan Biologis Narapidana yang dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Hukum dan HAM Depkumham. Tampil sebagai pembicara Dirjen HAM Harkristuti Harkrisnowo, Sekretaris Ditjen PAS Didid Sudirman, Ketua Dep. Kriminologi UI Adrianus Meliala dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Muhamad Amin Suma.
Menurut Didin Sudirman, secara kelembagaan tidak ada aturan khusus mengenai pemenuhan kebutuhan biologis narapidana. Narapidana dapat mengajukan cuti mengunjungi keluarga (CMK) sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhannya. “Tentu dengan syarat sudah menjalani setengah dari masa pidana”, ujar Didin.
Dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
Tidak semua Negara memberikan CV. Australia, Brazil, Prancis, Thailand, Saudi Arabia dan enam negara bagian di Amerika termasuk yang memberikan CV. “Perlu penelitian lebih lanjut apakah Conjugal Visit (CV) dapat mengatasi kekerasan seksual di LP ”, lanjut Harkristuti.
Adrianus Meliala mengatakan bahwa CV cenderung tidak dapat mengatasi kekerasan seksual di LP. Ada beberapa hal dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku seksual narapidana. Pertama, peningkatan aktivitas fisik seeperti bekerja dan berolahraga. Kedua, peningkatan intensitas kehidupan ibadah . Ketiga, intensitas kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga tidak selalu berorientasi keperluan pemenuhan kebutuhan seksual. “Kunjungan tidak dengan istri saja tapi anak-anak juga diikutsertakan”, jelas Adrianus.
Berbeda dengan hukum lain, hukum Islam membagi kebutuhan ke dalam tiga bagian. Pertama kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan pelengkap. Kebutuhan biologis masuk dalam kebutuhan primer yang merupakan kebutuhan mendasar. Dalam konteks hukum Islam, penjatuhan hukuman pada dasarnya tidak boleh mengurangi, apalagi menghilangkan atau menghapus hak-hak terpidana, kecuali ada ketentuan lain yang berlaku. “CV itu penting artinya dan pemerintah dalam hal ini Depkumham harus memberikan hak tersebut kepada narapidana”, kata Amin Suma. Mengenai cara maupun tempat pemenuhan kebutuhan seksual narapidana tersebut diperlukan pengkajian secara matang.
Lebih jauh Didin mengatakan bahwa, CV baru merupakan sebuah wacana dalam mengurangi masalah kekerasan seksual di LP. “Ada proses panjang lebih lanjut yang akan mengikuti seperti harus ada uji publik dan uji coba dibeberapa LP serta penyusunan standar operasinya,” jelasnya.
Dari seminar tersebut didapat kesimpulan bahwa pemberian CV bukanlah pokok masalah terpenting yang dihadapi saat ini. Overcapacity, tingkat dan keparahan infeksi, kelangkaan fasilitas dan program rehabilitasi masih tetap menjadi masalah terbesar Ditjen PAS.
Seminar tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Kejaksaan, Kepolisian, Departemen Sosial dan segenap jajaran Ditjen PAS seperti Kepala maupun perwakilan LP Paledang, LP Tangerang dan LP Terbuka.***
http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=2640&Itemid=43
Selasa, 14 April 2009
PEMULIHAN HAK-HAK SIPIL MANTAN NAPI
Filosofi pembinaan pelanggar hukum yang dianut oleh Indonesia adalah mengintegrasikan kembali pelaku pelanggar hukum ke masyarakat, atau lebih dikenal sebagai pemasyarakatan. Akan tetapi dalam realitas, mantan narapidana secara sistematis justru dihambat untuk dapat berintegrasi kembali dalam kehidupan alamiah di masyarakat. Banyak peraturan perundangan dan kebijakan yang dibuat justru untuk menghambat terintegrasinya kembali mantan napi dengan masyarakat.
Dengan demikian maka filosofi pemasyarakatan napi hanya sekedar slogan kosong, yang dalam realitas menghasilkan pelaku pelanggar ulang, yang bolak-balik kembali ke bangunan penjara. Masyarakat dan struktur sosial (politik) telah melakukan stigmatisasi mantan napi yang sesungguhnya tidak selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi.
Makalah ini akan membahas bagaimana cara memperlakukan mantan napi yang selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi?
Pokok-pokok pikiran
Perlakuan terhadap mantan napi yang tidak adil sesungguhnya merupakan bentuk kemunafikan dari struktur sosial (politik). Sebab manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orangpun yang belum pernah melakukan perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana.
Namun demikian sebagian besar dari warga masyarakat tersebut beruntung karena tindakan kesalahan atau pelanggaran hukumnya tidak pernah diketahui oleh sistem peradilan pidana. Hanya sebagian kecil saja warga masyarakat yang tidak beruntung, yang ketika melakukan pelanggaran hukum pidana diketahui oleh sistem peradilan pidana dan tidak mampu menghindari hukuman. Mereka ini terpaksa menjalani hukuman dan diberi label narapidana.
Penghukuman pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya.
Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku. Dengan dasar pengertian ini tipologi pelanggar hukum meliputi:
1. Pelanggar hukum situasional.
2. Pelanggar hukum yang lalai.
3. Pelanggar hukum yang tidak sengaja melakukan pelanggaran.
4. Pelanggar hukum yang sakit.
5. Pelanggar hukum berulang atau residivis.
Tipologi pelanggar hukum tersebut seperti status penyakit yang diderita orang. Ada penyakit yang tidak perlu dirawat karena akan sembuh sendiri. Ada penyakit yang perlu perawatan cukup sekali saja. Ada penyakit yang perlu perawatan jalan. Ada penyakit yang memerlukan perawatan inap. Dan ada penyakit yang tak tersembuhkan.
Dengan demikian perlakuan terhadap mantan napi, dengan analogi penyakit tersebut, tidak dapat dilakan secara sama dalam keadaan apapun. Sebagian besar dari pelaku pelanggaran hukum sesungguhnya hanyalah orang-orang yang secara situasional (dalam keadaan khusus) melakukan pelanggaran hukum, dan kemungkinan pengulangan pelanggarannya kecil. Demikian juga banyak orang yang melakukan pelanggaran hukum secara tidak sengaja atau karena lalai. Dalam keadaan sakit (jiwa) orang tidak menyadari apa yang dilakukan ketika melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana.
Orang menjadi pelaku pelanggaran berulang melalui suatu proses yang panjang, termasuk memahirkan tindakan pelanggaran ketika berada di dalam lembaga penghukuman (penjara) dan penolakan masyarakat untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat, habitat hidup manusia. Pada tahap tertentu, pelaku pelanggaran ulang akan juga menghentikan kecenderungan pelanggarannya. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada umumnya orang akan menghentikan kecenderungan melakukan pelanggaran hukum secara berulang ketika mencapai usia lanjut.
Kecenderungan memperlakukan pelanggar hukum secara represif dalam telaah Durkheim mencerminkan bahwa masyarakat yang bersangkutan lebih dekat dengan ciri masyarakat primitif. Masyarakat modern cenderung menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum secara restitutif, yaitu memulihkan hubungan. Dalam dalil evolusi penghukuman, Durkheim menumuskan:
1. Semakin dekat tipe masyarakat ke pada masyarakat primitif, dan semakin absolut kekuasaan pusat dilakukan, intensitas hukuman semakin tinggi
2. Perampasan kemerdekaan yang lamanya berbeda tergantung dari keseriusan kejahatannya, cenderung menjadi alat pengendalian sosial yang normal
Kalau mengikuti dalil evolusi penghukuman dari Durkheim tersebut, dapat dikatakan bahwa perlakuan tidak adil terhadap mantan napi menunjukkan bahwa masyarakat dan kekuasaan pusat (struktur sosial poilitik) yang cenderung absolut merupakan ciri masyarakat primitif.
Padahal sesungguhnya ciri umum masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa timur, dalam menyikapi pelanggaran hukum pidana cenderung mencari solusi perdamaian atau pemulihan hubungan antara pelaku dengan korban dan masyarakat. Pelanggaran hukum pidana dilihat tidak semata-mata sebagai konflik antar pribadi (micro cosmos), tetapi merupakan keadaan yang dapat mengganggu kestablian alam semesta (macro cosmos).
Oleh karena itu ketidakseimbangan yang dihasilkan harus disikapi dengan mengembalikan kestabilan hubungan para pihak yang berkonflik. Filosofi penghukuman bangsa-bangsa timur ini telah digali olehilmuwan barat John Braithwaite menjadi konsep restorative justice.
Restorative justice adalah cara penyelesaian konflik pidana melalui cara-cara informal yang dilakukan oleh komunitas dengan tujuan memulihkan hubungan antara pelaku dengan korbannya dan yang direstui masyarakat, dengan tetap menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah tindakan yang tidak benar. Melalui mekanisme ini ada upayq untuk menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah salah, tetapi melalui proses restorasi, pelanggar hukum diterima kembali menjadi warga masyarakat.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penghilangan dan pembatasan hak-hak sipil dan politik terhadap mantan napi dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan merupakan ketidakadilan terhadap warga masyarakat yang telah melunasi hutang kesalahan. Oleh karena itu semua peraturan perundangan yang membatasi atau menghilangkan hak-hak sipil dan politik mantan napi haruslah dicabut. Selain itu perlu adanya gerakan penyadaran masyarakat terhadap realitas pelanggaran hukum seperti yang diuraikan di atas sehingga masyarakat secara sadar mampu memperlakukan mantan napi secara adil.
http://www.criminology.fisip.ui.edu/press-room,op,artikel,subop,detail,id,3
Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kebermaknaan Hidup Narapidana
Setiap peristiwa, terutama yang sifatnya ekstrim yang dialami oleh manusia sedikit banyak akan membawa perubahan dalam kehidupan selanjutnya. Salah satu peristiwa yang kurang menguntungkan yang mungkin pernah dialami oleh sebagian orang adalah menjadi narapidana.
Dr. Thomas Holmes dan Dr. Richard Rahe (Olson, 2005), psikiater dari Universitas Washington dalam skala terhadap perubahan yang sering mempengaruhi manusia, menempatkan periode waktu dalam penjara sebagai salah satu peristiwa ekstrim dalam hidup manusia yang membawa perubahan dalam kehidupan mereka selanjutnya. Hal ini terutama terkait dengan kehadiran mereka kembali ke dalam masyarakat selepas menghabiskan masa hukumannya dalam penjara.
Salah satu tujuan didirikannya lembaga pemasyarakatan adalah untuk mempersiapkan para narapidana untuk dapat hidup kembali secara wajar di tengah-tengah masyarakat tanpa menimbulkan kesenjangan antara masyarakat dengan si narapidana, begitupula sebaliknya. Mengapa, karena status narapidana ataupun mantan narapidana seringkali disikapi secara ekstrim atau berlebihan oleh masyarakat, termasuk cara mereka memperlakukannya. Kondisi ini lambat laun akan mempengaruhi cara pandang (konsep diri) si narapidana sendiri terhadap dirinya.
Salah satu bentuk kesalahan dari sekian banyak kesalahan yang dapat menyebabkan seseorang dijebloskan ke dalam sel tahanan adalah karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang, sebagai salah satu bentuk pemujaan terhadap gaya hidup hedonis. Realitas sosial paling dekat dengan kehidupan, terutama masyarakat Indonesia, adalah tidak sedikitnya individu (remaja dan orang dewasa) yang dipenjarakan karena keterlibatan mereka dengan narkoba. Hampir setiap orang menganggap bahwa gaya hidup hedonis sangat kental dengan hura-hura, senang-senang, mabuk-mabukan (minuman keras maupun narkoba) dan pesta-pesta ekstravaganza.
Hasil penelitian Alaina (2002) menemukan bahwa konsep diri yang negatif atau rendah berbanding terbalik dengan gaya hidup hedonisme, di mana tingginya gaya hidup hedonisme salah satunya disumbang oleh konsep diri negatif. Gaya hidup hedonisme yang banyak dianut oleh kawula muda dan bahkan orang dewasa saat ini, sangat mengagung-agungkan segala bentuk kesenangan, foya-foya dan hura-hura, meski tak jarang pesta-pesta atau hura-hura yang digelar oleh mereka berseberangan dengan pranata sosial dan norma-norma agama.
Hedonisme yang ditandai dengan budaya konsumtif cenderung menabukan hal-hal yang bersifat normatif, anti kemapanan, dan beberapa lainnya lebih merupakan ekspresi pemberontakan terhadap dominansi lembaga yang dianggap sakral, seperti orang tua serta norma yang mengusung jargon moral dan akhlak. Perilaku seperti penggunaan obat-obatan terlarang, mabuk-mabukan dengan minuman beralkohol, sampai kepada perilaku seks bebas merupakan beberapa contoh perilaku yang mewarnai gaya hidup hedonisme.
Meski tidak selalu seperti itu, namun tak urung gaya hidup hedonisme yang dianut oleh sebagian kalangan telanjur diasosiasikan sebagai gaya hidup yang pada gilirannya akan menggiring seseorang pada kekaburan identitas diri, labilitas emosi, kehampaan akan tujuan hidup, dan pada akhirnya bermuara pada ketidakbermaknaan hidup (Wong, tanpa tahun). Wong (tanpa tahun) menganggap bahwa gaya hidup hedonisme merupakan refleksi pesimistik individu terhadap kehidupan. Bagi para pemujanya, secara keseluruhan hidup ini terlalu singkat, sehingga setiap orang seharusnya berusaha untuk memaksimalkan kesenangan dalam kehidupannya. Bagi mereka, hidup itu identik dengan berbagai kesenangan.
Sebagaimana Kita diketahui bahwa, salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang adalah umpan balik atau penilaian orang lain mengenai diri individu (Bee, 1981). Setelah individu mengobservasi fungsi dirinya sendiri sebagaimana mereka melihat tingkah laku orang lain, ia mulai menyematkan sifat-sifat tertentu pada dirinya, misalkan mudah marah, pemberani, ramah, supel. Selanjutnya, individu menerima umpan balik (feed back) tentang siapa dirinya dari orang lain. Individu juga dapat melihat siapa dirinya dengan melakukan perbandingan dengan orang lain (Mappiare, tanpa tahun).
Sebagai seorang narapidana sudah barang tentu individu memiliki konsep sendiri tentang diri mereka secara keseluruhan termasuk apa yang membuat mereka akhirnya harus mendekam dalam penjara. Di samping itu, masyarakat telah memiliki asosiasi sendiri tentang sosok seorang narapidana, meski tidak selalu benar namun secara umum masyarakat telah membuat label sendiri bagi para pesakitan tersebut sebagai orang hukuman.
Dalam perkembangannya, persepsi masyarakat tentang narapidana terkadang agak berlebihan, sehingga dapat mempengaruhi persepsi para narapidana tentang diri mereka. Masih adanya sebagian kalangan dalam masyarakat yang secara terang-terangan menolak kehadiran mereka untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat (terutama terkait dengan kasus kejahatan yang melibatkan si napi), menyebabkan narapidana tak jarang menjadi kehilangan kepercayaan dirinya, dan jika dibiarkan berlarut-larut dapat menyebabkan munculnya gangguan-gangguan psikologis hingga bisa berujung pada tindakan nekat, seperti bunuh diri .
Dalam pandangan Pudjijogjanti (1993) konsep diri seseorang terbentuk melalui dua komponen, yaitu komponen kognitif (cognitive component) dan komponen afektif (affective component). Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya. Misalnya, “saya anak bodoh”, “saya anak manja”, atau “saya anak nakal”. Jadi komponen kognitif merupakan penjelasan tentang “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri (self picture) tersebut kemudian akan membentuk citra diri (self image) seseorang. Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta penghargaan pada diri (self esteem) individu.
Penjelasan di atas memberi pemahaman lebih jelas bahwa secara kognitif dan afektif seseorang telah memiliki gambaran sekaligus penilaian tentang diri mereka. Namun tetap saja apresiasi serta persepsi orang lain terhadap keberadaan narapidana memberi dampak besar terhadap bagaimana napi memandang diri mereka. Jika narapidana terpengaruh oleh penilaian masyarakat yang menstigmatisasi secara negatif eksistensi mereka, maka besar kemungkinan mereka akan memandang diri mereka secara negatif pula. Itu berarti pula bahwa akan semakin besar kemungkinan narapidana untuk gagal dalam memaknai keberadaan mereka sebagai narapidana. Mereka akan kehilangan kemampuan untuk berpikir secara jernih bahwa sesungguhnya mereka masih memiliki tanggung jawab sosial sebagai manusia, sebagai seorang ayah, suami, ibu, istri, anak, atau anggota masyarakat secara umum.
Ketidakmampuan mereka untuk berpikir demikian pada gilirannya akan membentuk mereka menjadi pribadi yang neurosis yang akan berujung pada hadirnya kecemasan yang berlebihan, hingga dapat melumpuhkan kemampuan mereka untuk bertindak sewajarnya, dan membuat kepribadiannya menjadi panik (May, 1997).
Kecemasan berlebihan yang dirasakan oleh narapidana akan menumpulkan keberanian serta rasa percaya dirinya. Jika sudah demikian, orang-orang neurosis akan terjebak dalam lingkaran setan yang akan berakhir pada kegoncangan jiwa. Alam atau lingkungan sekitar yang sejatinya bersifat netral dalam hal nilai-nilai, dianggap kejam dan bermusuhan sehingga orang-orang neurosis membentuk berbagai gambaran kompensatif tentang surga dan kehidupan setelah kematian (May, 1997).
Itu sebabnya mengapa narapidana dianggap sebagai komunitas yang rentan terhadap kondisi keputusasaan. Ketika keputusasaan mendera maka seseorang cenderung akan kehilangan keyakinannya terhadap makna kehidupan. Padahal jika seseorang dapat meyakini adanya makna dalam kehidupan, dapat meyakini nilai pokok diri sendiri dan orang lain, dapat meyakini bahwa alam (lingkungan) memiliki makna yang dapat membantunya dalam meretas jalan untuk mengatasi rasa ketidakamanan, maka ia akan kembali memiliki rasa percaya diri sekaligus keberanian yang dibutuhkan untuk menghadapi kehidupan.
Jung (dalam May, 1997) menjelaskan bahwa apa yang dibutuhkan oleh seseorang dalam hidup, adalah keimanan, harapan, cinta, dan pencerahan. Keimanan atau kepercayaan kepada kekuatan di luar diri manusia (Tuhan YME) akan memberi manusia keberanian dalam menghadapi kerasnya kehidupan, karena ia percaya bahwa ia tidak sendiri dalam menjalani kehidupan. Ia meyakini bahwa setiap saat Tuhan YME akan selalu membantunya jika menemui kesulitan, sekaligus menuntunnya untuk segera keluar dari kesulitan tersebut.
Harapan merupakan sumber kekuatan internal yang harus dimiliki oleh setiap manusia dalam membangun format kehidupan yang lebih baik. Harapan akan memberi peta bagi manusia untuk mencapai bentuk kehidupan yang diidam-idamkannya. Tanpa sebuah harapan mustahil manusia akan menggapai banyak kemenangan dalam hidupnya.
Harapan sekaligus berfungsi untuk memompakan semangat dan motivasi ke dalam diri seseorang untuk tetap memperjuangkan kehidupannya, meskipun ia pernah berlaku salah dalam suatu fase kehidupannya. Hanya harapan yang akan memberi kekuatan pada diri manusia untuk segera beranjak keluar dari kegagalan dan keterpurukannya, dan harapan pulalah yang pada akhirnya membantu manusia untuk secara sistematik merencanakan kehidupannya di masa depan.
http://wangmuba.com/2009/03/15/hubungan-antara-konsep-diri-dengan-kebermaknaan-hidup-narapidana
Jumat, 10 April 2009
Robertus Adji yang Membuat Para Mantan Napi Bisa Maju Jadi Caleg
Ketika undang-undang tak membolehkan mantan napi maju menjadi caleg atau kepala daerah, Robertus Adji tidak rela. Pria 53 tahun mantan napi di Lembaga Pemasyarakan (Lapas) Cipinang itu pun menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan, upayanya berhasil. Robertus puas, meskipun dirinya bukan caleg.
Ketika didatangi Sumatera Ekspres (Jawa Pos Group) di rumahnya, Dusun VIII, Tanjung Cermin, Kelurahan Nendagung, Kecamatan Pagaralam Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan (Sumsel), Robertus menyambut ramah. ’’Inilah rumah saya,’’ kata Robertus Adji.
Nama pria berperawakan tinggi besar yang akrab disapa Robi Bara itu sempat mencuat ketika upayanya menggugat UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 dikabulkan MK.
Robi mengajukan pengujian untuk pasal 12 huruf g tentang syarat calon anggota DPR/DPD, pasal 50 ayat 1 huruf g tentang syarat calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dan pasal 58 tentang syarat calon kepala wakil kepala daerah.
Dalam putusannya Selasa pekan lalu (24/3), MK mencabut larangan menjadi calon anggota legislatif bagi mantan narapidana. Namun, putusan itu tidak bisa diterapkan untuk Pemilu 2009.
Ketua MK Mahfud M.D. dalam putusannya mengatakan, mantan narapidana yang sudah bebas selama lima tahun boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPD, DPR, dan DPRD.
Dalam konklusi putusan, aturan dalam pasal-pasal tersebut mempunyai kekuatan hukum tidak mengikat manakala untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); berlaku terbatas jangka waktunya hanya 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman; dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; dan kejahatan yang dilakukan tidak berulang-ulang.
Robi adalah pahlawan bagi eks napi lain? Ditanya seperti itu, Robi hanya tersenyum.
Suami Iin Lestari, 25, itu mengatakan, dirinya menggugat UU tersebut karena merasa diperlakukan tak adil. ’’Sejak keluar penjara, seabrek kegiatan sosial dan politik saya ikuti. Tetapi, ketika akan mencalonkan diri, saya selalu terganjal UU,’’ tandasnya.
Padahal, ungkap pria berkumis lebat itu, sebagai terhukum, dirinya dan rekan-rekan yang senasib sudah menjalani hukuman sesuai vonis yang dijatuhkan majelis hakim. ’’Seharusnya ini sudah lunas dan kami boleh atau berhak ikut maju dalam pemilu sebagai warga negara Indonesia. Dari sinilah awalnya saya mengajukan ke MK. Dan, alhamdulillah, akhirnya dikabulkan dan menang,’’ paparnya.
Apakah berencana akan menjadi caleg? ’’Sampai sekarang belum ada niat mau maju. Tapi, kita lihat saja nanti,’’ ujarnya.
Robi mengakui, ketika awal-awal mengajukan gugatan, dirinya sempat tidak yakin bisa menang di MK. Tapi, dukungan dari teman-teman, khususnya teman-teman satu partai di DPD PDIP Sumsel yang selalu mendampingi selama persidangan, membuat dia makin percaya diri. Dan, akhirnya langkahnya direspons positif oleh majelis hakim MK.
’’Saya akui, saya memiliki masa lalu kelam. Saya pernah dihukum di Lapas Cipinang akibat merampok. Tapi, tidak ada manusia yang mau berbuat salah untuk yang kedua. Saya sudah kapok dan ingin berbuat lebih banyak untuk bangsa dan masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kota Pagaralam,’’ paparnya.
Pria dengan empat anak itu mengungkapkan, dia keluar dari Lapas Cipinang, Jakarta, pada pertengahan 1981 setelah menjalani masa hukuman 4,5 tahun dari vonis majelis hakim PN Palembang selama 9 tahun 4 bulan karena bebas bersyarat. Sejak itu, Robi aktif di berbagai kegiatan sosial dan politik. Misalnya, ikut di Barisan Muda Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Kota Pagaralam. Selain itu, dia pernah menjabat ketua Orari Kota Pagaralam. Dan, kini dia masih menjadi anggota Dewan Penasihat (Wanhat) Pemuda Panca Marga (PPM) Kota Pagaralam, sekaligus duduk sebagai salah seorang pimpinan DPC PDIP Kota Pagaralam.
’’Sejak 1999, pilihan politik saya mantap ke PDIP dan selalu mengikuti serta memperjuangkan partai ini di Kota Pagaralam,’’ tegasnya. Kini setelah 20 tahun aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan politik, Robi berusaha sekuat tenaga menjauhi dunia kriminalitas. Bahkan, sekarang dia sering membantu teman-temannya yang berurusan dengan hukum.
Pria yang memiliki kebun kopi-karet yang cukup luas dan hotel itu sekarang disibukkan kegiatan di PDIP. Apalagi menjelang pemilu legislatif 9 April dan pemilihan presiden, kesibukannya meningkat. ’’Saya masuk sebagai tim pemenangan PDIP Sumsel dan setiap hari keliling Sumsel melakukan sosialisasi,’’ tuturnya. (almi diansyah/jpnn/kum)
http://www.radarjogja.co.id/berita/utama/2801-robertus-adji-yang-membuat-para-mantan-napi-bisa-maju-jadi-caleg-.html
Kamis, 29 Januari 2009
Pidana Seumur Hidup Dalam Perspektif Ide Pemasyarakatan
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pengertian substantif, hukum pidana dihadapkan pada tiga persoalan pokok, yaitu menyangkut masalah perbuatan pidana (tindak pidana/delik), pertanggungjawaban pidana serta masalah pidana dan pemidanaan.
Dari ketiga peroalan tersebut, maka yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan.
Bahwa ancaman pidana yang dicantumkan pada tiap-tiap delik pada hakekatnya adalah menggambarkan ketercelaan dan keseriusan perbuatan yang bersangkutan. Artinya, bahwa suatu perbuatan yang diancamkan dengan pidana penjara 2 tahun akan lebih atau setidak-tidaknya dipandang lebih tercela dibandingkan dengan perbuatan lain yang diancamkan dengan pidana penjara 1 tahun, misalnya. Demikian pula halnya dengan ancaman pidana mati atau ancaman pidana seumur hidup.
Di dalam Pasal 10 KUHP diatur tentang jenis-jenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan), dan pidana tambahan yang terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan hakim.
Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP ditegaskan:
(1) pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu;
(2) pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut;
(3) pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a (L.N. 1958 no. 127).
Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan. Bentuk pidana penjara pada dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Dahulu kala, pidana penjara tidak dikenal di Indonesia (hukum adat), yang dikenal ialah pidana pembuangan.
Pidana dan pemidanaan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana tidak begitu banyak yang memberikan sorotan, dan bahkan terkesan sebagai “anak tiri”. Ilmu pengetahuan hukum pidana yang dikembangkan dewasa ini masih banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik hukum pidana dari pada sanksi pidana. Pembahasan tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh norma hukum pidana belum banyak dilakukan, sehingga pembahasan seluruh isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi.
Masalah pidana dianggap merupakan suatu bidang yang tak banyak diketahui, sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penjara pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Pidana penjara yang merampas kemerdekaan manusia patut sekali mendapat perhatian. Di satu pihak terdapat persentase yang tinggi dari putusan hakim pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, di pihak lain dalam pelaksanaannya hal itu menyangkut martabat manusia yang menjadi narapidana serta kedudukannya sebagai warga negara atau penduduk Negara Republik Indonesia.
Fungsi pidana sebagai salah satu alat untuk “menghadapi” kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan, dari satu cara yang bersifat “pembalasan” terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan individu lainnya dalam masyarakat, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan; terus berubah dan berkembang ke arah fungsi pidana (khususnya pidana penjara) sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian ke dalam masyarakat.
Dalam rangka ini, bertolak dari ide dasar Dr. Sahardjo, SH., pada saat menerima gelar Doktor Honoris Causa pada tanggal 5 Juli 1963, mengemukakan ide pembaharuan sistem pidana penjara. Menurut Sahardjo, tujuan dari pidana penjara adalah, di samping menimbulkan rasa derita kepada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat serta mendidiknya agar ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Tujuan pemenjaraan yang demikian itu disebutnya dengan pemasyarakatan.
Dari rumusan tujuan pemidanaan tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa ide Sahardjo menganut sistem campuran penjeraan (deterrent) dan reformasi terpidana. Tujuannya ada dua, yaitu mengayomi masyarakat dari perbuatan jahat, dan membimbing terpidana sehingga dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Ide Sahardjo tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konperensi Direktur Penjara seluruh Indonesia pada tanggal 27 April 1964 di Lembang, Bandung.
Pada Konperensi itulah dimulai tekad untuk memperbaiki sistem pembinaan narapidana dan anak didik. Sistem lama yang berdasarkan Reglement Kepejaraan warisan kolonial Belanda diganti dengan sistem pembinaan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat penulis rumuskan yang menjadi masalah pokok dalam tulisan ini, yaitu: “bagaimanakah eksistensi pidana seumur hidup dikaitkan dengan sistem pemasyarakatan ?”
C. Pembahasan
Pidana merupakan suatu alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Pidana bukan merupakan tujuan, dan memang tidak mungkin menjadi tujuan. Yang mempunyai tujuan disini justru adalah pemidanaan itu sendiri.
Tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin munjurus ke arah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. Unsur-unsur primitif dari hukum pidana yang demikian itu sukar untuk dihilangkan. Tujuan yang juga dipandang kuno yaitu penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan balans antara yang hak dan yang bathil.
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3 golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:
1. teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien);
2. teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien);
3. teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Khatolik.
Teori pembalasan mengatakan, bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk diajtuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana itu. Setiap kejahatan berakibat diajatuhkannya pidana pada si pelaku.
Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu keharusan. Hakekat suatu pemidanaan adalah pembalasan.
Teori tentang tujuan pemidanaan yang kedua yaitu teori relatif. Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam penyelenggaranaan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pemidanaan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki atau membinasakan. Lalu dibedakan antara prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang lain pada umumnya tidak melakukan delik.
Bentuk tertua dari prevensi umum dipraktekkan sampai revolusi Perancis. Prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan di depan khalayak ramai.
Kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputuskan itu dipertontonkan di depan umum dengan sangat ganasnya, dengan tujuan supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya. Utnuk ini terkenal suatu adagium Latin yang berbunyi, “nemo prudens punit, quia peccatum, sed net peccetur” (supaya khlayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum).
Pada zaman Aufklarung, abad ke 18, pelaksanaan pidana yang ganas ini ditentang secara besar-besaran. Terutama oleh Beccaria dalam bukunya Dei Delliti e delle pene.
Keberatan terhadap prevensi umum ini ialah diperguanakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum. Bahkan ada kemungkinan orang yang tidak bersalah dipidana, diperguanakan untuk maksud prevensi umum tersebut.
Sebaliknya, prevensi khusus, yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Lizt (Jerman) mengatakan, bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader) bertujuan mencegah bakal pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.
Maksud prevensi khusus dari suatu pemidanaan ialah:
1. bahwa pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya;
2. dengan pemidanaan harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana;
3. pemidanaan mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki lagi;
4. tujuan satu-satunya suatu pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib hukum.
Kemudian teori gabungan antara pembalasan dan prevensi terdapat beberapa variasi. Ada yang menitikberatkan pada pembalasan, dan ada pula yang menghendaki unsur pembalasan dan prevensi seimbang.
Yang pertama, yaitu menitikberatkan pada unsur pembalasan yang antara lain dianut oleh Pompe, yang mengatakan, “bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan”.
Sedangkan teori gabungan yang kedua, yaitu yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut teori ini, bahwa pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari pada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.
DalamRancangan KUHP Nasional, Pasal 47 diatur masalah tujuan pemidanaan, yaitu:
(1) Pemidanaan bertujuan untuk:
Ke-1 mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
Ke-2 memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna;
Ke-3 menyelesaikan konflik yang ditimbulkan leh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Bertolak dari ketentuan Rancangan KUHP di atas, maka dapat dikatakan bahwa substansi dalam ketentuan tersebut merupakan penjabaran dari teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prevensi, koreksi, kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana (mirip dengan expiation).
Dewasa ini sudah tidak ada lagi penganut teori pembalasan (absolut) yang klasik dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Menurut Sudarto, kalau masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai teori pembalasan modern.
Dari apa yang diuraikan di atas, inilah agaknya yang menjadi pertimbangan dalam konsiderans dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan, “bahwa sistem pemasyarakatan adalah merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Lebih lanjut dalam penjelasan umumnya dinyatakan, “sistem kepenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga ‘rumah penjara’ secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya”.
Sejak tahun 1964, sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G. 8/506 tanggal 17 Juni 1964 yang pada akhirnya diundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.
Sebagai implementasi dari perubahan sistem tersebut mengakibatkan pula pada perubahan pengaturan hak-hak narapidana, yaitu seperti tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menetapkan, bahwa narapidana berhak:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti mass media lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukannya;
h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapat pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah tempat melakukan proses pembinaan narapidana yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan, menurut Mulder, “bahwa pidana perampasan kemerdekaan mengandung suatu ciri khas, yaitu bahwa dia adalah sementara. Terpidana akhirnya tetap diantara kita”.
Apa yang diuraikan di atas dapat pula dilihat dari perspektif relativitas, bahwa tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku tindak pidana yang mempunyai kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki atau memperbaiki dirinya sendiri. Berkaitan dengan perspektif relativitas tersebut, menarik untuk disimak apa yang ditulis oleh Habib Ur-Rahman Khan, “bahwa apabila kejahatan dipandang sebagai produk masyarakat, maka masyarakatlah yang membutuhkan perawatan/pembinaan dan bukan si penjahat”.
Secara manusiawi terdapat kecendrungan bahwa orang yang telah dijatuhi pidana seumur hidup dan telah dikuatkan dengan penolakan grasi akan berbuat semaunya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena dia berfikir bagaimanapun juga ia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, toh juga tidak akan mengalami perubahan pidana, tetap pidana seumur hidup. Sehingga jika ditilik dari sudut ini, maka ide pemasyarakatan akan mengalami kerancuan berhadapan dengan terpidana seumur hidup.
D. Kesimpulan
Secara umum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, tidak sedikitpun menggambarkan perlakuan terhadap narapidana seumur hidup. Dan jika sistem pemasyarakatan yang menekakan pada pembinaan dalam rangka resosialisasi, reedukasi, rehabilitasi maupun readaptasi terhadap para narapidana, maka narapidana seumur hidup dalam arti yang sesungguhnya justru sudah tidak mendapat kesempatan untuk berasimilasi secara total dengan masyarakat.
Dengan demikian jenis pidana ini, justru tidak menunjukan relevansi jika dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan sarana pemidanaan.
Oleh karena itu adalah sangat beralasan sekali jika muncul pandangan yang keberatan terhadap pidana seumur hidup, yaitu jika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan: untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, dapat menyadari kesalahannya, dan kelak setelah melalui proses pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat kembali hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Mencermati hukum pidana positif yang mangatur masalah pidana seumur hidup, maka keberadaan terpidana yang dipidana dengan pidana seumur hidup, dalam hal ini harus dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, dalam arti bahwa pemidanaan itu adalah bertujuan untuk pembalasan terhadap terpidana atau bertujuan menyingkirkan terpidana dari masyarakat supaya masyarakat aman dari ancaman perbuatan seperti yang dilakukan oleh terpidana. Atas dasar itu, maka dapat dikatakan tidak terdapat titik temu antara perumusan tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif dengan keberadaan dari terpidana yang dipidana dengan pidana seumur hidup dalam praktek penyelenggaraan hukum pidana.
Dengan demikian, kiranya perlu dilakukan reformasi terhadap eksistensi dari lembaga pidana seumur hidup.
Pekanbaru, 25 April 2007
Penulis,
Zul Akrial
Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau dan Kepala Bagian Administrasi Program Doktor Kerjasama Universitas Islam Riau dan Universiti Utara Malaysia. Penulis merupakan member Legalitas.Org yang aktif memberikan sumbang pikiran melalui tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisan Beliau yang lain dapat dilihat dengan klik disini.
BIBLIOGRAFI
Andi Hamzah, 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Cetakan Kedua.
Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Cetakan Kesatu.
1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Cetakan Pertama.
Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty. Cetakan Pertama.
Jimly Asshiddiqie. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-BentukBentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional. Bandung: Angkasa. Cetakan Pertama.
Moeljatno. 1982. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jakarta: Bina Aksara.
. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Cetakan Pertama.
Muladi dan Barda nawawi Arief. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni. Cetakan Kedua.
Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Azas-Azas Penologi (Pemasyarakatan). Bandung: Armico. Cetakan Pertama.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
http://www.legalitas.org/?q=Pidana+Seumur+Hidup
Jumat, 09 Januari 2009
Boleh Bebas asal Bayar ( Kaitan Uang Pengganti dengan Pembebasan Bersyarat )
Penulis : Maya Puspita Sari
“Ini peraturan baru. Saat ini, kami sedang menyiapkan surat edaran kepada seluruh Lembaga Pemasyarakatan,” kata Mashudi kepada wartawan di Gedung Departemen Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (9/9).
Sebelumnya, Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiyono berjanji surat edaran akan dikeluarkan pada pekan ini. “Surat akan segera dikirim ke seluruh lembaga pemasyarakatan dalam pekan ini,” ujarnya.
Untung mengatakan, peraturan itu dikeluarkan selaras dengan upaya memperbesar tingkat pengembalian uang hasil kejahatan korupsi. Menurutnya, dalam setiap putusan untuk kasus korupsi menggunakan UU No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, selalu ditetapkan terpidana diharuskan membayar uang denda dan uang pengganti selain hukuman penjara.
Ia menambahkan, agar kebijakan ini efektif, Dirjen Pemasyarakatan selaku instansi yang memproses pembebasan bersyarat akan berkoordinasi dengan pihak eksekutor. Ditjenpas akan menerima data lengkap tentang harta terpidana sebagai bahan pertimbangan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat dari pihak eksekutor.
Jika yang bersangkutan tak bersedia membayar dan benar-benar tak memiliki harta lagi, lanjut Untung, pembebasan bersyarat tak akan diberikan. “Sekalipun dia sudah menjalani dua pertiga masa pidana,” tuturnya.
Mashudi menambahkan, sekalipun surat edaran belum disebarkan, namun peraturan ini telah diterapkan. Menurutnya, surat edaran hanya lingkup teknis bagi Ditjenpas saja, prosedur sudah dijalankan oleh Ditjenpas.
Mashudi juga menerangkan, hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam dua undang-undang, yaitu UU No 7 Tahun 1971 dan UU No 31 Tahun 1999. Berdasarkan aturan pertama, pembebasan bersyarat akan diberikan jika terpidana telah menjalani dua pertiga masa pidana dan bersedia membayar uang pengganti.
Sedangkan berdasarkan UU No 31 Tahun 1999, pembebasan bersyarat akan diberikan jika narapidana sudah menjalani dua pertiga masa pidana. Namun, jika menolak membayar, atau kurang membayar setelah ada yang disita, pidana pengganti diterapkan pada pelaku korupsi. (*/OL-03)
http://mediaindonesia.com/webtorial/tanahair/?bar_id=MjkyNDk=