Kontras, organisasi penegak HAM yang didirikan oleh almarhum Munir, sedang berduka. Dua tahun lalu, organisasi non-pemerintah ini sangat berharap bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review terhadap semua UU yang memuat aturan hukuman mati, dalam Laporan HAM Tahun 2005.
Ketukan palu Ketua MK, Jimly Asshiddique seolah- olah ketukan palu pencabut nyawa Sianturi dkk. Sebab dengan keputusan MK itu, hukuman mati bagi pelanggar UU 22/1997 semakin mendapat kekuatan hukum. Satu-satunya celah penyelamat nyawa Sianturi dkk, tinggal permintaan grasi kepada Presiden RI, berdasarkan UU 22/2002 tentang Grasi.
Lalu, apa yang mendorong MK mengambil keputusan yang memutar jarum jam ke belakang itu? Tampaknya, keputusan itu didorong sikap ultra-nasionalis para hakim, untuk menentang imbauan Menlu Australia, Alexander Downer, agar ancaman hukuman mati terhadap enam warga Australia yang terancam hukuman mati dalam kasus penyelundupan narkotika di Bali, "dipertimbangkan secara hati-hati" (Republika, 30 Oktober 2007).
Kalau anggapan itu betul, maka tampaklah bahwa riwayat pelaksanaan hukuman mati serta prosedur pelaksanaannya di Indonesia, bersifat sangat taktis, dan bukan konsepsional. Misalnya, Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, ditandatangani oleh Kepala Bareskrim Polri, Komjen Suyitno Landung, di bulan Juli 2004. Tujuannya, melengkapi Penpres (Penetapan Presiden) 2/1964 dengan suatu Protap (prosedur tetap) yang mengikat Polri.
Soalnya, saat itu Polri merasa tidak punya pegangan hukum yang kuat untuk melakukan eksekusi terhadap Ayodya Prasad Chaubey, warganegara India berusia 65 tahun yang sudah dijatuhi keputusan hukuman mati karena kasus narkoba. Sebab Pasal 271 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak dilaksanakan di muka umum, dan "menurut ketentuan undang-undang". Padahal, sampai sekarang, kita juga tidak punya Undang-Undang yang mengatur pelaksanaan hukuman mati. Yang ada hanyalah Penpres 2/1964, yang ditandatangani Presiden Soekarno, tanggal 27 April 1964.
Protap itu, yang belum disosialisasikan kepada publik, juga diterapkan dalam eksekusi Fabianus Tibo dkk pada tanggal 20 September tahun lalu di Palu. Sebelumnya, pengetahuan umum hanyalah bahwa eksekusi dilakukan oleh empat orang anggota regu tembak, di mana hanya seorang di antara mereka memegang senapan yang terisi amunisi. Tahu-tahu, setelah jenazah Fabianus Tibo (60 tahun) dan sesama terpidananya, Marinus Riwu (48 tahun), setelah diotopsi kembali oleh Kepala Puskesmas Beteleme, dokter IM Pujawan, kedua jenazah itu tampak "dihiasi" banyak luka yang sudah dijahit kembali.
Kesan sadis segera muncul dalam perdebatan tentang eksekusi Tibo, dll. Sehingga pelaksanaan hukuman mati dirasakan lebih sebagai pembalasan dendam dari komunitas yang konon dicederai oleh Tibo dkk.
Eksekusi Tibo dkk juga mencerminkan sifat adhoc dari wacana dan kebijakan politik di seputar penggunaan hukuman mati, yang lebih bersifat instrumental, bukan konsepsional. Menurut sumber-sumber penulis di lingkungan penegak hukum, eksekusi Tibo waktu itu sudah merupakan keputusan politis, bukan keputusan hukum. Sehingga permintaan terpidana untuk mendapatkan grasi ke-2, sesuai dengan UU No 22/2002, diabaikan dan eksekusi mereka segera dijalankan, didorong oleh politik keseimbangan rezim SBY-JK waktu itu.
Keputusan untuk segera mengeksekusi Tibo dkk, tanpa mengindahkan hak para terpidana untuk mendapatkan grasi kedua, didorong oleh Menkopolhukam, Kapolri dan Jaksa Agung waktu itu. Yudhoyono sendiri tidak memberikan pendapat, tapi JK membuat pernyataan-pernyataan yang mendorong supaya Tibo dkk segera diekskusi. Penambahan pasukan di Poso, setelah eksekusi Tibo dkk memicu keresahan dan tindak kekerasan terhadap pedagang ikan dari Sulawesi Selatan, tentunya sudah dapat diperkirakan oleh para pengambil keputusan di Jakarta. Tapi penambahan pasukan polisi dan tentara yang dikerahkan untuk mencegah berulangnya konflik antar komunitas, tidak terlepas dari kepentingan pribadi keluarga Wakil Presiden di daerah Poso. Sebab penambahan pasukan di daerah Poso, dengan sendirinya ikut mengamankan PLTA berkapasitas 600an MW yang sedang dibangun oleh kelompok Bukaka, perusahaan keluarga Jusuf Kalla, di Sungai Poso.
Sayangnya, para penentang hukuman mati Tibo dkk, yang waktu itu dengan begitu gegap gempita mau menggugat pemerintah ke Komisi HAM PBB di Jenewa, tampaknya hanya marah sesaat. Padahal, buat organisasi-organisasi penentang hukuman mati, seperti Kontras, tidak peduli siapa yang dihukum, tidak peduli apa agamanya, tidak peduli apa kesalahannya, hukuman mati tidak dapat dibenarkan, berdasarkan tiga alasan.
Pertama, hukuman mati tidak dapat dipertahankan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip agama-agama dunia, bahwa nyawa berasal dari Tuhan, dan hanya dapat dicabut oleh Tuhan.
Kedua, seperti yang sudah disinggung di depan, dipertahankannya hukuman mati dalam sebelas Undang-Undang di negara kita, bertentangan 180 derajat dengan amanat bangsa untuk menegakkah hak-hak asasi manusia. Termasuk Kovenan PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia tanggal 28 Oktober 2005, yang menegaskan bahwa hak atas kehidupan merupakan suatu hak asasi yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun, termasuk negara.
Ketiga, hukuman mati tidak punya efek jera, yang dijadikan alasan oleh para pendukungnya. Tidak bagi para pengedar narkoba, tidak juga bagi mereka yang merampas kehidupan orang lain, dengan dalih keyakinan agamanya, dan tidak menghormati pengadilan buatan manusia. Makanya, untuk apa hukuman mati masih dipertahankan oleh negara kita?
Kita menolak hukuman mati, semata-mata untuk tidak merasa setinggi Tuhan, karena hanya Tuhanlah, sang pemberi nyawa, yang berhak mencabut nyawa manusia.
Penulis adalah pengamat hukum yang aktif menentang eksekusi terhadap Fabianus Tibo dkk