21/6/07]
Kalau produsen narkotika itu membahayakan karena menyebabkan kematian pemakai, apa bedanya dengan pabrik rokok?
Sejumlah ahli yang dihadirkan pada sidang pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (20/6), terlibat adu pendapat yang hampir sama-sama kuat dan logis. MK menganggap perlu mendengarkan tim perumus Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) supaya nampak jelas arah pemidanaan mati di Indonesia.[
Mardjono Reksodiputro yang juga anggota tim perumus RUU KUHP menjadi perhatian serius hakim konstitusi MK. Sejumlah pertanyaan hakim tertuju pada ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia itu. Mardjono mengemukakan bahwa perdebatan mengenai pidana mati sudah berlangsung sebelum tahun 1993, saat penyerahan RUU KUHP kepada Menteri Kehakiman waktu itu, Ismael Saleh.
Mardjono mengatakan, RUU KUHP masih mengadopsi hukuman mati. Menurut dia, hukuman mati masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif, dikhususkan pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majelis hakim,” ujar Mardjono.
RUU KUHP juga menerapkan apa yang dikenal dengan pidana mati percobaan atau acap disebut alternatif. Pidana jenis ini diancamkan secara alternatif, mula-mula dijatuhi penjara sepuluh tahun. Kalau dalam sepuluh tahun si terpidana menunjukkan perbuatan terpuji, maka pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. “Jadi ini semacam pemberlakuan daluarsa sepuluh tahun,” ujar Mardjono.
Selama ini hukuman mati dalam KUHP tidak ada batas daluarsanya. Sehingga ada kemungkinan seorang terpidana mati tak kunjung dieksekusi hingga sepuluh tahun lebih. “Kecenderungan dalam eksekusi, Pemerintah ragu-ragu mengeksekusi seorang terpidana mati, hingga nasib terpidana terkatung-katung,” katanya. Namun Mardjono mengaku dilematis ketika harus menjawab apakah dirinya setuju atau tidak dengan pemberlakuan hukuman mati.
Seorang ahli dari Universitas Gadjah Mada Bambang Purnomo menggelitik sidang dengan mengatakan kejahatan narkotika bukan tergolong kejahatan serius atau membahayakan lantaran ia merupakan kejahatan tanpa korban (a crime without victim). Menurut Bambang, kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang tidak memiliki korban, karena pelaku tidak membunuh si korban. Dalam pandangannya, korban punya kebebasan sendiri untuk memilih apakah ia mau jadi korban atau tidak. Bahkan ia berpendapat yang terpenting dalam pencegahan narkotika adalah program anti narkoba dilakukan secara intensif, bukan sekedar peradilan pidana yang banyak memutus pidana mati pada bandar narkotik. ”Walau nanti akan menimbulkan banyak kritik, tetapi hal tersebut harus dilakukan demi masa depan indonesia,” ujarnya.
Bambang menganggap selama ini putusan peradilan baik pemidanaan penjara maupun pidana mati lebih banyak tidakefisien daripada tujuan yang ingin dicapai, yakni timbulnya efek jera. Padahal menurut teori, pidana mati didasarkan pada teori pembalasan (retribution) dan penciptaan efek jera (deterrence). Ia lebih setuju jika sistem hukumannya menganut teori treatment yang bersifat membina dibanding teori efek jera. Anggapan Bambang itu cukup membuat pihak pemerintah yang mendukung hukuman mati penjahat narkotik kepanasan kuping.
Konsultan Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Jeane Mandagi lalu membeberkan sejumlah korban yang diragukan Bambang. “Apakah 15 ribu orang mati akibat narkotika bukan merupakan ancaman serius dan membahayakan negara?” ujarnya. Sayang ketika mengatakan itu, Bambang sudah tidak ada di tempat sidang karena harus melanjutkan acara di tempat lain.
Jeane juga mengemukakan fakta bahwa keseriusan kejahatan Narkotika bisa dilihat dari jumlah pecandu narkotik di Indonesia yang dalam catatan BNN kini mencapai 3,5 juta. “Mereka hidupnya sengsara, rugi semua-muanya, mulai dari kesehatan, materiil juga mengancam nyawa,” ujarnya.
Hal ini juga diamini Kepala bagian Litigasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham) Mualimin Abdi. Menurut Mualimin, perdebatan teoritis yang berujung menafikkan kenyataan bahwa narkotika bukan merupakan kejahatan serius merupakan pelecehan bagi para keluarga korban yang selama ini merasakan betapa menderitanya terkena akibat narkotika. Untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, ujar Mualimin, “Hukuman mati tetap harus dijatuhkan pada bandar-bandar narkotika kelas kakap”.
Menanggapi hal ini, ahli dari Universitas Sumatera Utara Mahmud Mulyadi menganggap teori yang dibangun Bambang adalah teori abolisi yang cenderung menghapuskan pemidanaan dalam bentuk apapun. Teori ini timbul lantaran gerakan social reform radical di Eropa yang menganggap pemidanaan tidak menurunkan terjadinya kejahatan. “Teori ini kemudian berkembang menjadi teori treatment yang memperlakukan pelaku kejahatan sebagai korban lingkungan,” ujarnya.
Untuk kondisi Indonesia, kata Mahmud, masih diperlukan hukuman mati. Hal itu mengingat gerakan abolisi pun menemui titik nadir dan kembali lagi pada gerakan retribusi dan detterence yang merupakan akar timbulnya gerakan abolisi itu sendiri. Terlebih, untuk menerapkan teori treatment membutuhkan biaya sangat tinggi. Ia sepakat dengan Mardjono bahwa, “Kejahatannya harus selektif dan benar-benar membahayakan masyarakat”.
Mahmud mengatakan, Indonesia sendiri hingga saat ini belum punya tujuan pemidanaan yang jelas, apakah untuk efek jera, balas dendam atau pemulihan (restorative justice). Nah, ia memandang KUHP mulai mengakomodir tujuan pemidanaan yang cenderung menganut tujuan pemulihan. Artinya, ujar mahmud, “Hukum adat di Indonesia banyak yang berusaha memaafkan si pelaku, mempertemukan antara pelaku dan korban, hingga tercapai pemaafan”. Namun ia memberi catatan, “Restorasi justice tidak bisa diterapkan pada semua jenis tindak pidana”. Termasuk tidak bisa diterapkan adalah, kejahatan yang dianggap membahayakan masyarakat.
Sementara ahli dari Universitas Pattimura Ronald Z Tihatelu berpendapat, jika penjahat narkotika dipidana karena menimbulkan korban demoralisasi masyarakat yang berujung kematian, ia menganalogikan bandar narkotik dengan pabrik rokok. “Kalau bandar narkoba dijatuhi pidana mati karena merusak orang, mengakibatkan mati, pabrik rokok juga mestinya begitu,” ujarnya.
Dalam pemikirannya, peredaran narkoba itu sama seperti pasar rokok. Si Korban menyadari bahwa dirinya menjadi korban, pengedar atau distributor juga menyadari kalau barang dagangannya itu membahayakan orang lain. “Pabrik rokok bahkan mencantumkan bahaya merokok di bungkusnya,” ujarnya. Jadi, menurut Ronald, “Yang berlaku dalam perdagangan narkotika 'kan mekanisme pasar”.
(CRP)