PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Jumat, 27 April 2007

SAMBUTAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA PADA HARI BHAKTI PEMASYARAKATAN KE-43 TANGGAL 27 APRIL 2007


Assalamualaikum Wr.Wb,


Hadirin yang saya hormati,Saya ingin memulai sambutan di pagi ini dengan sebuah adegan film Green Mile yang diangkat dari novel laris Stephen King. Saya mengingatnya karena film ini begitu baik melukiskan sisi-sisi kemanusiaan di balik tembok penjara di Louisana, Amerika Serikat. Alkisah, seorang terpidana mati kasus pembunuhan dan pemerkosaan bersahabat dengan seorang sipir yang diperankan oleh Tom Hanks. Si narapidana yang bertubuh besar, datang sebagai warga binaan yang sungguh-sungguh berguna. Ia bukan “sampah” melainkan “dewa penolong”.

Ia menyembuhkan penyakit bawaan sang penjaga dan menyelamatkan nyawa istri kepala penjara.Meski berbadan raksasa dan berwajah garang, si terpidana tetaplah manusia biasa: yang menangis dan ketakutan saat sendirian menghitung hari eksekusinya.

“Saya ingin semuanya cepat berlalu. Saya lelah dengan orang yang berlaku buruk satu sama lain. Saya lelah dengan segala penderitaan yang saya dengar dan rasakan setiap hari,” bisiknya kepada sang sipir. Ia akhirnya meregang nyawa di kursi listrik dan dilepas para penjaga dengan air mata dan kenangan yang baik. Wataknya yang baik tetap terjaga kendati dikungkung jeruji. Ia tak pernah didera ketakutan pada orang-orang yang menjaganya. Mungkin ini yang disebut Aung San Suu Kyi, peraih Nobel yang sudah ditahan bertahun-tahun di rumah sendiri bahwa: bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan.

Sengaja saya mengangkat cerita ini di Ulang Tahun Lembaga Pemasyarakatan yang ke 43. Dilihat dari situasi di penjara-penjara kita, ini mungkin hanyalah sebuah impian... ketika petugas penjara begitu berkesan di mata para narapidana dan tahanan, dan sebaliknya, para napi menebarkan watak dan tabiat yang baik selama berada dalam kungkungan penjara. Upaya meretas impian itu harus kita mulai dengan tekad yang teguh.

Hadirin yang saya hormati...Suasana hari ulang tahun seperti ini, juga membawa kita untuk kembali merenungi perjalanan masa silam, masa kini dan langkah kaki kita ke masa depan. Jika menengok jejak sejarah, maka kita tahu bersama, sistem peradilanlah yang menciptakan penjara ketika di abad 12, Raja Henry II dari Inggris membangun ruang-ruang khusus bagi tahanan yang hendak dihadapkan pada pengadilan. Saat itu baru sebatas kurungan badan belaka. Baru pada abad ke-16 penjara sebagai lembaga pemasyarakatan mewujud berupa London’s Bridewell dan Ghent House of Correction serta sejumlah LP di tanah koloni di Amerika Serikat.

Persoalan penyakit dan tingkat hunian belum mengemuka mengingat masa hukuman maksimal baru tiga tahun. Awal abad ke-18, Penjara Eastern State Penitentiary di Philadephia merintis pembinaan para narapidana dengan bekal keterampilan menganyam, bertukang dan membuat sepatu. Para pengelola LP saat itu sudah meyakini: dalam kesunyian dan kesendirian, para napi akan merenungi kesalahan masa lalu mereka dan bertobat. Di tahun 1840, Kapten Alexander Maconochie di Kepulauan Norfolk, sebelah timur Australia memperkenalkan sistem penilaian seperti pada anak sekolah.

Para napi dinilai pekerjaan dan sikapnya dan kemudian dicantumkan dalam “rapor” yang bisa mempengaruhi masa hukumannya. Sistem ini kemudian diterapkan di berbagai penjara di dunia -- juga di negeri kita -- yang berimbas pada pengurangan masa hukuman. Itu sebabnya para narapidana kita sebut sebagai warga binaan. Seusai masa hukuman, mereka akan kembali berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.Hadirin yang saya hormati...Lembaga Pemasyarakatan kita, telah mengabdi lebih dari empat dekade. Ia menjadi saksi pasang surutnya kehidupan negeri ini. Penjara menjadi cermin politik pemerintah dari setiap masa. Di masa pemerintahan kolonial misalnya, penjara dijejali oleh pejuang Indonesia yang dianggap musuh. Hampir semua pemimpin perjuangan pernah merasakan menjadi tahanan atau warga binaan, termasuk kedua proklamator kita: Soekarno-Hatta.

Lembaga Pemasyarakatan di masa lalu, juga banyak melahirkan karya-karya besar warga binaan atau tahanan. Mendiang sastrawan Pramoedya Ananta Toer menciptakan novel legendaris tetralogi Pulau Buru, justeru ketika ia berada dalam penjara. Hal serupa juga terjadi di belahan benua lain. Ambil contoh di Afrika selatan dengan legendanya: Mandela. Kekuatan perjuangan anti apartheid berhulu dari lembaga pemasyarakatan di mana Mandela disekap. Inspirasinya berasal dari seorang narapidana Politik yang badannya terkurung rapat, tetapi cita-cita dan imajinasinya melanglang buana menembus lorong-lorong waktu dan zaman melintasi jarak ruang.Tak terbilang lagi kisah klasik dari segala zaman yang membutkikan bahwa lingkungan lembaga pemasyarakatan ternyata juga kondusif untuk menghasilkan sesuatu yang positif, menelurkan karya besar, bukan sekedar tempat menghitung hari sampai masa hukuman berahir.

Juga bukan malah menjadi tempat untuk berguru kejahatan baru dan bergelimang dengan penyakit dan berbagai masalah sosial. Bagaimana pun, situasi ini adalah cerminan persoalan bangsa yang harus kita hadapi, bukan untuk dihindari. Dalam konteks ini, arah kebijakan kita adalah, di dalam lembaga pemsyarakatan, para penghuni bukan dibuang dari masyarakat, tetapi dibina. Itu sebabnya, mereka disebut warga binaan. Seusai masa hukuman, warga binaan diharapkan kembali berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Hadirin yang terhormatHari-hari ini, tak dipungkiri banyak problema yang membelit Lembaga Pemasyarakatan kita. Apalagi akhir-akhir ini, media sedang gencar menyorot tingginya tingkat kematian narapidana.

Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penghuni Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang meninggal sepanjang 2006 mencapai 813 orang. Angka kematian tertinggi ada di lima provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara dan Jawa Timur. Dari jumlah total tersebut, 70 hingga 75 persen adalah narapidana kasus narkoba, sehingga dicurigai kasus kematian ini umumnya berlatarbelakang penyalahgunaan narkoba yang kerap bergandengan dengan HIV/AIDS. Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia itu, hingga 31 Desember 2006, ada 8194 kasus HIV/AIDS di seluruh Indonesia. Tentu, masih banyak lagi kasus-kasus yang tak dilaporkan. Badan Narkotika Nasional bahkan menyebutkan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika telah menyentuh 1,5 persen dari penduduk Indonesia atau lebih dari 3 juta orang pada tahun 2006. Sebagian besar dari mereka adalah pengguna teratur.

Sesungguhnya, ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Menurut data UNAIDS --lembaga PBB di bidang AIDS-- di banyak negara, epidemi AIDS berawal dari kalangan pengguna narkoba suntikan sebelum menyebar ke segmen kelompok penduduk yang lain. Penggunaan narkoba suntikan menjadi media penularan yang dominan di sejumlah tempat. Sayangnya, berbeda dengan para pekerja seks, kelompok pengguna narkoba nyaris tak terpantau. Mereka pun sering terlewatkan dari pelayanan pencegahan dan pengobatan AIDS. Nah, para pengguna di penjara, menurut laporan UNAIDS, adalah kelompok yang paling rentan tertular virus mematikan itu. Ilustrasi ini saya sampaikan untuk membuka mata kita bahwa apa yang terjadi di dalam penjara adalah cerminan persoalan masyarakat kita saat ini. Penjara memang adalah miniatur kehidupan nyata di luar tembok. Semakin terang benderangnya sorotan media belakangan ini semestinya membuat kita makin terpacu untuk mencari jalan keluarnya, bukan malah menghindarinya.

Hadirin yang saya hormati,Hulu semua persoalan yang mendera lembaga pemasyarakatan kita, yakni, soal “tingkat hunian” yang jauh melebihi daya tampung. Ketika narapidana datang dengan penyakit bawaannya, maka penularan penyakit menjadi-jadi. Itulah sebabnya, Departemen Hukum dan HAM senantiasa berupaya menanggulangi penyebaran HIV/AIDS dengan menjalin kerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), Departemen Kesehatan, Badan Narkotika Nasional, Pemerintah Daerah dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menerapkan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lapas/Rutan.

Program ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi daerah-daerah lain di IndonesiaDari sisi medis, kami mencoba, antara lain, meningkatkan pelayanan kesehatan dasar di seluruh poliklinik Lapas/Rutan, memberikan layanan konsultasi dan pengobatan bagi penderita HIV AIDS, TBC dan pengguna narkoba. Kami juga sedang mengupayakan percepatan pembangunan LP Narkotika Terpadu Yogyakarta, operasionalisasi LP Super Maximum Security di Nusakambangan dan pemindahan narapidana dari penjara yang sudah penuh ke yang lebih kosong di daerah-daerah. Insya Allah. Tahun ini juga kita akan mengangkat seribu dokter dan paramedis yang ditempatkan di lembaga-lembaga kita. Kebijakan ini mengikuti kebijakan sebelumnya. Yakni, mengangkat 3 000 sipir penjara. Tak terbilang lagi ihtiar dan kiat yang kita tempuh untuk membenahi masalah ini.

Hadirin yang saya hormati, Kami sama sekali tidak menutup mata atas kritik-kritik dan sorotan tersebut. Ada yang obyketif, tapi tak terbilang juga subyektif. Semuanya kita terima dan ramu sebagai bahan untuk memperbaiki. Di tengah kondisi-kondisi obyektif yang digambarkan di atas, mari kita menyaksikan berapa banyak sipir penjara kita, dengan segala resiko yang dihadapi, dengan baju yang ditambal sulam untuk kesekian kalinya, mengayuh sepeda roda dua tak bermesin, menembus keramaian, berangkat mulai subuh hari, dan belum tentu pulang hingga subuh hari berikutnya. Karena itu, acapkali anak-anak dan isteri mereka, terpaksa melantunkan lagu yang dibawakan oleh Rossa:
Sekarang kau pergi menjauh,
Sekarang kau tinggalkan akuDi saat kumulai mengharapkanmu
Lalu setelah itu anak-anaknya pun melantunkan lagu yang dibawakan oleh Letto :
Kau datang dan pergi
Oh begitu saja
Semua kuterima Apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
Di ruang rindu kita bertemu....

Hari ini, kita bersama-sama memperingati Hari Bakti Pemasyarakatan ke 43. Lebih dari empat dekade Lembaga Pemasyarakatan kita mengabdi untuk bangsa, menjadi pelabuhan akhir proses penegakan hukum di tanah air. Ini bukan masa yang singkat, bukan pula masa yang mudah. Berbagai persoalan mencuat tiap kali musim berlalu dan masa berganti. Namun, ulang tahun adalah hari yang perlu kita peringati. Karena ulang tahun yang sebenarnya bukanlah acara tahunan, tetapi hari di mana kita dilahirkan kembali.Saya percaya, di hari ulang tahun ini, jajaran Pemasyarakatan akan “dilahirkan kembali” dengan semangat dan pengabdian yang baru, yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Tentu kita semua punya impian, menerima para tahanan dan narapidana yang sehat, dan kemudian berada dalam suasana Lembaga Pemasyarakatan yang menyenangkan. Di dalam, para narapidana tidak sekadar menghitung hari, dan para petugas LP kita tidak sekadar menjalani rutinitas menjaga, menghitung, dan menilai belaka.Ini memang bukan tugas yang ringan. Karena itu, mari, kita bertekad untuk menyempurnakan pelayanan dan pembinaan untuk meningkatkan kualitas hidup para narapidana dan tahanan sesuai dengan prinsip-prinsip hak azasi manusia.

Hadirin yang saya hormati Adegan film Escape From Alcatraz, kisah nyata tahanan yang berhasil melarikan diri dari pulau penjara di Amerika Serikat itu. Sang kepala penjara berkata kepada Frank Morris (yang dibintangi aktor favorit saya, Clint Eastwood), “Alcatraz dibangun untuk menyimpan telur-telur busuk dalam satu keranjang, dan tugas saya adalah memastikan bau busuknya tidak keluar.”Saya mengingat dialog ini justru karena saya berpendapat SEBALIKNYA. Penjara, bui, hotel prodeo atau apapun sebutannya BUKAN tempat menyimpan “telur busuk” atau apapun yang berbau tak sedap. Sebaliknya, Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat membina penghuninya menjadi warga yang baik, yang “harum” dan tidak lagi melanggar hukum.

Insya Allah, dengan tekad dan kerja keras bersama, ini semua bisa terwujud menjadi kenyataan.

Hadirin yang saya hormatiDi kota Meksiko di tahun 1968, tatkala pesta olimpiade berlangsung. Seorang pelari marathon Tanzania, Ochacalan, jatuh tersungkur di tengah jalan, tatkala ia sedang mengikuti perlombaan. Ia mengerang kesakitan. Banyak orang menghampirinya dan membujuk agar ia mundur saja. Ia menggeleng, pertanda menolak takluk.Beberapa jam kemudian, ketika stadion sudah amat sepi. Tinggal beberapa wartawan dan juru potret lokal, duduk keletihan karena upacara penyematan dan pemberian medali bagi para pemenang lomba marathon, usai sudah. Tak dinyana, dari jauh, Ochacalan muncul dengan kaki diseret, muka pucat. Ia tetap berjuang untuk menyentuh garis akhir. Dengan bangga, akhirnya toh ia memang menyentuh garis ahir dan tersipuh kegirangan.

Para wartawan dan juru potret lokal tadi, ramai-ramai menghampirinya. Mengapa kamu melakukan ini? Bukankah medali sudah diberikan kepada para pesaingmu? Kamu toh sudah jadi pihak yang kalah dan tak akan ditulis oleh sejarah, kata para wartawan padanya. Ia pun dengan tenang menjawab: “Saya dikirim oleh negara saya ke mari, ribuan kilometer jauhnya, bukan untuk sekedar memulai perlombaan ini, tetapi sekaligus mengahirinya. Saya harus tiba dan menyentuh garis ahir ini, untuk mengahiri tanggungjawab saya”, katanya tegas.

Kepada para sipir dan petugas pemasyarakatan dan rumah tahanan, anda semua adalah bagian dari orang-orang yang selalu berihtiar mengahiri tanggungjawab, tiap hari, dengan segala resiko yang dihadapi. Anda selalu menyentuh garis akhir itu, yakni, tak pergi, sebelum gembok terakhir dari sel blok, dikunci rapat. Kami bangga memiliki Anda semua. Selamat hari jadi pemasyarakatan yang ke-43.

Wassalamualaikum Wr.Wb. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia

Hamid Awaludin




Selasa, 24 April 2007

MELUPAKAN HAK di TEMPAT PEMBINASAAN

(Fokus Kompas, 21 April 2007)

Bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik yang manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.

Kalimat di atas menjadi pembuka konsiderans dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang sampai kini masih berlaku di negeri ini. Kalimat itu menegaskan, sistem pemenjaraan yang sebelumnya diberlakukan bagi warga negara yang melakukan tindak pidana tak sesuai dengan dasar negara, Pancasila.

Bahkan, Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menjadi dasar pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan negara (rutan) menyebutkan lagi, sistem pemasyarakatan adalah rangkaian kegiatan penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga bisa diterima kembali masyarakat.

Warga binaan, terutama narapidana (napi), setelah keluar dari penjara diharapkan dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Karena itu, Pasal 5 UU Pemasyarakatan menegaskan, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas:

(a) pengayoman,
(b) persamaan perlakuan dan pelayanan,
(c) pendidikan,
(d) pembimbingan,
(e) penghormatan harkat dan martabat manusia,
(f) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan
(g) terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Oleh karena itu, napi sesuai Pasal 14 UU No 12/1995 juga diberikan hak mendapat perawatan rohani atau jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak; menyampaikan keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi, termasuk cuti mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan bersyarat; mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak lain sesuai dengan UU yang berlaku.

Namun, masihkah penjara di negeri ini layak disebut LP? Pertanyaan itu terasa menggelitik, terutama saat dihadapkan pada kondisi LP yang kini sangat menyedihkan, mulai dari kelebihan penghuni, keterbatasan sanitasi dan perlengkapan, hak napi dan tahanan yang terabaikan, hingga ratusan napi yang meninggal dalam penjara. Singkatnya, kondisi penjara kini jauh dari standard minimum rules (SMR) yang ditetapkan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) untuk sebuah penjara.

Standar PBB
SMR mengatur setiap napi seharusnya memiliki ruang sel sendiri yang memenuhi standar kesehatan. Hak itu meliputi volume udara, luas lantai, penerangan, pemanasan, dan ventilasi. SMR juga mengatur akomodasi napi harus memerhatikan bagian untuk membuang hajat dan mandi yang bersih serta dapat digunakan setiap saat.

SMR juga mengatur tentang hak napi memperoleh perawatan dan pelayanan kesehatan jasmani dan rohani. Standar pelayanan meliputi kesehatan jiwa, pengobatan yang tepat, serta penyembuhan kelainan mental. Ketersediaan dokter spesialis pun dijamin.
Jelas saja SMR ini seakan menjadi omong kosong di Indonesia. Tingkat hunian penjara sangat padat. Sangat tidak mungkin menempatkan seorang napi sendirian di sel. Hingga 17 April lalu, LP di wilayah DKI Jakarta dihuni 6.742 orang. Padahal, kapasitasnya hanya 4.068 orang.

Anggota Dewan Pertimbangan Pemasyarakatan (DPP), Farida Syamsi Chadaria, Kamis (19/4), mengakui kondisi LP yang teramat jauh dari ideal itu. “Sebenarnya DPP sudah memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Namun, memang kondisi LP kita masih jauh dari fungsi pemasyarakatan. Juga Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah lama tak mengundang DPP untuk membahas kondisi penjara ini,” katanya.

Dengan kondisi yang ada saat ini, lanjut Farida, memang tidak mungkin bagi pengelola LP atau rutan untuk memedulikan fungsi menyiapkan dan membina warga binaan sehingga bisa kembali kepada masyarakat dengan baik, termasuk tidak mengulangi tindak pidananya lagi. Pengelola LP atau rutan sudah terlalu disibukkan dengan urusan hariannya.

“DPP sudah mewacanakan agar tak semua pelaku tindak pidana itu mesti dipenjara. Bisa saja diberikan hukuman pengganti, seperti kerja sosial atau denda, sehingga penjara tidak penuh. Namun, itu baru akan diakomodasi dalam revisi UU No 12/1995,” papar Farida lagi.

Aktivis Kelompok Studi 19 yang membidangi HAM dan Pemasyarakatan, Priyadi, mengakui memang sulit untuk mewujudkan konsep pemasyarakatan yang ideal. Itu membutuhkan perubahan menyeluruh dalam criminal justice system kita.

“Kalau mau dibenahi, seharusnya dari hilir hingga hulu. Pemasyarakatan itu, kan, hanya menerima. Pembenahan harus dilakukan sejak di kepolisian, kejaksaan, hingga hakim. Hakim kalau memutus perkara narkoba, misalnya, jangan semua dimasukkan ke penjara. UU mengatur pencandu dapat dimasukkan ke panti rehabilitasi,” ujar dia.
Persoalannya, hakim sering tidak memperhitungkannya. Semua terpidana kasus narkoba diperintahkan dipenjara.

Farida juga mempersoalkan fungsi hakim, yang sekadar melepaskan orang ke penjara. Padahal, semestinya hakim juga mengawasi apakah pemidanaan itu dilakukan dengan baik dan manusiawi. “Fungsi itu tak ada lagi. Hakim benar-benar ’melepaskan’ terpidana ke penjara,” katanya. (ana/tra)

ditulis :
http://kriminologi1.wordpress.com/2007/04/24/melupakan-hak-di-tempat-pembinasaan/



Sabtu, 21 April 2007

RUTAN Tak Lagi "HOTEL PRODEO"


Kebebasan pasti berharga sangat mahal. Namun, siapa sangka, di bumi pertiwi ini masih ada harga yang lebih mahal dari sebuah kebebasan itu sendiri, yaitu keterkungkungan.

Tak satu pun insan di bumi ini yang rela hidup terkungkung, apalagi harus membayar mahal. Namun, bagi para narapidana, mau tidak mau, kehidupan itu harus mereka pilih. Setidaknya, itulah yang tersaji secara kasatmata, jelas, dan gamblang di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta. Sebuah rutan khusus perempuan.

Harga mahal itu bahkan telah dimulai di pintu terluar. Awalnya, pengunjung harus mendaftar dan menunjukkan KTP di loket kecil sebelah kiri pintu sambil "menyelipkan" selembar Rp 5.000-an ke tangan petugas. Selanjutnya, petugas akan mencatat dan mendaftar nama serta jumlah pengunjung. Lagi-lagi selembar Rp 5.000-an diselipkan.

Karena Pondok Bambu adalah rutan bagi perempuan, pengunjung perempuan harus mendapatkan stempel di punggung tangan kanan untuk membedakan pengunjung dan penghuni. Pada tahap ini, kembali selembar Rp 5.000-an "berbicara". Hanya, tidak diselipkan di tangan, melainkan di sebuah kotak resmi.

Setelah menjalani seluruh "prosesi", pengunjung baru mendapat angin untuk menemui kerabat yang kebetulan sedang menjadi penghuni. Takaran antara penghuni dan pengunjung ternyata jauh berbeda. Jika pengunjung masih pada takaran "ribuan", tidak demikian bagi penghuni.

Kala mendapat kunjungan, seorang penghuni harus dijemput oleh tamping atau tahanan pendamping dan nanti diantarkan kembali ke sel. "Tamping" adalah "anak kambing" atau pria di bawah umur yang ada dalam binaan mereka.

Tentu, budaya salaman, sisipan, blesetan, atau apa pun namanya berlaku di sini. Pada hari biasa, angka "salaman" masih ribuan. Namun, pada hari Sabtu dan Minggu, ongkos buka-tutup pintu dari sel ke ruang tamu sebesar Rp 10.000 untuk sekali buka.

Sangat mahal

Hidup memang tidak ada yang gratis, bahkan ketika di dalam penjara. Untuk memperoleh kehidupan "layak", seorang tahanan atau narapidana (napi) harus membayar segala hal hingga mencapai jutaan rupiah. Katakanlah, untuk segera mendapatkan kamar, ia harus merogoh Rp 100.000. Itu untuk kamar seadanya yang dihuni 25 napi.

Untuk kamar VIP yang hanya dihuni tiga orang dengan kasur spring bed single, perlu "tanda jadi" antara Rp 3 juta hingga Rp 5 juta dan uang jaminan Rp 300.000 per bulan. Kamar ini biasanya dilengkapi dengan kipas angin dan televisi, bahkan kadang fasilitas karaoke.

Itu baru kamar, belum urusan lain. Untuk makan, misalnya, tiap napi dipungut biaya Rp 10.000 per tiga hari, dengan lauk-pauk seharga Rp 3.000 untuk satu jenis lauk di kantong plastik. Lalu, uang kebersihan, fitness, atau jaga yang bervariasi. Fitness harian ditawarkan biaya Rp 10.000, sedangkan per bulan Rp 150.000.

"Kalau enggak punya uang, ya, jadi pembantu tahanan lain. Uangnya di-kumpulin buat bayar iuran kamar ke kepala kamar," ujar Betsy yang juga sempat menghuni Rutan Pondok Bambu dan LP Wanita Tangerang. "Kalau enggak punya duit, ya, makan nasi (makanan penjara). Wuah.., rasanya enggak karuan," sambung Betty, mantan napi lain yang murah senyum ini.

Napi yang baru masuk umumnya dijebloskan ke dalam sel karantina selama dua minggu. Di tempat inilah mereka kadang diplonco oleh penghuni lain. Karena itu, banyak napi yang berusaha menghindari sel karantina. Untuk lolos karantina atau yang diistilahkan "turun kamar" perlu biaya antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Walau begitu, untuk mendapat kamar, napi tetap harus membayar sesuai yang diinginkan.

Sedangkan untuk segera keluar dari sel tikus, petugas hanya menerima ongkos sekitar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta. Sel tikus adalah sel sempit yang jorok, bau, dan tidak berkamar mandi. Di tempat ini, bisa bergabung tahanan lain yang kadang sakit kulit, bau, dan tak terurus. Biasanya, sel ini untuk menghukum napi yang bandel. "Setiap tahun, harga yang diminta terus naik," kata para mantan napi itu sambil geleng- geleng kepala.

Jika napi tidak ingin dipindah ke LP Tangerang, setelah vonis dijatuhkan, atau yang diistilahkan "nahan", perlu biaya antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta sebagai ongkos awal. Jumlah itu masih ditambah Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per bulan.

"Jadi, bisa dibayangkan berapa biaya yang dikeluarkan artis yang baru-baru ini divonis agar bisa bertahan di rutan Pondok Bambu dan tidak dipindah ke lapas Tangerang," kata seorang napi di Pondok Bambu seraya menyebut nama seorang artis cantik yang tenar. "Makanya, ada yang di rutan sampai enam tahun. Pokoknya asal bayar dan enggak berbuat kesalahan lagi di dalam penjara, mereka tidak akan dipindah," katanya.

Untuk alat komunikasi, pengelola rutan Pondok Bambu memasang tarif pendaftaran ponsel tanpa kamera sebesar Rp 600.000, plus ongkos pemeliharaan Rp 150.000 per bulan. Ponsel yang tidak terdaftar akan langsung disita saat inspeksi mendadak atau sidak.

Usaha di penjara

Untuk menutup biaya hidup di rutan yang cukup tinggi, mereka terpaksa membuka usaha. Seorang napi, misalnya, mengaku terpaksa membuka usaha "rentenir" lewat sesama tahanan yang bermodal besar. Keuntungan lalu dibagi dua. "Habis gimana, keluarga saya sudah enggak mau tahu, yang tanggung," ujarnya. "Sedang saya terpaksa menjadi tukang potong rambut," ujar napi lainnya.

Bisnis lain adalah menyewakan telepon genggam dengan biaya Rp 2.000 untuk sekali atau satu pesan pendek. Yang paling miris adalah bisnis penganan atau kue basah buatan "orang kamp" alias pegawai penjara. Mereka tinggal memerintahkan seorang napi untuk menjajakan sampai terjual habis!

Cara yang digunakan pun "setengah memaksa". Dalam arti, "orang kamp" menyerahkan seluruh barang dagangan dan langsung dihitung terjual habis meski belum diedarkan. Walhasil tahanan atau narapidana yang "ketiban pulung" harus berjualan atau setidaknya memborong penganan yang tidak terjual dengan uang pribadi.

Sore itu halaman depan rutan Pondok Bambu begitu riuh. Bahkan, penjual bakso atau bakmi dari kantin di luar rutan sibuk keluar-masuk mengantar pesanan. Sebagian besar penghuni sedang menikmati sore dengan bermain voli atau bercengkerama. Tak segurat pun tanda ketegangan di wajah mereka.

Hal itu bisa dimengerti. Kecuali kemerdekaan untuk hidup di luar yang terpasung, sebenarnya kehidupan mereka bagai tak sedang terpenjara. Di dalam ruang sempit itu, mereka tetap bisa mendapatkan suplai apa pun yang diinginkan, dari sekadar semangkok bakso hingga barang haram yang hingga kini dilarang keras.

"Malah kalau saya sedang pingin, saya tinggal telepon petugas, nanti mereka anter ke kamar," cerita seorang napi. Ia waktu itu minta dikirim minuman keras. "Tetapi, kalau obat (narkoba), ya justru di dalam, kami bisa dapat lebih murah dan aman," katanya.

Meski tampak gamblang dan nyata, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Gusti Tamarjaya membantah adanya pungutan di rutan dan lapas. Dia berjanji akan memproses secara hukum oknum petugas yang melakukan pemerasan atau memungut bayaran tambahan.

(IRN/ONG/JAN/RIE)

ditulis oleh KOMPAS dalam kolom FOKUS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/Fokus/3469102.htm/

" PRING SONG "

Oleh Ign Mahendra K

Artikel dalam Kompas, 5 April berjudul Selama 2006, 813 Napi Meninggal di Penjara, mengingatkan saya pada masa-masa yang saya habiskan di penjara kelas IIA Wirogunan, Yogyakarta. Sejak 7 Januari 2003 praktis saya menghabiskan beberapa tahun masa muda saya di penjara. Namun, saya berada di penjara Wirogunan sejak 17 Februari 2003 hingga 17 Agustus 2005.

Pemenjaraan tersebut didasarkan atas Pasal 134 KUHP (Penghinaan Kepala Negara). Pasal yang pada 6 Desember lalu dinyatakan melanggar UUD 1945 dan dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

Semasa dipenjara saya bersama beberapa narapidana membentuk kelompok diskusi. Kelompok diskusi tersebut kita sebut dengan "Kelompok Diskusi Bawah Tanah". Bawah tanah karena kita melakukan diskusi dengan sembunyi-sembunyi. Ini terjadi setelah pada 11 Januari 2004 diskusi kami dibubarkan oleh petugas penjara dan peserta mendapat ancaman.

Saya sendiri juga mendapat ancaman akan "diciduk" oleh seorang petugas. Selain berdiskusi, kita juga sempat mengumpulkan berbagai data mengenai berbagai persoalan di penjara.

Di dalam penjara yang berkuasa adalah uang. Blok yang saya huni dahulu bisa disebut sebagai kos-kosan dalam penjara. Tempatnya memang lebih baik daripada di blok belakang yang sangat crowded dan tidur berjejer seperti sarden dalam kemasan kaleng. Hanya orang- orang tertentu saja yang dapat berada di blok tersebut. Semakin besar bayarannya maka satu sel dapat ditempati oleh satu orang sehingga yang berada di sana ialah narapidana-narapidana berduit.

Diskriminasi adalah hal yang biasa, semakin banyak uang yang kau miliki maka semakin dihargai dirimu. Salah satu kasus ialah saat terjadi razia handphone pada 12 September 2003. Sementara semua tahanan maupun narapidana yang kedapatan membawa handphone diberi sanksi, seperti tidak diberikannya remisi selama satu tahun, ada seorang narapidana yang lolos dari sanksi tersebut. Razia dan sanksi itu dilakukan untuk pemberantasan narkoba. Ironisnya, narapidana yang lolos dari sanksi tersebut justru masuk ke dalam penjara karena kasus narkoba. Jangankan dijatuhi sanksi, menjalani proses pemberian sanksi saja tidak. Pejabat-pejabat lembaga pemasyarakatan (LP) yang saya tanya menyangkal bahwa di dalam sel narapidana tersebut diketemukan handphone.

Selama saya di dalam penjara terjadi juga beberapa kasus kematian narapidana atau tahanan. Terdapat beberapa persoalan mengenai fasilitas kesehatan yang sempat kami data. Persoalan tersebut, antara lain, apa pun penyakitnya, obat yang diberikan sama saja, terutama obat penghilang rasa sakit maupun CTM. Narapidana atau tahanan yang sakit akan lebih terawat justru di dalam bloknya sendiri, bukan di rumah sakit LP. Hal tersebut, karena di dalam bloknya, teman-teman satu blok pasti merawat dia. Perawatan di luar LP hanya mungkin dilakukan oleh narapidana-narapidana "kelas atas".

Hal ini terutama berkaitan dengan biaya pengobatan yang ditanggung sendiri dan pemberian jatah terhadap petugas yang menjaga di luar. Pengobatan di luar LP yang dilakukan terhadap narapidana "kelas menengah ke bawah" terjadi jika kondisi mereka sudah sekarat.

Akhirnya akibat penanganan yang terlambat kondisi kesehatannya sudah sangat sulit untuk disembuhkan. Ini merupakan penyebab meninggalnya seorang narapidana di LP Wirogunan pada Juli 2003.

Korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam fasilitas kesehatan LP juga terjadi. Ada satu kasus yang cukup menarik pernah kami amati. Ada seorang narapidana kasus narkoba yang besar kemungkinan akan dipindah ke LP Nusakambangan. Untuk menghindari perpindahan tersebut, ia membayar seorang dokter LP Wirogunan untuk menyatakan bahwa si narapidana mengidap HIV/ AIDS.

Setelah bebas dari penjara Wirogunan, pada 20 September 2005 saya bersama beberapa mantan tahanan politik/narapidana politik era Orde Baru sempat mengikuti demonstrasi yang diadakan oleh Forum Komunikasi Eks Narapidana dan Preman.

Seperti yang dinyatakan oleh Mahfud MD, anggota Komisi III DPR, bahwa fasilitas yang tidak memadai akibat dari negara yang tidak memiliki uang, dikatakan juga oleh Dirjen Pemasyarakatan saat itu. Ia mengatakan, jatah sekali makan seorang narapidana Rp 5.700 dan itu tidak memadai. Namun begitu, Anton Medan, penasihat Forum Komunikasi Eks Narapidana dan Preman, menyatakan, pesantren yang ia bangun menjatahkan satu orang Rp 5.000 untuk makan. Dari jatah yang lebih kecil dibanding jatah seorang narapidana, murid-murid pesantren Anton Medan bisa mendapat makanan yang lebih layak.i Saya melihat persoalannya lebih pada korupsi yang terjadi di LP.

Jatah makanan, sebagai contoh, yang diberikan kepada narapidana ialah jatah yang sebelumnya telah dikorupsi. Sehingga, yang didapatkan oleh narapidana adalah makanan yang bukan saja tidak bergizi, namun juga tidak higienis.

Nasi yang masih bercampur dengan kutu ataupun krikil, air minum yang berisi jentik maupun sayur yang tidak jelas-jujur saya sulit menemukan kalimat yang tepat untuk menggambarkannya. Jatah makanan yang dikorupsi tersebut dikembalikan kepada narapidana dalam bentuk paket-paket seharga Rp 1.000. Paket tersebut dapat berupa beberapa ikat sayuran, satu plastik minyak goreng, satu paket bumbu yang berisi 6 atau 7 siung bawang merah atau putih, dan beberapa batang cabai.

Saya pikir akar semua permasalahan tersebut ialah ekonomi. Mayoritas narapidana yang masuk ke dalam penjara karena persoalan ekonomi. Perbaikan kesejahteraan rakyat niscaya akan menurunkan angka kriminalitas.

Demikian juga peningkatan kesejahteraan terhadap petugas LP akan menurunkan kemungkinan korupsi. Dalam poin ini saya menegaskan bahwa ada perbedaan dalam korupsi yang dilakukan oleh petugas rendahan dengan kesejahteraan minim dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat LP.

Ign Mahendra K Mantan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Yogyakarta

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/17/jateng/51631.htm

TIDUR pun bersama JENAZAH

Tidur berimpitan ibarat tumpukan sarden atau harus tidur menggelantung bak kelelawar di bagian atas kamar tahanan ternyata hanya sebagian kecil nestapa penghuni lapas. Tidak jarang mereka ternyata tidur sekamar dengan mayat.

"Tadinya saya tidak tahu kalau teman sekamar itu meninggal. Tahunya pagi saat bangun tidur, dia diam saja. Enggak tahunya sudah meninggal...," ujar seorang tahanan yang dititipkan ke Lapas Pemuda Tangerang, pekan lalu.

Jelas tidak ada orang bersedia tidur sekamar dengan mayat, tetapi tak ada jalan untuk menghindarinya. Pasalnya, setiap ruang tahanan dengan ukuran 1,5 x 2,5 meter yang dihuni 6-8 tahanan dan napi itu tak lagi menyisakan ruang untuk bisa memisahkan si mayat dari tubuh mereka. Beruntung, petugas lapas yang mendapat laporan segera memindahkan jenazah tahanan ke tempat lain.

Kepala Lapas Pemuda Tangerang Kosod Purwanto tak menampik fakta jenazah sempat berbaur dengan tahanan atau napi dalam satu kamar. "Tahanan yang sakit tak semua bisa dirawat di klinik atau di RSU Umum Tangerang karena di sana sudah penuh. Terpaksalah ia tetap berada di dalam sel," kata seorang petugas.

Kapasitas klinik lapas juga terbatas. Ruang rawat inap berkapasitas 20 pasien kini untuk merawat 40 orang.

Anggota Komisi I DPRD Banten, Tasril Jamal, Rabu (11/4), sempat melihat pasien sebagian tidur di atas ranjang, tetapi sebagian lagi ditidurkan di atas lantai beralas seperti karpet. "Ada lima pasien badannya kurus mirip tengkorak terbaring begitu saja. Mengapa keadaan itu dibiarkan?" kata Tasril.

Kompas melihat ruang tahanan yang sempit di Lapas Pemuda makin sempit oleh barang-barang milik penghuninya. Buntelan tas berisi baju atau makanan kiriman keluarga membuat daya gerak penghuni kian terbatas. Untuk masuk ke dalam ruangan harus beringsut-ingsut. Keadaan yang lembab memunculkan bau kurang sedap.

Halaman lapas yang tak terlalu luas tampak menjadi surga bagi penghuninya. Pada pagi dan sore hari mereka memenuhi halaman agar bisa menghirup udara segar dan menikmati sinar mentari sepuasnya.

Cuma 30 WC

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa seluruh ruang di Lapas Pemuda Tangerang sesak oleh tahanan dan napi. Begitu penuhnya isi rata-rata ruang tahanan sampai satu ruang tahanan yang pada zaman Belanda hanya diisi satu orang kini dijejali dua hingga tiga kali lipatnya. Amat jauh dari aturan pihak lapas sendiri, maksimal tiga orang.

Dari sisi sanitasi lingkungan, keadaan dalam lapas jauh dari memadai. Di lapas berpenghuni 3.600 sampai 3.800 orang (tergantung banyaknya tahanan titipan) hanya tersedia 30 kamar mandi dan WC. Terbayang betapa panjang antrean untuk bisa mandi atau sekadar buang air kecil. Pompa air terpaksa dioperasikan 24 jam sehingga sering rusak. Keadaan sangat tidak sehat ini memunculkan berbagai penyakit atas tahanan. Bagi yang sehat bisa saja lalu sakit. Dan bagi yang sudah sakit kondisi penyakitnya akan makin parah.

Melihat kondisi itu, Sekretaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Tingkat Nasional dr Nafsiah Mboi mengingatkan, membiarkan tahanan sakit berbaur dengan yang sehat tak boleh dilakukan, apalagi jika si sakit meninggal dunia. "Jika orang itu sakit hepatitis atau HIV, maka cairan di tubuhnya bisa masuk ke orang lain. Oleh sebab itu, petugas dan keluarga harus diberi tahu cara penanganan yang benar supaya mereka tak tertular," kata Nafsiah.

Telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas para tahanan di dalam lapas, tetapi petinggi negeri ini tak memedulikannya. (TRI)

ditulis oleh KOMPAS dalam kolom FOCUS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3469098.htm

MEREKA HANYA MENJEMPUT KEMATIAN di LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Susana Rita K

Banyak "kelelawar" di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda, Tangerang, saat hari beranjak malam. Mereka acap kali jatuh dengan suara menggema ke semua penjuru LP. "Kelelawar" itu adalah napi yang terpaksa tidur di atas, tak di tempat tidur, dengan kain sarung yang dibentangkan antara jeruji sel dan tembok. Paku yang ditanam pada dinding ruang tahanan sering tak mampu menahan beban napi itu.

Napi terpaksa menjadi "kelelawar" karena sel penuh sesak. Ruangan seluas 1,5 meter x 2,5 meter itu diisi 6-8 orang. Ada pula yang diisi 10 napi. Lembaga pemasyarakatan (LP) yang seharusnya menampung 800 napi kini dijejali 3.618 orang.

Kenyataan ini tak hanya terjadi di LP Pemuda, Tangerang, tetapi juga menjadi masalah di hampir semua LP di Indonesia, terutama di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Karena kelebihan penghuni itu, seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan soal LP, "Bagaimana mau mencari udara bersih, menghirup udara saja berebutan."

Tidak heran jika akhirnya LP menjadi sarang beragam penyakit, mulai dari tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan dan pencernaan, hingga HIV/AIDS. Ditjen Pemasyarakatan mencatat, sebanyak 813 napi meninggal pada 2006. Sebanyak 614 di antaranya adalah penghuni LP di DKI Jakarta, Banten, dan Jabar dengan konsentrasi paling tinggi di LP Cipinang, Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, dan LP Pemuda Tangerang.

Tingginya angka kematian napi itu diakui, namun Dirjen Pemasyarakatan Mardjaman menyatakan, angka itu sudah menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya. Angka kematian napi tahun 2006 sebesar 1,7 persen dari keseluruhan napi di negeri ini. Kematian napi pada 2005 mencapai 2,4 persen. Angka ini diperoleh dari persentase kematian napi di Jakarta.

Mardjaman menyatakan, napi memiliki penyakit bawaan saat masuk LP. Separuh napi yang meninggal di LP adalah napi yang baru menghuni penjara kurang dari enam bulan. Selebihnya adalah napi yang menghuni 6-12 bulan. Kebanyakan napi yang meninggal terindikasi mengidap HIV. Di sel, mereka tinggal menjemput kematian.

Tak tertangani

Persatuan Napi Seluruh Indonesia yang diketuai Rahardi Ramelan prihatin melihat banyak napi yang sakit, tetapi tak tertangani dengan baik. Bersama Paul Sutopo (terpidana kasus penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), ia mulai berinisiatif mengadvokasi pengobatan bagi napi yang sakit.

Menurut Rahardi, ribuan napi menderita penyakit kulit. Sekitar 1.000 orang di antaranya menderita penyakit kulit akut. Air yang kurang bersih, napi yang tak pernah berganti pakaian, dan napi pencandu narkotika yang takut air menjadi faktor munculnya penyakit kulit.

Ditambah minimnya persediaan air dan hidup berimpitan di sel, penularan penyakit kian cepat. Apalagi napi sakit tak dipisahkan dengan yang sehat. Kondisi ini diperburuk dengan keterbatasan persediaan obat- obatan di LP. Obat yang tersedia hanya obat-obatan dasar, seperti antalgin, obat flu, dan penyakit ringan lainnya.

Obat-obatan untuk penyakit kulit (scabies), TBC, diare, hepatitis, atau sariawan, yang banyak diderita napi justru tidak tersedia. Untuk kebutuhan itu, napi harus menebus sendiri resep yang dibuat dokter LP.

Rahardi bercerita, saat ia masih di LP Cipinang, ada seorang napi yang mengeluh gatal akibat penyakit kulit yang dideritanya. "Jawaban petugas apa? Ya, digaruk saja," katanya.

Mengenai ketersediaan obat, seorang petugas LP Narkotika Cipinang mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Ia kerap kali meminta obat ke Puskesmas Jatinegara, tetapi diminta ke Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Setelah berusaha menanyakan ke Dinkes Jaktim, ia justru dilempar ke puskesmas lagi dengan alasan obat-obatan untuk LP dialokasikan ke puskesmas.

"Saya seperti mengemis saat minta obat itu. Saya dipingpong ke sana-sini," kata petugas yang enggan disebut namanya itu.

Meminta obat ke Dinkes adalah satu-satunya jalan yang dapat dilakukannya. Sebab, LP tak memiliki cukup uang untuk menyediakan obat dan fasilitas yang memadai. Anggaran kesehatan untuk napi selama ini sangat minim.

Dirjen Pemasyarakatan menyebutkan, anggaran kesehatan untuk seorang napi berkisar Rp 500 hingga Rp 750 per hari. Tetapi, jumlah itu juga tidak seluruhnya digunakan untuk biaya kesehatan. Angka itu masih dikurangi untuk biaya kebersihan dan sanitasi lingkungan penjara.

Anggaran kesehatan riil untuk napi jauh lebih kecil lagi. Hasil penelitian ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Ferryal Basbeth dan Djaja Surya Atmadja, menunjukkan, seorang napi diberi anggaran kesehatan Rp 18,05 hingga Rp 78,77 per hari. Penelitian itu dilakukan di 12 LP/rutan di Jawa dan Sumatera pada 2004.

Akhirnya, napi harus berusaha sendiri untuk mencari jalan keluar atas persoalan ini. Rahardi Ramelan, misalnya, memprakarsai pengobatan massal di LP Cipinang. Ia juga mengorganisasi dokter yang menjadi napi karena berbagai sebab untuk mengobati sesama napi.

Selain minimnya penanganan, tingginya angka kematian napi juga diduga karena lambatnya respons petugas dan adanya ketentuan surat izin berobat ke RS dari petugas LP.

Menurut Rahardi, izin berobat ini tidak gratis. Secara lebih gamblang, anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Budi Santoso, yang sempat mengenyam kehidupan di LP Purwokerto mengatakan, biaya mengurus izin berobat ke RS itu mencapai Rp 2,5 juta.

Namun, Dirjen Pemasyarakatan membantah adanya biaya untuk izin berobat. Tidak ada biaya yang harus ditanggung napi untuk izin berobat di luar. "Kalau ada, laporkan saja. Nanti saya tindak," kata Mardjaman.

Kurang cepatnya menangani si sakit juga dapat berakibat fatal. Suatu kali, kata Rahardi, ada napi hendak dibawa ke RS. Dia sudah dibawa ke ambulans. Tetapi, mobil pengangkut pasien itu belum bisa berangkat meninggalkan LP karena menunggu surat izin berobat keluar. Sayangnya, saat izin itu keluar, napi itu keburu meninggal.

Ledakan HIV

Mardjaman menolak jika kematian ratusan napi itu hanya dikaitkan dengan buruknya kondisi penjara yang muncul seiring dengan kelebihan kapasitas penghuni LP. Kelebihan penghuni terjadi hampir di seluruh LP dan rutan di negeri ini. Di LP Batam dan Rutan Bandung, misalnya, yang juga kelebihan penghuni, angka kematian napinya kecil.

Di LP Batam, selama setahun hanya tiga napi yang meninggal. LP itu dihuni sekitar 1.300 napi. Sementara di Rutan Bandung, penghuni yang meninggal hanya seorang dari sekitar 5.000 tahanan/napi.

Pendapat senada disampaikan aktivis penanggulangan HIV/AIDS, Baby Jim Aditya. Ia bahkan memprediksikan akan ada ledakan kematian napi sejak beberapa tahun lalu.

Baby memang patut khawatir. Peningkatan penghuni penjara berjalan seiring dengan peningkatan kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan obat-obatan berbahaya (narkoba). Tahun 2003, jumlah penghuni penjara 71.587 orang (kapasitas 64.000 orang). Pada 2004, penghuni naik menjadi sekitar 86.000 orang (kapasitas 66.000 orang). Pada 2005, penghuni penjara menjadi 97.000 orang (kapasitas 68.000 orang). Pada 2006, penghuni mencapai 116.000 orang (kapasitas 70.000 orang). Pada Januari 2007, penghuni sudah naik menjadi 118.453 orang.

Dari jumlah itu, sekitar 30 persen atau sekitar 32.000 napi terlibat kasus narkoba. Dari jumlah itu, sekitar 72,5 persen atau 23.200 napi merupakan pencandu/pemakai narkoba.

Menurut Baby Jim, pencandu narkoba di penjara kebanyakan adalah pemakai jarum suntik secara beramai-ramai. Berdasarkan survei yang dilakukannya secara acak, setiap kali menyuntik, napi itu selalu ditemani minimal dua teman sesama napi. Orang yang diajak menyuntik pun tidak selalu sama.

"Bayangkan, kalau salah satu di antara penyuntik itu mengidap HIV, otomatis akan menular dengan sangat cepat pada yang lain," ujar dia.

Data Ditjen Pemasyarakatan menyebutkan, dari 813 kasus kematian di penjara selama 2006, 89 napi di antaranya meninggal karena HIV (urutan ketiga).

Disebut pemasyarakatan

Fakta itu memang membuat sejumlah kalangan prihatin. Konsep pemidanaan yang dikemukakan Menteri Kehakiman Sahardjo pada masa lalu rasanya sulit tercapai. Dalam pidatonya saat meraih gelar doktor honoris causa pada 5 Juli 1963, ia menyatakan tujuan penjara adalah pemasyarakatan narapidana.

Gagasan pemasyarakatan itu ditindaklanjuti dengan pembuatan 10 prinsip pemasyarakatan yang menjadi acuan dan pedoman pembinaan napi. Pada butir empat disebutkan, negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau jahat selama menjalani pemidanaan. Pada butir sembilan dinyatakan, hilang kemerdekaan seharusnya hanya sebagai satu-satunya derita yang dialami napi.

Namun, kenyataan kini berkata lain. Di penjara, mereka bukan dimasyarakatkan. Bagaimana mau dimasyarakatkan? Mereka bahkan merasa tak dimanusiakan. Di penjara, mereka menanti kematian. (Soelastri S/ vincentia hanni S)

ditulis oleh KOMPAS pada tanggal 13 April 2007

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/13/politikhukum/3447410.htm


TAK ADA yang GRATIS

Lembaga Pemasyarakatan Cipinang suatu siang dua pekan lalu. Puluhan orang tampak berjubel di pintu masuk untuk mengunjungi kerabat atau sahabat mereka yang mendekam di balik terali besi. Sebelum masuk ruang besuk, tak lupa "salam tempel" dilakukan dengan menyerahkan uang minimal Rp 5.000 kepada petugas yang berjaga di setiap pintu yang dilewati.

"Ya, mau bagaimana lagi? Membuat KTP di kelurahan saja pakai salam tempel, apalagi mau menjenguk napi," kata seorang keluarga narapidana (napi) yang saat itu berbaik hati mengajak serta Kompas ke ruang besuk di LP Cipinang.

Namun, bukan cuma di LP Cipinang "salam tempel" dilakukan. Di sejumlah LP dan rumah tahanan (rutan) lainnya, pola seperti ini sudah lazim dilakukan. Meski di depan pintu masuk tertulis jelas, "Pengunjung Tidak Dipungut Biaya Apa Pun", kenyataannya tulisan itu hanya sekadar hiasan.


"Kami tidak memaksa. Kalau pembesuk memberi, ya kami terima. Toh besarnya tidak seberapa," kata seorang petugas yang menyebut gajinya hanya sekitar Rp 1,3 juta per bulan sehingga uang pemberian pembesuk sangat bermanfaat untuk uang transpor ke tempat tugas.

Di Rutan Salemba, kondisinya sama saja. Untuk pindah sel di blok lain yang penghuninya tidak terlalu berjejal, ada semacam uang kontrak yang besarnya bervariasi mulai Rp 300.000 hingga di atas Rp 1,5 juta per bulan. Di lapas maupun rutan lain, kondisinya idem dito.Namun, temuan di lapangan ini dibantah Kepala Rutan Salemba Bambang Sumardiono. Kepala LP Cipinang Gunadi juga membantahnya. "Jika pegawai LP Cipinang melakukan pungutan seperti itu, mereka pasti sudah kaya raya. Tetapi kenyataannya kehidupan ekonomi mereka pas-pasan," kata Gunadi.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta Gusti Tamarjaya juga menegaskan, berbagai informasi tentang pungutan dalam LP adalah fitnah. "Petugas kami sama sekali tak mencari keuntungan materi. Kalau berlimpah, petugas LP datang ke kantor bukan naik sepeda motor, tetapi mobil Mercedez," ujar Gusti.

Buang air di botol,
Boleh saja sisi negatif LP dan rutan dibantah pejabat berwenang. Namun, napi atau mantan napi mempunyai cerita sendiri ketika mereka mendekam di balik jeruji besi. Sejumlah tahanan yang sempat mendekam di Rutan Salemba menceritakan bagaimana perihnya hidup di dalam penjara. Maulana (24), misalnya, mengungkapkan, begitu pertama kali masuk Rutan Salemba, ia langsung masuk double dir atau sel dua pintu yang berada di Blok N, Rutan Salemba. Di kalangan tahanan, sel itu dikenal dengan "sel tikus" yang sempit, sangat tidak nyaman, dan mendapat siksaan dari tahanan lain.

Ketika masuk lembaga pemasyarakatan, kondisinya lebih parah lagi. Di kalangan narapidana, dikenal semacam "kasta". Kasta paling tinggi terdiri dari for men, palkam (kepala keamanan), dan brengos (tukang pukul yang melindungi for men dan palkam). For men biasanya seorang napi yang paling disegani, baik karena memiliki uang maupun karena ditakuti napi lain. Kasta selanjutnya adalah napi kelas menengah. Napi ini sering dijadikan obyek, baik obyek kekerasan maupun pemerasan oleh napi di atasnya. Kasta terendah adalah korpe atau pesuruh. Korpe merupakan akronim dari korban perasaan. Biasanya, korpe adalah anak jalanan atau anak hilang yang tidak memiliki keluarga.

Di penjara ada istilah take away. Entah bagaimana asal muasal istilah tersebut, yang jelas istilah itu berarti napi yang buang air besar di sel (bukan di kamar mandi/WC), tetapi di dalam sebuah plastik. Setelah itu, plastik berisi kotoran manusia itu dilempar melalui jeruji sel ke luar. Adapun untuk buang air kecil, mereka menggunakan botol minuman kemasan, yang juga kemudian dilempar ke luar sel. Plastik itu dibeli dari korpe. Nanti, korpe pula yang mengambil plastik berisi kotoran atau air kencing tadi dan membuangnya ke tempat pembuangan. Tentu semuanya harus mengeluarkan duit.

Di dalam penjara, pindah blok tidak gratis. Ada ongkos sewa yang nilainya bervariasi. Untuk blok elite, tiap napi harus membayar sekitar Rp 5 juta. Uang itu baru untuk masuk blok. Sedangkan tiap minggu pun harus bayar sesuai kamar yang dipakai. Jika ditambah berbagai fasilitas, seperti sewa televisi, pendingin ruangan, dan kulkas, ongkos sewa per bulan pun bertambah. Biasanya, untuk sewa satu paket fasilitas (>small 2small 0<, kulkas, dan AC), napi harus membayar Rp 1,5 juta per bulan. Untuk kelas yang lebih rendah, harga sewa juga lebih murah. Ariyanto, tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengungkapkan, dia harus membayar Rp 1,5 juta untuk pindah ke blok yang kapasitasnya lebih memadai. "Jika tak membayar, ya tetap di penampungan bersama ratusan orang," ujarnya. Praktik sewa-menyewa kamar dan sel tikus itu dibantah Bambang Sumardiono. Menurut dia, sel tikus sudah lama tak pernah ada. "Sel semacam itu hanya ada di zaman Belanda," ucapnya. Hanya saja, Bambang mengakui bahwa kondisi rutan memang kelebihan penghuni. Di Rutan Salemba, saat ini terdapat 3.369 penghuni. Untuk seluruh wilayah DKI, terdapat kelebihan kapasitas hampir 59 persen. LP dan rutan yang seharusnya dihuni 4.068 napi dan tahanan kini dihuni oleh 6.742 napi dan tahanan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 persen merupakan napi kasus narkoba. Para pengguna narkoba itu tidak lantas berhenti mengonsumsi narkoba saat masuk penjara. Fakta menunjukkan, peredaran narkoba di penjara hingga hari ini masih saja ditemukan. Berdesakan,
Kondisi lapas dan rutan yang kelebihan penghuni bukan cuma terjadi di DKI Jakarta dan Banten. Di Jawa Timur, juga mengalami persoalan serupa. Di Rumah Tahanan Kelas 1A Surabaya yang berlokasi di Medaeng, Sidoarjo, kondisinya bahkan boleh disebut amat mengkhawatirkan karena kelebihan kapasitas mencapai tiga kali lipat. Rutan berkapasitas 504 orang itu sekarang dihuni 1.576 orang, terdiri dari 1.495 tahanan dan 81 narapidana. Saking padatnya rutan tersebut, selasar blok terpaksa digunakan sebagai tempat para tahanan dan narapidana tidur. "Para tahanan dan narapidana yang dibolehkan berada di selasar hanya mereka yang terkena kasus kriminal ringan, seperti judi togel, kelalaian, dan kecelakaan lalu lintas," kata Kepala Rutan Medaeng Abu Zeid.

Tingginya jumlah penghuni juga merepotkan petugas karena jumlahnya terbatas. "Tiap shift hanya 12 petugas," ungkap Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Medaeng Marlik Subiyanto. Terbatasnya jumlah petugas menyebabkan berbagai pelanggaran kerap terjadi di sejumlah lapas maupun rutan. Video porno, misalnya, dengan mudah ditemui di lingkungan penjara. Cukup membayar Rp 5.000, narapidana di Jakarta sudah bisa mendapatkan tiga VCD. Adapun televisi (monitor) dan VCD player bisa disewa Rp 30.000 per bulan. Koleksi film di LP sangat lengkap. "Namun, paling banyak VCD porno," ujar seorang napi di LP Cipinang. Ia mengakui bahwa tontonan semacam ini memang membuat hasrat kelaki-lakiannya muncul. Bagi yang tidak memiliki uang, hasrat ini disalurkan dengan cara cokil alias masturbasi di kamar mandi. (ANA/NTS/INA/ONG/RIE)

ditulis oleh KOMPAS dalam Kolom FOKUS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3469038.htm


Mau Apa dengan Rp 365.000 Per Tahun....?

oleh :ADI PRINANTYO

Dengan biaya pengobatan kurang dari Rp 1.000 per orang per hari, atau Rp 365.000 per orang per tahun, apa yang bisa dilakukan manajemen lembaga pemasyarakatan untuk merawat kesehatan narapidana? Sementara, problem kesehatan napi demikian rumit terkait penggunaan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lain di dalam penjara yang sangat rentan transmisi HIV.

Dalam perbincangan Kompas dengan sejumlah dokter yang bertugas di penjara Jakarta terungkap bahwa narapidana (napi) tak pernah dianggap sebagai kelompok masyarakat yang mendesak diberdayakan, salah satunya melalui pengobatan yang memadai. "Orang menganggap, kalau ada napi meninggal, ibaratnya mengurangi jumlah penjahat," ungkap seorang dokter. Minimnya ongkos pengobatan yang dialokasikan untuk lembaga pemasyarakatan (LP) membuat LP-LP di Jakarta merawat napi seadanya. Di LP Kelas 1A Cipinang misalnya, manajemen LP sebenarnya sempat mengoperasikan rumah sakit sederhana untuk merawat napi yang sakit parah dan tak punya biaya. Mayoritas pasien di tempat itu mengidap HIV positif, atau disebut ODHA (orang dengan HIV/AIDS).

Rumah sakit itu didirikan secara swadaya oleh dr Izhar Sapawi, dokter yang bertugas di LP Cipinang, dibantu dua koleganya, dr Ferdinand Rabain dan dr Lula Kamal. Biayanya? Bukan dari anggaran pemerintah, tetapi dari donatur luar negeri, salah satunya Global Fund. Jangan terburu membayangkan ruang perawatan dengan penyejuk udara atau AC. Dalam beberapa kali kunjungan Kompas pada tahun 2005-2006, bangsal perawatan itu akan segera membuat tamu bermandi peluh. Satu bangsal perawatan dengan luas sekitar 10 x 5 meter dihuni 12 pasien. Beberapa pasien napi yang berada di pojok bangsal perawatan tubuhnya tampak kering kerontang, bukti mereka sudah terkena AIDS. Namun, pada Senin (16/4) lalu, Kompas menerima kabar bahwa program rehabilitasi di rumah sakit itu, sesuai informasi Izhar, sudah tidak aktif lagi.

"Kami harus berkonsentrasi ke penanganan infeksi oportunistis karena terbatasnya dana. Program rehabilitasi sementara berhenti," ungkap Izhar. Biaya, lagi-lagi memang persoalan krusial. Sebagai perbandingan, sesuai penjelasan aktivis pendamping napi ODHA, Baby Jim Aditya, ongkos tes HIV saat ini mencapai Rp 125.000, demikian pula biaya pengecekan CD4. Belum lagi tes viral load yang besarnya Rp 250.000. "Itu belum mencakup biaya pengobatan infeksi oportunistis yang bisa setiap saat menjangkiti napi HIV, misalnya scabies, menceret, batuk, atau sariawan," papar Baby.

Padahal, napi ODHA masih membutuhkan anggaran untuk terapi antiretroviral (ARV) yang setidaknya menghabiskan dana Rp 360.000 per bulan. Dengan kata lain, untuk ARV saja, selama setahun perlu Rp 4,3 juta. Penghentian program rehabilitasi merupakan pukulan besar bagi LP Cipinang. Ini karena, dari penuturan beberapa peserta program, diperoleh fakta bahwa dengan ikut program tersebut mereka makin termotivasi meninggalkan kebiasaan mengonsumsi narkoba, terutama memakai narkoba dengan menyuntik yang berpotensi menularkan HIV.

Diakui atau tidak, narkoba, termasuk heroin, beredar di penjara-penjara kita. Seorang napi yang ODHA dalam perbincangan belum lama ini mengungkapkan, dia makin jera menyuntik heroin setelah melihat banyak napi ODHA tewas mengenaskan di rumah sakit penjara. "Ada yang mengerang sampai enggak kedengeran suaranya, ada yang menceret-menceret sebelum mati. Ngerilah pokoknya," tutur napi berusia 20-an tahun itu.

Angka kematian,

Kenyataan pemakaian narkoba dengan suntikan di penjara, seperti dituturkan sejumlah napi, sudah berjalan seiring dengan kenaikan angka kematian napi periode 2004-2005. Kematian itu patut diduga karena HIV/AIDS, sebab persentase pengguna narkoba suntik (penasun) di antara mereka yang tewas cukup signifikan. Berdasarkan data di LP Kelas 1A Cipinang, pada 2004 tercatat ada 117 kasus kematian dengan 77 di antaranya pengguna narkoba suntik (penasun). Angka itu melonjak pada 2005 dengan kematian 166 napi dan 124 di antaranya penasun. Prison specialist Partisipasi Kemanusiaan (Partisan) Yakub Gunawan meyakini, tren jumlah kematian itu akan terus meningkat dari waktu ke waktu karena percepatan penanganan tidak mampu meredam eskalasi transmisi HIV. Keadaan itu mencuatkan keyakinan, penjara bukan lagi tempat yang steril. Petugas penjara memang banyak menangkap pengunjung yang kedapatan membawa narkoba ke dalam sel, apakah dengan menyimpan di dalam sepatu atau trik-trik lain. Namun, adanya narkoba di dalam penjara membuktikan bahwa penggeledahan terhadap pengunjung tak cukup sukses mencegah narkoba masuk penjara.

Bukti sahih lain adanya kasus keterlibatan petugas penjara dalam distribusi narkoba dari dalam penjara kepada pengguna di luar penjara maupun penggerebekan sindikat narkoba berskala internasional di sejumlah LP. Beberapa napi juga menuturkan, penyuntikan narkoba di dalam penjara sudah menjadi hal lazim. Kuncinya, asal ada "koordinasi" dengan petugas sudah pasti tidak akan digerebek. "Koordinasi", termasuk di dalamnya memberi uang pelicin.

Hasil Penelitian Napi Narkoba di LP dan Rumah Tahanan Negara, kerja sama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Narkotika Nasional (BNN), yang menanyai 1.868 responden, mengungkapkan kenyataan bahwa penggunaan narkoba oleh para napi di penjara adalah fakta. Sembilan LP dan rumah tahanan (rutan) yang disurvei meliputi LP Cipinang dan Rutan Salemba di Jakarta, LP Pemuda Tangerang, LP Banceuy Bandung, LP Kedungpane Semarang, LP Wirogunan Yogyakarta, LP Madiun, LP Krobokan Denpasar, LP Makassar dan LP Tanjung Gusta Medan.

Riset pada 2003 itu mengungkap masih banyak responden yang terlihat memakai narkoba di dalam penjara (8,7 persen) dan pernah memakai narkoba tercatat 4,1 persen. Ada 4,4 persen yang pernah melihat transaksi narkoba di penjara dan 9,5 responden pernah ditawari narkoba. Situasi kelebihan penghuni di penjara kita (over capacity) memperparah kondisi pengobatan napi. Kenaikan anggaran napi menjadi Rp 365.000 per orang per tahun, yang berlaku mulai Januari 2006, disyukuri para kepala LP. Salah satunya Kepala LP Pondok Bambu Slamet Prihantara. Namun, kata Prihantara, penyerapan biaya pengobatan itu tak maksimal karena LP yang dipimpinnya kelebihan penghuni. Jika dialokasikan menjadi biaya per orang, ongkos itu hanya terserap Rp 150.000 per orang per tahun.

"Biaya Rp 365.000 itu dikucurkan mengacu kapasitas ideal LP, tepatnya dikalikan 504 orang. Padahal, kini LP Pondok Bambu dihuni lebih dari 1.300 napi, atau kelebihan 270 persen. Ya, alokasi per orangnya jadi merosot," ungkapnya.

Tidak ada alternatif lain untuk mengatasi problem krusial pengobatan napi, kecuali political will pemerintah, untuk lebih memanusiakan napi. Filosofi Pemerintah Iran, yang menganggap napi sudah hidup terbatas di dalam jeruji sehingga tak perlu dibuat lebih menderita lagi di penjara, patut kita tiru. Napi juga manusia, maka perlakukanlah mereka secara manusiawi.

ditulis oleh KOMPAS dalam Kolom FOCUS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3463481.htm



KAJI SISTEM PEMIDANAAN KASUS-KASUS NARKOBA

Pemakai Cukup Direhabilitasi

Jakarta, kompas - Tingginya persentase narapidana narkoba di penjara—di DKI Jakarta mencapai 60 persen—membuat sejumlah kalangan meminta sistem pemidanaan narapidana narkoba dikaji ulang. Hakim diminta tidak serta-merta memvonis pidana penjara, tetapi dapat menggantinya dengan perintah rehabilitasi.


"Saya ingin kebijakan pemidanaan ini harus dipikirkan ulang. Sekarang ini semua orang yang ditangkap pasti dimasukkan ke penjara. Besar atau kecil hukumannya di penjara," ujar Kepala Bidang Registrasi, Perawatan Khusus Bina Narkotika Kanwil Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta Priyadi, Jumat (20/4). Akibatnya, penjara mengalami kelebihan penghuni. Di wilayah DKI Jakarta, kelebihan penghuni mencapai 59 persen.

Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan, dari sekitar 116.000 penghuni lembaga pemasyarakatan, sekitar 30 persen atau 32.000 adalah kasus narkoba. Dari jumlah itu, sekitar 72,5 persen merupakan pencandu dan pemakai. Di DKI rasio narapidana kasus narkoba lebih tinggi lagi, yakni mencapai 60 persen atau sekitar 4.068 dari total 6.742 narapidana. Ini belum termasuk narapidana yang dipenjara karena tindak kriminal yang dilatarbelakangi kecanduan narkoba.

Padahal khusus kasus narkotika, kata dia, hakim dapat menggunakan Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal itu menyebutkan, hakim yang memeriksa perkara pencandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan, apabila terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Sedikitnya hakim yang memerintahkan pidana rehabilitasi juga dikemukakan Kepala Rutan Salemba Bambang Sumardiono. Selama bertugas di Surabaya, ia hanya menemui empat putusan hakim yang merekomendasikan terpidana masuk ke panti rehabilitasi.

Juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko, mengakui bahwa hakim agak kerepotan dalam memutus perkara narkoba. Hakim harus melihat kasus per kasus jika akan menerapkan Pasal 47. Pasalnya, konstruksi hukuman untuk kasus narkotika memang diancam pidana tinggi. UU Narkotika mengatur barang siapa memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika golongan I diancam pidana penjara paling lama 10 tahun. Sementara untuk golongan II dan III diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun. Selain UU Narkotika, MA mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan agar setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya. (ana)

ditulis oleh KOMPAS dalam Kolom FOCUS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/politikhukum/3469255.htm

MENGANTAR MAUT di LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Oleh Try Harijono

Boleh jadi karena dianggap "sampah masyarakat", nasib narapidana kurang diperhatikan. Bukan cuma soal fasilitas dalam penjara, menu makanan dan fasilitas kesehatan pun sangat jauh dari layak.

Akibat minimnya fasilitas kesehatan ini, sekitar 813 narapidana di sejumlah lembaga pemasyarakatan (LP) di Tanah Air meninggal sepanjang tahun 2006. Jumlah narapidana (napi) yang meninggal paling banyak ada di DKI Jakarta, yaitu 321 orang atau 39,6 persen dari jumlah kasus.

Angka ini luar biasa karena dari 116.688 napi yang mendekam di berbagai penjara sepanjang tahun 2006 ternyata hampir satu persen di antaranya meninggal dunia.

Ironisnya, meski kasus narapidana meninggal cukup tinggi, nyaris tidak ada upaya serius untuk mengatasinya. Terbukti, selama Januari-Februari 2007, masih ada 62 napi yang meninggal dalam penjara, termasuk 22 napi di DKI Jakarta.

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan, napi yang meninggal tersebut kebanyakan karena mengidap HIV/AIDS sejak sebelum masuk penjara. Ketika dalam penjara, kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan, rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan penjara.

Penyebaran HIV/AIDS di lingkungan penjara ini tidak bisa dianggap enteng karena hampir merata di semua LP. Dari sembilan LP dan rumah tahanan (rutan) yang ada di Provinsi Banten, misalnya, sampai Maret 2007 tercatat 214 napi yang positif terjangkit HIV/AIDS. Jumlah ini setara dengan 19,5 persen dari sekitar 1.100 orang yang terjangkit HIV/AIDS di Provinsi Banten.

Jarum suntik

Menyebarnya HIV/AIDS di lingkungan penjara tak terlepas dari mudahnya mendapatkan obat-obat terlarang atau narkoba meski berada di balik terali besi. Bayangkan saja, hanya dengan membayar Rp 30.000, seorang tahanan atau napi bisa mendapatkan putaw berikut jarum suntiknya.

Jarum suntik itu sewakan kepada napi. Dalam sehari, jarum itu dapat dipergunakan oleh 90-100 napi.

Para napi sering kali menyuntik sampai darah berceceran di tangan. Mereka kemudian mencuci tangan yang masih berdarah itu ke dalam bak mandi. Air di bak mandi dipakai bersama-sama. Handuk pun dipakai bersama- sama. Melalui cara seperti inilah, HIV menyebar di kalangan napi.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin jarum suntik dan obat- obat terlarang bisa masuk ke dalam penjara?

Kalau saja petugas atau sipir bersikap tegas, tentu hal ini tidak akan terjadi. Namun begitulah, dengan melakukan "salam tempel" alias menyerahkan sejumlah uang kepada petugas, segala urusan bisa beres.

Seperti kelelawar

Selain menghadapi persoalan beredarnya obat-obat terlarang di kalangan napi dan tahanan, LP juga menghadapi persoalan kelebihan penghuni.

Pada tahun 2003, misalnya, jumlah penghuni LP, baik tahanan maupun narapidana, mencapai 71.587 orang. Padahal, kapasitasnya hanya untuk 64.345 orang.

Tahun 2005, jumlah penghuni lapas melonjak menjadi 97.671 orang, sedangkan kapasitasnya hanya untuk 68.141 orang. Tahun 2007, sampai Januari lalu, kondisinya lebih dahsyat lagi.

Penghuni penjara mencapai 118.453 orang yang tersebar di 525 lokasi, sedangkan kapasitasnya hanya untuk 76.550 orang. Berarti terdapat kelebihan penghuni sekitar 54,73 persen dari kapasitas yang semestinya.

Tak heran jika kemudian napi dan tahanan berdesak-desakan di balik jeruji besi. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang tidur bak kelelawar karena lantai penjara pun sudah penuh penghuni.

Kain panjang atau sarung dibentangkan antarjeruji satu dan jeruji besi lainnya, kemudian napi tidur di atasnya. Napi lain terpaksa tidur di bawahnya.

Jika sewaktu-waktu napi jatuh saat tidur dan menimpa napi lainnya, harus maklum karena begitulah kondisi dalam penjara saat ini. Mengharapkan sel yang layak tampaknya masih berupa mimpi karena untuk tahun 2007 saja target pembangunan penjara baru hanya mampu menambah kapasitas untuk 2.150 orang. Masih jauh dari yang diharapkan.

Standar PBB

Manajemen penjara di Tanah Air hingga saat ini masih sangat jauh dari yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB antara lain menetapkan, ruang sel harus dihuni sendiri. Selain itu, kamar mandi dan tempat buang hajat harus tersedia layak, pakaian harus bersih, serta makanan dan minuman harus sesuai dengan syarat-syarat kesehatan.

Kenyataannya, persyaratan tersebut masih jauh panggang dari api. Napi selain dijejal dalam satu sel, juga sulit mendapatkan air bersih. Handuk pun dipakai secara bergantian. Itulah sebabnya penyakit menular, seperti kudis, hepatitis, dan TBC, berkembang sangat cepat di penjara.

Manajemen lapas juga tidak membedakan narapidana yang yang terinfeksi HIV/AIDS maupun yang sehat. Mereka yang mestinya masuk panti rehabilitasi ditempatkan pada satu sel yang sama dengan residivis dan napi yang sehat. Itulah sebabnya penularan penyakit berlangsung cepat di dalam LP.

Dari sisi keamanan, hampir semua penjara tidak dilengkapi CCTV (closed circuit television), sinar X, metal detector, dan jammer atau alat pemutus jaringan telepon seluler dengan dunia luar. Itu sebabnya berbagai obat dan barang berbahaya leluasa masuk ke dalam lingkungan penjara.

Dalam kondisi semacam ini, rasanya konsep pemasyarakatan yang digagas Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962 semakin jauh untuk diwujudkan.

Sahardjo mengatakan, "Tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman (sehingga seseorang) kehilangan kemerdekaan saja. Tugas yang jauh lebih berat, tetapi yang jauh lebih murni, adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana itu ke dalam masyarakat."

Kini konsep itu sudah jauh melenceng. Penjara saat ini hanya dipandang sebagai tempat penghukuman. Bahkan, seorang napi LP Cipinang mengatakan, penjara kini jadi tempat untuk mengantar menuju kematian. (ANA)

ditulis oleh KOMPAS dalam Kolom FOCUS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3469051.htm


MELUPAKAN " HAK " di " TEMPAT PEMBINASAAN "

Bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik yang manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.

Kalimat di atas menjadi pembuka konsiderans dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang sampai kini masih berlaku di negeri ini. Kalimat itu menegaskan, sistem pemenjaraan yang sebelumnya diberlakukan bagi warga negara yang melakukan tindak pidana tak sesuai dengan dasar negara, Pancasila.


Bahkan, Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menjadi dasar pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan negara (rutan) menyebutkan lagi, sistem pemasyarakatan adalah rangkaian kegiatan penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga bisa diterima kembali masyarakat.

Warga binaan, terutama narapidana (napi), setelah keluar dari penjara diharapkan dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Karena itu, Pasal 5 UU Pemasyarakatan menegaskan,
sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas:

(a) pengayoman,
(b) persamaan perlakuan dan pelayanan,
(c) pendidikan,
(d) pembimbingan,
(e) penghormatan harkat dan martabat manusia,
(f) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan
(g) terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Oleh karena itu, napi sesuai Pasal 14 UU No 12/1995 juga diberikan hak mendapat perawatan rohani atau jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak; menyampaikan keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi, termasuk cuti mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan bersyarat; mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak lain sesuai dengan UU yang berlaku.

Namun, masihkah penjara di negeri ini layak disebut LP? Pertanyaan itu terasa menggelitik, terutama saat dihadapkan pada kondisi LP yang kini sangat menyedihkan, mulai dari kelebihan penghuni, keterbatasan sanitasi dan perlengkapan, hak napi dan tahanan yang terabaikan, hingga ratusan napi yang meninggal dalam penjara. Singkatnya, kondisi penjara kini jauh dari standard minimum rules (SMR) yang ditetapkan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) untuk sebuah penjara.

Standar PBB


SMR mengatur setiap napi seharusnya memiliki ruang sel sendiri yang memenuhi standar kesehatan. Hak itu meliputi volume udara, luas lantai, penerangan, pemanasan, dan ventilasi. SMR juga mengatur akomodasi napi harus memerhatikan bagian untuk membuang hajat dan mandi yang bersih serta dapat digunakan setiap saat.

SMR juga mengatur tentang hak napi memperoleh perawatan dan pelayanan kesehatan jasmani dan rohani. Standar pelayanan meliputi kesehatan jiwa, pengobatan yang tepat, serta penyembuhan kelainan mental. Ketersediaan dokter spesialis pun dijamin.

Jelas saja SMR ini seakan menjadi omong kosong di Indonesia. Tingkat hunian penjara sangat padat. Sangat tidak mungkin menempatkan seorang napi sendirian di sel. Hingga 17 April lalu, LP di wilayah DKI Jakarta dihuni 6.742 orang. Padahal, kapasitasnya hanya 4.068 orang.

Anggota Dewan Pertimbangan Pemasyarakatan (DPP), Farida Syamsi Chadaria, Kamis (19/4), mengakui kondisi LP yang teramat jauh dari ideal itu. "Sebenarnya DPP sudah memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Namun, memang kondisi LP kita masih jauh dari fungsi pemasyarakatan. Juga Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah lama tak mengundang DPP untuk membahas kondisi penjara ini," katanya.

Dengan kondisi yang ada saat ini, lanjut Farida, memang tidak mungkin bagi pengelola LP atau rutan untuk memedulikan fungsi menyiapkan dan membina warga binaan sehingga bisa kembali kepada masyarakat dengan baik, termasuk tidak mengulangi tindak pidananya lagi. Pengelola LP atau rutan sudah terlalu disibukkan dengan urusan hariannya.

"DPP sudah mewacanakan agar tak semua pelaku tindak pidana itu mesti dipenjara. Bisa saja diberikan hukuman pengganti, seperti kerja sosial atau denda, sehingga penjara tidak penuh. Namun, itu baru akan diakomodasi dalam revisi UU No 12/1995," papar Farida lagi.

Aktivis Kelompok Studi 19 yang membidangi HAM dan Pemasyarakatan, Priyadi, mengakui memang sulit untuk mewujudkan konsep pemasyarakatan yang ideal. Itu membutuhkan perubahan menyeluruh dalam criminal justice system kita.

"Kalau mau dibenahi, seharusnya dari hilir hingga hulu. Pemasyarakatan itu, kan, hanya menerima. Pembenahan harus dilakukan sejak di kepolisian, kejaksaan, hingga hakim. Hakim kalau memutus perkara narkoba, misalnya, jangan semua dimasukkan ke penjara. UU mengatur pencandu dapat dimasukkan ke panti rehabilitasi," ujar dia.

Persoalannya, hakim sering tidak memperhitungkannya. Semua terpidana kasus narkoba diperintahkan dipenjara.

Farida juga mempersoalkan fungsi hakim, yang sekadar melepaskan orang ke penjara. Padahal, semestinya hakim juga mengawasi apakah pemidanaan itu dilakukan dengan baik dan manusiawi. "Fungsi itu tak ada lagi. Hakim benar-benar ’melepaskan’ terpidana ke penjara," katanya. (ana/tra )

ditulis dari KOMPAS dalam Kolom FOCUS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3469056.htm

BANGUN LP KHUSUS NARKOBA

Dilengkapi Poliklinik HIV/AIDS

Medan, Kompas - Sumatera Utara akan membangun lembaga pemasyarakatan khusus narapidana narkotika dan obat terlarang dengan daya tampung mencapai 3.000 orang. Pembangunan lembaga pemasyarakatan khusus narkoba akan dimulai tahun ini dan akan selesai dalam empat tahun.

Pembangunan lembaga pemasyarakatan (LP) khusus narkoba mendesak dilakukan mengingat kapasitas LP maupun rumah tahanan (rutan) dengan jumlah narapidana dan tahanan tak sebanding. Selama ini Sumut memiliki rutan khusus narkoba di Deli Serdang yang operasionalnya merupakan tanggung jawab Polda Sumut. Kapasitas seluruh LP dan rutan di Sumut mencapai 9.000 orang, sementara jumlah narapidana dan tahanannya sekitar 13.000 orang.

"Dari jumlah tersebut, 50 persen lebih merupakan narapidana dan tahanan narkoba. Bahkan di beberapa LP dan rutan, jumlahnya bisa mencapai 70 persen seperti di LP Kelas I Tanjung Gusta Medan," ujar Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephuk-HAM) Sumut, Kuntoro, di Medan, Jumat (20/4).

Selain LP Kelas I Tanjung Gusta, kata Kuntoro, Rutan Tanjung Gusta penghuninya 50 persen tahanan narkoba. LP Wanita Tanjung Gusta juga dihuni sedikitnya 30 persen narapidana dan tahanan narkoba. "Yang agak kecil di LP Anak Tanjung Gusta, jumlahnya masih di bawah 30 persen," ujarnya.

Menurut Kuntoro, Kanwil Dephuk-HAM Sumut tahun 2007 mendapat dana APBN untuk membangun LP khusus narkoba. "Saat ini kami masih dalam tahap membebaskan tanahnya. Lokasinya di Pematang Siantar, agar bisa dijangkau dari mana-mana," kata Kuntoro.

Nantinya, LP khusus narkoba ini juga bakal dilengkapi poliklinik untuk pengidap HIV/AIDS, dan Voluntary Counseling and Test (VCT) atau tempat konseling tes HIV sukarela bekerja sama dengan rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat. Menurut Kuntoro, pembangunan poliklinik ini merupakan upaya menekan angka kematian di LP akibat kasus HIV/AIDS yang diderita narapidana kasus narkoba.

Menurut Kepala Bidang Penyusunan Program dan Laporan Kanwil Dephuk dan HAM Sumut, Edi Louder Lumbangaol, tahap pertama pembangunan LP dimulai tahun ini. "Pada tahap pertama, kami membangun kantor dan meratakan tanah. Kantornya juga masih satu tingkat dari rencana dua tingkat," katanya.

Total dana pembangunan LP khusus ini, kata Edi, Rp 30 miliar. "Tahap berikutnya baru dibangun sel, rumah dinas, dan sebagainya. Sekarang ini kami sedang memproses hak guna usaha karena tanahnya bekas tanah PTPN IV. Nantinya kalau selesai semua tahap, kapasitasnya bisa mencapai 3.000 orang," ujar Louder.

Kepala Kanwil Hukum dan HAM Sumut Bambang Margono menyatakan, bakal memprioritaskan penyelesaian pembangunan LP khusus narkoba. "Peningkatan sarana dan prasarana menjadi prioritas. Kalau bisa LP tersebut harus selesai dalam waktu empat tahun," katanya. (bil)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/

Minggu, 15 April 2007

Ungkapan dari Penjara Cipinang

H Probosutedjo mengajukan Memori Peninjauan Kembali atas vonis empat tahun yang dijatuhkan padanya dengan tuduhan korupsi. Namun sampai dia dimasukkkan dalam penjara Cipinanga, Jakarta dan kemudian dipindah ke Sukamiskin, Bandung, adik satu ibu mantan Presiden Soeharto, itu tetap merasa tidak bersalah. Mengapa dia yakin tak bersalah? Dia menuangkannya dalam buku yang merupakan rangkuman memori PK-nya, berjudul: Ungkapan dari Penjara Cipinang.

Berikut ini kami sajikan secara lengkap pengantar (dari penulis) buku tersebut:

Semenjak adanya tuduhan mark-up luas tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Menara Hutan Buana (PT MHB), sehingga tuduhan merugikan negara dan berakhir dengan vonis 4 tahun penjara, saya tetap tidak merasa bersalah. Apa yang saya kerjakan dalam pembangunan HTI, tidak ada yang menyimpang dari ketentuan dan arahan yang terdapat dalam peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 (PP No7 tahun 1990) dan tidak menyimpang dari SK Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan.

Dana Rp. 1 00.931.585.000,-(seratus milyar sembilan ratus tiga puluh satu juta lima ratus delapan puluh lima ribu rupiah), dalam SKB Menhut dan Menkeu, jelas merupakan kredit. Bahkan bukan sembarang kredit dengan bunga 0%, sampai ada penebangan, tetapi lebih jelas merupakan penyertaan modal yang akan dikembalikan setelah ada penebangan HTI.

Pinjaman berdasar SKB, diikat dengan akte notaris dan telah diatur pemgembaliannya, kok dikatakan merugikan Negara oleh Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim.
Seandainya terjadi masalah dalam kredit, mestinya kan masalah perdata, mengapa Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim "mentolo" mempidanakan kredit PT MHB yang berdasar kepada PP No.7 tahun 1990 dan SKB Menhut dan Menkeu, dipidanakan dan tega memvonis 4 tahun penjara dengan berbagai hukuman lainnnya.

Di tembok penjara Cipinang, Jakarta terdapat sajak yang dibuat oleh Narapidana (Napi) yang berbunyi:

Mungkinkah aku mati karena peluru?
Tidak......!!!!!
Karena aku tidak sebodoh itu.
Mungkinkah aku mati karena pisau ?
Tidak.
......!!!!!
Karena aku pandai menangkis senjata tajam.
Mungkinkah aku mati lemas di pantai bebas?
Tidak.
......!!!!!
Karena aku terbiasa merenangi laut biru.
Mungkinkah aku mati menyaksikan ketidakadilan?
Tentu.
......!!!!!
Jika hatimu tergetar melihat ketidakadilan?
Kau adalah sahabatku.


Rupanya banyak orang yang diperlakukan tidak adil dalam peradilan dan telah menjadi penghuni penjara.

Terasa adanya berbagai ketidakwajaran dalam mengadili tuduhan korupsi PT Menara Hutan Buana (PT MHB) yang melibatkan Probosutedjo. Jaksa Penuntut Umum di bawah pimpinan I Ketut Murtika, SH, mencari kesalahan dan tidak memperhatikan masalah yang mendasar.
Tidak diungkap oleh Jaksa Penuntut Umum bahwa yang dibangun oleh PT MHB adalah HTI bahan baku pulp, bertujuan untuk membangun industri pulp tercantum dalam SKHPHTI, tidak pernah terungkap.

Pembangunan HTI Pulp, berbeda dengan HTI bahan baku pertukangan yang produknya untuk menghasilkan bahan baku mebel dan bahan bangunan. Pendanaan pembangunan HTI Pulp, berdasarkan SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan sama sekali tidak diungkap.

Persentase pendanaan pembangunan HTI yang ditentukan dalam SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan tidak terungkap. Bahwa pembangunan HTI, terutama HTI Pulp merupakan proyek PELOPOR/PIONEERING proyek yang belum pernah ada sebelumnya, tidak pernah terungkap.

Memori Peninjauan Kembali (PK) yang kami ajukan terbagi dua. Pertama, memori yang saya susun berdasarkan PP No.7 tahun 1990 SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan, dibantu oleh seorang ahli perbankan yang turut menyusun SKB Menhut dan Menkeu. Kedua, disusun oleh tim penasehat hukum dalam mengajukan Memori Peninjauan Kembali (PK) dari segi hukum.

HTI Pulp merupakan proyek pelopor, karena belum pernah ada sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1990 khusus mengatur/menentukan realisasi Proyek Pembangunan Hutan Tanaman Industri disingkat menjadi proyek HTI.

Mengingat puluhan juta hektar hutan tidak produktif menjadi hutan produktif berkesinambungan (silvikultur). Pemerintah membuat Peraturan Khusus untuk membangun hutan rusak tidak produktif yang berkesinambungan, untuk mengembalikan kualitas sumber daya alam dan meningkatkan SDM dengan menciptakan lapangan kerja dan lapangan usaha.

Peraturan Pemerintah yang dikhususkan untuk mengatur dan menentukan pembangunan hutan yang rusak yang tidak produktif menjadi hutan produktif berkesinambungan yang besar manfaatnya bagi kehidupan rakyat, adalah peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1990, tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Maret 1990, masuk Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 No.11. Penjelasannya masuk dalam Tambahan Lembaran Negara No.3404.

PP No.7 Tahun 1990 tersebut terdiri dari 22 pasal, dan setiap pasal bermuatan tujuan utama dari pembangunan HTI. Hanya Pasal 22 yang tidak ada kata HTI, merupakan pasal penutup, kalimatnya berbunyi: "Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia."

Berdasarkan pasal 22 PP No.7 Tahun 1990, para penegak hukum harus tahu dan harus memahami isi dan makna peraturan Pemerintah tersebut. Setidaknya para penegak hukum, polisi, jaksa dan terutama hakim yang ditugasi menyelesaikan masalah pembangunan HTI, terutama HTI bahan baku pulp, harus menguasai dan memahami isi dan tujuan pembangunan HTI yang memang belum pernah ada sebelumnya, yang berarti ini merupakan proyek pelopor dalam pembangunan HTI yang sangat besar manfaatnya bagi pembangunan ekonomi bangsa.

Tetapi kenyataan membuktikan bahwa jaksa dan hakim yang ditugasi menangani masalah HTI milik PT MHB jelas tidak memahami PP No.7 Tahun 1990 dan SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan yang menentukan pendanaan pembangunan HTI.

Penegak hukum terutama Hakim Agung, bisa dinilai menghambat kelancaran pembangunan ekonomi bangsa, karena tidak memahami/tidak mengerti tujuan pembangunan HTI Pulp, yang merupakan pioneering proyek meningkatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkesinambungan dan berkembang.
Baca PP No.7 Tahun 1990, pasal demi pasal semua bermuatan petunjuk, manfaat dan fungsi dari pembangunan HTI.

Untuk jelasnya ikutilah isi Memori Peninjauan Kembali H. Probosutedjo dalam Memori Permohonan Peninjauan Kembali beserta lampiran-lampiran.

Keputusan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Iskandar Kamil, yang merupakan Hakim Agung dari Mahkamah Agung RI, dalam perkara korupsi HTI Pulp milik PT MHB jelas "KELIRU" dan menyimpang dari ketentuan pembangunan HTI. Maka dari itu siapa yang dirugikan, pemerintah atau PT Menara Hutan Buana? Ikutilah Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali. Jakarta, 11 Maret 2006. Pembahas PP No.7 Tahun 1990: H. Probosutedjo ► e-t

ditulis oleh
ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA 11 Maret 2006

Sabtu, 14 April 2007

ADA APA DENGAN REMISI ?

Pembebasan bersyarat Tommy Soeharto dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang 30 Oktober 2006 banyak menjadi sorotan publik, karena banyak kalangan menilai bahwa pembebasannya terlalu banyak memperoleh keistimewaan terutama mengenai Remisi yang diterimanya.

Dalam memberikan remisi kepada para narapidana, dasar hukum yang dijadikan acuan adalah sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
2. Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
3. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI Nomor M.09.HN.02-01 Tahun1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tentang Remisi 4. Surat Dirjen Pemasyarakatan No. E.PS.01.01-10 tanggal 28 Feb 2005
5. Surat Dirjen Pemasyarakatan No E.PS.01.04-36 tanggal 29 Juli 2005

Remisi dalam ketentuan Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Remisi dikelompokan menjadi 3 (tiga) bagian yakni Remisi Umum, Remisi Khusus dan Remisi Tambahan.

Remisi umum adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada peringatan proklamsi kemerdekaan 17 Agustus. Remisi ini berlaku kepada seluruh narapidana dan diberikan pada setiap perayaan 17 Agustus setiap tahunnya. Besarnya Remisi Umum sangat dipengaruhi seberapa lama narapidana menjalani masa hukuman, besarnya Remisi Umum berkisar antara 1 – 6 bulan. Untuk lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Besarnya Remisi Umum yang diterima oleh narapidana :
Masa Pidana Besarnya Remisi :

06 sampai 12 bulan dapat 1 bulan
12 bulan atau lebih dapat 2 bulan
Tahun kedua dapat 3 bulan
Tahun ketiga dapat 4 bulan
Tahun keempat dan kelima dapat 5 bulan
Tahun keenam dan seterusnya dapat 6 bulan


Remisi Khusus adalah pengurangan masa pidana yg diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada hari besar keagamaan yang dianut oleh yang bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak-banyaknya 1 kali dalam setahun bagi masing-masing agama. Dalam perayaan hari besar keagamaan maka setiap narapidana akan memperoleh hak Remisi Khusus sesuai agama yang dianutnya. Besarnya Remisi Khusus (pasal 5) sebagaimana terlihat tabel dibawah.

Tabel 2. Besarnya remisi Khusus yang diterima oleh Narapidana

Masa Pidana Besarnya Remisi

06 sampai 12 bulan dapat 15 hari

12 bulan atau lebih dapat 1 bulan

Tahun kedua dan ketiga dapat 1 bulan

Tahun keempat dan kelima dapat 1 bulan 15 hari

Tahun keenam dan seterusnya dapat 2 bulan



Remisi Tambahan adalah Pengurangan masa pidana yg diberikan kepada pidana dan anak pidana yang berbuat jasa kepada negara, melakukan yg bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukan kegiatan yang membantu lembaga pemasyarakatan. Besarnya Remisi Tambahan berkisar antara ½ - 1/3 dari remisi umum yang diterima pada tahun bersangkutan. Ada dua kriteria seorang narapidana dapat memperoleh Remisi Tambahan pertama berbuat jasa kepada negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan. Kedua melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lembaga pemasyarakatan sebagai pemuka. Besarnya remisi tambahan seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3. Besarnya Remisi Tambahan yang diterima oleh Narapidana

Kriteria

Berbuat jasa kepada Negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau Kemanusian mendapatkan 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan

Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan PEMBINAAN di Lembaga Pemsayarakatan sebagai PEMUKA mendapatkan 1/3 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan

1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 2. Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi 3. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI Nomor M.09.HN.02-01 Tahun1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tentang Remisi 4. Surat Dirjen Pemasyarakatan No. E.PS.01.01-10 tanggal 28 Feb 2005 5. Surat Dirjen Pemasyarakatan No E.PS.01.04-36 tanggal 29 Juli 2005Remisi dalam ketentuan Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Remisi dikelompokan menjadi 3 (tiga) bagian yakni Remisi Umum, Remisi Khusus dan Remisi Tambahan.Remisi umum adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada peringatan proklamsi kemerdekaan 17 Agustus. Remisi ini berlaku kepada seluruh narapidana dan diberikan pada setiap perayaan 17 Agustus setiap tahunnya.

Besarnya Remisi Umum sangat dipengaruhi seberapa lama narapidana menjalani masa hukuman, besarnya Remisi Umum berkisar antara 1 – 6 bulan. Untuk lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Besarnya Remisi Umum yang diterima oleh narapidana :Tabel 2. Besarnya remisi Khusus yang diterima oleh NarapidanaDalam pasal 3 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.04.HN.02-01 Tahun 2000 Tentang Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Pidana disebutkan, bahwa perbuatan yang bermanfaat bagi Negara dan kemanusiaan salah satunya adalah menjadi donor darah atau organ tubuh bagi orang lain.

Sedangkan pemuka adalah narapidana yang tugasnya sehari-hari membantu pegawai dalam macam-macam hal, dalam bidang : Perusahaan, Tata tertib, tata usaha, pendidikan, rumah sakit dan lain-lain. (Surat Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor : J.H.1/2049 Tahun 964 tanggal 16 Desember 1964).

Demikian penjelasan yang dapat disampaikan mengenai seputar remisi.
ditulis dari situs DEPHUKMAM 07 Nopember2006

http://www.depkumham.go.id/