Dirjen Pemasyarakatan berniat ‘cuci gudang’ Lapas dengan memudahkan prosedur pembebasan bersyarat. Sayangnya, perangkat kerjanya masih minim.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas) Untung Sugiono bergegas membenahi masalah klasik di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Meski baru dilantik pada 20 Juli lalu, Untung tengah menyiapkan pilot project untuk menuntaskan problem kelebihan kapasitas (over capacity). Tapi masih terbatas untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan Bogor.
Kiat untuk mengatasi masalah membludaknya penghuni Lapas, mulai diuraikan melalui Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang remisi tambahan untuk narapidana, anak dan lansia. Selain itu, rencananya, akan dilakukan penyederhanaan prosedur pembebasan bersyarat.
Tepat sepuluh hari setelah dilantik, Senin, (30/7), Untung segera mengumpulkan anak buahnya untuk mensosialisasi kebijakan baru tentang pembebasan bersyarat tersebut. Kebijakan ini nantinya akan dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen). Pertemuan itu antara lain dihadiri oleh para Kepala Lapas, Kepala Balai Pemasyarakatan, Kepala Rutan dan Kepala Divisi Pemasyarakatan.
Selama ini, pemberian pembebasan bersyarat memang menjadi ‘barang mewah’ bagi para narapidana. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, narapidana harus menyogok para petugas Lapas. Padahal, idealnya setelah menjalani 2/3 masa hukuman otomatis narapidana mendapatkan pembebasan bersyarat.
Beberapa waktu lalu, Persaturan Narapidana Indonesia (NAPI), yang diwakili oleh Susongko Suhardjo dan Roy Martin, mendatangi Komisi Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). Mereka ‘curhat’ tentang praktik pemberian pembebasan bersyarat yang pernah dialami oleh narapidana.
Menurut NAPI, dalam siaran persnya, sistem pembebasan bersyarat yang selama ini diatur dalam SK Menteri Kehakiman RI No. M.01.PK.04-10 Tahun 1999, justru memelihara narapidana selama mungkin di penjara.
Direktur Bina Bimbingan Kemasyarakatan Ditjenpas, Mashudi, menyatakan selama ini pembebasan bersyarat menjadi eksklusif karena pembebasan bersyarat harus diajukan oleh narapidana sendiri ke Kepala Lapas (Kalapas). “Sekarang dibalik,” ujarnya ketika diruang kantornya hari ini (30/7).
Menurutnya, sebagai bentuk penyederhanaan pembebasan bersyarat, maka Kalapas-lah yang harus mengusulkan pembebasan bersyarat kepada Ditjenpas. Untuk itu Kalapas diwajibkan untuk menertibkan data penghuni Lapas. “Seperti peta penghuni,” jelasnya. Data ini untuk memverifikasi narapidana yang sudah memiliki hak pembebasan bersyarat.
Sampai bulan Juli 2007 tercatat 3.600 narapidana yang sudah mendapatkan pembebasan bersyarat. “Target kita sampai akhir 2007 sekitar 7.000 orang,” ujar Mashudi. Sementara tahun 2008, Ditjenpas menargetkan 10.000 narapidana yang bisa mendapatkan pembebasan bersyarat.
Rencana penyederhanaan pembebasan bersyarat ini patut diacungi jempo. Betapa tidak, dengan ‘cuci gudang’ melalui pembebasan bersyarat, negara menghemat Rp10.000/orang. Mushadi mencontohkan, tahun 2006 negara bisa menghemat Rp22 miliar dari 5.700 narapidana yang mendapakan pembebasan bersyarat. Sementara, dari sisi kapasitas, penyederhanaan pembebasan bersyarat bisa mengurangi 10.000 orang narapidana per tahunnya.
Cara berhitung baru
Mashudi menuturkan, Dirjenpas memerintahkan agar Kalapas berkonsentrasi untuk memverifikasi data narapidana yang sudah lewat 2/3 masa pidana. “Agar pembebasan bersyarat bisa segera diajukan,” tegasnya. Setelah itu, Kalapas juga harus melakukan perhitungan masa tahanan terhadap narapidana yang akan mendapatkan pembebasan bersyarat. “Sehingga sudah diketahui jauh-jauh hari sebelum masa 2/3-nya lewat,” jelasnya.
Usulan pembebasan bersyarat yang diajukan akan dijadikan parameter kinerja Kalapas. Jika usulan pembebasan bersyarat yang diajukan sedikit, maka para Kapalas harus berhati-hati. “Artinya kinerja mereka buruk,” ujar Mashudi. Menurutnya, itu akan berdampak pada karir Kalapas itu sendiri. “Promosinya bisa terhambat,” tuturnya.
Kemudahan lain, perhitungan pembebasan bersyarat tidak lagi dihitung sejak mulai menjalani masa hukuman, melainkan dihitung sejak narapidana itu ditahan di Kepolisian. Selain itu, biasanya untuk mengeluarkan surat pembebasan bersyarat, Ditjenpas akan menyurati Kejaksaan. Ini dilakukan untuk mengetahui apakah narapidana yang diajukan tersangkut tindak pidana lain atau tidak. Sayangnya, surat itu diajukan secara kolektif. Akibatnya Kejaksaan jadi kewalahan. “Sekarang diajukan satu-persatu,” tambah M. Akbar Hadiprabowo, Kasubag Humas.
Apalagi, lanjut Mushadi, narapidana yang sudah keluar karena mendapatkan pembebasan bersyarat tidak perlu lagi melapor ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Kalapas terkait. “Kalau dulu, selama menjalani pembebasan bersyarat harus melapor,” jelasnya. Hal ini, menurut Mushadi, justru membebani narapidana. “Membutuhkan waktu dan biaya lagi,” tandasnya.
Namun pengawasan tetap dilaksanakan. Caranya, petugas Bapas akan turun ke lapangan untuk mengecek (home visit) narapidana yang sedang menjalani pembebasan bersyarat. Hal yang harus dicermati antara lain hubungan narapidana dengan keluarga dan masyarakat, serta pekerjaannya selama menjalani pembebasan bersyarat. Jika narapidana tersangkut konflik, petugas Bapas dapat mengintervensi untuk menyelesaikan permasalahan. “Bapas akan riil jika meningkatkan peran pembimbingan,” tuturnya.
Bapas masih minim
Sayangnya, saat ini Bapas se-Indonesia baru berjumlah 66 unit. “Idealnya ada di setiap kabupaten,” terang Mushadi. Menyiasati hal ini, bagi daerah yang tidak mempunya Bapas, petugas Lapas terkait akan diangkat dan dididik untuk menjadi pembimbing.
Mashudi menuturkan, kemungkinan untuk membangun Bapas sangat sulit. “Tergantung pada keuangan negara,” jelasnya. Sementara, dibutuhkan dana sekitar Rp4 milyar untuk membangun satu Bapas.
(Mon)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=17271&cl=Berita
0 komentar:
Posting Komentar